KEUTAMAAN BULAN MUHARRAM
Bulan Muharram adalah salah satu bulan yang
mulia, namun Sebagian kaum muslimin tidak memahami hal itu, bahkan yang sangat
menyedihkan karena jauhnya mereka dari ajaran islam yang benar bulan Muharram dianggap
bulan yang membawa kesialan.
Adapun keutamaan
bulan Muharram yaitu:
1. Muharram (Asyura)
adalah bulan yang disucikan.
Allah ta’ala berfirman:
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا
عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ
مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗ.
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas
bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan
bumi, di antaranya ada empat bulan haram. (QS. At-Taubah[9]:36).
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ
كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ,
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا, مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ, ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو القَعْدَةِ, وَذُو الحِجَّةِ,
وَالْمُحَرَّمُ, وَرَجَبُ,
مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى, وَشَعْبَانَ.
“Sesungguhnya
waktu itu berputar sebagaimana keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan
bumi. Setahun ada 12 bulan. Di antara bulan-bulan tersebut ada 4 bulan yang
haram (tidak boleh berperang). 3 bulan berturut-turut, yaitu: Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, Al Muharram, (yang akhir) Rajab Mudhar, yaitu bulan di antara
bulan Jumaada dan Sya’ban.” (HR.
Bukhari 4662, Muslim 1679, Abu Dawud 1947).
Urutan bulan dalam
kalender Hijriyah (Islam) ada 12 bulan, sebagai berikut:
1) Muharram
– ٱلْمُحَرَّمُ
2)
Shafar – صَفَرٌ
3)
Rabi'ul Awwal – رَبِيعُ ٱلْأَوَّلِ
4)
Rabi'ul Akhir / Rabi'uts Tsani
– رَبِيعُ ٱلْآخِرِ atau رَبِيعُ ٱلثَّانِي
5)
Jumadil Ula – جُمَادَى ٱلْأُولَى
6)
Jumadil Akhirah / Jumadats Tsaniyah
– جُمَادَى ٱلآخِرَةِ atau
جُمَادَى
ٱلثَّانِيَةِ
7)
Rajab – رَجَبٌ
8)
Sya'ban – شَعْبَانُ
9)
Ramadhan – رَمَضَانُ
10)
Syawwal – شَوَّالُ
11)
Dzulqa’dah – ذُو ٱلْقَعْدَةِ
12)
Dzulhijjah – ذُو ٱلْحِجَّةِ
2. Bulan Allah (شَهْرُ
اللهِ).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
di dalam sabdanya bahwa Muharram adalah bulan Allah, Beliau bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ
رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ
صَلَاةُ اللَّيْلِ .
“Puasa yang paling utama setelah
(puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram. Sementara shalat yang
paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim 1163, Ahmad
8534).
3. Bulan yang diagungkan
semua agama samawi.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma,
mengisahkan hal itu, beliau berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ
الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى
تَصُومُونَهُ. فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى
وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ
نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ.
فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
“Ketika tiba di Madinah, Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa
’Asyura. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, ”Hari yang
kalian bepuasa ini adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, ”Ini
adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa
dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa
pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada
hari ini”. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lantas berkata, ”Kita
seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.” Lalu
setelah itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kaum
muslimin untuk berpuasa.” (HR. Muslim 1130, Abu Dawud 2747).
Adapun hadits yang melarang kita mengikuti
Ahlul kitab sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ
سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى
لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ
اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ.
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan
orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta
sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob pasti kalian
akan mengikutinya.” Kami berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud orang
Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim 2669,
Ahmad 8340).
Maka kita jawab, dengan beberapa
jawaban:
1)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan puasa Asyura semenjak di Makkah, sebagaimana
hal ini telah
diceritakan umul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ
قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ, وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ, فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ, وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ, فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ, فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.
“Di zaman jahiliyah dahulu, orang
Quraisy biasa melakukan puasa ’Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau melakukan puasa
tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun tatkala puasa
Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa ’Asyura. Barangsiapa yang mau,
silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (boleh puasa
boleh tidak).” (HR. Bukhari 2002, 3831, Muslim 1125).
2)
Rasulullah mendapatkan bimbingan wahyu dari Allah
ta’ala.
Allah ta’ala
berfirman:
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ.
“Dan (Rasulullah) tidak berucap berdasarkan
hawa nafsu(-nya). Tidak lain kecuali wahyu yang disampaikan .” (QS. An-Najm[53]:3-4).
As-Sa’di rahimahullah berkata: “Yakni
ucapannya bukanlah berdasarkan hawa nafsunya.” “Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang disampaikan padanya berupa hidayah, takwa dalam dirinya dan
pada yang lain.” (QS. An-Najm [53]:3-4).
3)
Dalam pelaksanaannya Rasulullah juga menyelisihi Ahlul
Kitab.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma beliau berkata:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ, قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ
تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا
الْيَوْمَ التَّاسِعَ, قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk
melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,“Wahai Rasulullah, hari ini adalah
hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” kemudian beliau mengatakan, “Apabila
tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula
pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam sudah meninggal dunia.” (HR. Muslim 1134, Abu
Dawud 2445).
Tatacara puasa Asyura.
Puasa Asyura ada tiga tingkatan:
“Tingkatan puasa Asyura’ ada tiga: Yang paling sempurna
adalah berpuasa juga pada sehari sebelum dan sesudahnya, yang pertengahan
adalah berpuasa pada tanggal 9 dan 10, dan yang pertengahan inilah yang paling
banyak riwayatnya. Tingkatan yang paling bawah adalah berpuasa pada tanggal 10
saja”. (Zaadul Ma’ad: 2/76, )
Oleh karena itu ada sebagian ulama
ada yang memakruhkan apabila berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram saja. Hal
ini sebagaimana fatwa Syaikh bin Baz rahimahullah, adapun Syaikh Muhammad bin
Shalih al’Utsaimin membolehkan hal itu namun lebih baik mengiringi dengan puasa
tanggal 9 Muharram. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/42).
Yang jelas setelah datang puasa
Ramadhan, puasa ‘Asyura tidaklah diwajibkan lagi dan hukumnya sunnah. Hal ini
telah menjadi kesepakatan para ulama sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi
-rahimahullah-. (Lihat Al Minhaj Syarh Muslim 8: 4).
4. Bulan
Muharram menyimpan sejarah besar bagi kaum muslimin.
Di antaranya:
1) Hari
‘Asyura adalah hari dimana nabi Musa telah diselamatkan dan dimenangkan atas
musuhnya Fir’aun oleh Allah ta’ala.
2) Sejarah
permulaan penanggalan islam.
Dahulu khalifah
Amirul Mu’minin ‘Umar Ibnul Khatab memberikan surat kepada para gubernurnya, di
antaranya apa yang diterima Abu Musa Al-Asy‘ari
radhiyahullahu’anhu, sebagai gubernur Basrah kala itu.
Beliau menulis surat kepada
‘Umar Ibnul Khatab, beliau berkata:
إِنَّهُ يَأْتِينَا مِنْكَ كُتُبٌ لَيْسَ لَهَا تَارِيخٌ.
“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda,
tanpa tanggal.”
فَجَمَعَ عُمَرُ النَّاسَ فَقَالَ
بَعْضُهُمْ أَرِّخْ بِالْمَبْعَثِ وَبَعْضُهُمْ أَرِّخْ بِالْهِجْرَةِ.
Maka Umarpun mengumpulkan
manusia, ada beberapa sahabat yang mengusulkan kala itu, berkata sebagian
diantara mereka, “Mulailah penanggalan dengan diutusnya Nabi,” ada juga yang
mengusulkan, “Mulailah penanggalan
dengan hijrahnya Nabi, Umar pun menyetujui hal itu.
فَقَالَ عُمَرُ الْهِجْرَةُ فَرَّقَتْ
بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ فَأَرِّخُوا بِهَا.
Maka Umar berkata, “ Hijrah merupakan
pemisah antara kebenaran dan kebatilan. Jadikanlah sebagai permulaan penanggalan.”
(Fathul Bari juz 7 hal 268).
Inilah beberapa keutamaan yang
ada pada bulan Muharram, dimana sangat bertolak belakang denga napa yang
diyakini kaum muslimin saat ini.
Mereka melakukan penyimpangan
yang sangat besar, yaitu penyimpangan masalah Aqidah, hal ini terjadi di
berbagai tempat dan telah mengakar pada Masyarakat padahal kebanyakan yang
melakukan hal ini adalah orang-orang Islam.
Diantara contohnya kesyirikan
yang terjadi dipesisir pantai:
1) Pantai
Parangtritis (Bantul, Yogyakarta)
Sajen: Kepala kerbau, bunga setaman, makanan tradisional, kain mori, kain
hijau
Sumber: Tradisi Labuhan di Keraton Yogyakarta (Balai Pelestarian Nilai
Budaya Yogyakarta), Kompas.com
2) Pantai
Pelabuhan Ratu (Sukabumi, Jabar)
Sajen: Kepala kerbau, bunga,
hasil bumi, kain hijau
Sumber: National Geographic
Indonesia, Disparbud Sukabumi
3) Pantai
Sendang Biru (Malang, Jatim)
Sajen: Kepala kambing/kerbau,
tumpeng, buah-buahan, bunga, dupa
Sumber: Detik.com, Dinas
Kebudayaan Jawa Timur
4) Pantai
Teluk Penyu (Cilacap, Jateng)
Sajen: Kepala kambing, makanan
khas, dupa, bunga setaman
Sumber: Warisan Budaya Takbenda Kemendikbud, Kebudayaan Jawa Tengah
5) Pantai
Kenjeran (Surabaya, Jatim)
Sajen: Perahu kecil berisi nasi
tumpeng, kepala ayam, dupa
Sumber: SuaraSurabaya.net, Balai
Pelestarian Budaya XI
6) Pantai
Boom (Banyuwangi, Jatim)
Sajen: Jolen (bambu) berisi
tumpeng, buah, bunga
Sumber: Tradisi Adat Suku Osing,
WBTB Kemendikbud
7) Pantai
Kartini (Jepara, Jateng)
Sajen: Tumpeng, ayam ingkung,
bunga, perahu kecil
Sumber: Disparbud Jepara, Ritual
Tradisional Jawa – Y. S. Sunaryo
8) Pantai
Tanjung Benoa (Bali)
Sajen: Canang, dupa, bunga,
makanan
Sumber: Agama Hindu Dharma di
Bali – I Made Titib, Babad Bali
9) Pantai
Parangkusumo (Bantul, DI Yogyakarta)
Sajen: Kepala kerbau, bunga setaman, tumpeng, kemenyan, kain mori/kain
hijau
Tujuan: Persembahan kepada “Kanjeng Ratu Kidul” dalam rangka Labuhan Agung
atau Labuhan Alit oleh Keraton Yogyakarta
Sumber: Buku: Tradisi Labuhan di Keraton Yogyakarta – Balai Pelestarian
Nilai Budaya Yogyakarta.
Artikel: Merdeka.com –
"Ritual Labuhan di Parangkusumo"
10)
Pantai Tawang (Kab. Kendal, Jawa
Tengah)
Sajen: Tumpeng, ayam ingkung,
bunga, kemenyan, kepala kambing
Tujuan: Tolak bala, memohon keselamatan laut, dan kelimpahan hasil laut
Nama Ritual: Sedekah Laut Tawang,
Sumber: WBTB Kemendikbud RI.
Begitu pula
yang terjadi di daratan
1)
Gunung Kemukus (Sragen):
sesaji kemenyan, bunga, makanan untuk arwah Pangeran Samudra – Asyura.
Sumber: Jurnal UIN, BPCB
Jateng.
2)
Gunung Tidar (Magelang):
tabur bunga, air kembang, dupa di makam Syaikh Subakir – 1–10 Muharram.
Sumber: Buku Gunung Tidar,
WBTB.
3)
Gunung Kawi (Malang):
kopi, dupa, bunga untuk Mbah Djoego – ramai pada Asyura.
Sumber: Jurnal UMM, WBTB.
4)
Makam Sunan Kalijaga (Demak):
ziarah + sesaji bunga dan dupa – 10 Muharram.
Sumber: BPNB Jateng, WBTB.
5)
Keraton Yogyakarta: Labuhan,
jamasan pusaka pakai kepala kerbau, tumpeng – 1–10 Muharram.
Sumber: BPNB DIY, Kompas.
6)
Keraton Surakarta: kirab pusaka
+ sesaji jamasan dan dupa – malam 1 Suro–Asyura.
Sumber: Disbud Solo, WBTB.
7)
Mangkunegaran (Solo): kirab
kerbau, jamasan tombak dan keris – Suro.
Sumber: BPCB Jateng, WBTB.
8)
Pakualaman (Yogyakarta):
Labuhan Alit, sesaji tumpeng, kepala kambing – 1–10 Muharram.
Sumber: Disbudpar DIY, BPNB.
Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِاللَّهِ إِلَّا
وَهُم مُّشْرِكُونَ .
"Dan sebahagian besar dari mereka tidak
beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sembahan-sembahan lain)." (QS. Yusuf [12]:106).
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي
مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ.
“Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
prasangka itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”(QS. Yunus[10]: 36).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ
أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ, وَحَتَّى تَعْبُدَ الْأَوْثَانَ.
"Tidak
akan tegak hari Kiamat hingga sebagian kabilah dari umatku bergabung dengan
kaum musyrikin, sampai mereka menyembah berhala." (HR. Ahmad 22452, Tirmidzi
2219, Abu Dawud 1084, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 1683,
Al-Misykah 5406).
dari sini pentingnya seseorang mempelajari agamanya agar dapat
meninggalkan apa saja yang menjadi larangan-Nya.
1. Pengertian tathayyur.
Tathayyur atau
thiyarah, secara bahasa diambil dari kata الطَّيْر
(tha’ir) yang artinya ‘burung’. Karena orang-orang arab dimasa dahulu, ketika
mereka hendak bepergian (atau ada keperluan penting), mereka biasa mengambil
seekor burung dan kemudian diterbangkan. Jika burung tersebut terbang ke arah
kanan, itulah yang dikehendaki, namun jika burung tersebut terbang kearah kiri
mereka mengurungkan niatnya.
التَّطَيُّرُ هُوَ التَّشَاؤُمُ بِمَرْئِيٍّ أَوْ مَسْمُوعٍ أَوْ زَمَانٍ أَوْ
مَكَانٍ هَذَا هُوَ التَّطَيُّرُ أَنْ يَتَشَاءَمَ الإِنْسَانُ بِالشَّيْءِ
وَإِنَّمَا سُمِّيَ تَطَيُّرًا لِأَنَّ العَرَبَ فِي الجَاهِلِيَّةِ
يَتَشَاءَمُونَ بِالطَّيْرِ, فَغَلَبَ الاسْمُ عَلَى كُلِّ تَشَاؤُمٍ.
Tathayyur
adalah merasa sial karena sesuatu yang terlihat, terdengar, waktu tertentu,
atau tempat tertentu. Inilah yang disebut tathayyur: seseorang merasa sial
terhadap sesuatu. Dinamakan tathayyur karena orang-orang Arab di masa
Jahiliyyah merasa sial dengan burung, sehingga nama ini menjadi umum untuk
semua bentuk anggapan sial. (Syarah Riyadhus-shalihin 6/414, Syaikh Muhammad
bin Shalih al-‘Utsaimin
Pengertian tathayyur secara
istilah yaitu menganggap sial atas apa yang dilihat, didengar, atau yang
diketahui, tanpa adanya dalil dan bukti ilmiah. (lihat Al Qaulul mufid, Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin).
Sedangkan menurut, Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan :
التطـيُّر:
هُوَ التَّشَاؤُمُ مِنَ الشَّيْءِ المَرْئِيِّ أَوْ المَسْمُوْع
At-tathayyur yaitu, “Merasa sial karena
sesuatu yang dilihat maupun yang didengar” (Miftah
Daris Sa’adah, 3/311).
2.
Hukum
tathayyur
Hukum
thattayyur ada dua:
1)
Apabila
menganggap yang mendatangkan manfaat dan madharat adalah makhluk atau sesuatu
selain Allah tersebut maka hukumnya adalah Syirik akbar.
2)
Namun
apa bila meyakini yang mendatangkan manfaat dan madharat adalah Allah,
sedangkan sesuatu tersebut hanyalah sebab saja, maka hukumnya syirik kecil.
3.
Larangan
tathayyur.
Tathayyur dilarang di dalam agama, karena orang yang melakukan atau
meyakini tathayyur menisbatkan kebaikan dan keburukan, keselamatan
dan kesialan, kepada selain Allah. Padahal itu semua terjadi atas ketetapan
Allah. Allah ta’ala berfirman :
فَإِذَا
جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ
يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ
وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ.
“Jika
datang kebaikan pada mereka, mereka berkata: ini karena kami. Dan jika mereka
ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan
orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu
adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
(QS. Al-A’raf[7]:131).
قَالُوا
إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ
وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ. قَالُوا طَائِرُكُمْ
مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ.
Mereka berkata,
“Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. Sungguh, jika kamu tidak
berhenti (menyeru kami), niscaya kami rajam kamu dan kamu pasti akan merasakan
siksaan yang pedih dari kami.” Mereka (utusan-utusan) itu berkata, “Kemalangan
kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan?
Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Yasiin[36]:18-19).
Dari
Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ
صَفَرَ.
"Tidak dibenarkan
menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak
dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang
karena burung, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar.” (HR.
Bukhari 5757, Muslim 2220).
زَادَ مُسلِمُ: وَلاَ نَوْءَ وَلاَ غُوْلَ.
Imam Muslim menambahkan “Tidak ada
bintang dan tidak ada ghul (hantu).”
اَلطِّيَرَةُ
شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ
اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.
“Thiyarah
itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti
terbetik dalam hatinya. Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal
kepadaNya.” (HR.
Bukhari di dalam Adabul Mufrad 909, Tirmidzi 1614).
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطَيِّرَ لَهُ.
“Bukan
bagian dari kami orang yang melakukan tathayyur atau orang yang meminta
dilakukan tathayyur untuknya” (HR. al-Bazzar 3578, dihasankan
al-Albani dalam At-Tharhib wa Thagib 3041).
Dari Anas
radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا
عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ: الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ
الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ .
“Tidak ada keyakinan bahwa penyakit itu datang sendiri dan
tidak boleh bersikap thiyarah. Sesungguhnya aku kagum dengan sikap yang
optimis, yaitu perkataan yang baik.” (HR.
Bukhari 5756, Muslim 2224, Ahmad 12323).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
anhuma, ia berkata: “Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ, قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ, قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ
:اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ
إِلَهَ غَيْرُكَ.
“Barangsiapa
mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Para
Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan
kecuali kebaikan dari Engkau, tidak ada keburukan melainkan darimu dan tidak
ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.” (HR. Ahmad 7045, di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam
Ash-Shahihah 1065).
4.
Fenomena tathayyur (anggapan sial)
yang terjadi di masyarakat.
Beranggapan sial dari waktu, seperti:
1)
Bulan Muharram atau Sura, orang tidak
berani bangun rumah, pindah rumah, mengadakan walimahan sampai-sampai menebang
pohon tidak berani.
2)
Bersamaan tanggal lahir (wethon) atau
kematian orang tua(geblak), tidak berani mengadakan hajatan pada persamaan
waktu tersebut.
3)
Dari hewan, seperti burung gagak,
burung hantu, burung kedasih, cicak, ular, kucing, suara tokek.
4)
Dari arah, seperti barat ke utara
(dianggap bujur mayit, naga hari diangap hari na’as bila pergi ketempat
tertentu, tinggal ditotokan jalan (tusuk
sate), tinggal di belakang rumah orang tua, tinggal berhadapan dengan orang tua,
kakak beradik dapat istri atau suami satu desa dianggap kalah salah satu.
5)
Saat istri hamil, tidak boleh
mengalungkan handuk kuatir anaknya berkalung ari-ari, tidak boleh membunuh
binatang sekalipun lele, tidak boleh nyembelih karena diyakini anaknya bisa
cacat.
6)
Jika anak lahir sama harinya dengan
orang tua. Anak harus dibuang terlebih
dahulu, kemudian di beli atau ditebus oleh orang tuannya.
7)
Berkaitan dengan angka, seperti anak
nomer satu tidak boleh menikah dengan nomer tiga, bahkan ternyata bukan hanya
di pelosok desa saja tapi orang-orang yang sudah memahami sains sekalipun masih
meyakini hal ini, mereka membuat nomer kursi pesawat atau nomer kamar hotel
dengan melompatkan nomer 13.
8)
Menganggap sial jika kegunung atau
kepantai dengan memakai pakaian warna pupus pisang (warna hijau muda). Seandainya
hal itu karena menyulitkan orang yang mencari disebabkan pakaian tersebut
memiliki warna sama dengan air maupun dedaunan hal ini tidak masalah, tapi
seandainya sebabnya warna tersebut adalah warna kesukaan atau yang dibenci oleh
yang dianggap penguasa setempat inilah yang terlarang.
9)
Masuk rumah yang terdapat bayinya,
tidak boleh langsung, harus kedapur terlebih dahulu.
Menganggap bayi itu rentan terhadap gangguan makhluk ghaib.
Adapun di dalam islam telah diajarkan bagaimana ketika masuk kedalam rumah.
Allah ta’ala berfirman:
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَىٰ
أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً
“Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah
(ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi
salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang
diberi berkat lagi baik.”
(QS. An-Nuur: 61)
Dari Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia
berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membacakan perlindungan
kepada al-Hasan dan al-Husain, dan beliau bersabda:
إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ: أَعُوذُ
بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ
عَيْنٍ لاَمَّةٍ.
"Sesungguhnya
ayah kalian (Ibrahim ‘alaihis salam) biasa membacakan doa ini kepada Ismail dan
Ishaq: ‘Aku berlindung dengan
kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari setiap setan, dan binatang berbahaya,
serta dari setiap mata yang membawa keburukan.’” (HR. Bukhari 3371)
10)
Berkaitan dengan orang yang meninggal.
Brojolan di bawah keranda (tolak bala’, cuci badan pakai air bekas mandinya
jenazah, nyebar uang (sawur).
Adapun yang benar
yaitu:
1. Sebagai seorang muslim wajib meyakini agama islam ini
telah sempurna. Tidak perlu tambahan dalam bentuk apapun.
Allah
ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا.
“… Pada hari ini
telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (QS. Al-Maidah
[5]: 3)
2. Allah ta’ala memerintahkan agar kita masuk islam secara kaffah.
Setelah masuk islam kita tidak boleh mengambil keyakinan selain
dari islam, atau mencampur adukkan. Allah ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ.
“Hai orang-orang
yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu
turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.” (QS. Al Baqarah [2]: 208)
3. Hendaknya kita mengambil sumber aqidah kita dari Al-Qur’an dan
Sunnah yang shahih.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ
لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ.
“Aku tinggalkan kalian dalam keadaan terang-benderang,
siangnya seperti malamnya. Tidak ada yang berpaling dari keadaan tersebut
kecuali ia pasti celaka.” (HR. Ahmad 4/126 Ibnu Majah 43
dan disahihkan Syaikh al-Albani di Shahihul Jami’ 4369).
4. Tidak ada kesialan dalam islam, (kecuali bagi pelaku dosa dan
kemaksiatan).
Allah ta’ala berfirman:
قَالُوا إِنَّا
تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ
مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ . قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ
قَوْمٌ مُسْرِفُونَ.
“Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami bernasib
malang Karena kamu, Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami),
niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih
dari kami". Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah Karena
kamu sendiri. apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)?
Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas." (QS. Yaasiin [36]:
18-19)
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ, وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ.
"Tidak dibenarkan
menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ada ketentuan Allah),
tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib
malang karena burung, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar.” (HR. Bukhari 5757, Muslim 2220).
اَلطِّيَرَةُ
شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ وَمَا مِنَّا إِلاَّ, وَلَكِنَّ اللهَ
يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.
“Thiyarah itu syirik, thiyarah itu
syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti terbetik dalam hatinya.
Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepadaNya.” (HR. Bukhari di
dalam Adabul Mufrad 909, Tirmidzi 1614)
5. Kebaikan dan
keburukan semua datang dari Allah bukan dari makhluk.
Larangan keras bagi orang yang meyakini adanya
kebaikan dan keburukan yang datang dari selain dari Allah ta’ala, dari perkara
apa yang manusia tidak mampu.
Allah ta’ala berfirmaan:
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ
الظَّالِمِينَ.
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat
dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu
berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk
orang-orang yang zalim." (QS. Yunus [10]: 106).
Kedzoliman pada ayat tersebut maksudnya adalah kesyirikan,
sebagaimana di dalam surat Lukman
[31]:13.
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ
لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ
لَظُلْمٌ عَظِيمٌ.
“Dan ingatlah ketika Lukman memberikan pengajaran
kepada aaknya, serasa berkata kepada, “ wahai anakku janganlah engkau
menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan Allah adalah kesyirikan yang
besar.” (QS. Lukman[31]:13)
Allah tidak mengampuni dosa kesyirikan apa bila sampai
mati seseorang masih menyekutukan Allah ta’ala.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ
وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ.
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”(QS. An Nisaa [4]:
48)
Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارَ
وَقُلْتُ أَنَا وَمَنْ مَاتَ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّة
“Barang
siapa mati dalam keadaan menyekutukan Allah dia akan masuk kedalam neraka,
barang siapa mati tidak menyekutukan Allah dia akan masuk kedalam surga.” (HR. Bukhari 4227, Muslim 92)
6. Tidak boleh mengikuti adat istiadat ataupun nenek
moyang jika bertentangan dengan agama.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ
اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ
آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:
"Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab:
"(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga),
walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak
mendapat petunjuk?." (QS. Al-Baqarah[2]:170.
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ
تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي
الدُّنْيَا مَعْرُوفًا.
“Dan
jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Lukman [31]: 15)
7. Tidak perlu kita takut dengan aneka macam tipudaya
syaitan dan berbagai macam klenik serta kurafat.
وَكَيْفَ أَخَافُ مَا
أَشْرَكْتُمْ وَلَا تَخَافُونَ أَنَّكُمْ أَشْرَكْتُمْ بِاللَّهِ مَا لَمْ
يُنَزِّلْ بِهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا فَأَيُّ الْفَرِيقَيْنِ أَحَقُّ بِالْأَمْنِ
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
”Dan bagaimana
mungkin aku takut kepada sesembahan yang kalian persekutukan (dengan Allah),
padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah
sendiri tidak pernah menurunkan hujjah (keterangan).” (QS. Al-An’am [6]: 81)
Demikianlah
nabi Ibrahim pernah memporak-perandakan sesembahan orang-orang musyrik, Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam juga menikah di bulan Shafar yang menurut orang
jahiliyah dahulu adalah bulan sial, begitu pula Khalid bin Walid membabat jin
yang berujud wanita, semua itu tidak mendatangkan kecelakaan, karena jin dan
syaitan itu hakekatnya lemah, dan Allahlah pemilik kerajaan.
Seandainya
terjadi sesuatu ketika melakukan hajatan, pernikahan, dan yang lainnya di bulan
Muharam (Asyura), hendaknya kita mengetahui bahwa semua kejadian di muka
bumi ini semua telah di catat Allah ta’ala sebelum kata Syuro itu di
sebut-sebut oleh orang.
Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
كَتَبَ
اللهُ مَقَادِيْرُ الخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ
بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ.
“Allah
telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan
langit dan bumi.” (HR. Muslim 2653).
Dari ayat dan
hadits di atas, jelaslah apa yang dilakukan kebanyakan orang-orang sekarang
yang masih meyakini seperti itu hanyalah mitos belaka. Oleh karena itu hendaknya
kaum muslimin kembali kepada agamanya, meninggalkan keyakinan yang keliru ini, (yaitu
anggapan bulan syuro adalah bulan sial) sebagaimana yang tersebar di
masyarakat, dan ternyata keyakinan ini merupakan warisan yang di bawa oleh
syaitan dari orang-orang musyrik jahiliyah dahulu.
Demikianlah
uraian yang ringkas ini semoga bermanfaat untuk saya dan siapapun yang membaca
dan menyebarkan tulisan ini. Aamiin
-----000-----
Sragen
28-06-2025
Junaedi
Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar