Senin, 03 Juni 2024

HUKUM kURBAN BAGGI ORANG YANG SUDAH MENINGGAL.

 


Saudaraku dimanapun  berada, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka  sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar..” (QS. AL-Ahzab[33]:71).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة.

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan (HR. Muslim 867, shahih Ibnu Hibban 10).

Hukum asalnya, kurban disyariatkan bagi orang yang hidup. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Mereka berkurban atas nama diri mereka sendiri dan keluarga mereka.

Adapun hukum berkurban bagi orang yang sudah meninggal ada tiga macam:

Pertama: Seseorang berkurban atas nama dirinya, keluarganya serta menyertakan keluarganya baik kedua orang tuannya ataupun anggota keluarga yang telah meninggal, cara seperti ini hukumnya boleh dan inilah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau berkurban atas nama dirinya, keluarganya, dan keluarga beliau ada yang sudah meninggal sebelumnya.

Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu:

يَا عَائِشَةُ، هَلُمِّي الْمُدْيَةَ، ثُمَّ قَالَ: اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ، فَفَعَلَتْ: ثُمَّ أَخَذَهَا، وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ: «بِاسْمِ اللهِ، اللهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ، وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ، ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.

“Wahai ‘Aisyah, berikanlah pisau sembelih dan asahlah dengan batu”. Maka ‘Aisyah pun melakukannya kemudian beliau mengambilnya dan memegang kambing tersebut dan menginjaknya dan menyembelihnya kemudian beliau bersabda: “Dengan nama Allah, Ya Allah terimalah (kurban ini) dari Muhammad, dan dari keluarga Muhammad dan dari ummat Muhammad”, lalu beliau menyembelihnya.” (HR. Muslim 1967, Sunan Abu Dawud 2792).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan:

واستدل بِهَذَا مَنْ جَوَّزَ تَضْحِيَةَ الرَّجُلِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَاشْتِرَاكَهُمْ مَعَهُ فِي الثَّوَابِ وَهُوَ مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ الْجُمْهُورِ.

“Berdalil dengan hadits ini bagi orang yang memperbolehkan seseorang berkurban untuk dirinya dan keluarganya. Mengikut sertakan bersamanya dalam pahala. Dan ini adalah mazhab kami dan mazhab jumhur.” (Syarkh Muslim, Imam Nawawi juz 13 hal 122).

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata; saya menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Shalat Adha di lapangan, kemudian tatkala menyelesaikan khutbahnya beliau turun dari mimbarnya, dan beliau diberi satu ekor domba kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyembelihnya, dengan mengucapkan:

بِسْمِ اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، هَذَا عَنِّي، وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

“Dengan menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini dariku dan semua umatku yang tidak mampu berkurban.” (HR. Ahmad 4628, Abu Dawud 2810 dan di shahihkan syaikh al-Albani di dalam shahih Abu Dawud 2491, 2501).

Demikian pula atsar dari sahabat.

Dari ‘Atha’ bin Yasar, ia berkata“Aku pernah bertanya pada Ayyub Al Anshari, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab:

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ.

“Seseorang biasa berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi 1505, Ibnu Majah 3125, dishahihkan syaikh al-Albani shahih Ibnu Majah 3147).

Oleh karena itu pensyarah Sunan Tuhfah Al-Ahwadzi berkata:

فَإِذَا ضَحَّى الرَّجُلُ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ بَعْضِ أَمْوَاتِهِ أَوْ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ أَهْلِهِ وَعَنْ بَعْضِ أَمْوَاتِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ هُوَ وَأَهْلُهُ مِنْ تِلْكَ الْأُضْحِيَّةِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهَا كُلِّهَا.

Apabila seseorang menyembelih atas nama dirinya, dan sebagian keluargannya yang telah meninggal, atau atas nama dirinya, dan keluargannya, dan sebagian keluarganya yang telah meninggal, dirinya boleh memakan dan juga keluargannya dari kurban tersebut, tidak disedekahkan semuanya. (Tuhfah al-ahwadzi syarh jami' al-tirmidzi Abu al-'Ula Muhammad Abdurrahman).

Dari hadits diatas disunnahkan, untuk menyembelih sendiri, menyaksikan penyembelihannya, bolehnya memakan sembelihan, menghadiahkan dan berserikat di dalam pahala dengan keluarga yang masih hidup atau yang sudah meniggal.


Kedua: Apa bila seseorang ketika masih hidup berwasiat, bila kematian mendahuluinya agar diikut sertakan qurban dengan memggunakan hartanya, maka ulama memandang wasiat seperti ini hendaknya ditunaikan dan hukumnya wajib.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ.

“Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu, setelah dia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 181).

Namun apabila tidak mampu dikarenakan harta peninggalan orang yang sudah meniggal tersebut telah habis dipergunakan untuk membayar hutang maka tidak ada kewajiban untuk menunaikan wasiat tersebut.

Syaikh al-Albani berkata:

“Hendaknya sebagian mereka segera melunasi hutang-hutang simayit dengan harta simayit sendiri, sekalipun harus mengeluarkan dan menghabiskan seluruh hartanya. ( Ahkamul Jana’iz bab 3, Syaikh al-Albani).

Para ulama telah sepakat bahwa mendahulukan utang sebelum menunaikan wasiat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ الآيَةَ (مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ) وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَضَى بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ.

“Sesungguhnya kalian membaca ayat ini ‘sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An-Nisa [4]:11).

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melunasi utang sebelum menunaikan wasiat” (HR. Tirmidzi 2094, Ahmad 1222, hadits ini di hasankan Syaikh al Albani di dalam Ibnu Majah 2715).

 

Ketiga: Berkurban dengan mengatasnamakan orang yang sudah meninggal secara khusus. Contohnya, seseorang berkurban atas nama ayahnya, atau ibunya yang sudah meninggal.

Para fuqaha Hanabilah membolehkan hal ini, mereka mengkiyaskan dengan sedekah untuk mayit, menganggap pahala kurban seperti ini akan sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepadanya.

Hanya saja hal semacam ini tidak dijumpai adanya riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya.

Oleh karena itu sebagian ulama memandang hal semacam ini tidak termasuk sunnah Nabi atau sunnah para sahabat.

Namun jika hal hal ini dilakukan agar semua dagingnya diberikan tanpa ada yang dikembalikan, karena yang memiliki adalah orang yang telah meninggal tersebut, sudah dimaklumi orang yang meninggal tidak membutuhkan hal ini, hal ini sebagaimana yang dikatakan Ibnul Mubarak.

Ibnul Mubarak berkata di dalam Syarhu Sunnah:

وَقَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْهُ، وَلا يُضَحِّيَ، وَإِنْ ضَحَّى، فَلا يَأْكُلْ مِنْهَا شَيْئًا، وَيَتَصَدَّقْ بِهَا كُلِّهَا.

“Aku lebih suka bersedekah atas nama mayit (orang yang sudah meninggal), tidak berkurban (atas nama mayit), namun jika berkurban atas nama mayit (orang yang sudah meninggal tersebut hendaknya tidak memakan dagingnya sedikitpun, dan agar disedekahkan semuanya.” (Syarhu Sunnah, al-Baghawi Juz 4 hal 358).

 

Penting untuk diketahui:

 Seandainya mereka mengetahui bahwa jika seorang lelaki berkurban dari hartanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, maka hal itu sudah mencakup keluarganya yang hidup maupun yang sudah meninggal, tentunya mereka akan melakukan hal ini, karena ada dalil yang jelas, baik dari Rasulullah maupun sahabat Abu Ayub Al-Anshari.

Begitu pula setiap dari apa yang dilakukan anak berupa kebaikan-kebaikan orang tua akan mendapatkan pahalanya.

Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ, وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ.

“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” (HR. Abu Daud 3528, Baihaqi 15743, Ibnu Majah 2290, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam shahih Ibnu Majah 2137).

Qurban dibolehkan bagi dirinya dan keluarga, baik istri, anak, kerabat dekat maupun jauh (namun tinggal bersama), orang tua, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, hal itu masih dianggap keluarga apabila mereka semua itu mendapatkan nafkah dari dirinya (orang yang berkurban).

Hal ini baukan hanya pada kambing namun juga berlaku pada unta maupun sapi.

Diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa beliau berkata:

فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى، أُتِيتُ بِلَحْمِ بَقَرٍ، فَقُلْتُ: مَا هَذَا؟ قَالُوا: ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ.

“Pada saat kami berada di Mina, seseorang masuk dengan membawa daging sapi, maka kami bertanya: “(Daging) apa ini ?”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berkurban untuk para istrinya.” (HR. Bukhari 5548, Shahih Ibnu Hibban 2905).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Kalau kambing bisa berserikat dalam pahala untuk seseorang dan anggota keluarganya. Begitu pula untuk bagian 1/7 sapi dan 1/7 unta bisa diniatkan untuk dirinya dan anggota keluarganya.” (Syarh Al-Mumthi’, 7: 428)

Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah juga membolehkan apabila berqurban unta dan sapi dibolehkan untuk tujuh orang. Setiap tujuh orang itu boleh meniatkan untuk dirinya sendiri dan anggota keluarganya. (Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ’Ilmiyah wal Ifta’ no. 8790).

Demikianlah semoga bermanfaat. Aamiin.

 

 

-----000-----

 

Sragen 03-6-2024

Junaedi Abdullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB 10 HAK TETANGGA

  BAB 10 HAK TETANGGA Tetangga adalah orang yang dekat dengan kita, baik di depan, belakang, kanan ataupun kiri dari rumah kita menurut ...