KELAHIRAN DAN EMPAT PULUH TAHUN
SEBELUM KENABIAN
Kelahiran Nabi
Sayyidul Mursalin, Rasulullah
dilahirkan di tengah kabilah besar, Bani Hasyim di kota Mekkah pada pagi hari
Senin, tanggal 9 Rabi'ul Awwal pada tahun tragedi pasukan bergajah atau empat
puluh tahun dari berlalunya kekuasaan Kisra Anusyirwan. Juga bertepatan dengan
tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M sesuai dengan analisis seorang ulama
Besar, Muhammad Sulaiman al-Manshur Furiy dan seorang astrolog (ahli ilmu
falak), Mahmud Basya. ( Lihat, Nata ijul Afhám, karya al-Falakiy, h. 28-35,
Cet, Beirut, Rahmatan Lil 'Alamin, 1/38, 39. Perbedaan seputar tanggal pada
bulan April terjadi berdasarkan kalender lama dan baru).
Ibnu Sa'd meriwayatkan bahwa ibunda
Rasulullah pernah menceritakan, "Ketika aku melahirkannya, dari farajku
(kemaluanku) keluar cahaya yang karenanya istana-istana negeri Syam
tersinari." Imam Ahmad, ad-Darimiy dan periwayat selain keduanya juga meriwayatkan
versi yang hampir mirip dengan riwayat tersebut? (Ibnu Sa'd, 1/63; Musnad
Ahmad, IV/127, 128, 185; V/262; ad-Darimiy, 1/9).
Sumber lainnya menyebutkan, telah
terjadi irhashat (tanda-tanda awal yang menunjukkan akan diutusnya nabi) ketika
kelahiran beliau di antaranya; jatuhnya empat belas beranda istana kekaisaran
Persia, padamnya api yang biasa disembah oleh kaum Majusi dan robohnya
gereja-gereja di sekitar danau Sawah setelah airnya menyusut. Riwayat tersebut
dilansir oleh ath-Thabariy, al-Baihaqi dan lainnya. ( Ad-Dala'il, karya
al-Baihaqiy, I/126,127; Tarikh ath-Thabariy, Op.cit, 11/166,167; al-Biddyah wan
Nihayah, II/268, 269). namun tidak memiliki sanad yang valid.
Setelah beliau dilahirkan, ibundanya
mengirim utusan ke kakeknya, 'Abdul Muththalib untuk memberitahukan kepadanya
berita gembira kelahiran cucunya tersebut. Kakeknya langsung datang dengan
sukacita dan memboyong cucunya tersebut masuk ke Ka'bah; berdoa kepada Allah
dan bersyukur kepada-Nya. (Ibnu Hisyam, Op.cit, 1/159, 160; Ibnu Sa'd, Op.cit,
h. 103; ath-Thabariy, Ibid., h. 156, 157).
Kemudian memberinya nama Muhammad
padahal nama seperti ini tidak popular ketika itu di kalangan bangsa Arab, dan
pada hari ketujuh kela-hirannya Abdul Muththalib mengkhitan beliau sebagaimana
tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab. (Terdapat riwayat yang
menyebutkan bahwa beliau lahir dalam kondisi sudah bersunat (Talqihu Fuhumi
Ahlil Atsar, h. 4). Ibnu al-Qayyim berkata, "Tidak terdapat satu pun
hadits yang valid tentang hal ini." (Zadul Ma'ad, 1/18).
Wanita pertama yang menyusui beliau
setelah ibundanya adalah Tsuaibah. Wanita ini merupakan budak wanita Abu Lahab
yang saat itu juga tengah menyusui bayinya yang bernama Masruh. Sebelumnya, dia
juga telah menyusui Hamzah bin 'Abdulul Muththalib, kemudian menyusui Abu
Salamah bin 'Abdul Asad al-Makhzumiy setelah menyusui beliau. ( Lihat, Shahih
al-Bukhariy, no. hadits: 2645, 5100, 5106, 5107, 5372).
Di Perkampungan Kabilah Bani Sa'ad
Tradisi yang berlaku di kalangan
bangsa Arab yang tinggal di kota adalah mencari para wanita yang dapat menyusui
bayi-bayi mereka sebagai tindakan preventif terhadap tersebarnya
penyakit-penyakit kota. Hal itu mereka lakukan agar tubuh bayi-bayi mereka kuat,
berotot kekar dan mahir berbahasa Arab sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu,
'Abdul Muththalib mencari wanita-wanita yang dapat menyusui Rasulullah . Dia
akhirnya, mendapatkan seorang wanita penyusu dari kabilah Bani Sa'ad bin Bakr
yang bernama Halimah binti Abu Dzuaib. Suami wanita ini bernama al-Harits bin
'Abdul 'Uzza yang berjuluk Abu Kabsyah yang juga berasal dari kabilah yang
sama.
Dengan begitu, di sana Rasulullah
memiliki banyak saudara sesusuan, yaitu 'Abdullah bin al-Harits, Anisah binti
al-Harits, Hudzafah atau Judzamah binti al-Harits (dialah yang berjuluk
asy-Syaima, sebuah julukan yang lebih populer ketimbang namanya). Halimah
merawat Rasulullah serta Abu Sufyan bin al-Harits bin 'Abdul Muththalib,
saudara sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Paman beliau,Hamzah bin 'Abdul
Muththalib juga disusui di tengah kabilah Bani Sa'ad bin Bakr. Suatu hari, ibu
susunya menyusui Rasulullah, saat beliau berada di sisi ibu susuannya, Halimah.
Dengan demikian Hamzah merupakan saudara sesusuan Rasulullah dari dua pihak,
yaitu Tsuaibah dan Halimah as-Sa'diyyah. (Zadul Ma'ad, 1/19).
Halimah merasakan adanya keberkahan
dari kehadiran Rasulullah yang membuatnya berkisah yang aneh-aneh tentang dirinya.
Untuk itu, baiklah kita biarkan dia mengisahkannya sendiri secara rinci:
Kisah keberkahan bersama rasulullah.
Ibnu Ishaq berkata, "Halimah
pernah berkisah, bahwasanya suatu ketika dia pergi bersama suami dan bayinya
yang masih kecil dan masih disusui bersama rombongan para wanita dari kalangan
Bani Sa'd bin Bakr yang sama-sama tengah mencari bayi-bayi yang akan disusui.
Halimah berkisah: Ketika itu sedang musim paceklik di mana kami sudah tidak
memiliki apa-apa lagi, lalu aku pergi dengan mengendarai seekor keledai betina
berwarna putih kehijauan milikku beserta seekor onta yang sudah tua. Demi
Allah! Tidak setetes pun susu yang dihasilkannya, kami juga tidak bisa melewati
malam dengan tidur pulas lantaran tangis bayi kami yang menangis kela-paran
sedangkan air susu di payudaraku tidak mencukupi. Begitu juga dengan air susu
onta tua kami tersebut sudah tidak berisi. Akan tetapi kami selalu berharap
pertolongan dan jalan keluar. Selanjutnya aku pergi dengan mengendarai keledai
betina milikku yang sudah tidak kuat lagi untuk meneruskan perjalanan sehingga
hal ini mem-buat rombongan kami merasa kesulitan akibat letih dan kondisi
kekeringan yang melilit. Akhirnya kami sampai juga ke Mekkah untuk mencari
bayi-bayi yang akan disusui tersebut. Tidak seorang wanita pun di antara kami
ketika ditawarkan kepadanya untuk menyusui Rasulullah melainkan menolaknya bila
diberitahu perihal kondisi beliau yang yatim. Sebab, tujuan kami (rombongan
wanita penyusu bayi), hanya mengharapkan imbalan materi dari orang tua si bayi
sedangkan beliau bayi yang yatim, apa gerangan yang dapat diberikan oleh ibu
dan kakeknya buat kami? Kami semua tidak menyukainya karena hal itu. Akhirnya,
semua wanita penyusu yang bersamaku mendapatkan bayi susuan kecuali aku.
Tatkala kami semua sepakat akan berangkat pulang, aku berkata kepada suamiku,
'Demi Allah! Aku tidak sudi pulang bersama teman-temanku tanpa membawa seorang
bayi susuan. Demi Allah! Aku akan pergi ke rumah bayi yatim tersebut dan akan
mengambilnya menjadi bayi susuanku. Lalu suamiku berkata, 'Tidak mengapa bila
kamu melaku-kan hal itu, mudah-mudahan Allah menjadikan kehadirannya di tengah
kita sebagai suatu keberkahan'. Akhirnya aku pergi kepada beliau dan membawanya
serta. Sebenarnya, motivasiku memba-wanya serta hanyalah karena aku tidak
mendapatkan bayi susuan selain beliau.
Halimah melanjutkan: Setelah itu, aku
kembali dengan membawanya menuju tungganganku. Ketika dia kubaringkan di
pangkuanku, kedua susuku seakan menyongsongnya untuk meneteki seberapa dia suka, dia pun meneteknya hingga kenyang,
dilanjutkan kemudian oleh saudara sesusuannya (bayiku) hingga kenyang pula.
Kemudian keduanya tertidur dengan lelap padahal sebelumnya kami tak bisa
memicingkan mata untuk tidur karena tangis bayi kami tersebut. Suamiku
mengontrol onta tua milik kami dan ternyata susunya sudah berisi, lalu dia
memerahnya untuk diminum. Lalu dia meminum dan aku juga ikut minum hingga perut
kami kenyang, dan malam itu adalah malam tidur terindah yang pernah kami
rasakan, di mana kami tidur dengan lalap. Pada pagi harinya, suamiku berkata
kepadaku, 'Demi Allah! Tahukah kamu wahai Halimah? kamu telah mengambil manusia
yang diberkahi. Aku menimpali, 'Demi Allah! Aku berharap demikian. Kemudian
kami pergi lagi, aku menunggangi keledai betinaku dan membawa serta beliau di
atasnya. Demi Allah! Keledai betinaku tersebut sanggup menempuh perjalanan yang
tidak sanggup dilakukan oleh onta-onta merah mereka, sehingga teman-teman
wanitaku dengan penuh keheranan berkata kepadaku, 'Wahai putri Abu Zuaib! Ada
apa denganmu! Kasihanilah kami, bukankah keledai ini yang dulu engkau tunggangi
ketika pergi?', aku menjawab, 'Demi Allah! Inilah keledai yang dulu itu!'.
Mereka berkata, 'Demi Allah! Pasti ada sesuatu pada keledai ini.' Kemudian
sampailah kami di tempat tinggal kami di perkam-pungan kabilah Bani Sa'ad.
Sepanjang pengetahuanku tidak ada bumi Allah yang lebih tandus darinya. Sejak
kami pulang dengan membawa Muhammad, kambingku tampak dalam keadaan kenyang dan
banyak air susunya sehingga kami dapat memerahnya dan meminumnya padahal
orang-orang tidak mendapatkan setetes air susu pun meskipun di kantong susu
kambing. Kejadian ini membuat kaumku yang bermukim berkata kepada para
pengembala mereka, 'Celakalah kalian! Pergilah, ikuti kemana saja pengembala
kambing putri Abu Zuaib mengembalakan kambingnya.' Meskipun demikian,
realitasnya, kambing-kambing mereka tetap kelaparan dan tidak mengeluarkan air
susu setetes pun sedangkan kambingku selalu kenyang dan banyak air susunya.
Demikianlah, kami selalu menda-patkan tambahan nikmat dan kebaikan dari Allah
hingga tak terasa dua tahun pun berlalu dan tiba waktuku untuk menyapihnya. Dia
tumbuh berkembang tidak seperti kebanyakan anak-anak sebayanya, sebab sebelum
mencapai usia dua tahun dia sudah tumbuh dengan postur yang bongsor.
Halimah melanjutkan: Akhirnya, kami
mengunjungi ibunya dan dalam hati yang paling dalam kami sangat berharap dia
masih bisa berada di tengah keluarga kami karena keberkahan yang kami
rasakan sejak keberadaannya tersebut.
Kemudian kami membujuk ibunya. Aku berkata kepadanya, 'Kiranya anda sudi
membiarkan anak ini bersamaku lagi hingga dia besar, sebab aku khawatir dia
terserang penyakit menular yang bisa menjangkiti kota Mekkah." Kami terus
memelas kepadanya hingga dia bersedia mengembalikan-nya untuk tinggal bersama
kami lagi."
Begitulah, Rasulullah akhirnya tetap
tinggal di perkam-pungan kabilah Bani Sa'ad, hingga terjadinya peristiwa
dibelahnya dada beliau ketika berusia empat atau lima tahun. 2
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas
bahwasanya Rasulullah didatangi oleh Jibril saat beliau tengah bermain bersama
teman-teman sebayanya. Jibril menangkap dan merebahkan beliau di atas tanah
lalu membelah jantungnya, kemudian mengeluarkannya. dari jantung ini
dikeluarkan segumpal darah. Jibril berkata, "Ini adalah bagian setan yang
ada pada dirimu (sehingga bila tetap ada dapat memperdayaimu-penj.)!"
Kemudian mencuci jantung tersebut dengan air zamzam di dalam baskom yang
terbuat dari emas, lalu memperbaikinya dan menaruhnya di tempat semula.
Teman-teman sebayanya tersebut berlarian mencari ibu susuannya seraya berkata,
'Muhammad telah dibunuh! Mereka akhirnya beramai-ramai meng-hampirinya dan
menemukannya dalam kondisi rona muka yang sudah berubah. Anas (periwayat
hadits) berkata, "Sungguh aku telah melihat bekas jahitan itu di dada
beliau 3
Kembali Ke Pangkuan Ibunda Nan Amat
Mengasihi
Şetelah peristiwa tersebut, Halimah
merasa khawatir atas diai beliau sehingga dikembalikan lagi kepada ibundanya.
Beliau tinggal bersama ibundanya sampai berusia enam tahun.
Sebagai bentuk kesetiaannya, Aminah
memandang perlu untuk menziarahi kuburan suaminya di Yatsrib (Madinah). Untuk
itu, dia keluar dari Mekkah dengan menempuh perjalanan yang mencapai 500 km
bersama anaknya yang masih kecil, Muhammad, pemban tunya, Ummu Aiman dan
mertuanya, 'Abdul Muththalib. Setelah tinggal selama sebulan di sana, dia
kembali pulang ke Mekkah akan
2 Lihat Dallen Nubuh karya Abu
Nu'aim, Dari alur cecila ziwayat Deut menunjukkan bahwa hal itu terjadi pada
permulaan Tahun ke 3 bosa Novam Nd X 164, 165. Ini semi kontradiksi sebab tidak
berbayangkan secang anak kecil yang hash berumur dua tahun dan baru masuk
permulaan tahun ketiga dapat mengenalkanding
3 Shahih Muslim, Kitab al-Ised, 1/42
4 Lihat Talgili Ahlil Absen, Opicit,
. 7 lhou Hisyam, Cych se
Fuhimi Ahlil Atsar, Ibid.
tetapi di tengah perjalanan dia
terserang sakit sehingga akhirnya meninggal dunia di suatu tempat bernama
al-Abwa, yang terletak antara Mekkah dan Madinah.
Di Pangkuan Sang Kakek Nan Amat
Menyayangi
Rasulullah dibawa kembali ke Mekkah
oleh kakeknya. Perasaan kasih terhadap sang cucu yang yatim semakin bertambah
di sanubarinya, dan hal ini ditambah lagi dengan adanya musibah baru yang
seakan menggores luka lama yang belum sembuh betul. Maka ibalah dia
terhadapnya, sebuah perasaan yang tak pernah dia tumpahkan terhadap seorang pun
dari anak-anaknya. Dia tidak lagi membiarkan cucunya tersebut hanyut dengan
kesendirian yang terpaksa harus dialaminya bahkan dia lebih mengedepankan
kepen-tingannya daripada kepentingan anak-anaknya.
Ibnu Hisyam berkata, "Biasanya,
sudah terhampar permadani yang dihamparkan untuk 'Abdul Muththalib di bawah
naungan Ka'bah, lalu anak-anaknya duduk-duduk di sekitar permadani terse-but
hingga ia datang, tak seorang pun dari anak-anaknya tersebut yang berani
duduk-duduk di situ sebagai rasa hormat terhadapnya. Namun Rasulullah pernah
suatu ketika saat beliau berusia sekitar dua tahun, datang dan langsung duduk
di atas permadani tersebut, paman-pamannya sertamerta mencegahnya agar tidak
mendekati tempat itu. Bila kebetulan melihat tindakan anak-anaknya itu, 'Abdul
muththtalib berkata kepada mereka, 'Jangan kau ganggu cucuku! Demi Allah!
Sesungguhnya dia nanti akan menjadi orang yang besar!' Kemudian ia duduk-duduk
bersama beliau di permadani tersebut sembari mengusap-usap punggungnya dengan
tangannya. Dia merasa senang dengan kelakuan cucunya tersebut.2
Saat beliau berusia delapan tahun dua
bulan sepuluh hari, kakek beliau meninggal dunia di kota Mekkah. Sebelum
meninggal, dia memandang bahwa selayaknya dia menyerahkan tanggung jawab
terhadap cucunya tersebut kepada paman beliau, Abu Thalib, saudara kandung
ayahanda beliau.
Di Pangkuan Sang Paman Nan Penuh
Belas Kasih
Abu Thalib melaksanakan amanah yang
diembankan kepadanya untuk mengasuh keponakannya dengan sebaik-baiknya dan
mengga-bungkan beliau dengan anak-anaknya. Dia bahkan mendahulukan
kepentingannya ketimbang kepentingan mereka. Dia juga, mengisti-
1 Ibnu Hisyam, Ibid.; Talqih, Ibid.
2 Ibnu Hisyam, Ibid., h. 169.
Talqih, ibid.
75
mewakannya dengan penghormatan dan
penghargaan. Perlakuan tersebut terus berlanjut hingga beliau berusia di atas
empat puluh tahun, pamannya masih tetap memuliakan beliau, membentangkan
perlindungan terhadapnya, menjalin persahabatan ataupun mengo-barkan permusuhan
dalam rangka membelanya. Dan sekilas tentang hal itu, akan kami paparkan nanti
pada pembahasan tersendiri.
Meminta Hujan Turun Berkat
'Kedudukan' Beliau
Ibnu 'Asakir meriwayatkan hadits dari
Jalhamah bin 'Arfathah, dia berkata, "Ketika aku datang ke Mekkah, mereka
sedang mengalami musim paceklik (tidak turun hujan), lantas orang-orang Quraisy
berseru, 'Wahai Abu Thalib! Lembah telah mengering airnya dan kemiskinan
merajalela, untuk itu mari kita meminta turun hujan!' Kemudian Abu Thalib
keluar dengan membawa seorang anak yang laksana matahari yang diselimuti oleh
awan tebal pertanda hujan lebat akan turun, yang darinya muncul kabut tebal,
yang di sekitarnya terdapat sumber mata air sumur. Lalu, Abu Thalib memegang
anak tersebut, menyandarkan punggungnya ke Ka'bah, serta menaunginya dengan
jari-jemarinya (dari panasnya matahari-penj), ketika itu tidak ada gumpalan
awan sama sekali, namun tiba-tiba awan datang dari sana sini, kemudian turunlah
hujan dengan lebatnya sehingga lembah mengalirkan air dan lahan-lahan tanah
menjadi subur. Mengenai peristiwa ini, Abu Thalib menyinggungnya dalam
rangkaian baitnya,
"...Dan (bocah yang) putih, sang
penolong anak-anak yatim dan pelindung para janda
melalui "kedudukan'nyalah hujan
diharapkan turun."
Bersama Sang Rahib Bahira
Ketika Rasulullah berusia dua belas
tahun-menurut riwayat lain, dua belas tahun dua bulan sepuluh hari- pamannya,
Abu Thalib, membawanya serta berdagang ke negeri Syam hingga mereka sampai di
suatu tempat bernama Bushra yang masih termasuk wilayah Syam dan merupakan
ibukota Haurán. Ketika itu, Syam merupakan ibukota negeri-negeri Arab yang
masih mengadopsi undang-undang Romawi. Di negeri inilah dikenal seorang Rahib
(pendeta) yang bernama Bahiru (ada yang mengatakan nama aslinya adalah Jarjis).
Ketika rombongan tiba, dia langsung menyongsong mereka padahal sebelumnya tidak
pernah dia melakukan hal itu,
1 Mukhtashar Siratul Rasil, karya
Syaikh Abdullah an-Najdy, h. 15-16
2 Hal ini dinyatakan oleh Ibn
al-Jawziy dalam kitab Talgia Fuhami Adil Atsar, Loc. Cit
mewakannya dengan penghormatan dan
penghargaan. Perlakuan tersebut terus berlanjut hingga beliau berusia di atas
empat puluh tahun, pamannya masih tetap memuliakan beliau, membentangkan
perlindungan terhadapnya, menjalin persahabatan ataupun mengo-barkan permusuhan
dalam rangka membelanya. Dan sekilas tentang hal itu, akan kami paparkan nanti
pada pembahasan tersendiri.
Meminta Hujan Turun Berkat
'Kedudukan' Beliau
Ibnu 'Asakir meriwayatkan hadits dari
Jalhamah bin 'Arfathah, dia berkata, "Ketika aku datang ke Mekkah, mereka
sedang mengalami musim paceklik (tidak turun hujan), lantas orang-orang Quraisy
berseru, 'Wahai Abu Thalib! Lembah telah mengering airnya dan kemiskinan
merajalela, untuk itu mari kita meminta turun hujan!' Kemudian Abu Thalib
keluar dengan membawa seorang anak yang laksana matahari yang diselimuti oleh
awan tebal pertanda hujan lebat akan turun, yang darinya muncul kabut tebal,
yang di sekitarnya terdapat sumber mata air sumur. Lalu, Abu Thalib memegang
anak tersebut, menyandarkan punggungnya ke Ka'bah, serta menaunginya dengan
jari-jemarinya (dari panasnya matahari-penj), ketika itu tidak ada gumpalan
awan sama sekali, namun tiba-tiba awan datang dari sana sini, kemudian turunlah
hujan dengan lebatnya sehingga lembah mengalirkan air dan lahan-lahan tanah
menjadi subur. Mengenai peristiwa ini, Abu Thalib menyinggungnya dalam
rangkaian baitnya,
"...Dan (bocah yang) putih, sang
penolong anak-anak yatim dan pelindung para janda
melalui "kedudukan'nyalah hujan
diharapkan turun."
Bersama Sang Rahib Bahira
Ketika Rasulullah berusia dua belas
tahun-menurut riwayat lain, dua belas tahun dua bulan sepuluh hari- pamannya,
Abu Thalib, membawanya serta berdagang ke negeri Syam hingga mereka sampai di
suatu tempat bernama Bushra yang masih termasuk wilayah Syam dan merupakan
ibukota Haurán. Ketika itu, Syam merupakan ibukota negeri-negeri Arab yang
masih mengadopsi undang-undang Romawi. Di negeri inilah dikenal seorang Rahib
(pendeta) yang bernama Bahiru (ada yang mengatakan nama aslinya adalah Jarjis).
Ketika rombongan tiba, dia langsung menyongsong mereka padahal sebelumnya tidak
pernah dia melakukan hal itu,
1 Mukhtashar Siratul Rasil, karya
Syaikh Abdullah an-Najdy, h. 15-16
2 Hal ini dinyatakan oleh Ibn
al-Jawziy dalam kitab Talgia Fuhami Adil Atsar, Loc. Cit
kemudian berjalan di sela-sela mereka
hingga sampai kepada Rasulullah lalu memegang tangannya sembari berkata,
"Inilah penghulu alam semesta, inilah utusan Rabb alam semesta, dia diutus
oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta ini." Abu Thalib dan pemuka
kaum Quraisy bertanya kepadanya, "Bagaimana anda tahu hal itu?" Dia
menjawab, "Sesungguhnya ketika kalian muncul dan naik dari bebukitan,
tidak satu pun dari bebatuan ataupun pepohonan melainkan bersujud terhadapnya,
dan keduanya tidak akan bersujud kecuali terhadap seorang Nabi. Sesungguhnya
aku dapat mengetahuinya melalui tanda kenabian yang terletak pada bagian bawah
tulang rawan pundaknya yang bentuknya seperti apel. Sesungguhnya kami
mengetahui hal tersebut dari kitab suci kami." Kemudian sang Rahib
mempersilakan mereka dan menjamu mereka secara istimewa. Setelah itu, dia
meminta kepada Abu Thalib agar memulangkan keponakannya tersebut ke Mekkah dan
tidak memba-wanya serta ke Syam sebab khawatir bila tertangkap oleh orang-orang
Romawi dan Yahudi. Akhirnya, pamannya mengirimnya pulang bersama sebagian
anaknya ke Mekkah.'
Perang "Fujjar"
Pada saat beliau berusia dua puluh
tahun, berkecamuklah Perang Fujjar antara kabilah Quraisy dan sekutu mereka
dari Bani Kinanah melawan kabilah Qais 'Ailan. Harb bin Umayyah terpilih
menjadi komandan perang membawahi kabilah Quraisy dan Kinanah secara umum
karena faktor usia dan kebangsawanan. Kemenangan pada pagi hari berada di pihak
kabilah Qais, namun pada per-tengahan hari keadaan terbalik, kemenangan justru
berpihak pada Kinanah.
"Perang Fujjar" dinamakan
demikian karena dinodainya kesucian asy-syahrul haram (bulan yang dilarang
perang di dalamnya). Dalam perang ini, Rasulullah ikut serta dan membantu
paman-pamannya menyediakan anak panah buat mereka.
Hilful Fudhül
Begitu perang tersebut usai,
terjadilah hilful fudhûl (perjanjian kebulatan tekad/sumpah setia) pada bulan
Dzulqa'dah, di suatu
1 Sunan at-Tirmidziy, 3620;
al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah, X1/489, Dald il karya al-Baihaqiy,
II/24,25, ath-Thabariy, Op.cit., II/278-279. Di dalam Sunan at-Tirmidziy dan
selainnya disebutkan bahwa Abu Thalib mengutus bersamanya Bilal dan ini suatu
kekeliruan yang jelas, sebab, Bilal ketika itu sepertinya belum ada, sekali pun
sudah ada, maka dia tidaklah ikut-serta bersama paman beliau, tidak pula
bersama Abu Bakar, (Lihat, Zadul Ma'ad, 1/17).
bulan haram. Banyak Kabilah Kabilah
Quraisy yang ikut berkumpul pada perjanjian tersebut yaitu Bani Hasyim, Bani
al-Muththalib, Asad bin 'Abdul 'Uzza, Zahrah bin Kilab dan Taim bin Murrah.
Mereka berkumpul di kediaman 'Abdullah bin Jad'an al-Taimiy karena faktor usia
dan kebangsawanannya. Dalam perjanjian tersebut, mereka bersepakat dan berjanji
bahwa manakala ada orang yang dizhalimi di Mekkah, baik dia penduduk asli
maupun pendatang, maka mereka akan bergerak membelanya hingga haknya yang telah
dizhalimi dikembalikan lagi kepadanya. Rasulullah turut menghadiri perjanjian
tersebut. Setelah beliau dimuliakan oleh Allah dengan Risalah, beliau
berkomentar, "Sungguh aku telah menghadiri suatu half (perjanjian) di
kediaman 'Abdullah bin Jad'an yang lebih aku sukai ketimbang aku memiliki
humrun na'am (onta merah yang merupakan harta yang paling termahal dan menjadi
kebanggaan bangsa Arab ketika itu-penj.). Andai di dalam Islam aku diminta
untuk melakukan hal itu, niscaya aku akan memenuhinya."
Semangat perjanjian tersebut
bertolak-belakang dengan hamiyyah jahiliyyah (egoisme jahiliyah) yang justru
timbul dari sikap fanatisme (terhadap suku dan keluarga).
Ada sementara versi yang menyebutkan
bahwa sebab terjadi-nya perjanjian tersebut adalah, seorang dari kabilah Zubaid
yang datang ke Mekkah dan membawa barang, kemudian barang tersebut dibeli oleh
al-'Ash bin Wa'il as-Sahmiy namun dia menahan hak orang tersebut. Karenanya dia
meminta bantuan kepada suku-suku yang bersekutu di kota Mekkah atas perbuatan
al-'Ash tersebut. Para sekutu ini terdiri dari Bani 'Abdid Dâr, Makhzum, Jumah,
Sahm dan "Adiy akan tetapi mereka semua tidak mengacuhkannya. Akhirnya,
dia memanjat ke puncak gunung Abi Qubais dan memanggil-manggil mereka dengan
senandung sya'ir-sya'ir yang berisi kezhaliman yang tengah dialaminya seraya
mengencangkan suaranya. Rupanya, az Zubair bin 'Abdul Muththalib yang mendengar
hal itu langsung bergerak menuju ke arahnya seraya bertanya-tanya, "Kenapa
orang ini tidak diacuhkan?" Tak berapa lama kemudian, berkumpullah
kabilah-kabilah yang menyetujui perjanjian hilful fudhul di atas, lantas mereka
mendatangi al-'Ash bin Wa' il dan merebut darinya hak orang dari suku Zubaid
tersebut setelah menandatangani perjanjian.
1 lben Hisyam, bit, h. 113. 135.
Μολλαshar Stratur Rasail, Op.cit., h, 30, 31. 2 Thabata Sad, Op.cit, 1/126-128,
Nasaba Quraisy, karya az-Zubaidiy, A. 291.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar