BAB 1
HIKMAH DAN KEUTAMAAN
BERKURBAN
1.
Amalan yang paling utama di bulan Dzulhijah.
Allah ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ
وَانْحَرْ.
“Dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan sembelihlah
kurban.” (QS. Al-Kautsar[108]:2).
وَالْفَجْرِ. وَلَيَالٍ عَشْرٍ.
“Demi fajar. Demi malam yang kesepuluh.” (QS.
Al-Fajar[89]:1-2).
Pendapat para sahabat seperti Ali, Ibnu Abbas,
‘Ikrimah, dan juga Mujahid memaksudkan ayat di atas yaitu Fajar pada hari Nahr
khusus, yaitu penutup dari sepuluh hari (awal bulan Dzulhijah). (Tafsir Ibnu
Katsir QS.Al-Fajr [89]:1-2).
Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ
أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ
الْأَيَّامِ الْعَشْرِ.
“Tidak ada hari yang lebih besar
di sisi Allah tidak pula lebih dicintai beramal padanya dibandingkan sepuluh
hari ini (Dzulhijah).” (HR. Ahmad 6154, Tabrani al-Mu’jam 11116, dishahihkan
Syaikh al-Albani di dalam At-Thargib wa Tharhib 1248).
Ketika Syaikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
ditanya, mana yang lebih utama 10 hari pertama dibulan Dzulhijah atau 10 hari
terakhir di bulan Ramadhan, beliau berkata:
أَيَّامُ عَشْرِ ذِي
الْحِجَّةِ أَفْضَلُ مِنْ أَيَّامِ الْعَشْرِ مِنْ رَمَضَانَ وَاللَّيَالِي
الْعَشْرُ الْأَوَاخِرُ مِنْ رَمَضَانَ أَفْضَلُ مِنْ لَيَالِي
عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ.
“Sepuluh hari Dzulhijah (siangnya) lebih utama
dibandingkan sepuluh hari siangnya (di akhir) Ramadhan, dan sepuluh malam akhir
Ramadhan lebih utama dibandingkan sepuluh maalam Dzulhijah.” (Majmu’ Fatawa
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah 25/287).
2.
Bentuk syukur kepada Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfiman:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا
لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ.
Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan
(kurban), agar mereka menyebut nama Allah terhadap rezeki yang telah Allah
berikan kepada mereka berupa hewan ternak. (QS. Al-Hajj[22]: 34).
3.
Mengagungkan
syi’ar Agama Allah.
ذَٰلِكَ وَمَن
يُعَظِّمْ شَعَـٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ
“Demikianlah, dan barang siapa mengagungkan syi'ar-syi'ar
Allah, maka sesungguhnya itu berasal dari ketakwaan hati.”(QS. Al-Ḥajj [22]: 32).
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا
دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ.
“Daging-daging unta dan darahnya itu tidak dapat mencapai
(keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj [22]: 37).
4.
Mengenang sejarah kurban nabi
Ibrahim.
Allah ta’ala berfirman:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ
الصَّالِحِينَ . فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى
فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ
افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ . وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا
إِبْرَاهِيمُ . قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي
الْمُحْسِنِينَ .إِنَّ هَذَا لَهُوَ
الْبَلَاءُ الْمُبِينُ . وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ .
“Ya
Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang- orang yang
saleh.” “Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak
yang sangat sabar (Isma’il). “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup
berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata: "Wahai anakku! Sesungguhnya aku
bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.?"
Dia (Isma’il) menjawab: "Wahai ayahku, Lakukanlah apa yang diperintahkan
Allah kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."
“Maka, ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan
anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah) Lalu Kami
panggil dia: "Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.” “Sungguh
demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya
ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor
sembelihan yang besar.” (QS.As Shafat[37]:
100-107)
5.
Memberikan kegembiraan di hati
kaum muslimin.
Banyak di antara kaum muslimin
yang tidak mampu untuk membeli daging, baik kambing, sapi maupun onta, oleh
karena itu ketika tiba hari kurban mereka senang mendapatkan daging kurban
tersebut.
Allah ta’ala firman:
فَكُلُوا مِنْهَا
وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ.
"Maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah
kepada orang yang sangat miskin." (QS. Al-Ḥajj [22]: 28)
Menurut Mujahid, الْبَائِسَ
الْفَقِيرَ ialah orang miskin yang tidak mau meminta-minta. (Tafsir Ibnu
Katsir, QS Al-Hajj [22]:28).
فَكُلُوا مِنْهَا
وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ .
"Makanlah sebagian darinya dan berilah makan
orang yang merasa cukup dan orang yang meminta.." (QS. Al-Ḥajj [22]: 36).
Ibnu
Abbas berkata tentang firman Allah ta’ala الْقَانِعَ
وَالْمُعْتَرَّ,
bahwa qani' artinya orang yang tidak meminta-minta (padahal ia memerlukannya),
sedangkan mu'tar artinya orang yang meminta. Ini menurut pendapat Qatadah,
Ibrahim An-Nakha'i, dan Mujahid, menurut suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu
Abbas. (Tafsir Ibnu Katsir, QS Al-Hajj [22]: 36).
-----000-----
BAB 2
HUKUM SEPUTAR
KURBAN
1. Pengertian kurban
(udhhiyyah).
Secara bahasa berkurban udhhiyyah adalah:
menyembelih qurban di waktu dhuha.
Adapun secara istilah (syar’i) adalah: hewan ternak
yang disembelih berupa unta, sapi atau kambing untuk mendekatkan diri kepada
Allah pada hari raya. ( Fikih Muyassar, Al-Waziz).
2. Syari’at berkurban.
Syari’at qurban telah ditetapkan di dalam Kitabullah,
Sunnah Rasul-Nya dan ijma’ kaum muslimin. (Fikih Sunnah, Syaikh Abu Malik
Kamal, bin as-Sayyid Salim).
Allah ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ
وَانْحَرْ.
“Dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan sembelihlah
kurban.” (QS. Al-Kautsar[108]:2).
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata:
ضَحَّى النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ
ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih
dua ekor kambing kibasy yang berwarna putih dan bertanduk. Beliau menyembelih
dengan tangannya, dengan mengungucapkan: “Bismillah dan bertakbir,
beliau meletakkan kakinya di atas bagian leher samping keduannya.” (HR. Bukhari
5565, Muslim 1966, Ahmad 13681).
3. Hukum berkurban.
Ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, diantara
pendapat tersebut:
Pertama: wajib bagi yang mampu, Menurut Imam Abu
Hanifah, Rabi’ah Ar-Ra’yi, Al-Auza’i, Lait bin Sa’ad dan sebagian madzhab
maliki qurban hukumnya adalah wajib dilakukan setiap tahun bagi setiap muslim
yang memiliki kemampuan dan tidak sedang dalam perjalanan.
Di antara dalil yang dijadikan
dasar wajibnya bagi yang mampu adalah hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah
dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ
سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا.
“Barang siapa yang memiliki kelapangan namun ia tidak
berqurban maka jangan mendekati masjid kami.” (Ibnu Majah 3123, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’
6490).
وَهَذَا
كَالْوَعِيدِ عَلَى تَرْكِ التَّضْحِيَةِ,
وَالْوَعِيدُ إِنَّمَا يَكُونُ عَلَى تَرْكِ الْوَاجِبِ.
“Hadis ini bentuknya
ancaman bagi orang yang meninggalkan kurban, dan ancaman itu berlaku karena
meninggalkan sesuatu yang wajib.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah
Al-Kuwaitiyah).
Dalil yang lain
Dari Jundab bin Sufyan al-Bajali,
ia berkata, "Pada hari nahr saya pernah menyaksikan Rasulullah shallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ
أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا أُخْرَى, وَمَنْ لَمْ
يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ.
"Barangsiapa menyembelih
(binatang qurban) sebelum shalat, maka hendaklah ia mengulangi (menyembelih
lagi) sebagai gantinya, dan barangsiapa yang belum menyembelih, maka
menyembelihlah.” (HR. Bukhari 5562, Muslim 1960).
Sisi dalil wajib bagi yang mampu
yaitu, asal perintah adalah wajib, andaikan perkara ini sunnah tentu tidak
disuruh mengulangi.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada
pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi
yang mampu padanya, bila hal itu tidak dilakukan maka dia berdosa karena Allah
menyebutkan bergandengan dengan shalat di dalam firmannya:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ
وَانْحَرْ.
“Dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan sembelihlah
kurban.” (QS. Al-Kautsar[108]:2).
Dan juga firmannya:
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
“Katakanlah,
sesungguhnya shalatku ibadahku (sembelihanku) hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am[6]: 162).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah mengatakan:
فَالْقَوْلُ بِالْوُجُوبِ أَظْهَرُ مِنَ
الْقَوْلِ بِعَدَمِ الْوُجُوبِ,
لَكِنْ بِشَرْطِ الْقُدْرَةِ …
“Maka pendapat yang
mengatakan wajib lebih kuat dari pendapat yang mengatakan tidak wajib akan
tetapi dengan syarat bagi yang mampu.” (Syarhul Mumti’ ‘ala dzadi al-Mustaqni’ 7/422, Syaikh Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin wafat 1421 H).
Kedua, Sunnah muakkad, menurut
ulama Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah dan mayoritas para ulama berpendapat
bahwa qurban hukumnya adalah sunnah muakkad atau sangat dianjurkan.
Diantara dalil yang
menunjukkan hal itu, dari Umu salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ
يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا.
"Bila telah memasuki 10
(hari bulan Zulhijjah) dan apa bila salah seseorang dari kalian ingin
berkurban, maka janganlah dia memotong rambut dan kukunya.” (HR. Muslim 1977,
Ibnu Majah 3149).
Abu Mas’ud
Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan:
. إِنِّي لَأَدَعُ
الْأَضْحَى وَأَنَا مُوسِرٌ مَخَافَةَ أَنْ يَرَى جِيرَانِي أَنَّهَا حَتْمٌ
عَلَيَّ
“Sesungguhnya aku
sedang tidak akan berkurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu
kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira kurban itu adalah
wajib bagiku.” (HR. Baihaqi 1815, Abdurrazaq 8149, dishahihkan
Syaikh al-Albani di dalam al-Irwa’ 11139).
Dari Ḥudzaifah bin Asid, ia berkata:
رَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَمَا يُضَحِّيَانِ مَخَافَةَ أَنْ يُسْتَنَّ بِهِمَا.
“Aku melihat Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma mereka tidak berkurban,
karena khawatir (jika mereka berkurban) orang-orang akan menjadikannya sebagai
kebiasaan (yang wajib ditiru).” (HR. Baihaqi 19035, Thabrani di dalam al-Mu’jam
3058 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam al-Irwa’ 1139).
Ibnu Hazm berkata,
“Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa kurban
itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454).
Inilah pendapat yang kuat yaitu
sunnah muakkad (sangat dianjurkan).
Meskipun demikian,
dalam kaidah ushul fiqh dikenal sebuah kaidah yang berbunyi:
الْخُرُوجُ مِنْ
الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ.
”Dianjurkan untuk
keluar dari perkara yang diperselisihkan “ (Syarah matan Abu Suja’ 21/11).
Walaupun ada
persamaan dan perbedaan pada empat Imam Mazhab, para ulama bersepakat apabila
ada nazar bagi seorang muslim untuk berkurban maka wajib dilakukan. jika tidak
maka akan berdosa.
Hal-hal yang penting diketahui orang yang berkurban:
1.
Orang yang berkurban tidak boleh memotong rambut dan
kukunya.
Orang-orang yang akan berkurban tidak boleh memotong
rambut, kuku, atau mengupas kulitnya atau mengguntingnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ
ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ
شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ.
“Siapa saja yang ingin berkurban apabila telah
memasuki awal Dzulhijah, maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai
ia berkurban.” (HR. Muslim 1977, Tirmidzi 1523 Abu Dawud 2791).
Sebagian orang memahami hal ini adalah binatang kurbannya,
tentu ini tidak benar karena dzamir-dzamir itu kembalinya kepada yang berakal.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Wajib tidak memotongnya dan haram baginya memotongnya,
sebab posisi dia pada saat itu mirip dengan orang yang menggiring hewan kurban
(ke Mekkah di dalam beribadah haji). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا تَحْلِقُوا
رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ.
“Janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu sebelum
hewan kurban sampai pada tempat penyembelihannya “ (QS. Al-Baqarah[2]: 196).
(Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min
Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Khalid Al-Juraisy).
Syekh Bin Baz rahimahullah
berkata, “Adapun keluarga orang yang berkurban, mereka tidak terkena kewajiban
apa-apa, mereka tidak dilarang mencukur rambut dan kulitnya menurut pendapat
ulama yang lebih shahih. Hukum ini secara khusus hanya berlaku bagi orang yang
berkurban, yaitu orang yang membeli kambing secara khusus untuk kurban dari
hartanya.” (Fatawa Islamiyah, 2/316).
2.
Syarat disyari’atkan bagi orang yang berkurban.
1)
Islam.
2)
Balig.
3)
Berakal.
4)
Memiliki kemampuan. (Fikih Muyassar).
3.
Jenis hewan yang dipakai untuk berkurban.
Hewan kurban yang disembelih hendaknya berupa unta,
sapi dan kambing. (Fikih Muyassar).
Para ulama’ menyamakan kerbau
dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975).
Allah ta’ala berfirman:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ
جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ
بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ.
"Dan bagi setiap umat telah
Kami syariatkan penyembelihan (qurban), agar mereka menyebut nama Allah atas
rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak.” (QS. AL-Hajj
[22]:34).
Dari ‘Atha’ bin Yasar, ia
berkata“Aku pernah bertanya pada Ayyub Al Anshari, bagaimana qurban di masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab:
كَانَ
الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ,فَيَأْكُلُونَ
وَيُطْعِمُونَ.
“Seseorang biasa berqurban dengan
seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka
memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi
1505, Ibnu Majah 3125, dishahihkan syaikh al-Albani shahih Ibnu Majah 3147).
Adapun jenisnya yaitu onta untuk
10 orang dalam riwayat lain 7 orang. Diriwayatkan dari Jabir ibn Abdullah, ia
berkata:
نَحَرْنَا
مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحُدَيْبِيَةَ الْبَدَنَةَ
عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ.
“Kami menyembelih hewan qurban
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah seekor
unta untuk tujuh orang, dan sapi untuk tujuh orang.” (HR. Muslim 1318, Ahmad
14127, Ibnu Majah 3132).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia
berkata:
كُنَّا مَعَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى
فَاشْتَرَكْنَا فِي البَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِي الجَزُورِ عَشَرَةً .
“Kami bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, kemudian datanglah hari
raya Adlha, lalu kami berpatungan menyembelih lembu untuk tujuh orang dan unta
untuk sepuluh orang.” (HR.Tirmidzi 905 dan di shahihkan syaikh al-Albani di
dalam shahih Ibnu Majah 3131).
Rasullullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah berkurban untuk dirinya dan umatnya Beliau shallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
بِسْمِ اللَّهِ
وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي.
“Dengan menyebut nama Allah,
Allahu akbar, ini dariku dan semua umatku yang tidak mampu berkurban.” (HR.
Ahmad 4628, Abu Dawud 2810 dan di shahihkan syaikh al-Albani di dalam shahih
Abu Dawud 2491, 2501).
Dari hadits-hadits di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa seekor unta boleh untuk satu orang dan maksimal
sepuluh orang, sedang satu lembu boleh diqurbankan untuk satu orang dan
maksimal untuk tujuh orang.
Kambing satu orang dan boleh
untuk bersama keluarganya sebagaimana hadits Abu Ayyub al-Anshari.
4.
Syarat hewan kurban.
umur:
1)
Untuk unta hendaknya berumur genap lima tahun.
2)
Untuk sapi berumur genap dua tahun.
3)
Untuk kambing berumur satu tahun. (Fikih Muyassar).
Adapun umur hewan qurban tersebut
yaitu musinah, bagi onta yang sudah lima tahun, sapi dua tahun dan kambing satu
tahun, domba enam bulan.
وَعَنْ
جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم, لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا
أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian
menyembelih kecuali musinnah. Kecuali jika terasa sulit bagi kalian, maka
sembelihlah jadza’ah dari domba.” (HR.Muslim 1963, Abu Dawud 2797).
Kecuali dalam keadaan kesulitan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَذْبَحُوا إِلَّا
مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ
"Janganlah kalian
menyembelih (kurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi
kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza'ah." (HR. Muslim
1963, Ibnu Majah 3141).
Musinnah disebut juga dengan
tsanyyah (yang menanggalkan gigi seri).
Dibolehkan Jadza’ah’ yaitu domba
yang telah berusia enam hingga satu tahun, berdasarkan hadits Uqbah bin Amir,
dia berkata:
فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللهِ إِنَّهُ أَصَابَنِي جَذَعٌ, فَقَالَ: ضَحِّ بِهِ
"Wahai Rasulullah, aku
diberi bagian (ghanimah) domba jadza’, beliau menjawab,
'Berkurbanlah dengannya.” (HR. Muslim 1965, Tirmidzi 1500).
Tidak cacat.
Disyaratkan pada hewan kurban
unta, sapi, dan kambing harus bebas dari cacat yang menyebabkan dagingnya
berkurang, sehingga tidak kurus kering, pincang, cacat matanya, dan sakit
sehingga tidak sah hewan kurbannya.
Berdasarkan hadits al-Bara' bin
Azib dari Nabí shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ
فِي الْأَضَاحِيِّ: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ
مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرَةُ الَّتِي لَا
تُنْقِي.
"Empat kriteria hewan yang
tidak sah di dalam hewan kurban: hewan buta sebelah yang jelas buta sebelahnya,
hewan sakit yang jelas sakitnya, hewan pincang yang jelas pincangnya, dan hewan
kurus kering yang tidak bersumsum (yakni tidak berdaging). " (HR Ibnu
Majah 3144, Nasai 4369, Ibnu Hudzaimah 2912, dishahihkan syaikh
al-Albani di dalam al-Misykah 1465, Shahih Abu Dawud 2497).
5.
Syarat orang yang menyembelih.
Seorang penyembelih hendaknya:
1)
Berakal.
Boleh laki-laki atau perempuan, sudah balig, atau belum
namun sudah tamziz, Ini
adalah madzhab jumhur ulama seperti Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabillah, dan
Syafi’iyyah. Adapun Ibnu Hazm mensyaratkan baligh. (fikih Sunnah, Syaikh
Abu Malik Kamal, bin as-Sayyid Salim).
2)
Seorang muslim.
Adapun ahlul kitab khusus penyembelihan kurban tidak
dibolehkan karena hal ini adalah ibadah, sedang ibadah orang kafir tidak syah.
Hendaknya shalat
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
“Perjanjian
antara kita dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia
telah kafir.” (HR. Ahmad 22937, Tirmidzi 2621, Ibnu Majah 1079, di Shahihkan
Syaikh al-Albani di dalam al-Misykah 574).
Adapun secara
umum sembelihan Ahlul kitab halal dalilnya adalah:
وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ.
Makanan
(sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi
mereka. (QS. Al-Maidah [5]:5).
Ibnu Abbas, Abu
Umamah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Ata’, Al-Hasan, Mak-hul, Ibrahim
An-Nakha'i, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, yang dimaksud dengan
makanan di sini adalah sembelihan mereka orang-orang Ahli Kitab.(Tafsir Ibnu
Katsir, QS. Al-Maidah[5]:5).
3)
Hendaknya menyebut nama Allah.
Sebagaimana perkataan jumhur yang
mensyaratkan hal ini. (fikih Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal, bin as-Sayyid
Salim).
4)
Tidak menyertakan di dalam menyembelih pengagungan
kepada selain Allah.
Apa bila
diketahui dengan menyebut selain Allah maka hal itu tidak boleh, semisal dengan
menyebut isa alaihi wa sallam, mengirim leluhur dan lain-lain.
5)
Dianjurkan orang yang berkurban untuk menyembelih sendiri.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun apabila mewakilkan hal itu syah.
6. Syarat alat untuk menyembelih.
1) Hendaknya apa yang bisa
memutuskan. Bisa dari besi seperti pisau, golok, parang, sabit dan lainnya.
2) Dari batu dan juga kayu, hal itu
bila dapat memutuskan atau mengalirkan darahnya (dalam kondisi darurat).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
أَنَّ امْرَأَةً
ذَبَحَتْ شَاةً بِحَجَرٍ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا.
”Bahwasannya seorang wanita menyembelih seekor kambing
dengan menggunakan batu. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ditanya
mengenai hal itu, dan kemudian beliau memerintahkan untuk memakannya” (HR. Bukhari
5504, Ibnu Majah 3182).
3) Hendaknya dihindari menyembelih
dengan menggunakan kuku dan tulang karena Nabi melarang hal itu.
Dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَنْهَرَ
الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلْ لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفْرَ
وَأُمَافَ السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ.
"Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah saat
menyembelihnya, maka makanlah. Tetapi jangan (menyembelih) dengan gigi dan kuku.
Adapun gigi adalah tulang, dan kuku adalah pisau (alat sembelih) orang-orang
Habasyah (yang tidak tajam dan menyiksa)." (HR. Bukhari 2488, Muslim
1968).
7.
Waktu penyembelihan.
Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ
ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ.
“Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat,
maka ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah
shalat (Idul Ad ha’), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah
melakukan sunnah kaum muslimin.” ( HR. Bukhari 5546, Muslim 1961).
Dari Jundab, ia menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam lalu beliau berkhutbah dan bersabda:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ
أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى, وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ
فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ .
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘ied,
hendaklah ia mengulanginya. Dan yang belum menyembelih, hendaklah ia
menyembelih dengan menyebut ‘bismillah’.” (HR.Bukhari 7400).
Dari Al-Bara’ bin ‘Azib, dia berkata: Rasulullah
shalallahu ‘alaihi was salam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا
نَبْدَأُ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ
فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ نَحَرَ قَبْلَ الصَّلاَةِ
فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسْكِ فِي شَيْءٍ.
“Sesungguhnya pertama yang akan kita mulai hari ini
adalah shalat, lalu kita kembali (pulang) kemudian menyembelih (kurban).
Barangsiapa melakukan seperti itu, maka dia telah mencocoki Sunnah kita. Namun
barangsiapa yang telah menyembelih sebelum shalat, maka itu adalah daging yang
dia berikan untuk keluarganya. Bukan termasuk kurban sedikitpun.” (HR. Bukhari
965).
Menyembelih yang paling utama yaitu setelah shalat
berdasarkan hadits di atas.
8.
Pembagian daging sembelihan.
Allah ta’ala firman:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ.
"Maka makanlah
sebagian darinya dan berikanlah kepada orang yang sangat miskin." (QS.
Al-Ḥajj [22]: 28)
Menurut Mujahid, الْبَائِسَ الْفَقِيرَ ialah orang miskin yang tidak mau meminta-minta.
(Tafsir Ibnu Katsir, QS Al-Hajj [22]:28).
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ
وَالْمُعْتَرَّ .
"Makanlah
sebagian darinya dan berilah makan orang yang merasa cukup dan orang yang
meminta.." (QS. Al-Ḥajj [22]: 36).
Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah
ta’ala الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ,
bahwa qani' artinya orang yang tidak meminta-minta (padahal ia memerlukannya),
sedangkan mu'tar artinya orang yang meminta. Ini menurut
pendapat Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, dan Mujahid, menurut suatu riwayat yang
bersumber dari Ibnu Abbas. (Tafsir Ibnu Katsir, QS Al-Hajj [22]: 36).
2)
Dalil dari Hadits.
Dari Salamah bin al-Akwa‘ raḍiyallahu
‘anhu, ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ
يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَبَقِيَ فِي بَيْتِهِ مِنْهُ شَيْءٌ,
فَلَمَّا كَانَ العَامُ المُقْبِلُ, قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ
المَاضِي,
قَالَ: كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا, فَإِنَّ ذَلِكَ العَامَ كَانَ بِالنَّاسِ
جَهْدٌ,
فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا.
“Barang siapa di antara kalian yang berkurban, maka jangan
sampai pagi hari setelah hari ketiga masih ada daging kurban yang tersisa di
rumahnya.” Ketika
datang tahun berikutnya, mereka berkata: “Wahai
Rasulullah, apakah kami lakukan seperti yang kami lakukan pada tahun lalu?” Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Makanlah,
berilah makan (kepada orang lain), dan simpanlah. Karena pada tahun itu manusia
mengalami kesulitan, dan aku ingin kalian membantu mereka.” (HR. Bukhari 5569,
Ahmad 11543).
Dalam riwayat imam Muslim:
إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ
مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتِي دَفَّتْ فَكُلُوا وَادَّخِرُوا وَتَصَدَّقُوا.
“Sesungguhnya aku melarang kalian (dahulu menyimpan daging kurban)
karena (kedatangan) orang-orang yang sedang mengalami kesulitan yang datang
secara tiba-tiba. Maka sekarang makanlah, simpanlah, dan bersedekahlah.” (HR. Muslim
1917).
3)
Perkataan para Ulama.
Ibnu Katsir menyebutkan salah
satu pendapat di dalam tafsirnya: Qurban dibagi menjadi tiga bagian, sepertiga
untuk yang punya, sepertiga lainnya untuk ia hadiahkan, dan sepertiga yang
terakhir untuk disedekahkan, karena berdasarkan firman Allah ta’ala. dalam ayat
lainnya yang mengatakan:
فَكُلُوا مِنْهَا
وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ .
"Makanlah sebagian darinya dan berilah makan
orang yang merasa cukup dan orang yang meminta.." (Tafsir Ibnu Katsir, QS.
Al-Ḥajj [22]: 36).
Imam
Ahmad berkata: "Kami berpegang kepada hadits dari Abdullah (Ibnu
Mas‘ud), bahwa: 'Ia makan sepertiga, memberi makan kepada siapa yang dia
kehendaki sepertiga, dan bersedekah dengan sepertiga kepada orang-orang
miskin."
'Alqamah
berkata: "Abdullah (Ibnu Mas‘ud) mengirimkan bersamaku hewan
hadyu-nya, dan dia memerintahkanku untuk memakan sepertiganya, mengirimkan
sepertiga kepada keluarga saudaranya, dan menyedekahkan sepertiga." (Kitab Kassyaf al-Qina‘ ‘an Matn al-Iqna‘ , Syaikh Manṣur bin Yunus al-Buhuti Wafat 1051 H, beliau bermadzhab
Hambali).
Di dalam fikih Muyassar disebutkan: Dianjurkan membaginya
menjadi tiga bagian, sepertiga untuk keluarganya, sepertiga untuk tetangga yang
fakir dan miskin, sepertiga lagi untuk hadiah. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas
tentang sifat udhhiyyah Nabi:
وَيُطْعِمُ أَهْلَ بَيْتِهِ الثُلُثَ, وَيُطْعِمُ فُقَرَاءَ جِيْرَانِهِ الثُّلُثَ, وَيَتَصَدَّقُ عَلَى السؤال بالثلث.
"Beliau
memberi makan sepertiga untuk keluarganya, dan memberi makan tetangganya yang
miskin sepertiga (hadiah), dan sepertiga di sedekahkan kepada para
peminta-minta.” (Diriwayatkan dari Abu Musa di
dalam al-Wazha’if dan beliau menghasankan sebagaimana di dalam al-Mugni
8/632).
Kesimpulan Cara Pembagian Daging Kurban.
1/3 dimakan sendiri dan keluarga.
1/3 dihadiahkan ke tetangga dan kerabat.
1/3 disedekahkan kepada fakir miskin.
9.
Adab-adab menyembelih.
1)
Menajamkan pisau sembelihan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ
الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ
وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ
فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ.
"Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat yang
terbaik dalam segala sesuatu, maka apabila kamu membunuh, bunuhlah dengan cara
yang terbaik, apabila kamu menyembelih, sembelihlah dengan cara yang terbaik,
hendaklah setiap kalian menajamkan pisaunya dan membuat nyaman hewan
sembelihannya." (HR. Muslim 1995, Abu Dawud 2815, Tirmidzi 1409).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma
berkata:
مَرَّ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَاضِعٍ رِجْلَهُ
عَلَى صَفْحَةِ شَاةٍ وَهُوَ يَحُدُّ شَفْرَتَهُ وَهِيَ تَلْحَظُ إِلَيْهِ
بِبَصرِها قَالَ:أَفَلا قَبْلَ هَذَا أَوَ تُرِيدُ أَنْ تُمِيتَهَا مَوْتَتَينِ.
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam melewati seseorang yang meletakkan kakinya di atas badan samping seekor
kambing sambil menajamkan pisaunya, sedang kambing itu melihat ke arah pisau,
maka beliau bersabda: Mengapakah engkau tidak menajamkan pisau sebelum
melakukan ini, apakah engkau ingin mematikannya dua kali?” (HR. TIrmidzi
Al-Baihaqi 19141, Thabrani 3590, di sahihkan Syaikh al-Albani di dalam
At-Targib wa Tarhib 2265).
2) Memisahkan antara tempat
penyembelihan dan tempat menempatkan binatang qurban.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata:
“Dan dianjurkan untuk tidak
menajamkan pisau di hadapan hewan sembelihan, tidak boleh pula menyembelih
seekor hewan di depan yang lainnya, dan tidak boleh menyeretnya ke tempat
pemyembelihannya di depan yang lainnya.” (Syarhu Muslim 13/113)
3) Menghadapkan kearah barat.
Dari bnu Sirin beliau berkata:
كَانَ يُسْتَحَبُّ
أَنْ تُوَجَّهَ الذَّبِيحَةُ إِلَى الْقِبْلَةِ.
“Dahulu disukai mengarahkan sembelihan kearah kiblat.”
(HR. Abdurrazaq, di dalam Mushanaf Abdurrazzaq As-Shan’ani 8587)
لَيْسَتْ شَرْطًا فِي الذَّبْحِ
وَلَكِنَّهُ الْأَفْضَلُ, فَعَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ
كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْكُلَ ذَبِيحَةً ذُبِحَتْ لِغَيْرِ الْقِبْلَةِ.
Syaikh al-Albani berkata, “Bukanlah hal itu
sebagai syarat di dalam penyembelihan akan tetapi hal itu lebih utama.” Bahwa
Ibnu Umar tidak suka memakan sembelihan yang ketika disembelih tidak diarahkan
kearah kiblat.”(HR. Abdurrazaq 8585, Al-Baihaqi 9/280 di shahihkan Syaikh
al-Albani, manasik haji dan umrah hal 8).
4) Meletakkan kaki di atas sisi
hewan sembelihan.
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata:
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ
عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih hewan
kurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk.
Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau, dengan mengucap basmalah dan
bertakbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau di sisi-sisi kedua domba
tersebut” (HR.Bukhari 4387 Muslim 1966)
5) Tempat bagian yang Disembelih.
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata :
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ: الذَّكَاةُ فِي الحَلْقِ وَاللَّبَّةِ .
Penyembelihan dilakukan di sekitar kerongkongan dan
labah.” (HR.Abdrrazaq 8615, disebutkan pula di dalam shahih Bukhari 7/93).
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
يُسْتَحَبُّ قَطْعُ
الْوَدَجَيْنِ وَلَا يُشْتَرَطُ وَهَذَا أَصَحُّ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ.
وَقَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ إِذَا قَطَعَ
الْحَلْقُومَ وَالْمَرِيءَ وَالْوَدَجَيْنِ وَأَسَالَ الدَّمَ حَصَلَتِ الذَّكَاةُ
وَاخْتَلَفُوا فِي قَطْعِ بَعْضِ هَذَا, فَقَالَ
الشَّافِعِيُّ: يُشْتَرَطُ قَطْعُ الْحَلْقُومِ وَالْمَرِيءِ, وَيُسْتَحَبُّ
قَطْعُ الْوَدَجَيْنِ.
Disunnahkan memotong dua urat leher (al-wadajain), namun tidak disyaratkan.
Ini adalah pendapat yang paling kuat dari dua riwayat dari Imam Ahmad.
Ibnu al-Mundzir berkata: Para ulama telah sepakat bahwa
jika seseorang memotong saluran napas (al-ḥalqUm), saluran makanan (al-mariʼ), dan dua urat besar di leher (al-wadajain) serta mengalirkan darah,
maka penyembelihan (dzakah) dianggap sah.
Namun mereka berbeda pendapat jika hanya sebagian dari
bagian-bagian itu yang dipotong. Maka Imam Syafi’i berkata: disyaratkan
memotong saluran napas dan saluran makanan, dan disunnahkan memotong dua urat
besar leher. (Syarah
Muslim Imam Nawawi 13/124).
Halqum = الحلقوم: saluran napas.
Mariʼ = المريء: saluran makanan.
Wadajain =
الودجين: dua urat besar di leher kiri-kanan.
Nahr: النَّحْرُ : Secara bahasa berarti: Menikam atau menyembelih di
bagian pangkal leher
(atas dada), yaitu bagian antara leher dan dada (اللبة).
6) Menyebut basmalah dan bertakbir.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَلَا تَأْكُلُوا
مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ
لِيُجَادِلُوكُمْ.
“Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak
disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu
adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaithan itu mewahyukan kepada
wali-walinya (kawan-kawannya) untuk membantah kalian.” ( QS. Al-An’am[6]:121).
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata :
أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ, أَقْرَنَيْنِ,
وَيُسَمِّي, وَيُكَبِّرُ.
“Rasulullah menyembelih hewan kurban dengan dua domba
jantan. Beliau mengucap bismillah dan bertakbir.” (HR. Bukhari 5564, Ahmad
13714).
وَفِي لَفْظٍ
لِمُسْلِمٍ, وَيَقُولُ: بِسْمِ اَللَّهِ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ
Dan dalam riwayat Muslim Beliau mengatakan, “Bismillah
wallahu Akbar.”
7) Batas akhir waktu penyembelihan.
Para ulama berbeda pendapat, ada yang menyebutkan
tanggal sebelas, dua belas, tiga belas ada juga yang menyebutkan sebelas, dua
belas.
Untuk kehati-hatian seorang melaksanakan penyembelihan
kurban setelah hari Idul Adha sepuluh Dzulhijah sebagaimana yang Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan hal ini lebih selamat dari
perselisihan para ulama yang ada. Jika sulit melakukan pada waktu tersebut,
maka boleh melakukannya pada sebelas dan dua belasnya, sebagaimana pendapat
jumhur ulama.
-----000-----
BAB 3
KESALAHAN SEPUTAR KURBAN.
Banyak sekali kesalahan
yang terjadi di masyarakat berhubungan dengan kurban, diantara kesalahan
tersebut:
1) Berkurban
sekali seumur dan salah satu anggota keluarga saja.
Banyak masyarakat punya
anggapan demikian, sehingga bila sudah sekali dianggap cukup dan tidak mau lagi
berkuban, padahal tidak demikian itu.
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
فَصَلِّ
لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat untuk
Rabb-mu dan sembelihlah kurban.” (QS. Al-Kautsar[108]:2).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menetap sepuluh tahun, selama sembilan tahun beliau selalu melakukan
kurban, dan kesepuluhnya beliau berhaji
dan menyembelih hadyu sebanyak 100 onta.
Banyak ulama menyatakan
dengan tegas bahwa Beliau sallallahu ʿalaihi wa sallam berkurban setiap tahun.
Syekh Bin Baz -Semoga Allah Merahmatinya- berkata bahwa Beliau sallallahu
ʿAlaihi wa sallam berkurban setiap tahun dengan dua ekor domba jantan bertanduk
berwarna putih hitam; satu atas namanya dan keluarganya, dan yang kedua atas
nama semua umatnya yang mengesakan Allah.” (Majmuʿ Fatawa Ibni Baz, 18/38).
(lihat https://islamqa.info/ar/200562).
Oleh karena itu Rasulullah
shallallahu ‘alaihiw asallam bersabda:
مَنْ
كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا.
“Barang siapa yang
memiliki kelapangan namun ia tidak berqurban maka jangan mendekati masjid
kami.” (Ibnu Majah 3123, dishahihkan Syaikh
al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 6490).
Rasullullah sallallahu
‘alaihi wa sallam pernah berkurban untuk dirinya dan umatnya Beliau shallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
بِسْمِ
اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
“Dengan menyebut nama
Allah, Allahu akbar, ini dariku dan semua umatku yang tidak mampu berkurban.”
(HR. Ahmad 4628, Abu Dawud 2810 dan di shahihkan syaikh al-Albani di dalam
shahih Abu Dawud 2491, 2501).
Dari
‘Atha’ bin Yasar, ia berkata “Aku pernah bertanya pada Ayyub Al Anshari,
bagaimana kurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau
menjawab:
كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ
عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ.
“Seseorang biasa berqurban dengan seekor
kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka memakan
qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi 1505,
Ibnu Majah 3125, dishahihkan syaikh al-Albani shahih Ibnu Majah 3147).
2) Berkurban dikhususkan orang yang sudah meninggal.
Meskipun hal ini dibolehkan oleh sebagian
para ulama dengan dikiaskan orang yang bersedekah kepada mayit, namun
Rasulullah tidak pernah melakukan hal ini.
Keutamaan dan pahalanya juga dibatasi
pada orang yang telah meninggal saja, sedangkan orang yang berkurban untuk
dirinya yang masih hidup dan keluargannya baik yang masih hidup maupun yang
sudah meninggal maka kebaikkannya atau pahalanya akan mengenai semua
sebagaimana hadits hadits di atas.
3) Berkurban
dengan cara beramai-ramai.
Islam adalah agama yang
didasari dalil, termasuk di dalamnya bagaimana tata cara berkurban, yaitu
dengan cara satu ekor unta untuk 1-10 orang, satu ekor sapi untuk1-7 orang, 1
ekor kambing 1 orang dan keluarganya.
Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas, ia berkata:
كُنَّا
مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى
فَاشْتَرَكْنَا فِي البَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِي الجَزُورِ عَشَرَةً .
“Kami bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, kemudian datanglah hari
raya Adlha, lalu kami berpatungan menyembelih lembu untuk tujuh orang dan unta
untuk sepuluh orang.” (HR.Tirmidzi 905 dan di shahihkan syaikh al-Albani di
dalam shahih Ibnu Majah 3131).
Adapun yang dilakukan
masyarakat dengan membayar satu sapi beramai-ramai satu RT, atau satu
sekolahan.
Ini belajar menyembelih bukan
kurban yang sesuai syari’at.
4) Mencukur rambut dan memotong kuku.
Sebagian orang
menganggap hal ini boleh dan tidak mengapa, padahal sebagian para ulama sampai
mengharamkan orang yang mencukur rambut dan memotong kukunya.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ
يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ.
“Siapa saja yang ingin
berqurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijah , maka janganlah ia
memotong rambut dan kukunya sampai ia berqurban.” (HR. Muslim 1977, Tirmidzi
1523 Abu Dawud 2791).
5) Hewan kurban belum cukup umurnya.
Ketentuan umurnya sudah
disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihiw asallam yaitu musinah, bagi onta
yang sudah lima tahun, sapi dua tahun dan kambing satu tahun, domba enam bulan.
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله
عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم, لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ
عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ.
Dari Jabir radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah. Kecuali jika terasa sulit bagi
kalian, maka sembelihlah jadza’ah dari domba.” (HR.Muslim 1963, Abu Dawud
2797).
6) Berkurban dengan hewan yang cacat.
Tidak diperkenankan
berkurban dengan binatang yang cacat, berdasarkan hadits al-Bara' bin Azib dari
Nabí shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
أَرْبَعٌ
لَا تُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِيِّ: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا
وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا
وَالْكَسِيرَةُ الَّتِي لَا تُنْقِي.
"Empat kriteria
hewan yang tidak sah di dalam hewan kurban: hewan buta sebelah yang jelas buta
sebelahnya, hewan sakit yang jelas sakit- nya, hewan pincang yang jelas
pincangnya, dan hewan kurus kering yang tidak bersumsum (yakni tidak
berdaging). " (HR Ibnu Majah 3144, Nasai 4369, Ibnu Hudzaimah 2912, dishahihkan syaikh
al-Albani di dalam al-Misykah 1465, Shahih Abu Dawud 2497).
Kecuali terjadinya cacat
setelah diserahkan kepada panitia sebagaimana hal ini di dampaikan Syaikh
Utsaimin:
Syekh Ibnu Utsaimin
rahimahullah berkata, “Misalnya adalah, seseorang membeli seekor kambing untuk
kurban, kemudian kakinya patah dan dia tidak dapat berjalan seperti
kambing-kambing lainnya yang sehat, sementara kambing itu sudah ditetapkan
sebagai hewan kurban. Dalam kondisi seperti ini, hendaknya pemiliknya tetap
menyembelihnya dan hal itu dianggap sah. Karena, saat hewan tersebut mengalami
cacat, maka dia menjadi amanah seperti barang titipan (wadiah), jika dia
merupakan amanah sedangkan cacatnya tidak terjadi karena faktor kesengajaannya
atau kelalaiannya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk menggantinya dan dia
tetap sah sebagai kurban.” (Syarhul Mumti’ hal juz 7 hal 515).
7) Menyembelih dengan tidak menyebut nama Allah atau dengan menyertakan
yang lainnya.
Berdasarkan firman Allah
Ta’ala :
وَلَا
تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ .
“Dan janganlah kalian
memakan hewan-hewan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya
perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan..” ( QS. Al-An’am[6]:121)
Sebagian ulama
mengharamkan memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah.
Ada yang mengatakan
bahwa sembelihan dengan spesifikasi ini tidak halal,
baik tasmiyah ditinggalkan karena sengaja ataupun lupa. Pendapat ini
diriwayatkan dari Ibnu Umar, Nafi' maulanya, Amir Asy-Sya'bi, dan Muhammad ibnu
Sirin. Juga menurut suatu riwayat dari Imam Malik dan suatu riwayat dari Imam
Ahmad bin Hambal yang didukung oleh sejumlah murid-muridnya dari kalangan ulama
terdahulu dan ulama sekarang. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-AN’am [6]:121).
Sebagian lagi mereka
menyembelih binatang kurban atau yang lainnya dengan menyebut Allah dan
menyertakan selainnya, seperti ucapan tambahan untuk mengirim leluhur, penguasa
lembah ini, gunung ini, laut ini dan lain-lain, semua ini tidak boleh dimakan.
Berdasarkan firman Allah
Ta’ala :
إِنَّمَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ
لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ
إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
“Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak (dalam keadaan) memberontak
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah[2]:173).
Diharamkan pula hewan
yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang ketika disembelih disebut
nama selain Allah, misalnya menyebut nama berhala-berhala, tandingan-tandingan,
dan azlam serta lain sebagainya yang serupa, yang biasa disebutkan oleh orang-orang
Jahiliah bila mereka menyembelih hewannya. (Tafsir Ibnu Katsir, QS.
Al-Baqarah[2]:173).
8) Tidak
pernah menyaksikan kurbannya.
Meskipun demikian ini
dibolehkan namun meninggalkan beberapa sunnah diantaranya:
1) Tidak
menyaksikan penyembelihan hewan kurbannya.
2) Tidak
tidak bisa menyembelih sendiri.
3) Tidak
bisa membagi secara sunnah, dimana sepertiga untuk dirinya, sepertiga
kerabatnya, sepertiga untuk hadiah atau peminta-minta.
4) Tidak
bisa memakan daging sembelihan kurbannya, dimana disunahkan untuk memakan
daging sembelihannya tersebut.
5)
Dapat menjadikan buruk sangka orang lain dengan
mengira tidak pernah berkurban.
Berdasarkan hadits Ibnu
Abbas tentang tatacara kurban Nabi dan para sahabat:
وَيُطْعِمُ
أَهْلَ بَيْتِهِ الثُلُثَ وَيُطْعِمُ فُقَرَاءَ جِيْرَانِهِ الثُّلُثَ
وَيَتَصَدَّقُ عَلَى السؤال بالثلث.
"Beliau memberi makan
sepertiga untuk keluarganya, dan memberi makan tetangganya yang miskin
sepertiga dan sepertiga di sedekahkan kepada para peminta-minta.” (Diriwayatkan dari Abu
Musa di dalam al-Wazha’if dan
beliau menghasankan sebagaimana di dalam Al-Mugni 8/632).
9)
Memberi upah kepada panitia, jagal atau siapapun yang
berkecimpung dengan daging kurban.
Diamana Ali radiyallahu
‘anhu tidak memberi apapun kepada jagal tersebut, baik daging, kulit, kepala
dan lainnya, melainkan memberinya upah uang.
Dari Ali bin Abi Thalib
beliau berkata:
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا
وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ
مِنْ عِنْدِنَا.
“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan
daging, kulit, dan jilalnya. Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil
sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah
kepada tukang jagal dari uang kami sendiri.” (HR. Bukhari 1707, Muslim 1317).
Di
dalam menjelaskan hadits ini, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
وأن
لاَ يُعْطِيَ
الْجَزَّارَ مِنْهَا لِأَنَّ عَطِيَّتَهُ عِوَضٌ عَنْ
عَمَلِهِ فَيَكُونُ فِي مَعْنَى بَيْعِ جُزْءٍ مِنْهَا وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ ,وَفِيهِ جَوَازُ الِاسْتِئْجَارِ عَلَى
النَّحْرِ وَنَحْوِهِ .
“Tukang
jagal (atau siapapun yang berkecimpung dalam penyembelihan) tidak boleh diberi
upah dari hewan qurban, karena upah tersebut merupakan ganti dari pekerjaannya,
maka yang demikian sama halnya dengan menjual bagian dari hewan qurban
tersebut, demikian itu tidak boleh, dibolehkan memberi upah (berupa uang)
kepada penyembelih atau semisalnya (siapapun yang terlibat().” (Sharh Shahih
Muslim, jilid 9, hal. 65, Maktabah Islamiyah).
Adapun
memberi sedekah kepada panitia sebagai mana bagian masyarakat yang lain baik
yang membantu ataupun tidak hal ini tidak mengapa karena hal itu tidak ada
kaitannya dengan kepanitiaannya.
10)
Menjual bagian-bagian dari kurban
seperti kepala, kulit, maupun dagingnya.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ
أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Orang yang
menjual kulit hewan kurban, maka tidak ada kurban baginya. (HR Al-Baihaqi
19233, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu
al-Jami’ 6118).
Berkata Ibnu Daqiqil’id
berkata:
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْجُلُودَ تَجْرِي مَجْرَى اللَّحْمِ
فِي التَّصَدُّقِ لِأَنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ مَا يُنْتَفَعُ بِهِ. فَحُكْمُهَا
حُكْمُهُ..
“Ini menunjukkan bahwasanya kulit berlaku sebagaimana diperlakukannya daging dalam mensedekahkan, hal ini karena termasuk apa yang dimanfaatkan dengannya, maka hukumnya sama dengan hukum daging tersebut.” ( Ihkamul- Ahkam, Syahu ‘Umdatu Al-Ahkam Jus 2 hal 82).
Adapun jika kulit tersebut
dihadiahkan kepada pantiasuhan atau yayasan kemudian mereka menjualnya ada yang
mengatakan hal itu tidak mengapa, meskipun yang lebih utama diberikan indifidu
agar manfaatkan.
Wallahu ta’ala ‘alam.
Demikianlah semoga bermanfaat aamiin.
-----000-----
Sragen 31 Mei 2025.
Junaedi Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar