Puasa Arafah memiliki keutamaan yang sangat besar, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ
عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ، وَالسَّنَةَ الَّتِي
بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ
السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ.
"Puasa Arafah (9 Zulhijah) aku
berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan
setahun akan datang. Adapun puasa Asyuro (10 Muharam) aku berharap akan
menghapuskan dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim 1162).
Ibnu
Hajar Al-Asqalani berkata:
إِنَّ صَوْمَ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً وَإِنَّ
صِيَامَ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ وَظَاهِرُهُ أَنَّ صِيَامَ يَوْمِ
عَرَفَةَ أَفْضَلُ مِنْ صِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ وَقَدْ قِيلَ فِي الْحِكْمَةِ
فِي ذَلِكَ إِنَّ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مَنْسُوبٌ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ
وَيَوْمَ عَرَفَةَ مَنْسُوبٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَلِذَلِكَ كَانَ أَفْضَلَ.
“Sesungguhnya puasa Asyura menghapuskan dosa setahun,
sedangkan puasa Arafah menghapuskan dosa dua tahun, dan nampaknya puasa Arafah
lebih utama dari puasa Asyura, dikatakan, hikmah dibalik itu, puasa Asyura
disandarkan kepada nabi Musa ‘alaihi salam, sedangkan puasa Arafah disandarkan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh karena itu lebih utama.” (Fathul
Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani juz 4 hal 249).
Bagaimana pelaksanaannya..?
Hampir setiap tahun kita dihadapkan pertanyaan seperti ini.
1.
Apakah puasa Arafah harus mengikuti wukuf di Arafah.
2.
Atau setiap tanggal 9 baik bersesuaian dengan wukuf
ataupun tidak.
3.
Ada juga yang berpendapat, puasa Ramadhan ikut
pemerintah adapun wukuf Arafah megikuti pelaksanaan haji yang sedang wukuf.
Para ulama hilaf dalam masalah ini, oleh karena itu kita
bahas satu-persatu.
Pertama: Bagaimana menentukan permulaan ibadah kita..?
Dalam hal Al-Qur’an sendiri telah memberi kejelasan.
1.
Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa permulaan syari’at
haji, puasa maupun iddah yaitu dengan menggunakan bulan sebagaimana firman
Allah ta’ala:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ
هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ.
“Mereka bertanya
kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, "Itu adalah
(penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji." (QS. Al-Baqarah
[2]189).
Abu Ja'far
meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah, telah sampai sebuah hadits kepada
kami bahwa mereka pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa Allah
menciptakan hilal (bulan sabit)?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia." (Al-Baqarah: 189) Maksudnya, Allah
menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu puasa kaum muslimin dan waktu
berbuka mereka, bilangan idah istri-istri, dan tanda waktu agama (ibadah haji)
mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Baqarah[2]:189).
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ..
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS.
Al-Baqarah[2]:185).
Kalimat شَهِدَ – يَشْهَدُ memiliki arti beberapa macam, yaitu: bersaksi,
melihat, menghadiri, memberi kesaksian, memberi pembuktian.
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan
dalam tafsir diatas beliau berkata, ”Ini merupakan suatu keharusan bagi orang
yang menyaksikan hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di
negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat,
maka dia harus mengerjakan puasa.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. [2]:185)
2.
Hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberi
kejelasan bagaimana permulaan ibadah puasa maupun haji.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ
شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ.
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena
melihatnya, apabila tidak nampak oleh kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh
hari.” (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081).
Hadits yang berkaitan dengan Idul A’dha.
الصَّوْمُ يَوْمَ
تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.
“Puasa itu ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul
fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi 697, Ibnu
Majah 1660, di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 224, Shahihul
Jami’ 3807).
Setelah kita sampaikan dalil-dalil di atas bahwa ibadah
diawali dengan melihat hilal, demikian yang tulis para ulama di dalam
kitab-kitab fikih mereka.
Kemajuan jaman tidak serta merta menggeser dalam menentukan
permulaan ibadah diatas, namun sebagai penguat atas ketentuan syari’at diatas.
Permasalahan kedua: Bagaimana di dalam menyikapi perbedaan permulaan munculnya
bulan, karena dari sini munculnya perbedaan permulaan ibadah. Untuk menjelaskan
hal itu:
1. Kita berpegang
pada Atsar para shahabat, dimana mereka telah hidup bersama dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kita dapati penjelasanya.
Telah
menceritakan kepadaku Muhammad (yakni Ibnu abi Harmalah) dari Kuraib dia
berkata:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ
بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ،
“Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya
menemui Mu’awiyah di Syam (dalam satu keperluan).
قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ، فَقَضَيْتُ
حَاجَتَهَا،
Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, kemudian aku
selesaikan semua keperluannya.
وَاسْتَهَلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا
بِالشَّامِ، فَرَأَيْنَا الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ،
Dan tampaklah olehku bulan (hilal) Ramadhan, sedang aku masih
di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadhan) pada malam Jum’at.
ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ
الشَّهْرِ،
Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadhan),
فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ،
ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ، فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ؟
lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke
padaku, ia menyebutkan tentang hilal, ia bertanya: “Kapan kamu melihat hilal
(Ramadlan) ?.”
فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ.
فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا، وَصَامَ
مُعَاوِيَةُ.
Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at.”
Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?”
Jawabku : “Ya, Dan
orang banyak juga melihatnya, lalu mereka berpuasa dan Mu’awiyah juga
berpuasa.”
فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ،
فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكَمِّلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ.
Ia berkata : “Tetapi kami melihatnya (di Madinah) pada malam
Sabtu, maka kami akan terus berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari,
atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal).“
فَقُلْتُ: أَوَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ
مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟
Aku bertanya : “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (apa yang di
lihat penduduk Syam) dan puasanya Mu’awiyah ?.
فَقَالَ: «لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Jawabnya : “Tidak ! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, telah memerintahkan kepada kami.” ( HR. Muslim 1087, Ahmad 2789,
Tirmidzi 693, Baihaqi 8205, Darukuthni 2211).
Hadits ini tidak diragukan lagi keshahihannya oleh para pakar
hadits.
2. Penjelasan ulama
mengenai hal itu.
Imam Muslim
membuat Bab.
)بَابُ
بَيَانِ أَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ)
Berkata penulis rahimahullah
ta’ala, Bab “Penjelasan setiap negri mereka memiliki rukyah.
Imam Nawawi rahimahullah
berkata:
وَأَنَّهُمْ إِذَا
رَأَوُا الْهِلَالَ بِبَلَدٍ لَا يَثْبُتُ حُكْمُهُ لِمَا بَعُدَ عَنْهُمْ
“Apa bila
mereka melihat hilal pada satu negri, tidak berlaku hukumnya bagi negri yang
jauh dari mereka,”
mengikuti
rukyahnya.”
فِيهِ حَدِيثُ
كُرَيْبٍ عَنِ بن عَبَّاسٍ وَهُوَ ظَاهِرُ الدَّلَالَةِ لِلتَّرْجَمَةِ
وَالصَّحِيحُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا أَنَّ الرُّؤْيَةَ لَا تَعُمُّ النَّاسَ بَلْ
تَخْتَصُّ بِمَنْ قَرُبَ عَلَى مَسَافَةٍ .
Berkata imam Nawawi rahimahullah, “ Hadits Kuraib dan Ibnu
Abbas ini, Nampak dalil penjelasannya, Beliau berkata, “yang benar menurut
sahabat-sahabat kami, (menurut pengikut imam Syafi’i), bahwa rukyah tidak untuk
seluruh manusia, akan tetapi khusus bagi yang dekat jaraknya.” (Syarah Muslim,
Imam Nawawi juz 7 hal 197).
نَقُولُ إِنَّمَا
لَمْ يعمل بن عَبَّاسٍ بِخَبَرِ كُرَيْبٍ لِأَنَّهُ شَهَادَةٌ فَلَا تَثْبُتُ
بِوَاحِدٍ لَكِنَّ ظَاهِرَ حَدِيثِهِ أَنَّهُ لَمْ يَرُدَّهُ لِهَذَا وَإِنَّمَا
رَدَّهُ لِأَنَّ الرُّؤْيَةَ لَمْ يَثْبُتْ حُكْمُهَا فِي حَقِّ الْبَعِيدِ
“Kami mengatakan, bahwasanya Ibnu Abbas tidak mengamalkan kabar
yang dibawa Kuraib di karenakan tidak ditetapkan saksi dengan satu orang, (bukan
karena itu) akan tetapi ditolaknya kesaksian tersebut tidak berlaku hukumnya
pada tempat yang jauh.” (Syarah Muslim, Imam Nawawi juz 7 hal 197).
Setelah kita memperhatikan dalil-dalil secara utuh dan
menggabungkan keseluruhannya kita akan dapati satu jawaban bahwasanya pendapat
yang kedua yang mengatakan bahwasanya ruyatul hilal berdasarkan negri
masing-masing lebih kuat.
Pembahasan ketiga: Jika demikian permasalahan akan mengerucut bahwa di dalam
menentukan puasa Arafah yaitu mengikuti tempat masing-masing, dan tidak
mengharuskan bersamaan dengan orang-orang yang wukuf di Arafah.
Jika hal semacam ini berlaku pada jaman dahulu maka jaman
sekarang juga demikian karena berdasarkan poin pertama permulaan ibadah dengan
melihat hilal. Dan inilah yang di fatwakan para ulama.
Pertanyaan
Kami berpindah
domisili karena kondisi tertentu ke rumah di negara Pakistan, ada banyak
kondisi yang berubah, dari mulai waktu-waktu shalat dan lain sebagainya…
Saya ingin bertanya
kepada Anda bahwa saya ingin berpuasa Arafah, akan tetapi kalender hijriyahnya
di Pakistan berbeda dengan Saudi Arabia, di Pakistan tanggal 8 sementara di
Saudi tanggal 9, jadi apakah saya berpuasa pada pada tanggal 8 yang berarti
tanggal 9 di Saudi atau saya berpuasa sesuai dengan kalender Pakistan ?
Teks Jawaban
Alhamdulillah.
Syeikh Ibnu Utsaimin
–rahimahullah- pernah ditanya terkait dengan perbedaan hari Arafah karena
perbedaan daerah akan terbitnya hilal, maka apakah kita berpuasa dengan
mengikuti rukyahnya negara yang kita berada di dalamnya atau kita berpuasa
mengikuti rukyahnya Al Haramain ?
Beliau yang terhormat
menjawab:
“Hal ini didasarkan pada
perbedaan pendapat para ulama, apakah satu hilal untuk seluruh dunia atau hilal
itu berbeda sesuai dengan perbedaan terbitnya ?”
Yang benar adalah:
Hilal itu berbeda-beda sesuai
dengan perbedaan tempat terbitnya, misalnya jika hilal itu sudah terlihat di
Makkah, dan hari tersebut adalah tanggal 9, dan hilal sudah terlihat di negara
lain satu hari sebelum Makkah, dan hari Arafah bagi mereka adalah tanggal 10,
maka mereka tidak boleh berpuasa pada hari tersebut; karena hari itu adalah
hari raya.
Demikian juga ketika hilal di
Makkah terlambat untuk bisa dilihat, dan hari tersebut tanggal 8 bagi mereka,
maka mereka berpuasa pada hari ke-9 bagi mereka yang bertepatan dengan tanggal
10 di Makkah, inilah pendapat yang lebih kuat; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi
wa sallam- bersabda:
إذا
رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
“Jika kalian telah melihatnya
(hilal) maka berpuasalah, dan jika kalian telah melihatnya maka berbukalah
(hari raya)”.
Mereka yang tidak melihat dari
arah mereka, maka mereka belum melihatnya sebagaimana orang-orang yang telah
melakukan ijma’ dengan menganggap terbitnya fajar dan terbenamnya matahari di
setiap daerah sesuai dengan waktunya masing-masing, maka demikian juga
penentuan waktu bulanan sama seperti waktu harian”. (Majmu’ Al Fatawa: 20)
Beliau –rahimahullah- juga pernah
ditanya oleh sebagian pegawai kedutaan negara Saudi yang ada di salah satu
negara:
“Di sini kami mengalami
(perbedaan) khususnya pada bulan Ramadhan yang penuh berkah dan puasa Arafah,
karena di sana orang-orang terbagi menjadi tiga golongan:
Sebagian mengatakan: “Kita
berpuasa dan berhari raya bersamaan dengan puasanya Saudi”.
Sebagian lainnya mengatakan:
“Kita berpuasa dan berhari raya bersama dengan negara yang menjadi tempat kita
tinggal”.
Sebagian lainnya mengatakan:
“Kita berpuasa Ramadhan bersama dengan negara tempat tinggal kita, adapun hari
Arafah maka bersamaan dengan Saudi Arabia”.
Atas dasar itulah maka saya
berharap dari Anda yang terhormat untuk menjawab dengan lengkap dan terperinci
terkait dengan puasa Ramadhan yang penuh berkah dan hari Arafah di sertai
dengan isyarat bahwa negara….sepanjang lima tahun belakangan ini tidak sesuai
dengan Saudi dalam hal puasa Ramadhan dan puasa Arafah, negara tersebut memulai
puasa Ramadhan lebih lambat satu, dua atau bahkan terkadang tiga hari setelah
Saudi”.
Beliau menjawab:
“Para ulama –rahimahumullah-
berbeda pendapat menjadi banyak pendapat terkait dengan hilal yang sudah
terlihat pada suatu tempat di negara kaum muslimin namun tidak terlihat pada
negara lainnya, apakah semua umat Islam wajib mengamalkannya atau tidak,
kecuali bagi mereka yang melihatnya saja dan negara yang satu mathla’ (tempat
terbit) dengan mereka, atau berlaku bagi mereka yang telah melihatnya dan
mereka yang berada di bawah satu wilayah dengan mereka.
Pendapat yang rajih (kuat) adalah
dikembaikan kepada para ulama, jika tempat terbitnya hilal pada dua negara
sama, maka kedua negara tersebut seperti satu negara, jika hilal sudah terlihat
di salah satu negara tersebut maka hukumnya juga berlaku pada negara
sebelahnya. Adapun jika tempat terbitnya berbeda maka setiap negara menentukan
masing-masing, pendapat ini yang dipilih oleh Syeikh Islam Ibnu Taimiyah
–rahimahullah- dan hal itu sesuai dengan teks Al Qur’an dan Sunnah dan tuntutan
qiyas:
Adapun menurut Al Qur’an
sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فمن
شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد الله بكم
اليسر ولا يريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم
تشكرون
“Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur”. (QS. Al Baqarah: 185)
Maka dalam konteks ayat ini
maksudnya bagi mereka yang belum hadir/menyaksikan (hilal) maka belum wajib
berpuasa.
Adapun menurut As Sunnah maka
Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إذا
رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا
“Jika kalian telah melihatnya
(hilal) maka berpuasalah, dan jika kalian telah melihatnya maka berbukalah
(hari raya)”.
Dalam konteks hadits ini bahwa
jika kita belum melihatnya maka belum wajib berpuasa dan berhari raya.
Adapun menurut qiyas; karena
menahan (memulai puasa) dan berhari raya menganggap pada setiap satu negara dan
tempat terbit dan terbenamnya sama dengannya menjadi tempat bertemunya titik
ijma’, maka penduduk Asia Tenggara akan melihat dan memulai puasa terlebih
dahulu dari pada penduduk yang ada di sebelah barat mereka dan mereka pun akan
berhari raya lebih dahulu di bandingkan dengan penduduk sebelah barat mereka
tersebut; karena fajar akan terbit terbih dahulu kepada mereka; demikian juga
matahari akan terbenam terlebih dahulu kepada mereka dibandingkan dengan
penduduk negara yang ada di sebelah barat mereka, jika hal itu telah ditetapkan
pada awal puasa dan berbuka setiap harinya, maka mengawali dan mengakhiri puasa
di awal dan akhir bulan pun sama tidak ada bedanya.
Akan tetapi jika beberapa negara
berada di bawah satu kepemimpinan, dan penguasanya telah memerintahkan untuk
berpuasa kepada mereka semua atau berhari raya maka wajib dilaksanakan; karena
masalah ini termasuk masalah khilafiyah dan ketentuan hakim memutus khilafiyah
tersebut.
Atas
dasar itulah maka, berpuasalah dan berhari rayalah kalian sebagaimana puasa dan
hari raya di negara mana anda berada, baik harinya sesuai dengan negara asal
kalian atau berbeda dengan negara asal kalian, demikian juga pada puasa Arafah
ikutilah negara di mana kalian berdomisili di dalamnya”. (Majmu’ Al Fatawa: 19)
Islam qa.
Demikianlah semoga
bermanfaat.
Sragen
11-06-2024.
Junaedi
Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar