Kamis, 28 Desember 2023

BERIMAN KEPADA PARA MALAIKAT

 

Malaikat adalah salah satu makhluk Allah yang di muliakan. Mengimaninya merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tertuang di dalam rukun iman yang ke dua, sebagaimana di dalam hadis Jibril ‘alaihi wa sallam.  Allah ta’ala juga menyebutkan di dalam Al Qur’an:

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ.

Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 285).

Penciptaan Malaikat

Malaikat diciptakan Allah ta’ala dari cahaya sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ.

“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari api yang menyala-nyala dan Adam diciptakan dari Sesuatu yang telah disebutkan (ciri-cirinya) untuk kalian.” (HR. Muslim 2996, Ahmad 25194).

Beriman Kepada Malaikat Memuat Empat Perkara:

Pertama: Mengimani wujud mereka.

Wajib bagi orang beriman percaya akan keberadaan mereka, yaitu kepercayaan yang pasti tentang keberadaan para malaikat. Tidak seperti yang dipahami oleh sebagian orang bahwa malaikat hanyalah kiasan lambang kebaikan atau semacamnya. Allah ta’ala telah menyatakan keberadaan mereka dalam firman-Nya yang artinya:

الْحَمْدُ لِلَّهِ فَاطِرِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ جَاعِلِ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا أُولِي أَجْنِحَةٍ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ يَزِيدُ فِي الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ .

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fatir [35]: 1)

Barangsiapa yang tidak beriman kepada mereka dan mengingkari eksistensi (wujud) mereka seperti yang diyakini oleh sebagian penganut filsafat maka dia telah kafir berdasarkan kesepakatan kaum Muslimin. Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا.

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa` [4]: 136).

Kedua: Mengimani nama-nama Malaikat yang telah kita ketahui.

Sedangkan Malaikat yang tidak diketahui namanya wajib kita imani secara global.

Ketiga: Mengimani sifat-sifat Malaikat yang kita ketahui.

Mengimani sifat-sifat Malaikat diantaranya:

·        Berwujud.

Malaikat diberi karunia untuk bisa berubah wujud menjadi manusia dengan izin Allah. Para Sahabat pun pernah menyaksikan Malaikat dalam wujud manusia. Seperti Jibril yang datang kepada Nabi shallalahu 'alaihi wa sallam dan disaksikan para sahabat.

·        Malaikat senantiasa taat dan tidak pernah maksiat.

وَلَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَنْ عِنْدَهُ لا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِ وَلا يَسْتَحْسِرُونَ . يُسَبِّحُونَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لا يَفْتُرُونَ.

“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih.  Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” QS. Al Anbiyaa' [21]: 19-20).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ.

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim [66]: 6).

Maksudnya, apa pun yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka, maka mereka segera mengerjakannya tanpa terlambat barang sekejap pun.[1]

·        Malaikat sangat kuat, Allah memberi kekuatan untuk menunaikan tugasnya.

Seperti misalnya sifat Jibril, dimana Nabi mengabarkan bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam pernah melihat Jibril dalam sifat atau wujud yang asli.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى جِبْرِيلَ لَهُ سِتُّمِائَةِ جَنَاحٍ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Jibril, dengan 600 sayap.” (HR. Bukhari 3232, Muslim 174).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا.

“…Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsyabain.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun juga.” (HR. Bukhari 3231, Muslim 1795).

فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ.

Tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Hud [11]: 82)

·       Besarnya malaikat pemikul Arsy yang berjumlah delapan.

Dari Jabir yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

أُذِنَ لِي أَنْ أُحَدِّثَ عَنْ مَلَكٍ مِنْ مَلَائِكَةِ اللَّهِ مِنْ حَمَلَةِ الْعَرْشِ: أَنَّ مَا بَيْنَ شَحْمَةِ أُذُنِهِ إِلَى عَاتِقِهِ مَسِيرَةُ سَبْعِمِائَةِ عَامٍ.

“Telah diizinkan bagiku untuk menceritakan kepada kamu tentang malaikat-malaikat pemikul 'Arsy, bahwa jarak antara daun telinganya sampai ke lehernya sama dengan jarak yang ditempuh selama tujuh ratus tahun.” (HR Abu Daud 4727, Tabrani 4421, di sahihkan Syaikh al-Albani di dalam as-Shahihah 151).

·        Banyaknya jumlah malaikat.

Di antara dalil yang menunjukkan banyaknya jumlah malaikat dan tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah ta’ala adalah sebuah hadits shahih tentang baitul makmur. (HR Abu Daud 4727, Tabran 4421, di sahihkan Syaikh al-Albani di dalam as-Shahihah 151).

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَرُفِعَ لِي البَيْتُ المَعْمُورُ، فَسَأَلْتُ جِبْرِيلَ، فَقَالَ: هَذَا البَيْتُ المَعْمُورُ يُصَلِّي فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ، إِذَا خَرَجُوا لَمْ يَعُودُوا إِلَيْهِ آخِرَ مَا عَلَيْهِمْ.

“Kemudian ditunjukkan kepadaku baitul ma’mur. Akupun bertanya kepada Jibril, beliau menjawab, “Ini Baitul Ma’mur, setiap hari ada 70.000 malaikat yang shalat di dalamnya. Setelah mereka keluar, mereka tidak akan kembali lagi, dan itu menjadi kesempatan terakhir baginya.” (HR. Bukhari 3207, Muslim 164).

Keempat: mengimani tugas-tugas mereka.

Kita mengimani apa yang Allah dan RasulNya beritakan kepada kita tentang tugas-tugas mereka, misalnya:

  1. Jibril ‘alaihissalaam bertugas menyampaikan wahyu dari Allah kepada para Rasul-Nya ‘alaihimussalaam.
  2. Mikail bertugas menurunkan hujan dan menyebarkannya.
  3. Israfil bertugas meniup sangkakala.
  4. Malaikat maut bertugas mencabut nyawa, adapun penyebutan Izrail ini tidak benar, yang benar adalah malaikat Maut. (QS. As-Sajdah[32]: 11)
  5. Malaikat pengawas dan pencatat amal perbuatan hamba, yang baik maupun yang buruk, sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam Al-Quran Surat Qaaf [50] ayat 18. Adapun Raqib dan Atid yang disebutkan pada ayat di atas merupakan tugas keduanya.
  6. Al-Mu’aqibat Ada yang bertugas menjaga hamba pada waktu bermukim atau bepergian, waktu tidur atau ketika jaga dan pada semua keadaannya, mereka adalah malaikat Al-Mu’aqqibat.
  7. Malaikat Ridwan bertugas menjaga surga.
  8. Malaikat Malik bertugas menjaga neraka dan merupakan pimpinan dari sembilan belas malaikat penjaga neraka (Surat Al-Muddatstsir [74]: 30).
  9. Para malaikat yang diserahi untuk mengatur janin di dalam rahim. Jika seorang hamba telah sempurna empat bulan di dalam perut ibunya, maka Allah ta’ala mengutus seorang malaikat kepadanya dan memerintahkannya untuk menulis rezekinya, ajalnya, amalnya dan sengsara atau bahagianya. (Muttafaqun ‘alaih)
  10. Malaikat Munkar dan Nakir, yang diserahi untuk menanyai mayit ketika telah diletakkan di dalam kuburnya.
  11. Malaikat pemikul Arsy yang berjumlah delapan.
  12. Malaikat yang menjaga di pintu-pint masjid pada hari jum’at.
  13. Malaikat yang mendatangi hamba di waktu pagi hari.
  14. Malaikat yang mendatangi tempat-tempat majelis ilmu.
  15. Malaikat-malaikat yang terus bersujud dan bertasbih kepada Allah ta’ala.

 



[1] (Tafsir Ibnu Katsir QS. At-Tahrim[66]:6).

Kamis, 21 Desember 2023

KHUTBAH JUM’AT PILAR-PILAR AKHLAQ.

 

1.   Pengertian akhlak:

Di dalam bahasa Arab kata “akhlaq” (أخلاق) adalah bentuk jamak dari kata “khuluq” (خلق), yang berakar dari kata kerja “khalaqa” (خلق), yang berarti “menciptakan”. Kata “khuluq” diartikan dengan sikap, tindakan, dan perbuatan.

Di dalam KBBI ahlaq diartikan secara sederhana, yaitu “budi pekerti, kelakuan, watak.”

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Akhlaq sebuah bentukan jiwa yang tertanam kuat, yang darinya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pertibangan dan pemikiran. (Minhajul Qhasidin, oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi).

2.   Kemuliaan akhlaq Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau memiliki akhlaq yang mulia, oleh karena itu Allah subhanahu wa ta’ala memuji di dalam berfirman-Nya:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al Qalam [68]: 4)

Allah memerintahkan agar kita meneladani Rasul-Nya.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21).

Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan dalil pokok yang paling besar, yang menganjurkan kepada kita agar meniru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. dalam semua ucapan, perbuatan, dan sepak terjangnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, (QS. Al-Ahzab[33]:21).

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكاَرِمَ اْلأَخْلاَقِ.

“Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Bukhari di dalam Adabul Mufrad 273, dishahihkan syaikh al-Albani dalam Silsilah As-Shahihah 45).

3.   Kesaksian orang yang dekat maupun yang memusuhi Beliau.

Diantara kesaksian tersebut:

Saat merenovasi kakbah.

Mereka berselisih tentang siapa yang berhak meletakkan hajar aswad, ketika Rasulullah datang, orang-orang berseru, telah datang orang yang amanah (terpercaya).” (Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Syafiyyurrahman al-Mubarakfury).

Kesaksian dari Abu Sufyan dihadapan raja Rum, yang di waktu itu masih menjadi orang kafir.

“Apa yang diperintahkannya kepada kalian?” Abu Sufyan menjawab, “Ia memerintahkan kami agar menyembah Allah saja dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Melarang menyembah Tuhan-Tuhan nenek moyang kami. Memerintahkan shalat, sedekah, menjaga kehormatan diri, memenuhi janji, dan menunaikan amanah.” (Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Syafiyyurrahman al-Mubarakfury).

Kesaksian orang-orang Quraiys ketika Rasulullah diperintahkan untuk berdakwah terang-terangan.

Ketika belaiu naik kebukit Shafa, mereka percaya terhadap apa yang di sampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kesaksian umul mukminin ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, dari Al-Hasan ia berkata: Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia menjawab:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ.

“Akhlaknya adalah Al-Qur’an.” (HR. Ahmad 25813, Shahih menurut Syaikh Syu’aib Al-Arnauth, dishahihkan syaikh al-Albani di dalam Shahihu Al Jami’ 4811).

 

4.   Keutamaan memiliki akhlaq yang baik. diantaranya:

1)  Menjadikan kecintaan Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ.

“Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS. An-Nahl[16]:128).

ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ.

“Sayangilah orang-orang yang ada di bumi, maka orang-orang yang ada di langit akan menyayangimu.” (HR. Tirmidzi 1924, Baihaqi 17905, Dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash Shahihah 925).

2)  Akan menjadi pemberat timbangan pada hari kiamat.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ. 

"Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan (amalan) seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlaq yang mulia." (HR. Tirmidzi 2002, di hasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahihah 876).

Bagaimana seseorang berkata yang baik, tersenyum, bersabar dan lainnya yang semua ini tanpa dirasa merupakan tumpukan-tumpukan pahala yang sangat besar.

3)  Paling banyak memasukkan manusia kedalam surga.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke surga sebagaimana disebutkan dalam sebuah atsar:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ  تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ. وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ  الْفَمُ وَالْفَرْجُ.

“Taqwa kepada Allah dan bagusnya akhlak.” Dan beliau ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka, maka beliau bersabda: “mulut dan farji (kemaluan).” (HR Tirmidzi 2004, Abu Dawud 2596, Ibnu Majah 4246. Dihasankan syaikh al-Albani, Lihat As-Shahihah 977).

4)  Menunjukkan kesempurnaan dan kemuliaan iman seseorang.

Baiknya akhlaq seseorang menunjukkan kesempurnaan imannya, sedangkan orang yang sempurna imannya memiliki keutamaan yang besar, di sisi Allah ta’ala, Rasulullah sallallahu ‘alaaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا .

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya, dan yang paling baik di antara kamu sekalian adalah yang paling baik akhlaqnya terhadap isteri-isterinya.” (HR. Ahmad 7402, Tirmidzi 1162, Abu Dawud 4682 dihasan oleh syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 284).

Ilmu yang tinggi hafalan yang banyak hendaknya diiringi dengan akhlaq yang mulia sehingga dapat menyempurnakan imannya dan mudah diterima masyarakat.

Masih banyak lagi keutamaan akhlaq yang baik lainnya.

 

5.   PIlar-pilar akhlaq yang baik.

Ibnu Rajab al-Hambali menukil dari dari Muhammad bin Zaid, dimana akhlaq memiliki Rukun (pilar-pilar) yang berjumlah 4, yaitu:

1.   Menjaga lisan.

Dimana lisan akan meninggikan derajat seseorang di surga atau akan menjerumuskannya kedalam neraka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت.

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari 6018, Muslim 47).

 

Maksudnya adalah menjaga dan menahan lisan dari suatu pembicaraan, kecuali jika di dalamnya mengandung faedah. Sabda Nabi : “… maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” Di dalamnya mengandung ajakan agar seorang Muslim berpikir terlebih dahulu sebelum mengucapkan sesuatu.

 

Barangsiapa yang tidak mampu menjaga lisannya, berarti dia bukan termasuk orang yang memiliki akhlaq yang baik.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ.

“Sesungguhnya seorang hamba berkata dengan satu kalimat dengan kalimat itu menjerumuskan dirinya kedalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhari 6477, Muslim 2988).

 

2.   Meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.

 

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi 2317 Ibnu Majah 3976. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

 

Orang yang penuh dengan  kecurigaan adalah orang yang tidak memiliki adab dan akhlak yang baik. Karena kecurigaan akan mendorong perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain, sikap seperti ini telah mengeluarkan seseorang untuk memiliki keistimewaan adab dan akhlaq yang baik.

 

3.   Tenang dan mampu menahan diri, terutama disaat marah.

Untuk memiliki akhlaq yang baik seseorang harus mampu mengendalikan dirinya, oleh karena itu Rasulullah memberi nasehat demikian itu.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu  bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَوْصِنِيْ ، قَالَ : لَا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : لَا تَغْضَبْ.

“Berilah aku wasiat” Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!”


لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ.

“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, sungguh orang yang kuat adalah yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (Bukhari 6114, Muslim 2609).

 

4.   Selamatnya hati.

Hendaknya seseorang yang memiliki akhlaq baik mendasari kecintaan kepada sesama, hendaknya menjauhkan diri dari sifat hasad, iri, dengki, dendam dan juga kebencian tanpa alasan yang dibenarkan syari’at.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه.

“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari 13, Muslim 45).

Hadits ini dijadikan sandaran oleh para ulama dalam bab akhlak, yaitu hendaknya hati seseorang itu selamat dari sifat-sifat yang tidak terpuji, baik berupa dengki, hasad dan berbagai macam penyakit hati yang lain. Oleh karena itu, selamatnya hati adalah sandaran utama dari tegaknya akhlak yang baik. Adapun bagi seseorang yang di dalam hatinya ada penyakit-penyakit yang jelek serta isi batin yang rusak, maka tidak akan mungkin akan bisa menjadi orang yang berakhlak baik, karena rusak dan melencengnya hati akan tampak pada sisi lahirnya. (Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrozzaq bin Abdil Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala dengan berbagai tambahan).

 

Adapun berakhlak mulia kepada sesama hamba ialah dengan menempuh cara sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Mubarak tercakup dalam tiga ungkapan berikut ini:

1.   Kafful adza (menahan diri dari mengganggu): yaitu dengan tidak mengganggu sesama baik melalui ucapan maupun perbuatannya.

2.   Badzlu nada (memberikan kebaikan yang dipunyai): yaitu rela memberikan apa yang dimilikinya berupa harta atau ilmu atau kedudukan dan kebaikan lainnya.

Thalaqatul wajhi (bermuka berseri-seri, ramah): dengan cara memasang wajah berseri apabila berjumpa dengan sesama. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/457).


Demikianlah semoga bermanfaat, Aamiin.

 

Junaedi Abdullah.

 

 

Rabu, 20 Desember 2023

DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM.

DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM.

Dari jaman kejaman manusia adalah makhluk sosial, mereka saling bahu-membahu dan tolong-menolong, tidak terkecuali mereka juga membutuhkan kepemimpinan di dalam menggerakkan peradaban mereka dan mengatur urusan-urusan mereka.

1.   Asal-muasal demokrasi.

Demokrasi muncul pada tahun 507-508 sebelum Masehi, yang dipimpin oleh Cleisthenes di negara Athena.(Wikipedia).

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu 'Demos' dan 'Kratos' yang memiliki arti kekuasaan rakyat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya menentukan pilihannya, baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu dengan perantara wakilnya yang terpilih.

Demokrasi mengusung dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, sehingga hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat.

2.   Demokrasi dalam pandangan islam.

Demokrasi apabila diukur dengan kaca mata syari’at islam akan tampak kelemahannya:

1)   Demokrasi akan menyamaratakan jenis manusia, seorang alim akan sama dengan orang jahil, orang ta’at akan disamakan dengan orang fasik. Orang beriman kan didamakan dengan orang kafir, bahkan tidak sedikt orang yang gila pun diambil suaranya.

2)   Maka jelas orang-orang yang fasiq, kafir dan musyrik tentu lebih banyak dibanding yang alim ta’at dan beriman.

Belum lagi mereka dengan segala cara membeli suara-suara masyarakat dengan menyuap mereka, dan berusaha merebut kekuasaan dengan segala cara, ini akan memakmurkan suap menyuap pada sebuah masyarakat.

Dari Abdullah bin 'Amr, dia menceritakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي.

"Laknat Allah subhanahu wa ta’ala kepada pemberi suap dan penerima suap." (HR Ahmad).



Setelah yang buruk mendominasi (memenangkan) karena jumlahnya lebih banyak, suara orang-orang yang baik akan kalah dan tenggelam.

3)   Kemudian yang buruk ini akan menentukan arah hukum karena yang diambil adalah suara terbanyak.

Maka dengan demikian landasan hukumnya tidak merujuk kepada Allah ta’ala, tapi kepada rakyat dan para wakilnya. Patokannya membuat hukum tidak mengharuskan kesepakatan semua mereka, tapi suara terbanyak.

Kesepakatan mayoritas akan menjadi UU yang wajib dipegang masyarakat walaupun bertentangan dengan etika, fitrah, akal  dan agama.

Dengan system demokrasi inilah banyak sumber berbagai hukum yang tidak benar dibangun.

Membolehkan riba (bunga bank), mengijinkan lokalisasi pelacuran, bahkan mereka menghalalkan perkawinan sesama jenis, produk miras, hukum-hukum syari’at yang bertentangan dengan konstitusi harus di tinggalkan, dengan kata lain wajib menjunjung tinggi hukum yang di buat manusia tersebut dan memerangi siapapun yang bertentangan dengannya meskipun seseorang yang ta’at beragama.

Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam KitabNya, bahwa penetap hukum hanyalah Dia semata, Dialah sebaik-baik yang menetapkan hukum. Dilarang menyekutukannya dalam menetapkan hukum dan Dia mengabarkan bahwa tidak ada seorang pun yang lebih baik hukumnya dariNya.

Allah Ta’ala berfirman,

فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِير.

“Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Ghofir[40]: 12).

Allah ta’ala berfirman,

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ.

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS.Yusuf [12]: 40.

Allah Ta’ala berfirman,

“Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?.” SQ. At-Tin : 8.

وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَداً.

“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan". (QS. Al-Kahfi [18]: 26).

 أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ.

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?.” (QS. Al-Maidah[5]: 50).

Akan tetapi perlu diketahui bahwa berhukum dengan selain hukum Allah ada dua :

1.   Menghalalkan hukum selain hukum Allah dan meyakini bahwa syariat Islam tidak layak diterapkan selamanya.

2.   Meyakini bahwa syariat Islam layak diterapkan dan sudah sempurna. Akan tetapi keputusan terakhir bukan di tangannya dan bukan pula di bawah kuasa seseorang, perumpamaannya seperti seorang muslim yang melakukan maksiat tanpa menghalalkannya. Seperti orang yang minum khamar, ia meyakini bahwa perbuatan itu adalah maksiat, akan tetapi ia telah dikuasai syahwat. Keadaannya tentu berbeda dengan orang yang meyakini khamar halal tidak terlarang sekalipun ia tidak meminumnya, atau tidak meyakini wajibnya shalat lima waktu, orang seperti ini dihukumi kafir.

Kami tegaskan bahwa masalah pengkafiran orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah ada perinciannya. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir atas penguasa atau hakim yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak sehingga mengetahui keadaan dan kondisinya dalam masalah ini.

 

Persoalan kedua : Kendati ayat menyatakan :

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah[5] : 44).

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ.

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang DZOLIM” (QS. Al-Maidah[5] : 44).

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq” (QS. Al-Maidah[5] : 44).

{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ }  قَالَ: هِيَ بِهِ كُفرٌ -قَالَ ابْنُ طَاوُسٍ: وَلَيْسَ كَمَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ.

IbnuTawus mengatakan, yang dimaksud dengan kafir dalam ayat ini bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.

وَقَالَ الثَّوْرِيُّ، عَنِ ابْنِ جُرَيْج  عَنْ عَطَاءٍ أَنَّهُ قَالَ: كُفْرٌ دُونَ كُفْرٍ، وَظُلْمٌ دُونَ ظُلْمٍ، وَفِسْقٌ دُونَ فِسْقٍ. رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Ata yang telah mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan kafir ialah masih di bawah kekafiran (bukan kafir sungguhan), dan zalim ialah masih di bawah kezaliman, serta fasik ialah masih di bawah kefasikan. Demikian­lah menurut riwayat Ibnu Jarir.

 

وَقَالَ وَكِيع عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَكِّيِّ، عَنْ طَاوُسٍ: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} قَالَ: لَيْسَ بِكُفْرٍ يَنْقُلُ عَنِ الْمِلَّةِ.

Waki' telah meriwayatkan dari Sa'id Al-Makki, dari Tawus sehu­bungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44); Yang dimaksud dengan "kafir" dalam ayat ini bukan kafir yang mengeluarkan orang yang bersangkutan dari Islam.

 

وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عبد الله بن يزيد المقري، حدثنا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حُجَير، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} قَالَ: لَيْسَ بِالْكُفْرِ الَّذِي يَذْهَبُونَ إِلَيْهِ.

 


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Hisyam ibnu Hujair, dari Tawus, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang tidak memutuskan menurutapa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44); Makna yang dimaksud ialah bukan kufur seperti apa yang biasa kalian pahami (melainkan kufur kepada nikmat Allah). (Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Maidah [5]:44).

Namun apabila seseorang meyakini hukum tersebut lebih baik, sama dibandingkan hukum Allah maka orang tersebut bisa kafir.

 

 

-----000-----



Junaedi Abdullah. 

 

 


MUHASABATUN NAFS.

KOREKSI DIRI DAN ISTIQAMAH SETELAH RAMADHAN. Apakah kita yakin bahwa amal kita pasti diterima..?, kita hanya bisa berharap semoga Allah mene...