Banyak sekali kesalahan yang terjadi di masyarakat yang berhubungan dengan kurban, diantara anggapan tersebut:
1. Berkurban
adalah ibadah seumur hidup sekali.
Banyak masyarakat
punya anggapan demikian, sehingga bila sudah sekali dianggap cukup dan tidak
mau lagi berkuban, padahal tidak demikian itu.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan sembelihlah kurban.”
(QS. Al-Kautsar[108]:2).
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَعَطَاءٌ،
وَمُجَاهِدٌ، وَعِكْرِمَةُ، وَالْحَسَنُ: يَعْنِي بِذَلِكَ نَحْرَ البُدْن
وَنَحْوِهَا.
Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’, Mujahid, ‘Ikrimah, dan al-Hasan telah
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan wanḥar ialah menyembelih unta dan ternak
lainnya sebagai korban. (QS. Tafsir Ibnu Katsir, QS Al-Kautsar [108]:2).
Sebagaimana yang dilakukan shalat idul adha pada setiap tahun,
hendaknya dilakukan juga penyembelihan kurban pada setiap tahunnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap sepuluh
tahun, selama sembilan tahun beliau selalu melakukan kurban, dan kesepuluhnya beliau berhaji dan menyembelih hadyu sebanyak
100 onta.
Banyak ulama menyatakan dengan tegas bahwa beliau Ṣallallahu
ʿAlaihi wa Sallam berkurban setiap tahun. Syekh Bin Baz -Semoga Allah
Merahmatinya- berkata bahwa beliau Ṣallallahu ʿAlaihi wa Sallam berkurban
setiap tahun dengan dua ekor domba jantan bertanduk berwarna putih hitam; satu
atas namanya dan keluarganya, dan yang kedua atas nama semua umatnya yang
mengesakan Allah.” (Majmuʿ Fatawa Ibni Baz, 18/38). (lihat https://islamqa.info/ar/200562).
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihiw asallam
bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ
يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا.
“Barang siapa yang memiliki kelapangan namun ia tidak
berqurban maka jangan mendekati masjid kami.” (Ibnu Majah 3123, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 6490).
Meskipun pendapat yang kuat adalah sunnah muakkadah.
2. Berkurban hanya dibolehkan untuk salah satu anggota keluarga saja.
Masyarakat menganggap bahwa berkurban hanya untuk satu orang
saja, sehingga mereka berkurban dengan meniatkan, tahun ini untuk bapak mereka,
tahun belakang ibu mereka setelahnya anak mereka, setelah selesai mereka tidak
lagi kurban.
Anggapan seperti ini tidak benar, yang benar adalah satu ekor
kambing bisa diniatkan untuk dirinya dan keluarganya, demikian pula 1/7 sapi
ataupun onta.
Rasullullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkurban untuk dirinya dan umatnya Beliau
shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بِسْمِ اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، هَذَا عَنِّي،
وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
“Dengan menyebut
nama Allah, Allahu akbar, ini dariku dan semua umatku yang tidak mampu
berkurban.” (HR. Ahmad 4628, Abu Dawud 2810 dan di shahihkan syaikh al-Albani
di dalam shahih Abu Dawud 2491, 2501).
Dari ‘Atha’ bin
Yasar, ia berkata “Aku pernah bertanya pada Ayyub Al Anshari, bagaimana qurban
di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab:
كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ
عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ.
“Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi 1505, Ibnu Majah 3125, dishahihkan syaikh al-Albani shahih Ibnu Majah 3147).
3. Berkurban untuk dikhususkan orang yang sudah meninggal.
Meskipun hal ini dibolehkan oleh sebagian para ulama dengan
dikiaskan orang yang bersedekah kepada mayit, namun keutamaan dan pahalanya
dibatasi pada orang yang telah meninggal sendiri, sedangkan orang yang
berkurban untuk dirinya yang masih hidup dan keluargannya baik yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal maka kebaikkannya atau pahalanya akan mengenai
semua sebagaimana hadits berikut:
كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ
عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ.
“Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan)
untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan
memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi 1505, Ibnu Majah 3125, dishahihkan
syaikh al-Albani shahih Ibnu Majah 3147).
Hadits ini menunjukan bolehnya berkurban untuk diri sendiri, keluarga, baik yang masih hidup dan sudah meninggal, semuanya mendapatkan bagian dari pahala tersebut.
4. Berkurban dengan cara beramai-ramai.
Islam adalah agama yang didasari dalil, termasuk di dalamnya
bagaimana tata cara berkurban, yaitu dengan cara satu ekor unta untuk 1-10
orang, satu ekor sapi untuk1-7 orang, 1 ekor kambing 1 orang dan keluarganya.
Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas, ia berkata:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَحَضَرَ الأَضْحَى، فَاشْتَرَكْنَا فِي البَقَرَةِ
سَبْعَةً، وَفِي الجَزُورِ عَشَرَةً .
“Kami bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, kemudian
datanglah hari raya Adlha, lalu kami berpatungan menyembelih lembu untuk tujuh
orang dan unta untuk sepuluh orang.” (HR.Tirmidzi 905 dan di shahihkan syaikh
al-Albani di dalam shahih Ibnu Majah 3131).
Adapun yang
dilakukan masyarakat dengan membayar satu sapi beramai-ramai satu RT, atau satu
sekolahan.
Ini merupakan sembelihan lauk, atau belajar menyembelih bukan kurban yang sesuai syari’at.
5. Bolehnya mencukur rambut dan memotong kuku.
Sebagian orang
menganggap hal ini boleh dan tidak mengapa, padahal sebagian para ulama sampai
mengharamkan orang yang mencukur rambut dan memotong kukunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ
هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ
شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ.
“Siapa saja yang ingin berqurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijah , maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berqurban.” (HR. Muslim 1977, Tirmidzi 1523 Abu Dawud 2791).
6. Mengukur hewan kurban dengan besarnya saja tanpa memperhatikan umurnya.
Ketentuan umurnya
sudah disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihiw asallam yaitu musinah, bagi
onta yang sudah lima tahun, sapi dua tahun dan kambing satu tahun, domba enam
bulan.
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم, لَا تَذْبَحُوا
إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ
اَلضَّأْنِ.
Dari Jabir
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah. Kecuali jika terasa
sulit bagi kalian, maka sembelihlah jadza’ah dari domba.” (HR.Muslim 1963, Abu
Dawud 2797).
Kecuali dalam
keadaan kesulitan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً، إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ
عَلَيْكُمْ، فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ
"Janganlah kalian
menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi
kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza'ah." (HR. Muslim 1963,
Ibnu Maja 3141).
Musinnah disebut
juga dengan tsanyyah (yang menanggalkan gigi seri).
Dibolehkan Jadza’ah’ yaitu domba yang telah berusia enam hingga satu tahun.(Fikih Muyassar).
7. Berkurban dengan hewan yang cacat.
Tidak diperkenankan
berkurban dengan binatang yang cacat, berdasarkan hadits al-Bara' bin Azib dari
Nabí shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِيِّ:
الْعَوْرَاءُ، الْبَيِّنُ عَوَرُهَا، وَالْمَرِيضَةُ، الْبَيِّنُ مَرَضُهَا،
وَالْعَرْجَاءُ، الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا، وَالْكَسِيرَةُ، الَّتِي لَا تُنْقِي.
"Empat
kriteria hewan yang tidak sah di dalam hewan kurban: hewan buta sebelah yang
jelas buta sebelahnya, hewan sakit yang jelas sakit- nya, hewan pincang yang
jelas pincangnya, dan hewan kurus kering yang tidak bersumsum (yakni tidak
berdaging). " (HR Ibnu Majah 3144, Nasai 4369, Ibnu Hudzaimah 2912, dishahihkan syaikh
al-Albani di dalam al-Misykah 1465, Shahih Abu Dawud 2497).
Kecuali terjadinya
cacat setelah diserahkan kepada panitia sebagaimana hal ini di dampaikan Syaikh
Utsaimin:
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Misalnya adalah, seseorang membeli seekor kambing untuk kurban, kemudian kakinya patah dan dia tidak dapat berjalan seperti kambing-kambing lainnya yang sehat, sementara kambing itu sudah ditetapkan sebagai hewan kurban. Dalam kondisi seperti ini, hendaknya pemiliknya tetap menyembelihnya dan hal itu dianggap sah. Karena, saat hewan tersebut mengalami cacat, maka dia menjadi amanah seperti barang titipan (wadiah), jika dia merupakan amanah sedangkan cacatnya tidak terjadi karena faktor kesengajaannya atau kelalaiannya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk menggantinya dan dia tetap sah sebagai kurban.” (Syarhul Mumti’ hal juz 7 hal 515).
8. Menyembelih dengan tidak menyebut nama Allah atau dengan menyertakan yang lainnya.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ
اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ .
“Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebut
nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah
suatu kefasikan..” ( QS. Al-An’am[6]:121)
Sebagian ulama
mengharamkan memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah.
Ada yang
mengatakan bahwa sembelihan dengan spesifikasi ini tidak halal, baik tasmiyah ditinggalkan karena sengaja ataupun lupa. Pendapat ini
diriwayatkan dari Ibnu Umar, Nafi' maulanya, Amir Asy-Sya'bi, dan Muhammad ibnu
Sirin. Juga menurut suatu riwayat dari Imam Malik dan suatu riwayat dari Imam
Ahmad bin Hambal yang didukung oleh sejumlah murid-muridnya dari kalangan ulama
terdahulu dan ulama sekarang. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-AN’am [6]:121).
Sebagian lagi mereka
menyembelih binatang kurban atau yang lainnya dengan menyebut Allah dan
menyertakan selainnya, seperti ucapan tambahan untuk mengirim leluhur, penguasa
lembah ini, gunung ini, laut ini dan lain-lain, semua ini tidak boleh dimakan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
وَلَحْمَ الْخِنزيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ
بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang
yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan ia tidak (dalam keadaan) memberontak
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah[2]:173).
Diharamkan pula hewan yang disembelih bukan karena Allah, yaitu hewan yang ketika disembelih disebut nama selain Allah, misalnya menyebut nama berhala-berhala, tandingan-tandingan, dan azlam serta lain sebagainya yang serupa, yang biasa disebutkan oleh orang-orang Jahiliah bila mereka menyembelih hewannya. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Baqarah[2]:173).
9. Menyerahkan kurban kepada oraganisasi dan tidak pernah berkurban dimasyarakatnya.
Meskipun demikian ini dibolehkan namun meninggalkan beberapa
sunnah diantaranya:
1)
Tidak menyaksikan penyembelihan hewan kurbannya.
2)
Tidak tidak bisa menyembelih sendiri.
3)
Tidak bisa membagi secara sunnah, dimana sepertiga
untuk dirinya, sepertiga kerabatnya, sepertiga untuk hadiah atau peminta-minta.
4)
Tidak bisa memakan daging sembelihan kurbannya, dimana
disunahkan untuk memakan daging sembelihannya tersebut.
5)
Dapat menjadikan buruk sangka orang lain dengan mengira tidak pernah
berkurban.
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas tentang tatacara kurban Nabi
dan para sahabat:
وَيُطْعِمُ أَهْلَ بَيْتِهِ الثُلُثَ، وَيُطْعِمُ
فُقَرَاءَ جِيْرَانِهِ الثُّلُثَ، وَيَتَصَدَّقُ عَلَى السؤال بالثلث. (انظر:
المغني 8/632)
"Beliau memberi makan sepertiga untuk keluarganya, dan memberi makan tetangganya yang miskin sepertiga dan sepertiga di sedekahkan kepada para peminta-minta.” (Diriwayatkan dari Abu Musa di dalam al-Wazha’if dan beliau menghasankan sebagaimana di dalam Al-Mugni 8/632).
10. Memberi upah kepada panitia, jagal atau siapapun yang berkecimpung dengan daging kurban.
Diamana Ali radiyallahu ‘anhu tidak memberi apapun kepada
jagal tersebut, baik daging, kulit, kepala dan lainnya, melainkan memberinya
upah uang.
Dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata:
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا
وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ :
نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا.
“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk
mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan
jilalnya. Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada
tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari
uang kami sendiri.” (HR. Bukhari 1707, Muslim 1317).
Di dalam menjelaskan
hadits ini, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
وأن
لاَ يُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا لِأَنَّ عَطِيَّتَهُ عِوَضٌ عَنْ عَمَلِهِ
فَيَكُونُ فِي مَعْنَى بَيْعِ جُزْءٍ مِنْهَا وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ ,وَفِيهِ جَوَازُ
الِاسْتِئْجَارِ عَلَى النَّحْرِ وَنَحْوِهِ
“Tukang jagal (atau
siapapun yang berkecimpung dalam penyembelihan) tidak boleh diberi upah dari
hewan qurban, karena upah tersebut merupakan ganti dari pekerjaannya, maka yang
demikian sama halnya dengan menjual bagian dari hewan qurban tersebut, demikian
itu tidak boleh, dibolehkan memberi upah (berupa uang) kepada penyembelih atau
semisalnya (siapapun yang terlibat().” (Sharh Shahih Muslim, jilid 9, hal.
65, Maktabah Islamiyah).
Adapun memberi bagian
kepada panitia seperti bagian masyarakat yang lain berupa hadiah, baik yang
membantu ataupun tidak hal ini tidak mengapa karena hal itu tidak ada kaitannya
dengan kepanitiaannya.
Hadiah bisa berupa uang, kaos, jaket atau yang lainnya semua ini tidak masalah.
11. Menjual bagian-bagian dari kurban seperti kepala, kulit, maupun dagingnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ
أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Orang yang
menjual kulit hewan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR Al-Baihaqi
19233, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 6118).
Berkata Ibnu
Daqiqil’id berkata:
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْجُلُودَ تَجْرِي مَجْرَى اللَّحْمِ
فِي التَّصَدُّقِ؛ لِأَنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ مَا يُنْتَفَعُ بِهِ. فَحُكْمُهَا
حُكْمُهُ..
“Ini menunjukkan bahwasanya kulit berlaku sebagaimana diperlakukannya daging dalam mensedekahkan, hal ini karena termasuk apa yang dimanfaatkan dengannya, maka hukumnya sama dengan hukum daging tersebut.” ( Ihkamul- Ahkam, Syahu ‘Umdatu Al-Ahkam Jus 2 hal 82).
Adapun jika kulit tersebut dihadiahkan kepada pantiasuhan atau yayasan kemudian mereka menjualnya ada yang mengatakan hal itu tidak mengapa, meskipun yang lebih utama diberikan indifidu agar manfaatkan.
12. Tidak boleh mengambil apa yang telah dikurbankan.
Sehingga panitia
melarang yang orang yang berkurban memakan dagingnya, tanpa merinci, bila hal
ini menurut sebagian ulama seperti Ibnul Mubarak hanya diperuntukkan kurbannya
tersebut khusus orang yang sudah meninggal.
Ibnul Mubarak berkata di dalam Syarhu Sunnah:
وَقَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: أَحَبُّ
إِلَيَّ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْهُ، وَلا يُضَحِّيَ، وَإِنْ ضَحَّى، فَلا يَأْكُلْ
مِنْهَا شَيْئًا، وَيَتَصَدَّقْ بِهَا كُلِّهَا.
“Aku lebih suka bersedekah atas nama mayit (orang yang sudah
meninggal), tidak berkurban (atas nama mayit), namun jika berkurban atas nama
mayit (orang yang sudah meninggal tersebut hendaknya tidak memakan dagingnya
sedikitpun, dan agar disedekahkan semuanya.” (Syarhu Sunnah, al-Baghawi Juz 4
hal 358).
Adapun orang yang tidak memaksudkan untuk orang yang telah meninggal justru disunnahkan untuk memakannya.
13. Orang yang berkurban tidak boleh mengambil bagian yang telah dikurbankan.
Termasuk kulit hewan kurban, dimana panitia menjual kulit
tersebut sehingga orang yang berkurban tidak membolehkan untuk mengambilnya
atau memanfaatkannya.
Siapapun yang mengurusi kurban hendaknya membebaskan siapapun
yang berkurban untuk memanfaatkan apa saja yang dikurbankannya, baik kepala,
kaki, kulit maupun organ dalam, jangan sampai orang yang berkurban ketika akan
memanfaatkan justru disuruh membayar kembali.
Hendaknya siapapun yang ditunjuk mengurusi kurban menyadari bahwa dirinya hanyalah dititipi amanah, tidak boleh menghalangi pemiliknya jika ingin mengambil dari bagian kurban tersebut.
14. Bolehnya menjual kulit tersebut dan kemudian dibelikan hewan.
Sebagaimana kita sampaikan di atas, dan telah ketahui bahwa
kulit maupun lainnya tidak boleh ada yang dijual, demikian pula untuk
berserikat di dalam pembelian kurban, onta 1-10 orang, sapi 1-7 orang, kambing
1 orang.
Jika kulit, kepala, maupun lainnya dijual dan dibelikan hewan lagi tentu hal ini akan merusak aturan yang ada, dan membingungkan untuk mengatasnamakan siapa.
15. Bolehnya menyembelih sampai hari-hari tasriq habis.
Para ulama berbeda pendapat batas terakhir penyembelihan.
Para ulama
berbeda pendapat, ada yang menyebutkan tanggal sebelas, dua belas, tiga belas
ada juga yang menyebutkan sebelas, dua belas.
Untuk kehati-hatian seorang melaksanakan penyembelihan kurban
pada hari Idul Adha sepuluh Dzulhijah sebagaimana yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lakukan dan hal ini lebih selamat dari perselisihan para
ulama yang ada. Jika sulit melakukan pada waktu tersebut, maka boleh
melakukannya pada sebelas dan dua belasnya, sebagaimana pendapat jumhur ulama.
Adapun orang yang menyembelih diluar hari-hari tasriq sudah diluar
pembahasan para ulama.
Semoga bermanfaat, Allahu ‘alam bis Shawab.
-----000-----
Sragen 05-06-2024.
Junaedi Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar