BAB 1
KEUTAMAAN 10 HARI DI BULAN DZULHIJAH.
Diantara kemurahan yang Allah berikan kepada hamba-hambanya
dijadikan hari tertentu lebih utama dibandingkan hari yang lain, dijadikan
bulan tertentu lebih utama dari bulan-bulan yang lain, dimana dengan hal itu
seseorang akan mengejar kebaikan dan mendapatkan kemuliaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ
كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ
شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو القَعْدَةِ،
وَذُو الحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ،
مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى، وَشَعْبَانَ.
“Sesungguhnya waktu itu berputar sebagaimana keadaannya ketika
Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun ada 12 bulan. Di antara bulan-bulan
tersebut ada 4 bulan yang haram (tidak boleh berperang). 3 bulan
berturut-turut, yaitu: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Al Muharram, (yang akhir)
Rajab, Mudhar yaitu bulan di antara bulan Jumaada dan Sya’ban.” (HR. Bukhari 4662, Muslim 1679, Abu Dawud 1947).
Oleh karena itu bulan yang diharamkan yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Keutamaan bulan Dzulhijah tersebut antara lain:
1. Lebih utama
dibandingkan hari-hari selainnya.
Yaitu khususnya 10 hari pertama bulan Dzulhijah.
Allah ta’ala berfirman:
وَالْفَجْرِ. وَلَيَالٍ عَشْرٍ.
“Demi fajar. Demi malam yang kesepuluh.” (QS.
Al-Fajar[89]:1-2).
Pendapat para sahabat seperti Ali, Ibnu Abbas, ‘Ikrimah, dan
juga Mujahid memaksudkan ayat di atas yaitu Fajar pada hari Nahr khusus, yaitu
penutup dari sepuluh hari (awal bulan Dzulhijah). (Tafsir Ibnu Katsir
QS.Al-Fajr [89]:1-2).
Ketika Syaikhul islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya,
mana yang lebih utama 10 hari pertama dibulan Dzulhijah atau 10 hari terakhir
di bulan Ramadhan, beliau berkata:
أَيَّامُ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ
أَفْضَلُ مِنْ أَيَّامِ الْعَشْرِ مِنْ رَمَضَانَ وَاللَّيَالِي الْعَشْرُ
الْأَوَاخِرُ مِنْ رَمَضَانَ أَفْضَلُ مِنْ
لَيَالِي عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ.
“Sepuluh hari Dzulhijah (siangnya) lebih utama dibandingkan
sepuluh hari siangnya (di akhir) Ramadhan, dan sepuluh malam akhir Ramadhan
lebih utama dibandingkan sepuluh maalam Dzulhijah.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul
islam Ibnu Taimiyah 25/287).
Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan,” Ini
menunjukkan bahwa sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan menjadi lebih
utama karena adanya laitatul Qadr, dan lailatul Qadr ini merupakan bagian dari
waktu-waktu malamnya. sedangkan sepuluh hari Dzulhijjah mejadi lebih utama
karena hari-harinya (siangnya), karena didalamnya terdapat yaumun Nahr (pengagungan
kepada Allah dengan berqurban), hari ‘Arafah dan hari Tarwiyah (hari ke delapan
Dzulhijjah). (Zadul Maa’ad Ibnul Qayyim).
Mengenai keutamaan sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijah
disebutkan dari Ibnu Abbas dia berkata, Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
"مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ
فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ"،
فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَلَا الجِهَادُ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ
ذَلِكَ بِشَيْءٍ".
“Tidak ada
hari yang amal shalih lebih dicintai oleh Allah dari pada hari-hari yang
sepuluh ini.” Para sahabat bertanya: “Apakah lebih baik dari pada jihad
fii sabiilillaah ?” Beliau bersabda,
“tidak pula dengan jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar berjihad
dengan harta dan jiwa raganya kemudian dia tidak pernah kembali lagi.” (HR. Bukhari 969, Tirmidzi 757, Abu Dawud 2438).
3. Hari dimana islam disempurnakan
Islam disempurnakan di bulan Dzulhijah, Allah ta’ala
berfirman:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku
sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas
kalian, dan Aku telah meridhai Islam itu agama bagi kalian.” (Qs. Al Maidah[5]: 3).
Surat Al-Maidah ayat tiga ini oleh Allah ta’ala
diturunkan pada hari Jumat 9 Dzulhijjah tahun 10 H. di
Arafah (At-Tibyan fi 'Ulumil Qur'an, Syaikh Ali As-Shabuni, 2016: hlm. 14-15).
‘Umar
Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya aku telah mengetahui hari dan tempat
ketika ayat itu turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayat itu
diturunkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di ‘Arafah pada
hari Jum’at.” (Tafsir Ibnu Katsir (QS.
Al Maidah[5]: 3).
-----000-----
BAB 2.
AMALAN-AMALAN DI BULAN DZULHIJAH.
Adapun diantara amalan-amalan yang utama di bulan Dzulhijah
yaitu:
1.
Puasa.
Disunnahkan bagi setiap muslim puasa Sembilan hari pertama di
bulan Dzulhijah, karena puasa merupakan amal shalih yang sangat dianjurkan pada
bulan ini. Sebagaimana di riwayatkan sebagian dari istri-istri Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ، وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَثَلَاثَةَ
أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ
اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ .
“Rasalullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada
sembilan hari bulan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, tiga hari pada setiap bulan, dan
hari Senin pertama awal bulan serta hari Kamis.” (HR. Ahmad 22334, Abu Dawud
2437, shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Sunan Abu Dawud 2437, An-Nasai 2417).
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ، أَحْتَسِبُ
عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ، وَالسَّنَةَ الَّتِي
بَعْدَهُ، وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ
السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ.
"Puasa Arafah (9 Zulhijah) aku berharap kepada Allah
agar dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Adapun
puasa Asyuro (10 Muharam) aku berharap akan menghapuskan dosa setahun yang
lalu." (HR. Muslim 1162, Tirmidzi 749).
2. Memperbanyak dzikir kepada Allah ta a’ala.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا.
“Hai orang-orang yang beriman berdzikirlah (Dengan menyebut
nama Allah) dengan dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS.
Al-Ahzab[33]:41)
فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا
وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ.
“Berdzikirlah
kepada Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring…” (QS.
An-Nisa[4]:103).
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
“Dan berdzikirlah (dengan
menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al-Baqarah[2]: 203)
Ibnu Abbas berkata; “Yaitu
hari-hari Tasyriq.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Baqarah [2]:203)
Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا
أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ،
فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ.
“Tidak ada hari yang lebih besar di sisi Allah tidak pula lebih dicintai beramal padanya dibandingkan sepuluh hari ini (Dzulhijah) oleh karena itu perbanyaklah di dalamnya bertahlil, bertakbir dan bertahmid.” (HR. Ahmad 6154, Tabrani al-Mu’jam 11116, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam At-Thargib wa Tharhib 1248).
3. Secara khusus agar memperbanyak bertakbir.
Takbir terbagi menjadi dua
bagian:
1) Mutlak yaitu tidak dibatasi dengan sesuatu.
Disunahkan agar senantiasa mengucapkan takbir, baik pagi maupun petang.
Sebelum maupun sesudah shalat. Pada setiap waktu, kecuali saat-saat dilarang.
Disunahkan takbir mutlak pada
sepuluh (awal) Dzulhijjah dan seluruh hari-hari tasyriq. Dimulai dari semenjak
masuk bulan Dzulhijjah (maksudnya setelah terbenam matahari di akhir hari bulan
Dzulqaidah).
2) Muqayad adalah yang terikat setelah selesai shalat.
Sementra muqayad dimulai semenjak
fajar hari Arafah sampai terbenam matahari akhir hari tasyriq. Ditambah dengan
takbir mutlak, ketika selesai salam dari shalat fardu dan istigfar tiga kali,
dan mengucapkan :
اللَّهُمَّ
أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ
وَالْإِكْرَامِ
.
“Ya Allah Engakau adalah Maha
Selamat. Dan dari-Mu keselamatan. Keberkahan dari-Mu wahai pemilik ketinggian
dan kemulyaan.” (Majmu Fatawa Ibnu Baz rahimahullah, 13/17. Syarkhu Mumti’, Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah, 5/220-224).
Adapun macam-macam takbir sebagai berikut:
1) Bisa dengan lafadz:
Allahu akbar, Allahu akbar, la ilaha illallahu wallahu akbar, Allahu
akbar wa lillahil hamdu, yaitu menyebutkan takbir dua kali. (HR. Thabrani 9538,
Mushannaf Ibnu abi syaibah 5651, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Irwa’
2/125-126).
2)
Atau
dengan lafadz takbir tiga kali: Allahu
akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, la ilaha illallahu wallahu Akbar, Allahu
akbar wa lillahil hamdu, sebagaimana diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud dan
sebagian salaf yang lain. (Mushannaf Ibnu abi syaibah, dishahihkan Syaikh
al-Albani di dalam Irwa’ 654).
3)
Bisa juga
bertakbir dengan: Allahu akbar kabira, walhamdu lillahi katsira, wa
subhanallahi bukratan wa ashilan, dan seterusnya. (Bentuk ini disebutkan oleh
Imam Syafii rahimahullah di dalam kitab Al-Um juz 1-241).
Bagi
yang memiliki rezki dan kemampuan hendaknya berhaji, karena haji adalah
kewajiban bagi yang orang yang telah mampu.
Hendaknya
di dalam berhaji memperhatikan hal-hal berikut:
Ikhlas,
itiba’, dari harta yang halal, menjahui segala kesyirikan, kebid’ahan dan
kemaksiatan, begitu pula hendaknya berakhlak dengan akhlak yang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
Haji
yang mabrur tidak lain pahalanya kecuali surga. (HR. Bukhari 1773, Muslim
1349).
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ
يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.
Siapa yang
menunaikan haji karena Allah dan tidak berkata jorok dan tidak berbuat
kefasikan, maka dia akan kembali seperti hari dilahirkan ibunya.” (HR. Bukhari
1521, Muslim, 1350).
Ibnu Abdul Bar
rahimahullah mengatakan, “Haji mabrur, dikatakan: dia yang tidak ada riya’ dan
sum’ah (ingin dipuji orang). Tidak ada kata jorok dan kefasikan. Dan dengan
harta yang halal.” (Tamhid Lima Fil Muwatta’ Minal Ma’ani Wal Asanid, (22/39)).
Bagi
yang belum bisa berangkat setidak-tidaknya sudah memiliki niat untuk berhaji.
Diantara
amalan yang memiliki pahala besar yaitu seseorang duduk berzikir setelah shalat
subuh berjama’ah sampai matahari terbit.
Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى الغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ
يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ
لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ.
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi 586, 971 dihasankan Syaikh al-Albani di dalam al-Misykah 971).
5. Memperbanyak amal shalih.
Selain
dzikir di atas hendaknya juga memperbanyak sedekah, membaca Al-Qur’an, berbakti
kepada orang tua, bersilaturahmi kepada saudara-saudaranya, berbuat baik kepada
tetangga, membantu yang lemah, amal ma’ruf nahi mungkar, berakhlak yang baik
dan beramal shalih lainnya.
Allah ta’ala berfirman :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ
أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl[16]:97).
6. Berqurban.
Sebagaimana
penjelasannya dibawah.
-----000-----
BAB 3.
TUNTUNAN BERQURBAN (UDHHIYYAH)
Secara bahasa berqurban udhhiyyah adalah: menyembelih qurban di waktu dhuha.
Adapun secara istilah (syar’i) adalah: hewan ternak yang disembelih berupa unta, sapi atau kambing untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari raya. ( Fikih Muyassar).
2. Syari’at berqurban.
Syari’at qurban telah ditetapkan di dalam Kitabullah, Sunnah
Rasul-Nya dan ijma’ kaum muslimin. (fikih Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal, bin
as-Sayyid Salim).
Allah ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan sembelihlah kurban.”
(QS. Al-Kautsar[108]:2).
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata:
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ، وَسَمَّى
وَكَبَّرَ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kambing kibasy yang berwarna putih dan bertanduk. Beliau menyembelih dengan tangannya, dengan mengungucapkan: “Bismillah dan bertakbir, beliau meletakkan kakinya di atas bagian leher samping keduannya.” (HR. Bukhari 5565, Muslim 1966, Ahmad 13681).
3. Hukum berqurban.
Ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, diantara pendapat
tersebut:
Pertama: wajib bagi
yang mampu, Menurut Imam Abu
Hanifah, Rabi’ah Ar-Ra’yi, Al-Auza’i, Lait bin Sa’ad dan sebagian madzhab
maliki qurban hukumnya adalah wajib dilakukan setiap tahun bagi setiap muslim
yang memiliki kemampuan dan tidak sedang dalam perjalanan.
Di antara dalil yang
dijadikan dasar wajibnya bagi yang mampu adalah hadits riwayat Imam Ahmad dan
Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ
يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا.
“Barang siapa yang memiliki kelapangan namun ia tidak
berqurban maka jangan mendekati masjid kami.” (Ibnu Majah 3123, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 6490).
وَهَذَا كَالْوَعِيدِ عَلَى تَرْكِ
التَّضْحِيَةِ، وَالْوَعِيدُ إِنَّمَا يَكُونُ عَلَى تَرْكِ الْوَاجِبِ.
“Hadis ini bentuknya ancaman bagi orang
yang meninggalkan kurban, dan ancaman itu berlaku karena meninggalkan sesuatu
yang wajib.” (Al-Mausu’ah
Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah).
Dalil yang lain
Dari Jundab bin
Sufyan al-Bajali, ia berkata, "Pada hari nahr saya pernah menyaksikan
Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ
فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا أُخْرَى، وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ.
"Barangsiapa menyembelih (binatang
qurban) sebelum shalat, maka hendaklah ia mengulangi (menyembelih lagi) sebagai
gantinya, dan barangsiapa yang belum menyembelih, maka menyembelihlah.” (HR.
Bukhari 5562, Muslim 1960).
Sisi pendalilannya
yaitu, asal perintah adalah wajib, andaikan perkara ini Sunnah tentu tidak
disuruh mengulangi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada
pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi
yang mampu padanya, bila hal itu tidak dilakukan maka dia berdosa karena Allah
menyebutkan bergandengan dengan shalat di dalam firmannya:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Dirikanlah shalat untuk Rabb-mu dan sembelihlah kurban.”
(QS. Al-Kautsar[108]:2).
Dan juga firmannya:
قُلْ إِنَّ صَلاَتِي
وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
“Katakanlah, sesungguhnya shalatku ibadahku (sembelihanku) hidupku
dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am[6]: 162).
Syaikh Ibnu
‘Utsaimin rahimahumullah mengatakan:
فالقول بالوجوب أظهر من
القول بعدم الوجوب، لكن بشرط القدرة…
“Maka pendapat yang mengatakan wajib lebih kuat dari pendapat yang
mengatakan tidak wajib akan tetapi dengan syarat bagi yang mampu.”
(Syarhul Mumti’ ‘ala dzadi al-Mustaqni’ 7/422, Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin wafat 1421 H).
Kedua, Sunnah muakkad, menurut ulama Malikiyah,
Syafiiyah, Hanabilah dan mayoritas para ulama berpendapat bahwa qurban hukumnya
adalah sunnah muakkad atau sangat dianjurkan.
Diantara dalil yang menunjukkan hal
itu, dari Umu sallamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
دَخَلَتِ الْعَشْرُ، وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَمَسَّ مِنْ
شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا.
"Bila
telah memasuki 10 (hari bulan Zulhijjah) dan apa bila salah seseorang dari
kalian ingin berkurban, maka janganlah dia memotong rambut dan kukunya.” (HR.
Muslim 1977, Ibnu Majah 3149).
Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu.
Beliau mengatakan:
“Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku
adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau
tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Baihaqi 1815, Abdurrazaq 8149 dishahihkan Syaikh
al-Albani di dalam Irwa’ 11139).
Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih)
Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun
yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah,
II/367-368, Taudhihul Ahkaam, IV/454).
Inilah pendapat yang kuat yaitu sunnah
muakkad (sangat dianjurkan).
Meskipun demikian, dalam kaidah ushul fiqh
dikenal sebuah kaidah yang berbunyi:
الْخُرُوجُ مِنْ
الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ.
”Dianjurkan untuk keluar dari perkara yang
diperselisihkan “ (Syarah matan Abu Suja’ 21/11).
Walaupun ada persamaan dan perbedaan pada empat Imam
Mazhab, para ulama bersepakat apabila ada nazar bagi seorang muslim untuk
berkurban maka wajib dilakukan. jika tidak maka akan berdosa.
Hal-hal yang penting diketahui orang yang berqurban:
1) Orang yang
berqurban tidak boleh memotong rambut dan kukunya.
Orang-orang yang akan berqurban tidak boleh memotong rambut,
kuku, atau mengupas kulitnya atau mengguntingnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ
هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ
شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ.
“Siapa saja yang ingin berqurban dan apabila telah memasuki
awal Dzulhijah , maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia
berqurban.” (HR. Muslim 1977, Tirmidzi 1523 Abu Dawud 2791).
Sebagian orang memahami hal ini adalah binatang qurbannya
tentu ini tidak benar karena dzamir-dzamir itu kembalinya kepada yang berakal.
Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Wajib tidak memotongnya dan haram baginya memotongnya, sebab
posisi dia pada saat itu mirip dengan orang yang menggiring hewan kurban (ke
Mekkah di dalam beribadah haji). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ
الْهَدْيُ مَحِلَّهُ.
“Janganlah
kamu mencukur (rambut) kepalamu sebelum hewan kurban sampai pada tempat
penyembelihannya “ (QS. Al-Baqarah[2]: 196). (Disalin dari kitab Al-Fatawa
Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram,
Khalid Al-Juraisy).
Syekh Bin Baz
rahimahullah berkata, “Adapun keluarga orang yang berkurban, mereka tidak
terkena kewajiban apa-apa, mereka tidak dilarang mengambil rambut dan kulitnya
menurut pendapat ulama yang lebih shahih. Hukum ini secara khusus hanya berlaku
bagi orang yang berkurban, yaitu orang yang membeli kambing secara khusus untuk
kurban dari hartanya.” (Fatawa Islamiyah, 2/316).
2) Syarat
disyari’atkan bagi orang yang berqurban.
· Islam.
· Balig.
· Berakal.
· Memiliki
kemampuan. (Fikih Muyassar).
3) Jenis hewan
yang dipakai untuk berqurban.
Hewan qurban yang disembelih hendaknya berupa unta, sapi dan
kambing. (Fikih Muyassar).
Para ulama’
menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi
sebagai satu jenis (Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975).
Allah ta’ala berfirman:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا
لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ.
"Dan
bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), agar mereka
menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa
hewan ternak.” (QS. AL-Hajj [22]:34).
Dari ‘Atha’ bin
Yasar, ia berkata“Aku pernah bertanya pada Ayyub Al Anshari, bagaimana qurban
di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab:
كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ
عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ.
“Seseorang biasa
berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya.
Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.”
(HR. Tirmidzi 1505, Ibnu Majah 3125, dishahihkan syaikh al-Albani shahih Ibnu
Majah 3147).
Adapun jenisnya
yaitu onta untuk 10 orang dalam riwayat lain 7 orang. Diriwayatkan dari Jabir
ibn Abdullah, ia berkata:
نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحُدَيْبِيَةَ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ.
“Kami menyembelih
hewan qurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun
Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang, dan sapi untuk tujuh orang.” (HR.
Muslim 1318, Ahmad 14127, Ibnu Majah 3132).
Diriwayatkan dari
Ibnu Abbas, ia berkata:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَحَضَرَ الأَضْحَى، فَاشْتَرَكْنَا فِي البَقَرَةِ
سَبْعَةً، وَفِي الجَزُورِ عَشَرَةً .
“Kami bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, kemudian
datanglah hari raya Adlha, lalu kami berpatungan menyembelih lembu untuk tujuh
orang dan unta untuk sepuluh orang.” (HR.Tirmidzi 905 dan di shahihkan syaikh
al-Albani di dalam shahih Ibnu Majah 3131).
Rasullullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkurban untuk dirinya dan umatnya Beliau
shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بِسْمِ اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، هَذَا عَنِّي،
وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
“Dengan menyebut
nama Allah, Allahu akbar, ini dariku dan semua umatku yang tidak mampu
berkurban.” (HR. Ahmad 4628, Abu Dawud 2810 dan di shahihkan syaikh al-Albani
di dalam shahih Abu Dawud 2491, 2501).
Dari hadits-hadits di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa seekor unta boleh untuk satu orang dan maksimal sepuluh orang,
sedang satu lembu boleh diqurbankan untuk satu orang dan maksimal untuk tujuh
orang.
Kambing satu
orang dan boleh untuk bersama keluarganya sebagaimana hadits Abu Ayyub
al-Anshari.
Dari sini masih
banyak kaum muslimin yang belum sesuai dengan sunnah, hal itu apa bila
menyembelih satu hewan dengan dilakukan pembayaran bersama-sama, baik satu
sekolahan maupun satu RT.
Berqurban
mengirim qurban pada satu tempat sementara di daerahnya minim orang yang
qurban, hal ini tentu bisa menjadikan fitnah di kalangan masyarat.
4) Syarat hewan qurban.
Ø umur:
·
Untuk unta
hendaknya berumur genap lima tahun.
·
Untuk sapi
berumur genap dua tahun.
·
Untuk
kambing berumur satu tahun. (Fikih Muyassar).
Adapun umur hewan
qurban tersebut yaitu musinah, bagi onta yang sudah lima tahun, sapi dua tahun
dan kambing satu tahun, domba enam bulan.
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم, لَا تَذْبَحُوا
إِلَّا مُسِنَّةً, إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ
اَلضَّأْنِ.
Dari Jabir
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah. Kecuali jika terasa
sulit bagi kalian, maka sembelihlah jadza’ah dari domba.” (HR.Muslim 1963, Abu
Dawud 2797).
Kecuali dalam
keadaan kesulitan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً، إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ
عَلَيْكُمْ، فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ
"Janganlah
kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan
bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza'ah." (HR.
Muslim 1963, Ibnu Maja 3141).
Musinnah disebut
juga dengan tsanyyah (yang menanggalkan gigi seri).
Dibolehkan Jadza’ah’
yaitu domba yang telah berusia enam hingga satu tahun, berdasarkan hadits Uqbah
bin Amir, dia berkata:
فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ أَصَابَنِي
جَذَعٌ، فَقَالَ: ضَحِّ بِهِ
"Wahai
Rasulullah, aku diberi bagian (ghanimah) domba jadza’, beliau menjawab, 'Berkurbanlah dengannya.”
(HR. Muslim 1965, Tirmidzi 1500
Ø Tidak cacat.
Disyaratkan pada hewan kurban unta, sapi, dan kambing harus bebas dari
cacat yang menyebabkan dagingnya berkurang, sehingga tidak kurus kering,
pincang, cacat matanya, dan sakit sehingga tidak sah hewan kurbannya.
Berdasarkan hadits al-Bara' bin Azib dari Nabí shallallahu ‘alaihi wa
sallam beliau bersabda:
أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِيِّ:
الْعَوْرَاءُ، الْبَيِّنُ عَوَرُهَا، وَالْمَرِيضَةُ، الْبَيِّنُ مَرَضُهَا،
وَالْعَرْجَاءُ، الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا، وَالْكَسِيرَةُ، الَّتِي لَا تُنْقِي.
"Empat
kriteria hewan yang tidak sah di dalam hewan kurban: hewan buta sebelah yang
jelas buta sebelahnya, hewan sakit yang jelas sakit- nya, hewan pincang yang
jelas pincangnya, dan hewan kurus kering yang tidak bersumsum (yakni tidak
berdaging). " (HR Ibnu Majah 3144, Nasai 4369, Ibnu Hudzaimah 2912, dishahihkan syaikh
al-Albani di dalam al-Misykah 1465, Shahih Abu Dawud 2497).
5) Syarat orang
yang menyembelih.
Seorang penyembelih
hendaknya:
1. Berakal. Boleh laki-laki atau
perempuan, sudah balig atau belum apabila dia sudah tamziz, Ini adalah
madzhab jumhur ulama seperti Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabillah, dan
Syafi’iyyah. Adapun Ibnu Hazm mensyaratkan baligh. (fikih
Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal, bin as-Sayyid Salim).
2. Seorang muslim (hendaknya shalat) atau atau
Ahli Kitab.
Hendaknya shalat karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ ،
فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah
shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.” (HR. Ahmad 22937,
Tirmidzi 2621, Ibnu Majah 1079, di Shahihkan Syaikh al-Albani di dalam
al-Misykah 574).
Adapun Ahlul kitab halal sembelihan mereka dalilnya
adalah:
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ
حِلٌّ لَهُمْ.
Makanan (sembelihan) Ahlulkitab itu halal bagimu dan
makananmu halal (juga) bagi mereka. (QS. Al-Maidah [5]:5).
Ibnu Abbas,
Abu Umamah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Ata’, Al-Hasan, Mak-hul,
Ibrahim An-Nakha'i, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan mengatakan, yang dimaksud
dengan makanan di sini adalah sembelihan mereka orang-orang Ahli Kitab.(Tafsir
Ibnu Katsir, QS. Al-Maidah[5]:5).
3. Hendaknya menyebut nama Allah apabila mampu dan ingat,
sebagaimana perkataan jumhur yang mensyaratkan hal ini. (fikih Sunnah, Syaikh Abu Malik
Kamal, bin as-Sayyid Salim).
4. Tidak menyertakan di dalam menyembelih pengagungan kepada
selain Allah.
Apa bila diketahui dengan menyebut selain Allah maka
hal itu tidak boleh, semisal dengan menyebut isa alaihi wa sallam.
5. Dianjurkan orang yang berqurban untuk menyembelih sendiri qurbannya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun apabila mewakilkan hal itu syah.
6) Syarat alat untuk menyembelih.
1
Hendaknya
apa yang bisa memutuskan. Bisa dari besi seperti pisau, golok, parang, sabit
dan lainnya.
2
Dari batu dan juga kayu, hal itu bila dapat
memutuskan atau mengalirkan darahnya.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَّ
امْرَأَةً ذَبَحَتْ شَاةً بِحَجَرٍ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «فَلَمْ يَرَ، بِهِ بَأْسًا
”Bahwasannya seorang wanita
menyembelih seekor kambing dengan menggunakan batu. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ditanya mengenai hal
itu, dan kemudian beliau memerintahkan untuk memakannya” (HR. Al-Bukhari 5504)
3 Hendaknya dihindari menyembelih dengan menggunakan kuku dan tulang karena nabi melarang hal itu.
7) Waktu
penyembelihan.
Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ
الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ ، وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ
فَقَدْ تَمَّ نُسُكُهُ ، وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ.
“Barangsiapa yang menyembelih qurban sebelum shalat, maka ia
menyembelih untuk dirinya sendiri. Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat
(Idul Ad ha’), maka ia telah menyempurnakan manasiknya dan ia telah melakukan
sunnah kaum muslimin.” ( HR. Bukhari 5546, Muslim 1961).
Dari Jundab, ia menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu beliau berkhutbah dan bersabda,
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيَذْبَحْ
مَكَانَهَا أُخْرَى ، وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ .
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat ‘ied, hendaklah
ia mengulanginya. Dan yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih dengan
menyebut ‘bismillah’.” (HR.Bukhari 7400).
Dari Al-Bara’ bin ‘Azib, dia berkata: Rosulullah shalallahu
‘alaihi was salam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ فِي يَوْمِنَا هَذَا
أَنْ نُصَلِّيَ، ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ
سُنَّتَنَا، وَمَنْ نَحَرَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ
لِأَهْلِهِ، لَيْسَ مِنَ النُّسْكِ فِي شَيْءٍ.
“Sesungguhnya pertama yang akan kita mulai hari ini adalah
shalat, lalu kita kembali (pulang) kemudian menyembelih (qurban). Barangsiapa
melakukan seperti itu, maka dia telah mencocoki Sunnah kita. Namun barangsiapa
yang telah menyembelih sebelum shalat, maka itu adalah daging yang dia berikan
untuk keluarganya. Bukan termasuk qurban sedikitpun.” ( HR. Bukhari 965)
Menyembelih yang paling utama yaitu setelah shalat
berdasarkan hadits di atas.
Dari sini kita tahu agama tidaklah sekehendak hati setiap
orang, tapi ada aturan yang harus ditaati semua orang dari apa yang ditentukan
Allah dan Rasul-Nya.
8) Pembagian
daging sembelihan.
Orang yang berqurban disunnahkan memakan qurbannya, menghadiahkan
sebagiannya untuk kerabat dan teman-temannya, dan menyedekahkan sebagiannya kepada
orang-orang fakir, berdasarkan Firman Allah
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا
الْبَائِسَ الْفَقِيرَ.
"Maka makanlah sebagian darinya, dan berikanlah
(sebagian lagi) untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir." (QS. Al-Hajj[22]:
28).
Dianjurkan membaginya menjadi tiga bagian, sepertiga untuk
keluarganya, sepertiga untuk tetangga yang fakir dan miskin, seper tiga lagi
untuk hadiah kerabat. (Fikih Muyassar).
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas tentang sifat udhhiyyah Nabi:
وَيُطْعِمُ أَهْلَ بَيْتِهِ الثُلُثَ، وَيُطْعِمُ
فُقَرَاءَ جِيْرَانِهِ الثُّلُثَ، وَيَتَصَدَّقُ عَلَى السؤال بالثلث. (انظر:
المغني 8/632)
"Beliau memberi makan sepertiga untuk keluarganya, dan
memberi makan tetangganya yang miskin sepertiga dan sepertiga di sedekahkan kepada
para peminta-minta.” (Diriwayatkan
dari Abu Musa di dalam al-Wazha’if dan beliau menghasankan sebagaimana di dalam Al-Mugni 8/632).
Boleh menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari,
berdasarkan hadits Buraidah, bahwa Nabi shallallahu ‘alai wa sallam bersabda:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ ادْخَارِ حُوْمِ
الْأَضَاحِي فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ.
"Dahulu aku pernah melarang kalian menyimpan daging
kurban le- bih dari tiga hari, maka sekarang simpanlah selama tampak kemas-
lahatannya bagi kalian (sesuka kalian).” (HR. Bukhari 55423, Muslim 977).
9) Adab-adab
menyembelih.
إِنَّ
اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا
الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ
شَفْرَتَهُ، فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ.
"Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat yang terbaik
dalam segala sesuatu, maka apabila kamu membunuh, bunuhlah dengan cara yang
terbaik, apabila kamu menyembelih, sembelihlah dengan cara yang terbaik,
hendaklah setiap kalian menajamkan pisaunya dan membuat nyaman hewan
sembelihannya." (HR. Muslim 1995 Abu Dawud 2815 Tirmidzi 1409).
Ibnu Abbas
radhiyallahu’anhuma berkata:
مَرَّ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَاضِعٍ رِجْلَهُ
عَلَى صَفْحَةِ شَاةٍ، وَهُوَ يَحُدُّ شَفْرَتَهُ، وَهِيَ تَلْحَظُ إِلَيْهِ
بِبَصرِها، قَالَ:أَفَلا قَبْلَ هَذَا، أَوَ تُرِيدُ أَنْ تُمِيتَهَا مَوْتَتَينِ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melewati seseorang yang meletakkan kakinya di atas badan samping seekor kambing sambil menajamkan pisaunya, sedang kambing itu melihat ke arah pisau, maka beliau bersabda: Mengapakah engkau tidak menajamkan pisau sebelum melakukan ini, apakah engkau ingin mematikannya dua kali?” (HR. TIrmidzi Al-Baihaqi 19141, Thabrani 3590, di sahihkan Syaikh al-Albani di dalam At-Targib wa Tarhib 2265).
2) Memisahkan antara tempat penyembelihan dan tempat menempatkan binatang qurban.
Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah berkata:
“Dan dianjurkan untuk tidak menajamkan pisau di hadapan hewan sembelihan, tidak boleh pula menyembelih seekor hewan di depan yang lainnya, dan tidak boleh menyeretnya ke tempat pemyembelihannya di depan yang lainnya.” (Syarhu Muslim 13/113)
3) Menghadapkan kearah barat.
Dari bnu Sirin beliau berkata:
كَانَ يُسْتَحَبُّ أَنْ تُوَجَّهَ الذَّبِيحَةُ
إِلَى الْقِبْلَةِ.
“Dahulu disukai mengarahkan sembelihan kearah kiblat.” (HR.
Abdurrazaq, di dalam Mushanaf Abdurrazzaq As-Shan’ani 8587)
ليست شرطاً في الذبح ولكنه الأفضل، فعن ابن عمر أنه
كان يكره أن يأكل ذبيحة ذبحت لغير القبلة. عبد الرزاق(8585)، بإسناد صحيح ، والألباني رحمه الله مناسك الحج والعمرة ص33
Syaikh al-Albani berkata, “Bukanlah hal itu sebagai syarat di dalam penyembelihan akan tetapi hal itu lebih utama.” Bahwa Ibnu Umar tidak suka memakan sembelihan yang ketika disembelih tidak diarahkan kearah kiblat.”(HR. Abdurrazaq 8585, Al-Baihaqi 9/280 di shahihkan Syaikh al-Albani, manasik haji dan umrah hal 8).
4) Meletakkan kaki di atas sisi hewan sembelihan.
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata:
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى
صِفَاحِهِمَا يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih hewan kurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk. Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau, dengan mengucap basmalah dan bertakbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau di sisi-sisi kedua domba tersebut” (HR.Bukhari 4387 Muslim 1966)
5) Tempat bagian yang Disembelih.
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata :
الذَّكَاةُ فِي حَلْقِ اللُّبَّةِ
Penyembelihan dilakukan di sekitar kerongkongan dan labah.” (HR.Abdrrazaq 8615 shahih)
6) Menyebut basmalah dan bertakbir.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ
اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ
وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ.
“Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebut
nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah
suatu kefasikan. Sesungguhnya syaithan itu mewahyukan kepada wali-walinya
(kawan-kawannya) untuk membantah kalian.” ( QS. Al-An’am[6]:121)
عَنْ أَنَسِ بنِ مَالِكٍ رضي الله عنه أَنَّ
اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ
يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ, أَقْرَنَيْنِ, وَيُسَمِّي, وَيُكَبِّرُ
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah
menyembelih hewan kurban dengan dua domba jantan. Beliau mengucap bismillah dan
bertakbir.” (HR. Bukhari 5564,Ahmad 13714)
وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ, وَيَقُولُ: بِسْمِ
اَللَّهِ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ
Dan dalam riwayat Muslim Beliau mengatakan, “Bismillah
wallahu Akbar.”
Kebolehan sembelihan dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) adalah berdasarkan firman Allah ta’ala :
7) Batas akhir waktu penyembelihan.
Para ulama berbeda pendapat, ada yang menyebutkan tanggal
sebelas, dua belas, tiga belas ada juga yang menyebutkan sebelas, dua belas.
Untuk kehati-hatian seorang melaksanakan penyembelihan qurban
pada hari Idul Adha sepuluh Dzulhijah sebagaimana yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam lakukan dan hal ini lebih selamat dari perselisihan para
ulama yang ada. Jika sulit melakukan pada waktu tersebut, maka boleh
melakukannya pada sebelas dan dua belasnya, sebagaimana pendapat jumhur ulama.
Penting untuk diperhatikan:
1.
Tidak mencukur rambutnya, memotong kukunya dan menggunting kulit
badannya, sebgaimana hadist di atas, karena ulama memandang hal itu haram.
2.
Hendaknya ikhlas karena Allah.
Allah ta’ala
berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ.
“Padahal
mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata
karena (menjalankan) agama..” (QS.Al-Bayinah[98]:5)
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan..” (HR. Bukhari 1 Muslim 1907)
3.
Hendaknya Ittiba’ (mengikuti Sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam)
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ
اللَّهَ..
“Barangsiapa taat kepada Rasul sesungguhnya dia telah taat
kepada Allah.” (QS.An-Nisa[4]:80).
Banyak orang yang berkurban mereka kurang di dalam memahami
makna ikhlas, begitu pula tidak sepenuhnya mengikuti cara Rasulullah
sallallahu’alaihi wa sallam.
4.
Tidak menjual kulit qurban, kepala,
kaki maupun yang lainnya.
Atau mereka mengumpulkan kulit, kemudian dijual dan ditambahi
uang dan dibelikan binatang qurban lagi, pertanyaanya, diatas namakan siapa
qurban ini.. ? jelas ini tidak sesuai tuntunan.
وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا.
“Dan kami
memberikan sedekah dagingnya, dan kulitnya…” (HR. Bukhari 1707, Muslim 1317).
Berkata Ibnu
Daqiqil’id berkata:
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْجُلُودَ تَجْرِي مَجْرَى اللَّحْمِ
فِي التَّصَدُّقِ؛ لِأَنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ مَا يُنْتَفَعُ بِهِ. فَحُكْمُهَا
حُكْمُهُ..
“Ini menunjukkan bahwasanya kulit berlaku sebagaimana diperlakukannya daging dalam mensedekahkan, hal ini karena termasuk apa yang dimanfaatkan dengannya, maka hukumnya sama dengan hukum daging tersebut.” ( Ihkam Al-Ihkami, Syahu ‘Umdatu Al-Ahkam Jus 2 hal 82).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ
أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Orang yang
menjual kulit hewan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR Al-Baihaqi
19233, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 6118).
“Maksudnya, Orang yang berqurban tidak mendapatkan balasan apa yang dijanjikan atas qurbannya, oleh karena itu menjual kulitnya hukumnya haram. ( Ath-Taisir bi Syarhi Al-Jami’I Ash-Shagir Juz 2, Hal 407, Zainudin Muhammad).
6.
Tidak mengupah daging kepada
orang-orang yang berkecimpung di dalam penyembelihan berdasarkan hadits berikut
ini.
Dari Ali bin Abi Thalib beliau berkata:
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا
وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ :
نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا.
“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk
mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan
jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin).
Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal.
Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami
sendiri.” (HR. Bukhari 1707, Muslim 1317).
Di dalam menjelaskan
hadits ini, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
وأن
لاَ يُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا لِأَنَّ عَطِيَّتَهُ عِوَضٌ عَنْ عَمَلِهِ
فَيَكُونُ فِي مَعْنَى بَيْعِ جُزْءٍ مِنْهَا وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ وَفِيهِ
جَوَازُ الِاسْتِئْجَارِ عَلَى النَّحْرِ وَنَحْوِهِ
“Tukang jagal (atau
siapapun yang berkecimpung dalam penyembelihan) tidak boleh diberi upah dari
hewan qurban, karena upah tersebut merupakan ganti dari pekerjaannya, maka yang
demikian sama halnya dengan menjual bagian dari hewan qurban tersebut, demikian
itu tidak boleh, dibolehkan memberi upah (berupa uang) kepada penyembelih atau
semisalnya (siapapun yang terlibat().” (Sharh Shahih Muslim, jilid 9, hal.
65, Maktabah Islamiyah).
Wallahu ta’ala ‘alam.
Demikianlah sedikit ringkasan ini semoga bermanfaat aamiin.
Sragen 25 Mei 2024.
Junaedi Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar