Senin, 10 Juni 2024

PUASA ARAFAH MENGIKUTI SAUDI ATAU PEMERINTAH SETEMPAT.

 



Puasa Arafah memiliki keutamaan yang sangat besar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ، وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ.


"Puasa Arafah (9 Zulhijah) aku berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Adapun puasa Asyuro (10 Muharam) aku berharap akan menghapuskan dosa setahun yang lalu." (HR. Muslim 1162).

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:

إِنَّ صَوْمَ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً وَإِنَّ صِيَامَ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ وَظَاهِرُهُ أَنَّ صِيَامَ يَوْمِ عَرَفَةَ أَفْضَلُ مِنْ صِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ وَقَدْ قِيلَ فِي الْحِكْمَةِ فِي ذَلِكَ إِنَّ يَوْمَ عَاشُورَاءَ مَنْسُوبٌ إِلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ وَيَوْمَ عَرَفَةَ مَنْسُوبٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلِذَلِكَ كَانَ أَفْضَلَ.

“Sesungguhnya puasa Asyura menghapuskan dosa setahun, sedangkan puasa Arafah menghapuskan dosa dua tahun, dan nampaknya puasa Arafah lebih utama dari puasa Asyura, dikatakan, hikmah dibalik itu, puasa Asyura disandarkan kepada nabi Musa ‘alaihi salam, sedangkan puasa Arafah disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, oleh karena itu lebih utama.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani juz 4 hal 249).

Bagaimana pelaksanaannya..?

Hampir setiap tahun kita dihadapkan pertanyaan seperti ini.

1.   Apakah puasa Arafah harus mengikuti wukuf di Arafah.

2.   Atau setiap tanggal 9 baik bersesuaian dengan wukuf ataupun tidak.

3.   Ada juga yang berpendapat, puasa Ramadhan ikut pemerintah adapun wukuf Arafah megikuti pelaksanaan haji yang sedang wukuf.

Para ulama hilaf dalam masalah ini, oleh karena itu kita bahas satu-persatu.

Pertama: Bagaimana menentukan permulaan ibadah kita..?

Dalam hal Al-Qur’an sendiri telah memberi kejelasan.

1.   Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa permulaan syari’at haji, puasa maupun iddah yaitu dengan menggunakan bulan sebagaimana firman Allah ta’ala:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ.

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, "Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji." (QS. Al-Baqarah [2]189).

Abu Ja'far meriwayatkan dari Ar-Rabi', dari Abul Aliyah, telah sampai sebuah hadits kepada kami bahwa mereka pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa Allah menciptakan hilal (bulan sabit)?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia." (Al-Baqarah: 189) Maksudnya, Allah menjadikan bulan sabit sebagai tanda-tanda waktu puasa kaum muslimin dan waktu berbuka mereka, bilangan idah istri-istri, dan tanda waktu agama (ibadah haji) mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Baqarah[2]:189).

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ..

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah[2]:185).

Kalimat  شَهِدَ – يَشْهَدُ  memiliki arti beberapa macam, yaitu: bersaksi, melihat, menghadiri, memberi kesaksian, memberi pembuktian.

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dalam tafsir diatas beliau berkata, ”Ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan puasa.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. [2]:185)

2.   Hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberi kejelasan bagaimana permulaan ibadah puasa maupun haji.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ.

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya, apabila tidak nampak oleh kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081).

Hadits yang berkaitan dengan Idul A’dha.

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.

“Puasa itu ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi 697, Ibnu Majah 1660, di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 224, Shahihul Jami’ 3807).

Setelah kita sampaikan dalil-dalil di atas bahwa ibadah diawali dengan melihat hilal, demikian yang tulis para ulama di dalam kitab-kitab fikih mereka.

Kemajuan jaman tidak serta merta menggeser dalam menentukan permulaan ibadah diatas, namun sebagai penguat atas ketentuan syari’at diatas.

 

Permasalahan kedua: Bagaimana di dalam menyikapi perbedaan permulaan munculnya bulan, karena dari sini munculnya perbedaan permulaan ibadah. Untuk menjelaskan hal itu:

1.   Kita berpegang pada Atsar para shahabat, dimana mereka telah hidup bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kita dapati penjelasanya.

Telah menceritakan kepadaku Muhammad (yakni Ibnu abi Harmalah) dari Kuraib dia berkata:

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ،

“Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam (dalam satu keperluan).

 قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ، فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا،

Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, kemudian aku selesaikan semua keperluannya.

 وَاسْتَهَلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ، فَرَأَيْنَا الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ،

Dan tampaklah olehku bulan (hilal) Ramadhan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadhan) pada malam Jum’at.

 ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ،

Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadhan),

 فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ، فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ؟

lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku, ia menyebutkan tentang hilal, ia bertanya: “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan) ?.”

 فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا، وَصَامَ مُعَاوِيَةُ.

Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at.”

Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?”

Jawabku : “Ya,  Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka berpuasa dan Mu’awiyah juga berpuasa.”

فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ، فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكَمِّلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ.

Ia berkata : “Tetapi kami melihatnya (di Madinah) pada malam Sabtu, maka kami akan terus berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal).“

فَقُلْتُ: أَوَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟

Aku bertanya : “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (apa yang di lihat penduduk Syam) dan puasanya Mu’awiyah ?.

 فَقَالَ: «لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Jawabnya : “Tidak ! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami.” ( HR. Muslim 1087, Ahmad 2789, Tirmidzi 693, Baihaqi 8205, Darukuthni 2211).

Hadits ini tidak diragukan lagi keshahihannya oleh para pakar hadits.

 

2.   Penjelasan ulama mengenai hal itu.

Imam Muslim membuat Bab.

 )بَابُ بَيَانِ أَنَّ لِكُلِّ بَلَدٍ رُؤْيَتَهُمْ)

Berkata penulis rahimahullah ta’ala, Bab “Penjelasan setiap negri mereka memiliki rukyah.

Imam Nawawi rahimahullah berkata:

وَأَنَّهُمْ إِذَا رَأَوُا الْهِلَالَ بِبَلَدٍ لَا يَثْبُتُ حُكْمُهُ لِمَا بَعُدَ عَنْهُمْ

“Apa bila mereka melihat hilal pada satu negri, tidak berlaku hukumnya bagi negri yang jauh dari mereka,”

mengikuti rukyahnya.”

 

فِيهِ حَدِيثُ كُرَيْبٍ عَنِ بن عَبَّاسٍ وَهُوَ ظَاهِرُ الدَّلَالَةِ لِلتَّرْجَمَةِ وَالصَّحِيحُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا أَنَّ الرُّؤْيَةَ لَا تَعُمُّ النَّاسَ بَلْ تَخْتَصُّ بِمَنْ قَرُبَ عَلَى مَسَافَةٍ .

Berkata imam Nawawi rahimahullah, “ Hadits Kuraib dan Ibnu Abbas ini, Nampak dalil penjelasannya, Beliau berkata, “yang benar menurut sahabat-sahabat kami, (menurut pengikut imam Syafi’i), bahwa rukyah tidak untuk seluruh manusia, akan tetapi khusus bagi yang dekat jaraknya.” (Syarah Muslim, Imam Nawawi juz 7 hal 197).

نَقُولُ إِنَّمَا لَمْ يعمل بن عَبَّاسٍ بِخَبَرِ كُرَيْبٍ لِأَنَّهُ شَهَادَةٌ فَلَا تَثْبُتُ بِوَاحِدٍ لَكِنَّ ظَاهِرَ حَدِيثِهِ أَنَّهُ لَمْ يَرُدَّهُ لِهَذَا وَإِنَّمَا رَدَّهُ لِأَنَّ الرُّؤْيَةَ لَمْ يَثْبُتْ حُكْمُهَا فِي حَقِّ الْبَعِيدِ

“Kami mengatakan, bahwasanya Ibnu Abbas tidak mengamalkan kabar yang dibawa Kuraib di karenakan tidak ditetapkan saksi dengan satu orang, (bukan karena itu) akan tetapi ditolaknya kesaksian tersebut tidak berlaku hukumnya pada tempat yang jauh.” (Syarah Muslim, Imam Nawawi juz 7 hal 197).

Setelah kita memperhatikan dalil-dalil secara utuh dan menggabungkan keseluruhannya kita akan dapati satu jawaban bahwasanya pendapat yang kedua yang mengatakan bahwasanya ruyatul hilal berdasarkan negri masing-masing lebih kuat.

Pembahasan ketiga: Jika demikian permasalahan akan mengerucut bahwa di dalam menentukan puasa Arafah yaitu mengikuti tempat masing-masing, dan tidak mengharuskan bersamaan dengan orang-orang yang wukuf di Arafah.

Jika hal semacam ini berlaku pada jaman dahulu maka jaman sekarang juga demikian karena berdasarkan poin pertama permulaan ibadah dengan melihat hilal. Dan inilah yang di fatwakan para ulama.

Pertanyaan

Kami berpindah domisili karena kondisi tertentu ke rumah di negara Pakistan, ada banyak kondisi yang berubah, dari mulai waktu-waktu shalat dan lain sebagainya…

Saya ingin bertanya kepada Anda bahwa saya ingin berpuasa Arafah, akan tetapi kalender hijriyahnya di Pakistan berbeda dengan Saudi Arabia, di Pakistan tanggal 8 sementara di Saudi tanggal 9, jadi apakah saya berpuasa pada pada tanggal 8 yang berarti tanggal 9 di Saudi atau saya berpuasa sesuai dengan kalender Pakistan ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya terkait dengan perbedaan hari Arafah karena perbedaan daerah akan terbitnya hilal, maka apakah kita berpuasa dengan mengikuti rukyahnya negara yang kita berada di dalamnya atau kita berpuasa mengikuti rukyahnya Al Haramain ?

Beliau yang terhormat  menjawab:

“Hal ini didasarkan pada perbedaan pendapat para ulama, apakah satu hilal untuk seluruh dunia atau hilal itu berbeda sesuai dengan perbedaan terbitnya ?”

Yang benar adalah:

Hilal itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat terbitnya, misalnya jika hilal itu sudah terlihat di Makkah, dan hari tersebut adalah tanggal 9, dan hilal sudah terlihat di negara lain satu hari sebelum Makkah, dan hari Arafah bagi mereka adalah tanggal 10, maka mereka tidak boleh berpuasa pada hari tersebut; karena hari itu adalah hari raya.

Demikian juga ketika hilal di Makkah terlambat untuk bisa dilihat, dan hari tersebut tanggal 8 bagi mereka, maka mereka berpuasa pada hari ke-9 bagi mereka yang bertepatan dengan tanggal 10 di Makkah, inilah pendapat yang lebih kuat; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا 

“Jika kalian telah melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan jika kalian telah melihatnya maka berbukalah (hari raya)”.

Mereka yang tidak melihat dari arah mereka, maka mereka belum melihatnya sebagaimana orang-orang yang telah melakukan ijma’ dengan menganggap terbitnya fajar dan terbenamnya matahari di setiap daerah sesuai dengan waktunya masing-masing, maka demikian juga penentuan waktu bulanan sama seperti waktu harian”. (Majmu’ Al Fatawa: 20)

Beliau –rahimahullah- juga pernah ditanya oleh sebagian pegawai kedutaan negara Saudi yang ada di salah satu negara:

“Di sini kami mengalami (perbedaan) khususnya pada bulan Ramadhan yang penuh berkah dan puasa Arafah, karena di sana orang-orang terbagi menjadi tiga golongan:

Sebagian mengatakan: “Kita berpuasa dan berhari raya bersamaan dengan puasanya Saudi”.

Sebagian lainnya mengatakan: “Kita berpuasa dan berhari raya bersama dengan negara yang menjadi tempat kita tinggal”.

Sebagian lainnya mengatakan: “Kita berpuasa Ramadhan bersama dengan negara tempat tinggal kita, adapun hari Arafah maka bersamaan dengan Saudi Arabia”.

Atas dasar itulah maka saya berharap dari Anda yang terhormat untuk menjawab dengan lengkap dan terperinci terkait dengan puasa Ramadhan yang penuh berkah dan hari Arafah di sertai dengan isyarat bahwa negara….sepanjang lima tahun belakangan ini tidak sesuai dengan Saudi dalam hal puasa Ramadhan dan puasa Arafah, negara tersebut memulai puasa Ramadhan lebih lambat satu, dua atau bahkan terkadang tiga hari setelah Saudi”.

Beliau menjawab:

“Para ulama –rahimahumullah- berbeda pendapat menjadi banyak pendapat terkait dengan hilal yang sudah terlihat pada suatu tempat di negara kaum muslimin namun tidak terlihat pada negara lainnya, apakah semua umat Islam wajib mengamalkannya atau tidak, kecuali bagi mereka yang melihatnya saja dan negara yang satu mathla’ (tempat terbit) dengan mereka, atau berlaku bagi mereka yang telah melihatnya dan mereka yang berada di bawah satu wilayah dengan mereka.

Pendapat yang rajih (kuat) adalah dikembaikan kepada para ulama, jika tempat terbitnya hilal pada dua negara sama, maka kedua negara tersebut seperti satu negara, jika hilal sudah terlihat di salah satu negara tersebut maka hukumnya juga berlaku pada negara sebelahnya. Adapun jika tempat terbitnya berbeda maka setiap negara menentukan masing-masing, pendapat ini yang dipilih oleh Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- dan hal itu sesuai dengan teks Al Qur’an dan Sunnah dan tuntutan qiyas:

Adapun menurut Al Qur’an sebagaimana firman Allah Ta’ala:

 فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون 

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (QS. Al Baqarah: 185)

Maka dalam konteks ayat ini maksudnya bagi mereka yang belum hadir/menyaksikan (hilal) maka belum wajib berpuasa.

Adapun menurut As Sunnah maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا 

“Jika kalian telah melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan jika kalian telah melihatnya maka berbukalah (hari raya)”.

Dalam konteks hadits ini bahwa jika kita belum melihatnya maka belum wajib berpuasa dan berhari raya.

Adapun menurut qiyas; karena menahan (memulai puasa) dan berhari raya menganggap pada setiap satu negara dan tempat terbit dan terbenamnya sama dengannya menjadi tempat bertemunya titik ijma’, maka penduduk Asia Tenggara akan melihat dan memulai puasa terlebih dahulu dari pada penduduk yang ada di sebelah barat mereka dan mereka pun akan berhari raya lebih dahulu di bandingkan dengan penduduk sebelah barat mereka tersebut; karena fajar akan terbit terbih dahulu kepada mereka; demikian juga matahari akan terbenam terlebih dahulu kepada mereka dibandingkan dengan penduduk negara yang ada di sebelah barat mereka, jika hal itu telah ditetapkan pada awal puasa dan berbuka setiap harinya, maka mengawali dan mengakhiri puasa di awal dan akhir bulan pun sama tidak ada bedanya.

Akan tetapi jika beberapa negara berada di bawah satu kepemimpinan, dan penguasanya telah memerintahkan untuk berpuasa kepada mereka semua atau berhari raya maka wajib dilaksanakan; karena masalah ini termasuk masalah khilafiyah dan ketentuan hakim memutus khilafiyah tersebut.

Atas dasar itulah maka, berpuasalah dan berhari rayalah kalian sebagaimana puasa dan hari raya di negara mana anda berada, baik harinya sesuai dengan negara asal kalian atau berbeda dengan negara asal kalian, demikian juga pada puasa Arafah ikutilah negara di mana kalian berdomisili di dalamnya”. (Majmu’ Al Fatawa: 19) Islam qa.

 

Demikianlah semoga bermanfaat.

 

Sragen 11-06-2024.

Junaedi Abdullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB 10 HAK TETANGGA

  BAB 10 HAK TETANGGA Tetangga adalah orang yang dekat dengan kita, baik di depan, belakang, kanan ataupun kiri dari rumah kita menurut ...