Jumat, 13 Juni 2025

KISAH RASULULLAH SERI 2, DI PERKAMPUNGAN BANI SA'DIAH

 

KELAHIRAN DAN EMPAT PULUH TAHUN SEBELUM KENABIAN

 

Kelahiran Nabi

 

Sayyidul Mursalin, Rasulullah dilahirkan di tengah kabilah besar, Bani Hasyim di kota Mekkah pada pagi hari Senin, tanggal 9 Rabi'ul Awwal pada tahun tragedi pasukan bergajah atau empat puluh tahun dari berlalunya kekuasaan Kisra Anusyirwan. Juga bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M sesuai dengan analisis seorang ulama Besar, Muhammad Sulaiman al-Manshur Furiy dan seorang astrolog (ahli ilmu falak), Mahmud Basya. ( Lihat, Nata ijul Afhám, karya al-Falakiy, h. 28-35, Cet, Beirut, Rahmatan Lil 'Alamin, 1/38, 39. Perbedaan seputar tanggal pada bulan April terjadi berdasarkan kalender lama dan baru).

Ibnu Sa'd meriwayatkan bahwa ibunda Rasulullah pernah menceritakan, "Ketika aku melahirkannya, dari farajku (kemaluanku) keluar cahaya yang karenanya istana-istana negeri Syam tersinari." Imam Ahmad, ad-Darimiy dan periwayat selain keduanya juga meriwayatkan versi yang hampir mirip dengan riwayat tersebut? (Ibnu Sa'd, 1/63; Musnad Ahmad, IV/127, 128, 185; V/262; ad-Darimiy, 1/9).

Sumber lainnya menyebutkan, telah terjadi irhashat (tanda-tanda awal yang menunjukkan akan diutusnya nabi) ketika kelahiran beliau di antaranya; jatuhnya empat belas beranda istana kekaisaran Persia, padamnya api yang biasa disembah oleh kaum Majusi dan robohnya gereja-gereja di sekitar danau Sawah setelah airnya menyusut. Riwayat tersebut dilansir oleh ath-Thabariy, al-Baihaqi dan lainnya. ( Ad-Dala'il, karya al-Baihaqiy, I/126,127; Tarikh ath-Thabariy, Op.cit, 11/166,167; al-Biddyah wan Nihayah, II/268, 269). namun tidak memiliki sanad yang valid.

 

Setelah beliau dilahirkan, ibundanya mengirim utusan ke kakeknya, 'Abdul Muththalib untuk memberitahukan kepadanya berita gembira kelahiran cucunya tersebut. Kakeknya langsung datang dengan sukacita dan memboyong cucunya tersebut masuk ke Ka'bah; berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. (Ibnu Hisyam, Op.cit, 1/159, 160; Ibnu Sa'd, Op.cit, h. 103; ath-Thabariy, Ibid., h. 156, 157).

Kemudian memberinya nama Muhammad padahal nama seperti ini tidak popular ketika itu di kalangan bangsa Arab, dan pada hari ketujuh kela-hirannya Abdul Muththalib mengkhitan beliau sebagaimana tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab. (Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa beliau lahir dalam kondisi sudah bersunat (Talqihu Fuhumi Ahlil Atsar, h. 4). Ibnu al-Qayyim berkata, "Tidak terdapat satu pun hadits yang valid tentang hal ini." (Zadul Ma'ad, 1/18).

Wanita pertama yang menyusui beliau setelah ibundanya adalah Tsuaibah. Wanita ini merupakan budak wanita Abu Lahab yang saat itu juga tengah menyusui bayinya yang bernama Masruh. Sebelumnya, dia juga telah menyusui Hamzah bin 'Abdulul Muththalib, kemudian menyusui Abu Salamah bin 'Abdul Asad al-Makhzumiy setelah menyusui beliau. ( Lihat, Shahih al-Bukhariy, no. hadits: 2645, 5100, 5106, 5107, 5372).

 

Di Perkampungan Kabilah Bani Sa'ad

Tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab yang tinggal di kota adalah mencari para wanita yang dapat menyusui bayi-bayi mereka sebagai tindakan preventif terhadap tersebarnya penyakit-penyakit kota. Hal itu mereka lakukan agar tubuh bayi-bayi mereka kuat, berotot kekar dan mahir berbahasa Arab sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, 'Abdul Muththalib mencari wanita-wanita yang dapat menyusui Rasulullah . Dia akhirnya, mendapatkan seorang wanita penyusu dari kabilah Bani Sa'ad bin Bakr yang bernama Halimah binti Abu Dzuaib. Suami wanita ini bernama al-Harits bin 'Abdul 'Uzza yang berjuluk Abu Kabsyah yang juga berasal dari kabilah yang sama.

Dengan begitu, di sana Rasulullah memiliki banyak saudara sesusuan, yaitu 'Abdullah bin al-Harits, Anisah binti al-Harits, Hudzafah atau Judzamah binti al-Harits (dialah yang berjuluk asy-Syaima, sebuah julukan yang lebih populer ketimbang namanya). Halimah merawat Rasulullah serta Abu Sufyan bin al-Harits bin 'Abdul Muththalib, saudara sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Paman beliau,Hamzah bin 'Abdul Muththalib juga disusui di tengah kabilah Bani Sa'ad bin Bakr. Suatu hari, ibu susunya menyusui Rasulullah, saat beliau berada di sisi ibu susuannya, Halimah. Dengan demikian Hamzah merupakan saudara sesusuan Rasulullah dari dua pihak, yaitu Tsuaibah dan Halimah as-Sa'diyyah. (Zadul Ma'ad, 1/19).

Halimah merasakan adanya keberkahan dari kehadiran Rasulullah yang membuatnya berkisah yang aneh-aneh tentang dirinya. Untuk itu, baiklah kita biarkan dia mengisahkannya sendiri secara rinci:

 

Kisah keberkahan bersama rasulullah.

Ibnu Ishaq berkata, "Halimah pernah berkisah, bahwasanya suatu ketika dia pergi bersama suami dan bayinya yang masih kecil dan masih disusui bersama rombongan para wanita dari kalangan Bani Sa'd bin Bakr yang sama-sama tengah mencari bayi-bayi yang akan disusui. Halimah berkisah: Ketika itu sedang musim paceklik di mana kami sudah tidak memiliki apa-apa lagi, lalu aku pergi dengan mengendarai seekor keledai betina berwarna putih kehijauan milikku beserta seekor onta yang sudah tua. Demi Allah! Tidak setetes pun susu yang dihasilkannya, kami juga tidak bisa melewati malam dengan tidur pulas lantaran tangis bayi kami yang menangis kela-paran sedangkan air susu di payudaraku tidak mencukupi. Begitu juga dengan air susu onta tua kami tersebut sudah tidak berisi. Akan tetapi kami selalu berharap pertolongan dan jalan keluar. Selanjutnya aku pergi dengan mengendarai keledai betina milikku yang sudah tidak kuat lagi untuk meneruskan perjalanan sehingga hal ini mem-buat rombongan kami merasa kesulitan akibat letih dan kondisi kekeringan yang melilit. Akhirnya kami sampai juga ke Mekkah untuk mencari bayi-bayi yang akan disusui tersebut. Tidak seorang wanita pun di antara kami ketika ditawarkan kepadanya untuk menyusui Rasulullah melainkan menolaknya bila diberitahu perihal kondisi beliau yang yatim. Sebab, tujuan kami (rombongan wanita penyusu bayi), hanya mengharapkan imbalan materi dari orang tua si bayi sedangkan beliau bayi yang yatim, apa gerangan yang dapat diberikan oleh ibu dan kakeknya buat kami? Kami semua tidak menyukainya karena hal itu. Akhirnya, semua wanita penyusu yang bersamaku mendapatkan bayi susuan kecuali aku. Tatkala kami semua sepakat akan berangkat pulang, aku berkata kepada suamiku, 'Demi Allah! Aku tidak sudi pulang bersama teman-temanku tanpa membawa seorang bayi susuan. Demi Allah! Aku akan pergi ke rumah bayi yatim tersebut dan akan mengambilnya menjadi bayi susuanku. Lalu suamiku berkata, 'Tidak mengapa bila kamu melaku-kan hal itu, mudah-mudahan Allah menjadikan kehadirannya di tengah kita sebagai suatu keberkahan'. Akhirnya aku pergi kepada beliau dan membawanya serta. Sebenarnya, motivasiku memba-wanya serta hanyalah karena aku tidak mendapatkan bayi susuan selain beliau.

Halimah melanjutkan: Setelah itu, aku kembali dengan membawanya menuju tungganganku. Ketika dia kubaringkan di pangkuanku, kedua susuku seakan menyongsongnya untuk meneteki seberapa dia  suka, dia pun meneteknya hingga kenyang, dilanjutkan kemudian oleh saudara sesusuannya (bayiku) hingga kenyang pula. Kemudian keduanya tertidur dengan lelap padahal sebelumnya kami tak bisa memicingkan mata untuk tidur karena tangis bayi kami tersebut. Suamiku mengontrol onta tua milik kami dan ternyata susunya sudah berisi, lalu dia memerahnya untuk diminum. Lalu dia meminum dan aku juga ikut minum hingga perut kami kenyang, dan malam itu adalah malam tidur terindah yang pernah kami rasakan, di mana kami tidur dengan lalap. Pada pagi harinya, suamiku berkata kepadaku, 'Demi Allah! Tahukah kamu wahai Halimah? kamu telah mengambil manusia yang diberkahi. Aku menimpali, 'Demi Allah! Aku berharap demikian. Kemudian kami pergi lagi, aku menunggangi keledai betinaku dan membawa serta beliau di atasnya. Demi Allah! Keledai betinaku tersebut sanggup menempuh perjalanan yang tidak sanggup dilakukan oleh onta-onta merah mereka, sehingga teman-teman wanitaku dengan penuh keheranan berkata kepadaku, 'Wahai putri Abu Zuaib! Ada apa denganmu! Kasihanilah kami, bukankah keledai ini yang dulu engkau tunggangi ketika pergi?', aku menjawab, 'Demi Allah! Inilah keledai yang dulu itu!'. Mereka berkata, 'Demi Allah! Pasti ada sesuatu pada keledai ini.' Kemudian sampailah kami di tempat tinggal kami di perkam-pungan kabilah Bani Sa'ad. Sepanjang pengetahuanku tidak ada bumi Allah yang lebih tandus darinya. Sejak kami pulang dengan membawa Muhammad, kambingku tampak dalam keadaan kenyang dan banyak air susunya sehingga kami dapat memerahnya dan meminumnya padahal orang-orang tidak mendapatkan setetes air susu pun meskipun di kantong susu kambing. Kejadian ini membuat kaumku yang bermukim berkata kepada para pengembala mereka, 'Celakalah kalian! Pergilah, ikuti kemana saja pengembala kambing putri Abu Zuaib mengembalakan kambingnya.' Meskipun demikian, realitasnya, kambing-kambing mereka tetap kelaparan dan tidak mengeluarkan air susu setetes pun sedangkan kambingku selalu kenyang dan banyak air susunya. Demikianlah, kami selalu menda-patkan tambahan nikmat dan kebaikan dari Allah hingga tak terasa dua tahun pun berlalu dan tiba waktuku untuk menyapihnya. Dia tumbuh berkembang tidak seperti kebanyakan anak-anak sebayanya, sebab sebelum mencapai usia dua tahun dia sudah tumbuh dengan postur yang bongsor.

Halimah melanjutkan: Akhirnya, kami mengunjungi ibunya dan dalam hati yang paling dalam kami sangat berharap dia masih bisa berada di tengah keluarga kami karena keberkahan yang kami

rasakan sejak keberadaannya tersebut. Kemudian kami membujuk ibunya. Aku berkata kepadanya, 'Kiranya anda sudi membiarkan anak ini bersamaku lagi hingga dia besar, sebab aku khawatir dia terserang penyakit menular yang bisa menjangkiti kota Mekkah." Kami terus memelas kepadanya hingga dia bersedia mengembalikan-nya untuk tinggal bersama kami lagi."

Begitulah, Rasulullah akhirnya tetap tinggal di perkam-pungan kabilah Bani Sa'ad, hingga terjadinya peristiwa dibelahnya dada beliau ketika berusia empat atau lima tahun. 2

 

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah didatangi oleh Jibril saat beliau tengah bermain bersama teman-teman sebayanya. Jibril menangkap dan merebahkan beliau di atas tanah lalu membelah jantungnya, kemudian mengeluarkannya. dari jantung ini dikeluarkan segumpal darah. Jibril berkata, "Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu (sehingga bila tetap ada dapat memperdayaimu-penj.)!" Kemudian mencuci jantung tersebut dengan air zamzam di dalam baskom yang terbuat dari emas, lalu memperbaikinya dan menaruhnya di tempat semula. Teman-teman sebayanya tersebut berlarian mencari ibu susuannya seraya berkata, 'Muhammad telah dibunuh! Mereka akhirnya beramai-ramai meng-hampirinya dan menemukannya dalam kondisi rona muka yang sudah berubah. Anas (periwayat hadits) berkata, "Sungguh aku telah melihat bekas jahitan itu di dada beliau 3

 

Kembali Ke Pangkuan Ibunda Nan Amat Mengasihi

 

Şetelah peristiwa tersebut, Halimah merasa khawatir atas diai beliau sehingga dikembalikan lagi kepada ibundanya. Beliau tinggal bersama ibundanya sampai berusia enam tahun.

 

Sebagai bentuk kesetiaannya, Aminah memandang perlu untuk menziarahi kuburan suaminya di Yatsrib (Madinah). Untuk itu, dia keluar dari Mekkah dengan menempuh perjalanan yang mencapai 500 km bersama anaknya yang masih kecil, Muhammad, pemban tunya, Ummu Aiman dan mertuanya, 'Abdul Muththalib. Setelah tinggal selama sebulan di sana, dia kembali pulang ke Mekkah akan

 

 

2 Lihat Dallen Nubuh karya Abu Nu'aim, Dari alur cecila ziwayat Deut menunjukkan bahwa hal itu terjadi pada permulaan Tahun ke 3 bosa Novam Nd X 164, 165. Ini semi kontradiksi sebab tidak berbayangkan secang anak kecil yang hash berumur dua tahun dan baru masuk permulaan tahun ketiga dapat mengenalkanding

 

3 Shahih Muslim, Kitab al-Ised, 1/42

 

4 Lihat Talgili Ahlil Absen, Opicit, . 7 lhou Hisyam, Cych se

 

Fuhimi Ahlil Atsar, Ibid.

 

tetapi di tengah perjalanan dia terserang sakit sehingga akhirnya meninggal dunia di suatu tempat bernama al-Abwa, yang terletak antara Mekkah dan Madinah.

 

Di Pangkuan Sang Kakek Nan Amat Menyayangi

 

Rasulullah dibawa kembali ke Mekkah oleh kakeknya. Perasaan kasih terhadap sang cucu yang yatim semakin bertambah di sanubarinya, dan hal ini ditambah lagi dengan adanya musibah baru yang seakan menggores luka lama yang belum sembuh betul. Maka ibalah dia terhadapnya, sebuah perasaan yang tak pernah dia tumpahkan terhadap seorang pun dari anak-anaknya. Dia tidak lagi membiarkan cucunya tersebut hanyut dengan kesendirian yang terpaksa harus dialaminya bahkan dia lebih mengedepankan kepen-tingannya daripada kepentingan anak-anaknya.

 

Ibnu Hisyam berkata, "Biasanya, sudah terhampar permadani yang dihamparkan untuk 'Abdul Muththalib di bawah naungan Ka'bah, lalu anak-anaknya duduk-duduk di sekitar permadani terse-but hingga ia datang, tak seorang pun dari anak-anaknya tersebut yang berani duduk-duduk di situ sebagai rasa hormat terhadapnya. Namun Rasulullah pernah suatu ketika saat beliau berusia sekitar dua tahun, datang dan langsung duduk di atas permadani tersebut, paman-pamannya sertamerta mencegahnya agar tidak mendekati tempat itu. Bila kebetulan melihat tindakan anak-anaknya itu, 'Abdul muththtalib berkata kepada mereka, 'Jangan kau ganggu cucuku! Demi Allah! Sesungguhnya dia nanti akan menjadi orang yang besar!' Kemudian ia duduk-duduk bersama beliau di permadani tersebut sembari mengusap-usap punggungnya dengan tangannya. Dia merasa senang dengan kelakuan cucunya tersebut.2

 

Saat beliau berusia delapan tahun dua bulan sepuluh hari, kakek beliau meninggal dunia di kota Mekkah. Sebelum meninggal, dia memandang bahwa selayaknya dia menyerahkan tanggung jawab terhadap cucunya tersebut kepada paman beliau, Abu Thalib, saudara kandung ayahanda beliau.

 

Di Pangkuan Sang Paman Nan Penuh Belas Kasih

 

Abu Thalib melaksanakan amanah yang diembankan kepadanya untuk mengasuh keponakannya dengan sebaik-baiknya dan mengga-bungkan beliau dengan anak-anaknya. Dia bahkan mendahulukan kepentingannya ketimbang kepentingan mereka. Dia juga, mengisti-

 

1 Ibnu Hisyam, Ibid.; Talqih, Ibid.

 

2 Ibnu Hisyam, Ibid., h. 169. Talqih, ibid.

 

75

 

mewakannya dengan penghormatan dan penghargaan. Perlakuan tersebut terus berlanjut hingga beliau berusia di atas empat puluh tahun, pamannya masih tetap memuliakan beliau, membentangkan perlindungan terhadapnya, menjalin persahabatan ataupun mengo-barkan permusuhan dalam rangka membelanya. Dan sekilas tentang hal itu, akan kami paparkan nanti pada pembahasan tersendiri.

 

Meminta Hujan Turun Berkat 'Kedudukan' Beliau

 

Ibnu 'Asakir meriwayatkan hadits dari Jalhamah bin 'Arfathah, dia berkata, "Ketika aku datang ke Mekkah, mereka sedang mengalami musim paceklik (tidak turun hujan), lantas orang-orang Quraisy berseru, 'Wahai Abu Thalib! Lembah telah mengering airnya dan kemiskinan merajalela, untuk itu mari kita meminta turun hujan!' Kemudian Abu Thalib keluar dengan membawa seorang anak yang laksana matahari yang diselimuti oleh awan tebal pertanda hujan lebat akan turun, yang darinya muncul kabut tebal, yang di sekitarnya terdapat sumber mata air sumur. Lalu, Abu Thalib memegang anak tersebut, menyandarkan punggungnya ke Ka'bah, serta menaunginya dengan jari-jemarinya (dari panasnya matahari-penj), ketika itu tidak ada gumpalan awan sama sekali, namun tiba-tiba awan datang dari sana sini, kemudian turunlah hujan dengan lebatnya sehingga lembah mengalirkan air dan lahan-lahan tanah menjadi subur. Mengenai peristiwa ini, Abu Thalib menyinggungnya dalam rangkaian baitnya,

 

"...Dan (bocah yang) putih, sang penolong anak-anak yatim dan pelindung para janda

 

melalui "kedudukan'nyalah hujan diharapkan turun."

 

Bersama Sang Rahib Bahira

 

Ketika Rasulullah berusia dua belas tahun-menurut riwayat lain, dua belas tahun dua bulan sepuluh hari- pamannya, Abu Thalib, membawanya serta berdagang ke negeri Syam hingga mereka sampai di suatu tempat bernama Bushra yang masih termasuk wilayah Syam dan merupakan ibukota Haurán. Ketika itu, Syam merupakan ibukota negeri-negeri Arab yang masih mengadopsi undang-undang Romawi. Di negeri inilah dikenal seorang Rahib (pendeta) yang bernama Bahiru (ada yang mengatakan nama aslinya adalah Jarjis). Ketika rombongan tiba, dia langsung menyongsong mereka padahal sebelumnya tidak pernah dia melakukan hal itu,

 

1 Mukhtashar Siratul Rasil, karya Syaikh Abdullah an-Najdy, h. 15-16

 

2 Hal ini dinyatakan oleh Ibn al-Jawziy dalam kitab Talgia Fuhami Adil Atsar, Loc. Cit

 

mewakannya dengan penghormatan dan penghargaan. Perlakuan tersebut terus berlanjut hingga beliau berusia di atas empat puluh tahun, pamannya masih tetap memuliakan beliau, membentangkan perlindungan terhadapnya, menjalin persahabatan ataupun mengo-barkan permusuhan dalam rangka membelanya. Dan sekilas tentang hal itu, akan kami paparkan nanti pada pembahasan tersendiri.

 

Meminta Hujan Turun Berkat 'Kedudukan' Beliau

 

Ibnu 'Asakir meriwayatkan hadits dari Jalhamah bin 'Arfathah, dia berkata, "Ketika aku datang ke Mekkah, mereka sedang mengalami musim paceklik (tidak turun hujan), lantas orang-orang Quraisy berseru, 'Wahai Abu Thalib! Lembah telah mengering airnya dan kemiskinan merajalela, untuk itu mari kita meminta turun hujan!' Kemudian Abu Thalib keluar dengan membawa seorang anak yang laksana matahari yang diselimuti oleh awan tebal pertanda hujan lebat akan turun, yang darinya muncul kabut tebal, yang di sekitarnya terdapat sumber mata air sumur. Lalu, Abu Thalib memegang anak tersebut, menyandarkan punggungnya ke Ka'bah, serta menaunginya dengan jari-jemarinya (dari panasnya matahari-penj), ketika itu tidak ada gumpalan awan sama sekali, namun tiba-tiba awan datang dari sana sini, kemudian turunlah hujan dengan lebatnya sehingga lembah mengalirkan air dan lahan-lahan tanah menjadi subur. Mengenai peristiwa ini, Abu Thalib menyinggungnya dalam rangkaian baitnya,

 

"...Dan (bocah yang) putih, sang penolong anak-anak yatim dan pelindung para janda

 

melalui "kedudukan'nyalah hujan diharapkan turun."

 

Bersama Sang Rahib Bahira

 

Ketika Rasulullah berusia dua belas tahun-menurut riwayat lain, dua belas tahun dua bulan sepuluh hari- pamannya, Abu Thalib, membawanya serta berdagang ke negeri Syam hingga mereka sampai di suatu tempat bernama Bushra yang masih termasuk wilayah Syam dan merupakan ibukota Haurán. Ketika itu, Syam merupakan ibukota negeri-negeri Arab yang masih mengadopsi undang-undang Romawi. Di negeri inilah dikenal seorang Rahib (pendeta) yang bernama Bahiru (ada yang mengatakan nama aslinya adalah Jarjis). Ketika rombongan tiba, dia langsung menyongsong mereka padahal sebelumnya tidak pernah dia melakukan hal itu,

 

1 Mukhtashar Siratul Rasil, karya Syaikh Abdullah an-Najdy, h. 15-16

 

2 Hal ini dinyatakan oleh Ibn al-Jawziy dalam kitab Talgia Fuhami Adil Atsar, Loc. Cit

 

kemudian berjalan di sela-sela mereka hingga sampai kepada Rasulullah lalu memegang tangannya sembari berkata, "Inilah penghulu alam semesta, inilah utusan Rabb alam semesta, dia diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta ini." Abu Thalib dan pemuka kaum Quraisy bertanya kepadanya, "Bagaimana anda tahu hal itu?" Dia menjawab, "Sesungguhnya ketika kalian muncul dan naik dari bebukitan, tidak satu pun dari bebatuan ataupun pepohonan melainkan bersujud terhadapnya, dan keduanya tidak akan bersujud kecuali terhadap seorang Nabi. Sesungguhnya aku dapat mengetahuinya melalui tanda kenabian yang terletak pada bagian bawah tulang rawan pundaknya yang bentuknya seperti apel. Sesungguhnya kami mengetahui hal tersebut dari kitab suci kami." Kemudian sang Rahib mempersilakan mereka dan menjamu mereka secara istimewa. Setelah itu, dia meminta kepada Abu Thalib agar memulangkan keponakannya tersebut ke Mekkah dan tidak memba-wanya serta ke Syam sebab khawatir bila tertangkap oleh orang-orang Romawi dan Yahudi. Akhirnya, pamannya mengirimnya pulang bersama sebagian anaknya ke Mekkah.'

 

Perang "Fujjar"

 

Pada saat beliau berusia dua puluh tahun, berkecamuklah Perang Fujjar antara kabilah Quraisy dan sekutu mereka dari Bani Kinanah melawan kabilah Qais 'Ailan. Harb bin Umayyah terpilih menjadi komandan perang membawahi kabilah Quraisy dan Kinanah secara umum karena faktor usia dan kebangsawanan. Kemenangan pada pagi hari berada di pihak kabilah Qais, namun pada per-tengahan hari keadaan terbalik, kemenangan justru berpihak pada Kinanah.

 

"Perang Fujjar" dinamakan demikian karena dinodainya kesucian asy-syahrul haram (bulan yang dilarang perang di dalamnya). Dalam perang ini, Rasulullah ikut serta dan membantu paman-pamannya menyediakan anak panah buat mereka.

 

Hilful Fudhül

 

Begitu perang tersebut usai, terjadilah hilful fudhûl (perjanjian kebulatan tekad/sumpah setia) pada bulan Dzulqa'dah, di suatu

 

1 Sunan at-Tirmidziy, 3620; al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah, X1/489, Dald il karya al-Baihaqiy, II/24,25, ath-Thabariy, Op.cit., II/278-279. Di dalam Sunan at-Tirmidziy dan selainnya disebutkan bahwa Abu Thalib mengutus bersamanya Bilal dan ini suatu kekeliruan yang jelas, sebab, Bilal ketika itu sepertinya belum ada, sekali pun sudah ada, maka dia tidaklah ikut-serta bersama paman beliau, tidak pula bersama Abu Bakar, (Lihat, Zadul Ma'ad, 1/17).

 

bulan haram. Banyak Kabilah Kabilah Quraisy yang ikut berkumpul pada perjanjian tersebut yaitu Bani Hasyim, Bani al-Muththalib, Asad bin 'Abdul 'Uzza, Zahrah bin Kilab dan Taim bin Murrah. Mereka berkumpul di kediaman 'Abdullah bin Jad'an al-Taimiy karena faktor usia dan kebangsawanannya. Dalam perjanjian tersebut, mereka bersepakat dan berjanji bahwa manakala ada orang yang dizhalimi di Mekkah, baik dia penduduk asli maupun pendatang, maka mereka akan bergerak membelanya hingga haknya yang telah dizhalimi dikembalikan lagi kepadanya. Rasulullah turut menghadiri perjanjian tersebut. Setelah beliau dimuliakan oleh Allah dengan Risalah, beliau berkomentar, "Sungguh aku telah menghadiri suatu half (perjanjian) di kediaman 'Abdullah bin Jad'an yang lebih aku sukai ketimbang aku memiliki humrun na'am (onta merah yang merupakan harta yang paling termahal dan menjadi kebanggaan bangsa Arab ketika itu-penj.). Andai di dalam Islam aku diminta untuk melakukan hal itu, niscaya aku akan memenuhinya."

 

Semangat perjanjian tersebut bertolak-belakang dengan hamiyyah jahiliyyah (egoisme jahiliyah) yang justru timbul dari sikap fanatisme (terhadap suku dan keluarga).

 

Ada sementara versi yang menyebutkan bahwa sebab terjadi-nya perjanjian tersebut adalah, seorang dari kabilah Zubaid yang datang ke Mekkah dan membawa barang, kemudian barang tersebut dibeli oleh al-'Ash bin Wa'il as-Sahmiy namun dia menahan hak orang tersebut. Karenanya dia meminta bantuan kepada suku-suku yang bersekutu di kota Mekkah atas perbuatan al-'Ash tersebut. Para sekutu ini terdiri dari Bani 'Abdid Dâr, Makhzum, Jumah, Sahm dan "Adiy akan tetapi mereka semua tidak mengacuhkannya. Akhirnya, dia memanjat ke puncak gunung Abi Qubais dan memanggil-manggil mereka dengan senandung sya'ir-sya'ir yang berisi kezhaliman yang tengah dialaminya seraya mengencangkan suaranya. Rupanya, az Zubair bin 'Abdul Muththalib yang mendengar hal itu langsung bergerak menuju ke arahnya seraya bertanya-tanya, "Kenapa orang ini tidak diacuhkan?" Tak berapa lama kemudian, berkumpullah kabilah-kabilah yang menyetujui perjanjian hilful fudhul di atas, lantas mereka mendatangi al-'Ash bin Wa' il dan merebut darinya hak orang dari suku Zubaid tersebut setelah menandatangani perjanjian.

 

1 lben Hisyam, bit, h. 113. 135. Μολλαshar Stratur Rasail, Op.cit., h, 30, 31. 2 Thabata Sad, Op.cit, 1/126-128, Nasaba Quraisy, karya az-Zubaidiy, A. 291.

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUD AQIDATAKA BAB 5 SOAL: 3 FENOMENA KESYIRIKAN PADA MASYARAKAT.

  BAB 5 SYIRIK BESAR. SOAL: 3 FENOMENA KESYIRIKAN PADA MASYARAKAT.   م - هَلِ الشِّرْكُ مَوْجُودٌ فِي هٰذِهِ الأُمَّةِ . Soal: A...