Sabtu, 31 Mei 2025

BERKURBAN SESUAI SYAR'I


 


 

BAB 1

HIKMAH DAN KEUTAMAAN BERKURBAN  

1.   Amalan yang paling utama di bulan Dzulhijah.

Allah ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.

“Dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan sembelihlah kurban.” (QS. Al-Kautsar[108]:2).

وَالْفَجْرِ. وَلَيَالٍ عَشْرٍ.

“Demi fajar. Demi malam yang kesepuluh.” (QS. Al-Fajar[89]:1-2).

Pendapat para sahabat seperti Ali, Ibnu Abbas, ‘Ikrimah, dan juga Mujahid memaksudkan ayat di atas yaitu Fajar pada hari Nahr khusus, yaitu penutup dari sepuluh hari (awal bulan Dzulhijah). (Tafsir Ibnu Katsir QS.Al-Fajr [89]:1-2).

 Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ.

“Tidak ada hari yang lebih besar di sisi Allah tidak pula lebih dicintai beramal padanya dibandingkan sepuluh hari ini (Dzulhijah).” (HR. Ahmad 6154, Tabrani al-Mu’jam 11116, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam At-Thargib wa Tharhib 1248).

Ketika Syaikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya, mana yang lebih utama 10 hari pertama dibulan Dzulhijah atau 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, beliau berkata:

أَيَّامُ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ أَفْضَلُ مِنْ أَيَّامِ الْعَشْرِ مِنْ رَمَضَانَ وَاللَّيَالِي الْعَشْرُ الْأَوَاخِرُ مِنْ رَمَضَانَ أَفْضَلُ مِنْ لَيَالِي عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ.

“Sepuluh hari Dzulhijah (siangnya) lebih utama dibandingkan sepuluh hari siangnya (di akhir) Ramadhan, dan sepuluh malam akhir Ramadhan lebih utama dibandingkan sepuluh maalam Dzulhijah.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul islam Ibnu Taimiyah 25/287).

2.   Bentuk syukur kepada Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfiman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ.

Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah terhadap rezeki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa hewan ternak. (QS. Al-Hajj[22]: 34).

3.   Mengagungkan syi’ar Agama Allah.

ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَـٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى ٱلْقُلُوبِ

“Demikianlah, dan barang siapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu berasal dari ketakwaan hati.”(QS. Al-Ḥajj [22]: 32).

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ.

“Daging-daging unta dan darahnya itu tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj [22]: 37).

4.   Mengenang sejarah kurban nabi Ibrahim.

Allah ta’ala berfirman:

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ . فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ  فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ . وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ . قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ  .إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ . وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ .

“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang- orang yang saleh.” “Maka Kami beri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Isma’il). “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata: "Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.?" Dia (Isma’il) menjawab: "Wahai ayahku, Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar." “Maka, ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah) Lalu Kami panggil dia: "Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.” “Sungguh demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS.As Shafat[37]: 100-107)

5.   Memberikan kegembiraan di hati kaum muslimin.

Banyak di antara kaum muslimin yang tidak mampu untuk membeli daging, baik kambing, sapi maupun onta, oleh karena itu ketika tiba hari kurban mereka senang mendapatkan daging kurban tersebut.

Allah ta’ala firman:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ.

"Maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah kepada orang yang sangat miskin." (QS. Al-Ḥajj [22]: 28)

Menurut Mujahid, الْبَائِسَ الْفَقِيرَ ialah orang miskin yang tidak mau meminta-minta. (Tafsir Ibnu Katsir, QS Al-Hajj [22]:28).

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ .

"Makanlah sebagian darinya dan berilah makan orang yang merasa cukup dan orang yang meminta.." (QS. Al-Ḥajj [22]: 36).

Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah ta’ala الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ, bahwa qani' artinya orang yang tidak meminta-minta (padahal ia memerlukannya), sedangkan mu'tar artinya orang yang meminta. Ini menurut pendapat Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, dan Mujahid, menurut suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas. (Tafsir Ibnu Katsir, QS Al-Hajj [22]: 36).

 

-----000-----

 

 

BAB 2

HUKUM SEPUTAR KURBAN

 1.   Pengertian kurban (udhhiyyah).

Secara bahasa berkurban udhhiyyah  adalah: menyembelih qurban di waktu dhuha.

Adapun secara istilah (syar’i) adalah: hewan ternak yang disembelih berupa unta, sapi atau kambing untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari raya. ( Fikih Muyassar, Al-Waziz).

2.   Syari’at berkurban.

Syari’at qurban telah ditetapkan di dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya dan ijma’ kaum muslimin. (Fikih Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal, bin as-Sayyid Salim).

Allah ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.

“Dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan sembelihlah kurban.” (QS. Al-Kautsar[108]:2).

Diriwayatkan dari Anas, ia berkata:

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kambing kibasy yang berwarna putih dan bertanduk. Beliau menyembelih dengan tangannya,  dengan mengungucapkan: “Bismillah dan bertakbir, beliau meletakkan kakinya di atas bagian leher samping keduannya.” (HR. Bukhari 5565,  Muslim 1966, Ahmad 13681).

3.   Hukum berkurban.

Ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, diantara pendapat tersebut:

Pertama: wajib bagi yang mampu, Menurut Imam Abu Hanifah, Rabi’ah Ar-Ra’yi, Al-Auza’i, Lait bin Sa’ad dan sebagian madzhab maliki qurban hukumnya adalah wajib dilakukan setiap tahun bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan dan tidak sedang dalam perjalanan.

Di antara dalil yang dijadikan dasar wajibnya bagi yang mampu adalah hadits riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا.

“Barang siapa yang memiliki kelapangan namun ia tidak berqurban maka jangan mendekati masjid kami.” (Ibnu Majah 3123, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 6490).

وَهَذَا كَالْوَعِيدِ عَلَى تَرْكِ التَّضْحِيَةِ, وَالْوَعِيدُ إِنَّمَا يَكُونُ عَلَى تَرْكِ الْوَاجِبِ.

“Hadis ini bentuknya ancaman bagi orang yang meninggalkan kurban, dan ancaman itu berlaku karena meninggalkan sesuatu yang wajib.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah).

Dalil yang lain

Dari Jundab bin Sufyan al-Bajali, ia berkata, "Pada hari nahr saya pernah menyaksikan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا أُخْرَى, وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ.

"Barangsiapa menyembelih (binatang qurban) sebelum shalat, maka hendaklah ia mengulangi (menyembelih lagi) sebagai gantinya, dan barangsiapa yang belum menyembelih, maka menyembelihlah.” (HR. Bukhari 5562, Muslim 1960).

Sisi dalil wajib bagi yang mampu yaitu, asal perintah adalah wajib, andaikan perkara ini sunnah tentu tidak disuruh mengulangi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu padanya, bila hal itu tidak dilakukan maka dia berdosa karena Allah menyebutkan bergandengan dengan shalat di dalam firmannya:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.

“Dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan sembelihlah kurban.” (QS. Al-Kautsar[108]:2).

Dan juga firmannya:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.

“Katakanlah, sesungguhnya shalatku ibadahku (sembelihanku) hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am[6]: 162).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah mengatakan:

فَالْقَوْلُ بِالْوُجُوبِ أَظْهَرُ مِنَ الْقَوْلِ بِعَدَمِ الْوُجُوبِ, لَكِنْ بِشَرْطِ الْقُدْرَةِ

“Maka pendapat yang mengatakan wajib lebih kuat dari pendapat yang mengatakan tidak wajib akan tetapi dengan syarat bagi yang mampu.”  (Syarhul Mumti’ ‘ala dzadi al-Mustaqni’ 7/422, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin wafat 1421 H).


Kedua, Sunnah muakkad, menurut ulama Malikiyah, Syafiiyah, Hanabilah dan mayoritas para ulama berpendapat bahwa qurban hukumnya adalah sunnah muakkad atau sangat dianjurkan.

Diantara dalil yang menunjukkan hal itu, dari Umu salamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا.

"Bila telah memasuki 10 (hari bulan Zulhijjah) dan apa bila salah seseorang dari kalian ingin berkurban, maka janganlah dia memotong rambut dan kukunya.” (HR. Muslim 1977, Ibnu Majah 3149).

Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan:

إِنِّي لَأَدَعُ الْأَضْحَى وَأَنَا مُوسِرٌ مَخَافَةَ أَنْ يَرَى جِيرَانِي أَنَّهَا حَتْمٌ عَلَيَّ

“Sesungguhnya aku sedang tidak akan berkurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira kurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Baihaqi 1815, Abdurrazaq 8149, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam al-Irwa’ 11139).

Dari Ḥudzaifah bin Asid, ia berkata:

رَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَمَا يُضَحِّيَانِ مَخَافَةَ أَنْ يُسْتَنَّ بِهِمَا.

 

“Aku melihat Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma mereka tidak berkurban, karena khawatir (jika mereka berkurban) orang-orang akan menjadikannya sebagai kebiasaan (yang wajib ditiru).” (HR. Baihaqi 19035, Thabrani di dalam al-Mu’jam 3058 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam al-Irwa’ 1139).

Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa kurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454).

Inilah pendapat yang kuat yaitu sunnah muakkad (sangat dianjurkan).

Meskipun demikian, dalam kaidah ushul fiqh dikenal sebuah kaidah yang berbunyi:

 الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ.

”Dianjurkan untuk keluar dari perkara yang diperselisihkan “ (Syarah matan Abu Suja’ 21/11).

Walaupun ada persamaan dan perbedaan pada empat Imam Mazhab, para ulama bersepakat apabila ada nazar bagi seorang muslim untuk berkurban maka wajib dilakukan. jika tidak maka akan berdosa.

Hal-hal yang penting diketahui orang yang berkurban:

1.   Orang yang berkurban tidak boleh memotong rambut dan kukunya.

Orang-orang yang akan berkurban tidak boleh memotong rambut, kuku, atau mengupas kulitnya atau mengguntingnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ.

“Siapa saja yang ingin berkurban apabila telah memasuki awal Dzulhijah, maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berkurban.” (HR. Muslim 1977, Tirmidzi 1523 Abu Dawud 2791).

Sebagian orang memahami hal ini adalah binatang kurbannya, tentu ini tidak benar karena dzamir-dzamir itu kembalinya kepada yang berakal.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Wajib tidak memotongnya dan haram baginya memotongnya, sebab posisi dia pada saat itu mirip dengan orang yang menggiring hewan kurban (ke Mekkah di dalam beribadah haji). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ.

“Janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu sebelum hewan kurban sampai pada tempat penyembelihannya “ (QS. Al-Baqarah[2]: 196). (Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Khalid Al-Juraisy).

Syekh Bin Baz rahimahullah berkata, “Adapun keluarga orang yang berkurban, mereka tidak terkena kewajiban apa-apa, mereka tidak dilarang mencukur rambut dan kulitnya menurut pendapat ulama yang lebih shahih. Hukum ini secara khusus hanya berlaku bagi orang yang berkurban, yaitu orang yang membeli kambing secara khusus untuk kurban dari hartanya.” (Fatawa Islamiyah, 2/316).

2.   Syarat disyari’atkan bagi orang yang berkurban.

1)   Islam.

2)   Balig.

3)   Berakal.

4)   Memiliki kemampuan. (Fikih Muyassar).

 

3.   Jenis hewan yang dipakai untuk berkurban.

Hewan kurban yang disembelih hendaknya berupa unta, sapi dan kambing. (Fikih Muyassar).

Para ulama’ menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975).

Allah ta’ala berfirman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ.

"Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak.” (QS. AL-Hajj [22]:34).

Dari ‘Atha’ bin Yasar, ia berkata“Aku pernah bertanya pada Ayyub Al Anshari, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab:

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ,فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ.

“Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi 1505, Ibnu Majah 3125, dishahihkan syaikh al-Albani shahih Ibnu Majah 3147).

Adapun jenisnya yaitu onta untuk 10 orang dalam riwayat lain 7 orang. Diriwayatkan dari Jabir ibn Abdullah, ia berkata:

نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحُدَيْبِيَةَ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ.

“Kami menyembelih hewan qurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang, dan sapi untuk tujuh orang.” (HR. Muslim 1318, Ahmad 14127, Ibnu Majah 3132).

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي البَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِي الجَزُورِ عَشَرَةً .

“Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, kemudian datanglah hari raya Adlha, lalu kami berpatungan menyembelih lembu untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang.” (HR.Tirmidzi 905 dan di shahihkan syaikh al-Albani di dalam shahih Ibnu Majah 3131).

Rasullullah sallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkurban untuk dirinya dan umatnya Beliau shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي.

“Dengan menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini dariku dan semua umatku yang tidak mampu berkurban.” (HR. Ahmad 4628, Abu Dawud 2810 dan di shahihkan syaikh al-Albani di dalam shahih Abu Dawud 2491, 2501).

Dari hadits-hadits di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seekor unta boleh untuk satu orang dan maksimal sepuluh orang, sedang satu lembu boleh diqurbankan untuk satu orang dan maksimal untuk tujuh orang.

Kambing satu orang dan boleh untuk bersama keluarganya sebagaimana hadits Abu Ayyub al-Anshari.

4.   Syarat hewan kurban.

umur:

1)   Untuk unta hendaknya berumur genap lima tahun.

2)   Untuk sapi berumur genap dua tahun.

3)   Untuk kambing berumur satu tahun. (Fikih Muyassar).

Adapun umur hewan qurban tersebut yaitu musinah, bagi onta yang sudah lima tahun, sapi dua tahun dan kambing satu tahun, domba enam bulan.

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم, لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah. Kecuali jika terasa sulit bagi kalian, maka sembelihlah jadza’ah dari domba.” (HR.Muslim 1963, Abu Dawud 2797).

Kecuali dalam keadaan kesulitan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ

"Janganlah kalian menyembelih (kurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza'ah." (HR. Muslim 1963, Ibnu Majah 3141).

Musinnah disebut juga dengan tsanyyah (yang menanggalkan gigi seri).

Dibolehkan Jadza’ah’ yaitu domba yang telah berusia enam hingga satu tahun, berdasarkan hadits Uqbah bin Amir, dia berkata:

فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ أَصَابَنِي جَذَعٌ, فَقَالَ: ضَحِّ بِهِ

"Wahai Rasulullah, aku diberi bagian (ghanimah) domba jadza’,  beliau menjawab, 'Berkurbanlah dengannya.” (HR. Muslim 1965, Tirmidzi 1500).

Tidak cacat.

Disyaratkan pada hewan kurban unta, sapi, dan kambing harus bebas dari cacat yang menyebabkan dagingnya berkurang, sehingga tidak kurus kering, pincang, cacat matanya, dan sakit sehingga tidak sah hewan kurbannya.

Berdasarkan hadits al-Bara' bin Azib dari Nabí shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِيِّ: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرَةُ الَّتِي لَا تُنْقِي.

"Empat kriteria hewan yang tidak sah di dalam hewan kurban: hewan buta sebelah yang jelas buta sebelahnya, hewan sakit yang jelas sakitnya, hewan pincang yang jelas pincangnya, dan hewan kurus kering yang tidak bersumsum (yakni tidak berdaging). " (HR Ibnu Majah 3144, Nasai 4369,  Ibnu Hudzaimah 2912, dishahihkan syaikh al-Albani di dalam al-Misykah 1465, Shahih Abu Dawud 2497).

5.   Syarat orang yang menyembelih.

Seorang penyembelih hendaknya:

1)   Berakal.

Boleh laki-laki atau perempuan, sudah balig, atau belum namun sudah tamziz, Ini adalah madzhab jumhur ulama seperti Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabillah, dan Syafi’iyyah. Adapun Ibnu Hazm mensyaratkan baligh(fikih Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal, bin as-Sayyid Salim).

2)   Seorang muslim.

Adapun ahlul kitab khusus penyembelihan kurban tidak dibolehkan karena hal ini adalah ibadah, sedang ibadah orang kafir tidak syah.

Hendaknya shalat karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ  فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.

“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.” (HR. Ahmad 22937, Tirmidzi 2621, Ibnu Majah 1079, di Shahihkan Syaikh al-Albani di dalam al-Misykah 574).

Adapun secara umum sembelihan Ahlul kitab halal dalilnya adalah:

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ.

Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan makananmu halal (juga) bagi mereka. (QS. Al-Maidah [5]:5).

Ibnu Abbas, Abu Umamah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Ata’, Al-Hasan, Mak-hul, Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, yang dimaksud dengan makanan di sini adalah sembelihan mereka orang-orang Ahli Kitab.(Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Maidah[5]:5).

3)   Hendaknya menyebut nama Allah.

Sebagaimana perkataan jumhur yang mensyaratkan hal ini. (fikih Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal, bin as-Sayyid Salim).

4)   Tidak menyertakan di dalam menyembelih pengagungan kepada selain Allah.

Apa bila diketahui dengan menyebut selain Allah maka hal itu tidak boleh, semisal dengan menyebut isa alaihi wa sallam, mengirim leluhur dan lain-lain.

5)   Dianjurkan orang yang berkurban untuk menyembelih sendiri.

Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun apabila mewakilkan hal itu syah. 

6.   Syarat alat untuk menyembelih.

1)   Hendaknya apa yang bisa memutuskan. Bisa dari besi seperti pisau, golok, parang, sabit dan lainnya.

2)   Dari batu dan juga kayu, hal itu bila dapat memutuskan atau mengalirkan darahnya (dalam kondisi darurat).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَّ امْرَأَةً ذَبَحَتْ شَاةً بِحَجَرٍ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا.

”Bahwasannya seorang wanita menyembelih seekor kambing dengan menggunakan batu. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ditanya mengenai hal itu, dan kemudian beliau memerintahkan untuk memakannya” (HR. Bukhari 5504, Ibnu Majah 3182).

3)   Hendaknya dihindari menyembelih dengan menggunakan kuku dan tulang karena Nabi melarang hal itu. 

Dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ فَكُلْ لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفْرَ وَأُمَافَ السِّنُّ فَعَظْمٌ وَأَمَّا الظُّفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ.

"Apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebut nama Allah saat menyembelihnya, maka makanlah. Tetapi jangan (menyembelih) dengan gigi dan kuku. Adapun gigi adalah tulang, dan kuku adalah pisau (alat sembelih) orang-orang Habasyah (yang tidak tajam dan menyiksa)." (HR. Bukhari 2488, Muslim 1968).

7.   Waktu penyembelihan.

Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ.

“Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat, maka ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat (Idul Ad ha’), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan sunnah kaum muslimin.” ( HR. Bukhari 5546, Muslim 1961).

Dari Jundab, ia menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau berkhutbah dan bersabda:

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى, وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ .

“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘ied, hendaklah ia mengulanginya. Dan yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih dengan menyebut ‘bismillah’.” (HR.Bukhari 7400).

Dari Al-Bara’ bin ‘Azib, dia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi was salam  bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ نَحَرَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسْكِ فِي شَيْءٍ.

“Sesungguhnya pertama yang akan kita mulai hari ini adalah shalat, lalu kita kembali (pulang) kemudian menyembelih (kurban). Barangsiapa melakukan seperti itu, maka dia telah mencocoki Sunnah kita. Namun barangsiapa yang telah menyembelih sebelum shalat, maka itu adalah daging yang dia berikan untuk keluarganya. Bukan termasuk kurban sedikitpun.” (HR. Bukhari 965).

Menyembelih yang paling utama yaitu setelah shalat berdasarkan hadits di atas.

8.   Pembagian daging sembelihan.

1)   Dalil dari Al-Qur’an:

Allah ta’ala firman:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ.

"Maka makanlah sebagian darinya dan berikanlah kepada orang yang sangat miskin." (QS. Al-Ḥajj [22]: 28)

Menurut Mujahid, الْبَائِسَ الْفَقِيرَ ialah orang miskin yang tidak mau meminta-minta. (Tafsir Ibnu Katsir, QS Al-Hajj [22]:28).

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ .

"Makanlah sebagian darinya dan berilah makan orang yang merasa cukup dan orang yang meminta.." (QS. Al-Ḥajj [22]: 36).

Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah ta’ala الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ, bahwa qani' artinya orang yang tidak meminta-minta (padahal ia memerlukannya), sedangkan mu'tar artinya orang yang meminta. Ini menurut pendapat Qatadah, Ibrahim An-Nakha'i, dan Mujahid, menurut suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas. (Tafsir Ibnu Katsir, QS Al-Hajj [22]: 36).

2)   Dalil dari Hadits.

Dari Salamah bin al-Akwa‘ raḍiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ ضَحَّى مِنْكُمْ فَلاَ يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثَالِثَةٍ وَبَقِيَ فِي بَيْتِهِ مِنْهُ شَيْءٌ, فَلَمَّا كَانَ العَامُ المُقْبِلُ, قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ نَفْعَلُ كَمَا فَعَلْنَا عَامَ المَاضِي, قَالَ: كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا, فَإِنَّ ذَلِكَ العَامَ كَانَ بِالنَّاسِ جَهْدٌ, فَأَرَدْتُ أَنْ تُعِينُوا فِيهَا.

“Barang siapa di antara kalian yang berkurban, maka jangan sampai pagi hari setelah hari ketiga masih ada daging kurban yang tersisa di rumahnya.” Ketika datang tahun berikutnya, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kami lakukan seperti yang kami lakukan pada tahun lalu?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Makanlah, berilah makan (kepada orang lain), dan simpanlah. Karena pada tahun itu manusia mengalami kesulitan, dan aku ingin kalian membantu mereka.” (HR. Bukhari 5569, Ahmad 11543).

Dalam riwayat imam Muslim:

إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتِي دَفَّتْ فَكُلُوا وَادَّخِرُوا وَتَصَدَّقُوا.

“Sesungguhnya aku melarang kalian (dahulu menyimpan daging kurban) karena (kedatangan) orang-orang yang sedang mengalami kesulitan yang datang secara tiba-tiba. Maka sekarang makanlah, simpanlah, dan bersedekahlah.” (HR. Muslim 1917).

3)   Perkataan para Ulama.

Ibnu Katsir menyebutkan salah satu pendapat di dalam tafsirnya: Qurban dibagi menjadi tiga bagian, sepertiga untuk yang punya, sepertiga lainnya untuk ia hadiahkan, dan sepertiga yang terakhir untuk disedekahkan, karena berdasarkan firman Allah ta’ala. dalam ayat lainnya yang mengatakan:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ .

"Makanlah sebagian darinya dan berilah makan orang yang merasa cukup dan orang yang meminta.." (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Ḥajj [22]: 36).

Imam Ahmad berkata: "Kami berpegang kepada hadits dari Abdullah (Ibnu Mas‘ud), bahwa: 'Ia makan sepertiga, memberi makan kepada siapa yang dia kehendaki sepertiga, dan bersedekah dengan sepertiga kepada orang-orang miskin."

'Alqamah berkata: "Abdullah (Ibnu Mas‘ud) mengirimkan bersamaku hewan hadyu-nya, dan dia memerintahkanku untuk memakan sepertiganya, mengirimkan sepertiga kepada keluarga saudaranya, dan menyedekahkan sepertiga." (Kitab Kassyaf al-Qina‘ ‘an Matn al-Iqna‘ , Syaikh Manṣur bin Yunus al-Buhuti Wafat 1051 H, beliau bermadzhab Hambali).

Di dalam fikih Muyassar disebutkan: Dianjurkan membaginya menjadi tiga bagian, sepertiga untuk keluarganya, sepertiga untuk tetangga yang fakir dan miskin, sepertiga lagi untuk hadiah. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas tentang sifat udhhiyyah Nabi:

وَيُطْعِمُ أَهْلَ بَيْتِهِ الثُلُثَ, وَيُطْعِمُ فُقَرَاءَ جِيْرَانِهِ الثُّلُثَ, وَيَتَصَدَّقُ عَلَى السؤال بالثلث.

"Beliau memberi makan sepertiga untuk keluarganya, dan memberi makan tetangganya yang miskin sepertiga (hadiah), dan sepertiga di sedekahkan kepada para peminta-minta.” (Diriwayatkan dari Abu Musa di dalam al-Wazha’if dan beliau menghasankan sebagaimana di dalam al-Mugni 8/632).

Kesimpulan Cara Pembagian Daging Kurban.

1/3 dimakan sendiri dan keluarga.

1/3 dihadiahkan ke tetangga dan kerabat.

1/3 disedekahkan kepada fakir miskin.

 

9.   Adab-adab menyembelih.

1)   Menajamkan pisau sembelihan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ.

"Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat yang terbaik dalam segala sesuatu, maka apabila kamu membunuh, bunuhlah dengan cara yang terbaik, apabila kamu menyembelih, sembelihlah dengan cara yang terbaik, hendaklah setiap kalian menajamkan pisaunya dan membuat nyaman hewan sembelihannya." (HR. Muslim 1995, Abu Dawud 2815, Tirmidzi 1409).

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata:

مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَاضِعٍ رِجْلَهُ عَلَى صَفْحَةِ شَاةٍ وَهُوَ يَحُدُّ شَفْرَتَهُ وَهِيَ تَلْحَظُ إِلَيْهِ بِبَصرِها قَالَ:أَفَلا قَبْلَ هَذَا أَوَ تُرِيدُ أَنْ تُمِيتَهَا مَوْتَتَينِ.

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melewati seseorang yang meletakkan kakinya di atas badan samping seekor kambing sambil menajamkan pisaunya, sedang kambing itu melihat ke arah pisau, maka beliau bersabda: Mengapakah engkau tidak menajamkan pisau sebelum melakukan ini, apakah engkau ingin mematikannya dua kali?” (HR. TIrmidzi Al-Baihaqi 19141, Thabrani 3590, di sahihkan Syaikh al-Albani di dalam At-Targib wa Tarhib 2265).

2)  Memisahkan antara tempat penyembelihan dan tempat menempatkan binatang qurban.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

“Dan dianjurkan untuk tidak menajamkan pisau di hadapan hewan sembelihan, tidak boleh pula menyembelih seekor hewan di depan yang lainnya, dan tidak boleh menyeretnya ke tempat pemyembelihannya di depan yang lainnya.” (Syarhu Muslim 13/113)

3)  Menghadapkan kearah barat.

Dari bnu Sirin beliau berkata:

كَانَ يُسْتَحَبُّ أَنْ تُوَجَّهَ الذَّبِيحَةُ إِلَى الْقِبْلَةِ.

“Dahulu disukai mengarahkan sembelihan kearah kiblat.” (HR. Abdurrazaq, di dalam Mushanaf Abdurrazzaq As-Shan’ani 8587)

 

لَيْسَتْ شَرْطًا فِي الذَّبْحِ وَلَكِنَّهُ الْأَفْضَلُ, فَعَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَأْكُلَ ذَبِيحَةً ذُبِحَتْ لِغَيْرِ الْقِبْلَةِ.

Syaikh al-Albani berkata,  “Bukanlah hal itu sebagai syarat di dalam penyembelihan akan tetapi hal itu lebih utama.” Bahwa Ibnu Umar tidak suka memakan sembelihan yang ketika disembelih tidak diarahkan kearah kiblat.”(HR. Abdurrazaq 8585, Al-Baihaqi 9/280 di shahihkan Syaikh al-Albani, manasik haji dan umrah hal 8).

4)  Meletakkan kaki di atas sisi hewan sembelihan.

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata:

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih hewan kurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk. Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau, dengan mengucap basmalah dan bertakbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau di sisi-sisi kedua domba tersebut”  (HR.Bukhari 4387 Muslim 1966)

5)  Tempat bagian yang Disembelih.

Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: الذَّكَاةُ فِي الحَلْقِ وَاللَّبَّةِ .

Penyembelihan dilakukan di sekitar kerongkongan dan labah.” (HR.Abdrrazaq 8615, disebutkan pula di dalam shahih Bukhari 7/93).

Imam Nawawi rahimahullah berkata:

يُسْتَحَبُّ قَطْعُ الْوَدَجَيْنِ وَلَا يُشْتَرَطُ وَهَذَا أَصَحُّ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ. وَقَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ إِذَا قَطَعَ الْحَلْقُومَ وَالْمَرِيءَ وَالْوَدَجَيْنِ وَأَسَالَ الدَّمَ حَصَلَتِ الذَّكَاةُ وَاخْتَلَفُوا فِي قَطْعِ بَعْضِ هَذَا, فَقَالَ الشَّافِعِيُّ: يُشْتَرَطُ قَطْعُ الْحَلْقُومِ وَالْمَرِيءِ, وَيُسْتَحَبُّ قَطْعُ الْوَدَجَيْنِ.

Disunnahkan memotong dua urat leher (al-wadajain), namun tidak disyaratkan. Ini adalah pendapat yang paling kuat dari dua riwayat dari Imam Ahmad.

Ibnu al-Mundzir berkata: Para ulama telah sepakat bahwa jika seseorang memotong saluran napas (al-ḥalqUm), saluran makanan (al-mariʼ), dan dua urat besar di leher (al-wadajain) serta mengalirkan darah, maka penyembelihan (dzakah) dianggap sah.

Namun mereka berbeda pendapat jika hanya sebagian dari bagian-bagian itu yang dipotong. Maka Imam Syafi’i berkata: disyaratkan memotong saluran napas dan saluran makanan, dan disunnahkan memotong dua urat besar leher.  (Syarah Muslim Imam Nawawi 13/124).

Halqum = الحلقوم: saluran napas.

Mariʼ = المريء: saluran makanan.

Wadajain = الودجين: dua urat besar di leher kiri-kanan.

Nahr:    النَّحْرُ : Secara bahasa berarti: Menikam atau menyembelih di bagian pangkal leher (atas dada), yaitu bagian antara leher dan dada (اللبة).

6)  Menyebut basmalah dan bertakbir.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ.

“Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaithan itu mewahyukan kepada wali-walinya (kawan-kawannya) untuk membantah kalian.” ( QS. Al-An’am[6]:121).

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata :

أَنَّ اَلنَّبِيَّ  صلى الله عليه وسلم  كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ, أَقْرَنَيْنِ, وَيُسَمِّي, وَيُكَبِّرُ.

“Rasulullah menyembelih hewan kurban dengan dua domba jantan. Beliau mengucap bismillah dan bertakbir.” (HR. Bukhari 5564, Ahmad 13714).

وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ, وَيَقُولُ: بِسْمِ اَللَّهِ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ

Dan dalam riwayat Muslim Beliau mengatakan, “Bismillah wallahu Akbar.”

7)  Batas akhir waktu penyembelihan.

Para ulama berbeda pendapat, ada yang menyebutkan tanggal sebelas, dua belas, tiga belas ada juga yang menyebutkan sebelas, dua belas.

Untuk kehati-hatian seorang melaksanakan penyembelihan kurban setelah hari Idul Adha sepuluh Dzulhijah sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan hal ini lebih selamat dari perselisihan para ulama yang ada. Jika sulit melakukan pada waktu tersebut, maka boleh melakukannya pada sebelas dan dua belasnya, sebagaimana pendapat jumhur ulama.


-----000-----


BAB 3

KESALAHAN SEPUTAR KURBAN.

Banyak sekali kesalahan yang terjadi di masyarakat berhubungan dengan kurban, diantara kesalahan tersebut:

1)  Berkurban sekali seumur dan salah satu anggota keluarga saja.

Banyak masyarakat punya anggapan demikian, sehingga bila sudah sekali dianggap cukup dan tidak mau lagi berkuban, padahal tidak demikian itu.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan sembelihlah kurban.” (QS. Al-Kautsar[108]:2).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap sepuluh tahun, selama sembilan tahun beliau selalu melakukan kurban, dan kesepuluhnya  beliau berhaji dan menyembelih hadyu sebanyak 100 onta.

Banyak ulama menyatakan dengan tegas bahwa Beliau sallallahu ʿalaihi wa sallam berkurban setiap tahun. Syekh Bin Baz -Semoga Allah Merahmatinya- berkata bahwa Beliau sallallahu ʿAlaihi wa sallam berkurban setiap tahun dengan dua ekor domba jantan bertanduk berwarna putih hitam; satu atas namanya dan keluarganya, dan yang kedua atas nama semua umatnya yang mengesakan Allah.” (Majmuʿ Fatawa Ibni Baz, 18/38). (lihat https://islamqa.info/ar/200562).

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihiw asallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا.

“Barang siapa yang memiliki kelapangan namun ia tidak berqurban maka jangan mendekati masjid kami.” (Ibnu Majah 3123, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 6490).

Rasullullah sallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkurban untuk dirinya dan umatnya Beliau shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

“Dengan menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini dariku dan semua umatku yang tidak mampu berkurban.” (HR. Ahmad 4628, Abu Dawud 2810 dan di shahihkan syaikh al-Albani di dalam shahih Abu Dawud 2491, 2501).

Dari ‘Atha’ bin Yasar, ia berkata “Aku pernah bertanya pada Ayyub Al Anshari, bagaimana kurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab:

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ.

“Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi 1505, Ibnu Majah 3125, dishahihkan syaikh al-Albani shahih Ibnu Majah 3147).

2)  Berkurban dikhususkan orang yang sudah meninggal.

Meskipun hal ini dibolehkan oleh sebagian para ulama dengan dikiaskan orang yang bersedekah kepada mayit, namun Rasulullah tidak pernah melakukan hal ini.

Keutamaan dan pahalanya juga dibatasi pada orang yang telah meninggal saja, sedangkan orang yang berkurban untuk dirinya yang masih hidup dan keluargannya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal maka kebaikkannya atau pahalanya akan mengenai semua sebagaimana hadits hadits di atas.

3)  Berkurban dengan cara beramai-ramai.

Islam adalah agama yang didasari dalil, termasuk di dalamnya bagaimana tata cara berkurban, yaitu dengan cara satu ekor unta untuk 1-10 orang, satu ekor sapi untuk1-7 orang, 1 ekor kambing 1 orang dan keluarganya.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata:

كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي البَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِي الجَزُورِ عَشَرَةً .

“Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, kemudian datanglah hari raya Adlha, lalu kami berpatungan menyembelih lembu untuk tujuh orang dan unta untuk sepuluh orang.” (HR.Tirmidzi 905 dan di shahihkan syaikh al-Albani di dalam shahih Ibnu Majah 3131).

Adapun yang dilakukan masyarakat dengan membayar satu sapi beramai-ramai satu RT, atau satu sekolahan.

Ini belajar menyembelih bukan kurban yang sesuai syari’at.

4)  Mencukur rambut dan memotong kuku.

Sebagian orang menganggap hal ini boleh dan tidak mengapa, padahal sebagian para ulama sampai mengharamkan orang yang mencukur rambut dan memotong kukunya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ.

“Siapa saja yang ingin berqurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijah , maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berqurban.” (HR. Muslim 1977, Tirmidzi 1523 Abu Dawud 2791).

5)  Hewan kurban belum cukup umurnya.

Ketentuan umurnya sudah disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihiw asallam yaitu musinah, bagi onta yang sudah lima tahun, sapi dua tahun dan kambing satu tahun, domba enam bulan.

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم, لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ اَلضَّأْنِ.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah. Kecuali jika terasa sulit bagi kalian, maka sembelihlah jadza’ah dari domba.” (HR.Muslim 1963, Abu Dawud 2797).

6)  Berkurban dengan hewan yang cacat.

Tidak diperkenankan berkurban dengan binatang yang cacat, berdasarkan hadits al-Bara' bin Azib dari Nabí shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِيِّ: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرَةُ الَّتِي لَا تُنْقِي.

"Empat kriteria hewan yang tidak sah di dalam hewan kurban: hewan buta sebelah yang jelas buta sebelahnya, hewan sakit yang jelas sakit- nya, hewan pincang yang jelas pincangnya, dan hewan kurus kering yang tidak bersumsum (yakni tidak berdaging). " (HR Ibnu Majah 3144, Nasai 4369,  Ibnu Hudzaimah 2912, dishahihkan syaikh al-Albani di dalam al-Misykah 1465, Shahih Abu Dawud 2497).

Kecuali terjadinya cacat setelah diserahkan kepada panitia sebagaimana hal ini di dampaikan Syaikh Utsaimin:

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Misalnya adalah, seseorang membeli seekor kambing untuk kurban, kemudian kakinya patah dan dia tidak dapat berjalan seperti kambing-kambing lainnya yang sehat, sementara kambing itu sudah ditetapkan sebagai hewan kurban. Dalam kondisi seperti ini, hendaknya pemiliknya tetap menyembelihnya dan hal itu dianggap sah. Karena, saat hewan tersebut mengalami cacat, maka dia menjadi amanah seperti barang titipan (wadiah), jika dia merupakan amanah sedangkan cacatnya tidak terjadi karena faktor kesengajaannya atau kelalaiannya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk menggantinya dan dia tetap sah sebagai kurban.” (Syarhul Mumti’ hal juz 7 hal 515).

7)  Menyembelih dengan tidak menyebut nama Allah atau dengan menyertakan yang lainnya.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ .

“Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan..” ( QS. Al-An’am[6]:121)

Sebagian ulama mengharamkan memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah.

Ada yang mengatakan bahwa sembelihan dengan spesifikasi ini tidak halal, baik tasmiyah ditinggalkan karena sengaja ataupun lupa. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Nafi' maulanya, Amir Asy-Sya'bi, dan Muhammad ibnu Sirin. Juga menurut suatu riwayat dari Imam Malik dan suatu riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal yang didukung oleh sejumlah murid-muridnya dari kalangan ulama terdahulu dan ulama sekarang. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-AN’am [6]:121).

Sebagian lagi mereka menyembelih binatang kurban atau yang lainnya dengan menyebut Allah dan menyertakan selainnya, seperti ucapan tambahan untuk mengirim leluhur, penguasa lembah ini, gunung ini, laut ini dan lain-lain, semua ini tidak boleh dimakan.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala :

 إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak (dalam keadaan) memberontak dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah[2]:173).

Diharamkan pula hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, misalnya menyebut nama berhala-berhala, tandingan-tandingan, dan azlam serta lain sebagainya yang serupa, yang biasa disebutkan oleh orang-orang Jahiliah bila mereka menyembelih hewannya. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Baqarah[2]:173).

8)  Tidak pernah menyaksikan kurbannya.

Meskipun demikian ini dibolehkan namun meninggalkan beberapa sunnah diantaranya:

1)   Tidak menyaksikan penyembelihan hewan kurbannya.

2)   Tidak tidak bisa menyembelih sendiri.

3)   Tidak bisa membagi secara sunnah, dimana sepertiga untuk dirinya, sepertiga kerabatnya, sepertiga untuk hadiah atau peminta-minta.

4) Tidak bisa memakan daging sembelihan kurbannya, dimana disunahkan untuk memakan daging sembelihannya tersebut.

5)   Dapat menjadikan buruk sangka orang lain dengan mengira tidak pernah berkurban.

Berdasarkan hadits Ibnu Abbas tentang tatacara kurban Nabi dan para sahabat:

وَيُطْعِمُ أَهْلَ بَيْتِهِ الثُلُثَ وَيُطْعِمُ فُقَرَاءَ جِيْرَانِهِ الثُّلُثَ وَيَتَصَدَّقُ عَلَى السؤال بالثلث.

"Beliau memberi makan sepertiga untuk keluarganya, dan memberi makan tetangganya yang miskin sepertiga dan sepertiga di sedekahkan kepada para peminta-minta.” (Diriwayatkan dari Abu Musa di dalam al-Wazha’if dan beliau menghasankan sebagaimana di dalam Al-Mugni 8/632).

9)  Memberi upah kepada panitia, jagal atau siapapun yang berkecimpung dengan daging kurban.

Diamana Ali radiyallahu ‘anhu tidak memberi apapun kepada jagal tersebut, baik daging, kulit, kepala dan lainnya, melainkan memberinya upah uang.

Dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata:

أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا.

“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya. Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri.” (HR. Bukhari 1707, Muslim 1317).

Di dalam menjelaskan hadits ini, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

وأن لاَ يُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا لِأَنَّ عَطِيَّتَهُ عِوَضٌ عَنْ عَمَلِهِ فَيَكُونُ فِي مَعْنَى بَيْعِ جُزْءٍ مِنْهَا وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ   ,وَفِيهِ جَوَازُ الِاسْتِئْجَارِ عَلَى النَّحْرِ وَنَحْوِهِ .

“Tukang jagal (atau siapapun yang berkecimpung dalam penyembelihan) tidak boleh diberi upah dari hewan qurban, karena upah tersebut merupakan ganti dari pekerjaannya, maka yang demikian sama halnya dengan menjual bagian dari hewan qurban tersebut, demikian itu tidak boleh, dibolehkan memberi upah (berupa uang) kepada penyembelih atau semisalnya (siapapun yang terlibat().” (Sharh Shahih Muslim, jilid 9, hal. 65, Maktabah Islamiyah).

Adapun memberi sedekah kepada panitia sebagai mana bagian masyarakat yang lain baik yang membantu ataupun tidak hal ini tidak mengapa karena hal itu tidak ada kaitannya dengan kepanitiaannya.

10)                    Menjual bagian-bagian dari kurban seperti kepala, kulit, maupun dagingnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ

“Orang yang menjual kulit hewan kurban, maka tidak ada kurban baginya. (HR Al-Baihaqi 19233, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 6118).

Berkata Ibnu Daqiqil’id berkata:

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْجُلُودَ تَجْرِي مَجْرَى اللَّحْمِ فِي التَّصَدُّقِ لِأَنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ مَا يُنْتَفَعُ بِهِ. فَحُكْمُهَا حُكْمُهُ..

“Ini menunjukkan bahwasanya kulit berlaku sebagaimana diperlakukannya daging dalam mensedekahkan, hal ini karena termasuk apa yang dimanfaatkan dengannya, maka hukumnya sama dengan hukum daging tersebut.” ( Ihkamul- Ahkam, Syahu ‘Umdatu Al-Ahkam Jus 2 hal 82).

Adapun jika kulit tersebut dihadiahkan kepada pantiasuhan atau yayasan kemudian mereka menjualnya ada yang mengatakan hal itu tidak mengapa, meskipun yang lebih utama diberikan indifidu agar manfaatkan.

Wallahu ta’ala ‘alam.

Demikianlah semoga bermanfaat aamiin.

 

-----000-----

 

Sragen 31 Mei 2025.

Junaedi Abdullah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUD AQIDATAKA BAB 5 SOAL: 3 FENOMENA KESYIRIKAN PADA MASYARAKAT.

  BAB 5 SYIRIK BESAR. SOAL: 3 FENOMENA KESYIRIKAN PADA MASYARAKAT.   م - هَلِ الشِّرْكُ مَوْجُودٌ فِي هٰذِهِ الأُمَّةِ . Soal: A...