Senin, 23 Juni 2025

HUD AQIDATAKA BAB 5 SOAL: 3 FENOMENA KESYIRIKAN PADA MASYARAKAT.

 


BAB 5

SYIRIK BESAR.

SOAL: 3

FENOMENA KESYIRIKAN PADA MASYARAKAT.

 

م - هَلِ الشِّرْكُ مَوْجُودٌ فِي هٰذِهِ الأُمَّةِ.

Soal: Apakah pada umat ini terdapat syirik besar?

ج- نَعَمْ, مَوْجُودٌ.

Jawab: Benar, ada.

وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ:

Bukti dalilnya, adalah firman Allah ta’ala:

 { وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِالله إِلَّا وَهُمْ مشركون{ ( سورة يوسف : ١٠٦(

"Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (Surat Yusuf ayat 106).

وَقَالَ :

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 ) لا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَق قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بالمشركين , حتى تعبد الأوثان .(حَدِيثٌ صحيح رواه الترمذى

"Tidak akan tegak hari Kiamat hingga sebagian kabilah dari umatku bergabung dengan kaum musyrikin, sampai mereka menyembah berhala." (Hadits shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi)

 

 

-----000-----

Penjelasan:

1.   Kemusyrikan terjadi dengan berbagai bentuk pada umat ini.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِاللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ .

"Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)." (QS. Yusuf [12]:106).

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ.

"Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah." (QS. Al-Baqarah[2]:165).

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ ۖ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَـٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ.

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb (tuhan-tuhan) selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS. At-Taubah[9]:31).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَق قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بالمشركين , حتى تعبد الأوثان .

"Tidak akan tegak hari Kiamat hingga sebagian kabilah dari umatku bergabung dengan kaum musyrikin, sampai mereka menyembah berhala." (HR. Tirmidzi 2219, Abu Dawud 1084, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 1683, Al-Misykah 5406).

2.   Bentuk-bentuk kemusyrikan yang terjadi pada umat dahulu.

Kesyirikan pertama kali terjadi pada masa Nabi Nuh ‘alaihis salam. Terhadap orang-orang shalih di antara mereka, yaitu Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Setelah orang-orang shalih tersebut wafat, kaum Nabi Nuh membuat patung-patung mereka sebagai bentuk penghormatan. Awalnya, patung-patung itu didirikan hanya untuk mengenang dan memberi semangat dalam beribadah.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا.

"Dan mereka berkata: 'Jangan sekali-kali kamu meninggalkan sembahan-sembahan kamu dan jangan pula meninggalkan Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr'." (QS. Nuh [71]: 23).

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنِ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمُ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ العِلْمُ عُبِدَتْ.

"Berhala-berhala itu merupakan nama-nama dari orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka (orang-orang shalih itu) telah wafat, setan membisikkan kepada kaum mereka agar mendirikan patung-patung di tempat-tempat pertemuan yang biasa mereka gunakan, dan menamakannya dengan nama-nama mereka. Maka kaum itu pun melakukannya, tetapi patung-patung tersebut pada masa itu belum disembah. Hingga ketika generasi itu binasa dan ilmu telah dilupakan oleh generasi berikutnya, barulah patung-patung itu disembah." (HR. Bukhari 4920).

3.   Persamaan kesyirikan yang terjadi dahulu dan sekarang.

Kesyirikan yang terjadi pada masa lalu dan sekarang tidak jauh berbeda.

1)  Bersikap gulu’ (berlebihan) kepada orang shalih.

Kemusyrikan yang terjadi pada masa nabi Nuh di awali dengan bersikap gulu’ (berlebih-lebihan) terhadap orang shalih yaitu Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.

Orang-orang islam sekarang juga bersikap gulu’ (berlebih-lebihan) terhadap orang shalih, seperti mengunjungi kuburan yang dianggap para wali, atau orang shalih, atau orang sakti kemudian mereka mengeluh dan meminta kepada penghuni kubur tersebut, bahkan petilasan-petilasan yang belum jelas sekalipun disatanginya dan dianggab memberikan berkah, bahkan banyak yang dijadikan tempat-tempat wisata.

Sikap berlebihan seperti ini dilarang oleh Allah ta’ala, Allah ta’ala berfirman:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ.

"Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar (QS. An-Nisa’: 171)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ.

"Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani; mereka telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)." (HR. Bukhari 1330, Muslim 530).

2)  Menyembah dan mengagungkan pohon.

Orang-orang dahulu menyembah dan mengagungkan pohon.

Allah ta’ala berfirman:

أَفَرَأَيْتُمُ اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ . وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ . أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَىٰ . تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَىٰ  .إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ ۖ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَىٰ.

“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan apa pun untuk (menyembah)nya. Mereka hanya mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya. Padahal sungguh, telah datang petunjuk dari Tuhan mereka.” (QS. An-Najm [53]: 19-23).

Latta adalah batu yang diukir, dahulu dia adalah seorang penumbuk gandum yang diberikan kepada orang berhaji.

‘Uzza adalah pohon yang dinaungi tirai, dan ta’bir yang berada di Thaif.

Adapun Manat terletak di musyalal daerah Qadid antara Makkah dan Madinah. (tafsir Ibnu Katsir QS-An-Najm[53]:10-23).

“Dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu’anhu, dia menceritakan: “Kami keluar bersama Rasulullah sallallhu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain, sedang kami baru saja meningalkan kekafiran, kami melewati sebuah pohon dimana orang-orang musyirik menggantungkan pedang-pedang mereka, pohon tersebut dinamakan, “Dzatu Anwath”, mereka menggelantungkan senjata-senjata mereka pada pohon tersebut. Lalu, kami berkata:

اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ فَقَالَ: " اللَّهُ أَكْبَرُ قُلْتُمْ كَمَا قَالَ أَهْلُ الْكِتَابِ لِمُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ {اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ} )الأعراف: 138( " ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّكُمْ سَتَرْكَبُونَ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ.

 “wahai Rasulullah jadikanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allahu akbar, kalian telah mengatakan seperti perkataan ahli kitab kepada Musa ‘jadikanlah untuk kami ilah(sembahan) seperti halnya mereka mempunyai ilah(QS. Al-A’raf[7]:138), sesungguhnya kalian akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian.” (HR. Abu Dawud 1443, Tirmidzi 2180 di sahihkan Syaikh al-Albani di dalam al-Miyskah 5369).

Orang-orang sekarang mereka banyak yang mengagungkan pohon dan meminta berkah dari pohon tersebut.

Seperti  alas purwa (pepohon yang dianggap keramat) di Banyu Wangi, kandang bubrah di Wonogiri, ringin kembar di Jogja, mereka meminta pesugihan, berkah, penglaris. Belum lagi pohon-pohon yang bertebaran di desa-desa dimana saat-saat tertentu mereka mendatanginya dengan membawa sesaji, tumpeng, sego golong (nasi yang dibulatkan) dan ingkung (ayam yang dipanggang). Mereka menganggap pohon-pohon tersebut keramat, terkadang diantara mereka memetik dahan-dahan pohon tersebut untuk ditancapkan di sawah-sawah mereka agar terhindar dari hama atau lainnya.

3)  Punden (batu yang ditata) atau tempat yang diagungkan.

Orang-orang dahulu mengagungkan batu seperti al-Lata, yang berujud batu yang diukir.

Orang-orang sekarang juga mengagungkan batu-batu (punden) yang masih tersebar banyak di Masyarakat.

Bahkan kesyirikan orang-orang sekarang lebih banyak lagi.

4)  Memberi atau melemparkan sesaji ke kawah-kawah gunung.

Seperti memberi sesaji pada gunung Kawi, gunung Kemukus, gunung Lawu, gunung Merapi dan lain-lain, atau melemparkan sesajen di kawah-kawah tersebut atau disekelilingnya, mereka  meyakini hal itu akan mendatangkan keberkahan, dan keselamatan dari kemurkaan (yang dianggap) penguasa gunung tersebut.

5)  Melarung sesaji di Pantai-pantai.

Hampir sepanjang pesisir pantai-pantai yang ada di Indonesia, masyarakat biasa melarung sesajen, hal itu dilakukan bentuk syukur kepada pantai atau yang dianggap menjadi penguasa pantai tersebut, yang telah dianggap memberikan barakah yang banyak, berupa ikan atau rezeki lain, padahal tidak ada yang mendatangkan rezeki tersebut kecuali Allah subhanahu wa ta’ala, seandainya mereka bersyukur terhadap Allah tentu mereka mentaatinya menjauhkan dari yang dilarang yaitu kesyrikan.

6)  Memberi sesaji di gua-gua.

Banyak gua-gua di masyarakat Indonesia, dimana gua-gua tersebut dianggap mendatangkan keberkahan, atau penguasa, sehingga gua tersebut diberi sesajen, ada juga yang mengadakan kurban berupa kambing maupun sapi, dengan anggapan bahwa gua atau yang dianggap penguasanya tersebut telah memberikan keberkahan berupa mengabulkan nadzar-nadzar mereka dan hajad-hajad mereka. Wal iyadzu billah.

7)  Memberikan sesaji di sumur-sumur.

Banyak sumur-sumur yang dikeramatkan di Masyarakat dan diangungkan kemudian mereka memberikan sesaji-sesaji.

Atau diambil airnya yang dianggap memberikan berkah.

8)  Menyembah patung.

Patung atau Arca ini sangat banyak sekali yang bertebaran di sekitar masyarakat kaum muslimin, baik yang berujud manusia, hewan atau wujud lainnya, banyak manusia mengambil barakah dari patung situ, seperti diantaranya patung Rara Junggrang yang berada di jogja, patung di pringgondani, maupun berbagai tempat lainya.

9)  Mencari berakah di Sungai-sungi.

Mereka berjalan di malam hari pada tanggal satu Sura, kemudian pergi ke tempuran sungai (dua aliran sungai yang bertemu) kemudian berendam disitu untuk mencari berakah.

10) Mencari berakah pada waktu tertentu untuk melakukan sesuatu.

Seperti kebiasaan orang-orang untuk melakukan ritual di bulan Sura, dengan mencuci gaman, kirab kerbau, naik kepuncak gunung, maupun di pantai-pantai, ditempat-tempat seperti ini pada waktu sura dianggab bisa mendatangkan keberkahan.

11)      Mengambil berakah dari binatang.

Sebagian memiliki anggapan bahwa ada hewan-hewan tertentu  tersebut yang dapat mendatangkan keberkahan, seperti kotoran kerbau bule yang konon disebut kyai slamet bisa mendatangkan keberkahan, memelihara ikan lohan dengan corak tertentu, burung perkutut, kucing dengan anggapan bahwa hal itu dapat memberikan keberkahan.

12)     Mengambil berakah dari benda atau zimat-zimat.

Seperti:  keris, akik, tombak, sabuk, kulit hewan, tulang, taring, batu dan lain-lain, dimana benda-benda ini pada malam jum’at, atau saat tertentu diberi saji berupa minyak wangi ataupun bunga, kemudian diyakini hal itu dapat mendatangkan barakah, mereka merendam di air dan diberikan pada orang yang sakit, atau mengabulkan permintaan mereka berupa wibawa, penglaris, kekuatan, atau pengasian. Mereka juga meyakini zimat-zimat tersebut dapat menolak madharat.

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ.

"Sesungguhnya ruqyah (yang tidak syar'i), tamimah (jimat), dan tiwalah (pelet) adalah syirik." (HR. Abu Dawud 3883, Ahmad 3165, Syaikh al-Albani berkata, Shahih ligairihi, di dalam Ash-Shahihah 331, 2972).

13)     Menanam, maupun menggantungkan sesaji .

Menggantungkan atau mengubur sesaji baik ketika membuat rumah, menikahkan anak, ataupun bersih desa.

14)     Memberikan sesajen di meja di waktu lebaran.

Mereka meyakini bahwa ruh-ruh leluhur dianggap pulang pada waktu lebaran.

15)    Merendam bunga setaman.

Hal ini dilakukan setiap malam jum’at di depan pintu atau tempat yang lain kemudian di buang di halaman atau di jalan di waktu pagi.

16)    Tingkepan (bahasa jawa mitoni).

Hal ini diyakini bisa menolak balak, dan dianggap mendatangkan keberkahan, padahal ini merupakan kebiasaan orang-orang hindu. (Tradisi–tradisi Adi Luhung Para Leluhur Jawa. Yogyakarta: DIPTA).

17)     Menanam ari-ari dan memberinya lampu.

Mereka memiliki anggapan:

Kakang Kawah (Kakak Air Ketuban):

Air ketuban yang keluar pertama kali sebelum bayi lahir dianggap sebagai "kakak" dari si bayi, sedangkan ari-ari (plasenta) yang keluar setelah bayi lahir dianggap sebagai "adik" dari si bayi.

Dalam anggapan masyarakat ketika bayi lahir, diyakini dia "ditemani" oleh dua makhluk ghaib yaitu kakang kawah dan adi ari-ari, yang menjaga dan menjadi temannya, oleh karena itu sebagian masyarakat mewajibkan ditanam di pagari, diberi bunga dan lampu di malam hari.

Keyakian-keyakinan seperti ini tidak bersumber dari islam, oleh karena itu hendaknya ditinggalkan.

18)  Memberikan gelang atau kalung.  Gelang dan kalung yang dimaksud diyakini dapat menolak balak, lelembut (setan jahat) atau bahaya lainnya.

Allah ta’ala berfirman:

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.

“Dan jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia.” (QS. Al-An’am[6]: 17).

19)     Meletakkan senjata tajam di dekat anak.

Anak yang baru lahir dianggap rawan diganggu setan, agar tidak di ganggu maka diletakkanlah pisau, gunting atau selainnya di dekat bayi agar para pengganggu (setan maupun lainnya) takut.

20) Meletakkan benda-benda atau rajah-rajah yang tak diketahui maknanya di atas pintu rumah atau ditanam di dalam halalaman.

Hal ini diyakini mampu menolak dapat menolak bahaya kepada penghuni rumah, dan dapat mendatangkan keberkahan.

Tathayyur

Banyaknya masyarakat kita yang masih meyakini tathayyur (anggapan sial) padahal ini adalah larangan keras di dalam agama, dari sini hendaknya kita memperhatikan pentingnya kita mengetahui permasalahan ini, diantaranya:

Pengertian tathayyur.

Tathayyur atau thiyarah, secara bahasa diambil dari kata الطَّيْر (tha’ir) yang artinya ‘burung’. Karena orang-orang arab dimasa dahulu, ketika mereka hendak bepergian (atau ada keperluan penting), mereka biasa mengambil seekor burung dan kemudian diterbangkan. Jika burung tersebut terbang ke arah kanan, itulah yang dikehendaki, namun jika burung tersebut terbang kearah kiri mereka mengurungkan niatnya.

Pengertian tathayyur secara istilah yaitu menganggap sial atas apa yang dilihat, didengar, atau yang diketahui, tanpa adanya dalil dan bukti ilmiah. (lihat Al Qaulul mufid, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin).

Sedangkan menurut, Ibnul Qayyim rahimahullah  mengatakan :

التطـيُّر: هُوَ التَّشَاؤُمُ مِنَ الشَّيْءِ المَرْئِيِّ أَوْ المَسْمُوْع

At-tathayyur yaitu, “Merasa sial karena sesuatu yang dilihat maupun yang didengar” (Miftah Daris Sa’adah, 3/311).

Hukum tathayyur ada dua:

1)     Apabila menganggap yang mendatangkan manfaat dan madharat adalah makhluk atau sesuatu selain Allah tersebut maka hukumnya adalah Syirik akbar.

2)     Namun apa bila meyakini yang mendatangkan manfaat dan madharat adalah Allah, sedangkan sesuatu tersebut hanyalah sebab saja, maka hukumnya syirik kecil.

 

Larangan tathayyur.

 

Tathayyur dilarang di dalam agama, karena orang yang melakukan atau meyakini tathayyur menisbatkan kebaikan dan keburukan, keselamatan dan kesialan, kepada selain Allah. Padahal itu semua terjadi atas ketetapan Allah. Allah ta’ala berfirman :

فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ.

“Jika datang kebaikan pada mereka, mereka berkata: ini karena kami. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Al-A’raf[7]:131).

قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ. قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ.

Mereka berkata, “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. Sungguh, jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami rajam kamu dan kamu pasti akan merasakan siksaan yang pedih dari kami.” Mereka (utusan-utusan) itu berkata, “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Yasiin[36]:18-19).

Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ.

"Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena burung, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan Shafar.” (HR. Bukhari 5757, Muslim 2220).

زَادَ مُسلِمُ: وَلاَ نَوْءَ وَلاَ غُوْلَ.

Imam Muslim menambahkan “Tidak ada bintang dan tidak ada ghul (hantu).”

اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.

Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti terbetik dalam hatinya. Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepadaNya.” (HR. Bukhari di dalam Adabul Mufrad 909, Tirmidzi 1614).

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطَيِّرَ لَهُ.

“Bukan bagian dari kami orang yang melakukan tathayyur atau orang yang meminta dilakukan tathayyur untuknya” (HR. al-Bazzar 3578, dihasankan al-Albani dalam At-Tharhib wa Thagib 3041).

Dari Anas radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ: الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ .

“Tidak ada keyakinan bahwa penyakit itu datang sendiri dan tidak boleh bersikap thiyarah. Sesungguhnya aku kagum dengan sikap yang optimis, yaitu perkataan yang baik.” (HR. Bukhari 5756, Muslim 2224, Ahmad 12323).

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ, قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ, قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ :اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.

“Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tidak ada keburukan melainkan darimu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.” (HR. Ahmad 7045, di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 1065).

Contoh-contoh tathayyur.

Beranggapan sial dari waktu, seperti:

1)  Bulan Muharram atau Sura, orang tidak berani bangun rumah, pindah rumah, mengadakan walimahan sampai-sampai menebang pohon tidak berani.

2)  Bersamaan tanggal lahir (wethon) atau kematian orang tua, tidak berani mengadakan hajatan pada persamaan waktu tersebut.

3)  Dari hewan, seperti burung gagak, burung hantu, burung kedasih, cicak, ular, kucing, tokek.

4)  Dari arah, seperti barat ke utara (dianggap bujur mayit, naga hari diangap hari na’as bila pergi ketempat tertentu,  tinggal ditotokan jalan (tusuk sate), tinggal di belakang rumah orang tua, tinggal berhadapan dengan orang tua, kakak beradik dapat istri atau suami satu desa dianggap kalah salah satu.

5)  Saat istri hamil, tidak boleh mengalungkan handuk kuatir anaknya berkalung ari-ari, tidak boleh membunuh binatang sekalipun lele, tidak boleh nyembelih karena diyakini anaknya bisa cacat.

6)  Jika anak lahir sama harinya dengan orang tua.  Anak harus dibuang terlebih dahulu, kemudian di beli atau ditebus oleh orang tuannya.

7)  Berkaitan dengan angka, seperti anak nomer satu tidak boleh menikah dengan nomer tiga, bahkan ternyata bukan hanya di pelosok desa saja tapi orang-orang yang sudah memahami sains sekalipun masih meyakini hal ini, mereka membuat nomer kursi pesawat atau nomer kamar hotel dengan melompatkan nomer 13.

8)  Menganggap sial jika kegunung atau kepantai dengan memakai pakaian warna pupus pisang (warna hijau muda). Seandainya hal itu karena menyulitkan orang yang mencari disebabkan pakaian tersebut memiliki warna sama dengan air maupun dedaunan hal ini tidak masalah, tapi seandainya sebabnya warna tersebut adalah warna kesukaan atau yang dibenci oleh yang dianggap penguasa setempat inilah yang terlarang.

Semua ini tidak benar dan tidak dibenarkan syari’at, justru menjadikan kehidupan manusia semakin sulit, sempit dan runyam.

Allah ta’ala berfirman:

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ لِفَضْلِهِ.

Jika Allah menimpakan kepadamu kemudaratan maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia dan bila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang dapat menolak keutamaan-Nya.” (QS. Yunus [10]: 107).

وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ.

“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Yunus [10]: 106).

Orang-orang yang melakukan tathayyur telah terjerumus di dalam kesyirikan bisa jadi syirik kecil maupun syirik besar, bila semata-mata hal itulah diyakaini yang mendatangkan madharat hal ini bisa membawa kepada syirik besar, namun jika itu hanya sebab saja, sedang dia meyakinin Allahlah yang mendatangkan manfa’at dan madharat, tidak menjadikan syirik besar.  Namun mereka bisa jadi tidak mendapatkan keutamaan masuk surga tanpa hisab tanpa adzab.

Bagaimana kita mengurai keyakinan tathayyur tersebut.

1)  Hendaknya kita meyakini islam adalah agama yang telah sempurna.

2)  Hendaknya seseorang masuk islam secara keseluruhan.

3)  Hendaknya mengambil sumber aqidah kita dari Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih serta ijma’ para pendahulu kita yang shalih.

4) Meninggalkan keyakinan yang tidak benar, baik yang diambil dari dongeng-dongeng nenek moyang kita, dari mimpi ataupun kisah maha barata atau Ramayana.

5)  Meyakini semua telah ditetapkan Allah di dalam taqdirnya, tidak ada yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak madharat kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.

6) Bertawakal kepada Allah ta’ala, niscaya Allah akan memberikan perlindungan kepada hambanya yang bertaqwa.

Demikianlah kemusyrikan yang terjadi pada zaman dahulu dan apa yang terjadi pada zaman kita sekarang ini, semoga kita menyadari bahayanya dan meninggalkan serta menjahui sejauh-jauhnya. Aamiin.

 

-----000-----

Sragen 24-06-2025

Junaedi Abdullah.

HUD AQIDATAKA BAB 5 SOAL: 3 FENOMENA KESYIRIKAN PADA MASYARAKAT.

  BAB 5 SYIRIK BESAR. SOAL: 3 FENOMENA KESYIRIKAN PADA MASYARAKAT.   م - هَلِ الشِّرْكُ مَوْجُودٌ فِي هٰذِهِ الأُمَّةِ . Soal: A...