Saudaraku dimanapun berada, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَنْ
يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah
mendapat kemenangan yang besar..” (QS. AL-Ahzab[33]:71).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ
اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة.
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan,
setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim 867, shahih Ibnu Hibban 10).
Hukum asalnya, kurban disyariatkan bagi orang yang hidup. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Mereka berkurban atas nama diri mereka sendiri dan keluarga mereka.
Adapun hukum berkurban bagi orang
yang sudah meninggal ada tiga macam:
Pertama: Seseorang berkurban atas nama dirinya, keluarganya serta menyertakan keluarganya baik kedua orang tuannya ataupun anggota keluarga yang telah meninggal, cara seperti ini hukumnya boleh dan inilah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau berkurban atas nama dirinya, keluarganya, dan keluarga beliau ada yang sudah meninggal sebelumnya.
Rasulullah sallallahu
alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu:
يَا
عَائِشَةُ، هَلُمِّي الْمُدْيَةَ، ثُمَّ قَالَ: اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ، فَفَعَلَتْ:
ثُمَّ أَخَذَهَا، وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ، ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ:
«بِاسْمِ اللهِ، اللهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ، وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ
أُمَّةِ مُحَمَّدٍ، ثُمَّ ضَحَّى بِهِ.
“Wahai ‘Aisyah, berikanlah pisau sembelih
dan asahlah dengan batu”. Maka ‘Aisyah pun melakukannya kemudian beliau
mengambilnya dan memegang kambing tersebut dan menginjaknya dan menyembelihnya
kemudian beliau bersabda: “Dengan nama Allah, Ya Allah terimalah (kurban ini)
dari Muhammad, dan dari keluarga Muhammad dan dari ummat Muhammad”, lalu beliau
menyembelihnya.” (HR. Muslim 1967, Sunan Abu Dawud 2792).
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan:
واستدل بِهَذَا مَنْ جَوَّزَ تَضْحِيَةَ الرَّجُلِ عَنْهُ وَعَنْ
أَهْلِ بَيْتِهِ وَاشْتِرَاكَهُمْ مَعَهُ فِي الثَّوَابِ وَهُوَ مَذْهَبُنَا
وَمَذْهَبُ الْجُمْهُورِ.
“Berdalil dengan hadits ini bagi orang
yang memperbolehkan seseorang berkurban untuk dirinya dan keluarganya. Mengikut
sertakan bersamanya dalam pahala. Dan ini adalah mazhab kami dan mazhab
jumhur.” (Syarkh Muslim, Imam Nawawi juz 13 hal 122).
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata;
saya menyaksikan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Shalat Adha di
lapangan, kemudian tatkala menyelesaikan khutbahnya beliau turun dari
mimbarnya, dan beliau diberi satu ekor domba kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam menyembelihnya, dengan mengucapkan:
بِسْمِ اللَّهِ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ،
هَذَا عَنِّي، وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
“Dengan menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini dariku dan
semua umatku yang tidak mampu berkurban.” (HR. Ahmad 4628, Abu Dawud 2810 dan
di shahihkan syaikh al-Albani di dalam shahih Abu Dawud 2491, 2501).
Demikian pula atsar dari sahabat.
Dari ‘Atha’ bin
Yasar, ia berkata“Aku pernah bertanya pada Ayyub Al Anshari, bagaimana qurban
di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab:
كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ
عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ.
“Seseorang biasa
berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya.
Lalu mereka memakan qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.”
(HR. Tirmidzi 1505, Ibnu Majah 3125, dishahihkan syaikh al-Albani shahih Ibnu
Majah 3147).
Oleh karena itu pensyarah Sunan Tuhfah Al-Ahwadzi berkata:
فَإِذَا ضَحَّى الرَّجُلُ
عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ بَعْضِ أَمْوَاتِهِ أَوْ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ أَهْلِهِ
وَعَنْ بَعْضِ أَمْوَاتِهِ فَيَجُوزُ أَنْ يَأْكُلَ هُوَ وَأَهْلُهُ مِنْ تِلْكَ
الْأُضْحِيَّةِ وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِهَا كُلِّهَا.
Apabila seseorang menyembelih atas
nama dirinya, dan sebagian keluargannya yang telah meninggal, atau atas nama
dirinya, dan keluargannya, dan sebagian keluarganya yang telah meninggal,
dirinya boleh memakan dan juga keluargannya dari kurban tersebut, tidak
disedekahkan semuanya. (Tuhfah al-ahwadzi syarh jami' al-tirmidzi Abu al-'Ula
Muhammad Abdurrahman).
Dari hadits diatas disunnahkan, untuk
menyembelih sendiri, menyaksikan penyembelihannya, bolehnya memakan sembelihan,
menghadiahkan dan berserikat di dalam pahala dengan keluarga yang masih hidup
atau yang sudah meniggal.
Kedua: Apa bila seseorang ketika masih
hidup berwasiat, bila kematian mendahuluinya agar diikut sertakan qurban dengan
memggunakan hartanya, maka ulama memandang wasiat seperti ini hendaknya ditunaikan
dan hukumnya wajib.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ
بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ
إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ.
“Maka barang siapa yang mengubah
wasiat itu, setelah dia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi
orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 181).
Namun apabila tidak mampu dikarenakan
harta peninggalan orang yang sudah meniggal tersebut telah habis dipergunakan
untuk membayar hutang maka tidak ada kewajiban untuk menunaikan wasiat
tersebut.
Syaikh al-Albani berkata:
“Hendaknya sebagian mereka segera
melunasi hutang-hutang simayit dengan harta simayit sendiri, sekalipun harus
mengeluarkan dan menghabiskan seluruh hartanya. ( Ahkamul Jana’iz bab 3, Syaikh
al-Albani).
Para ulama telah sepakat bahwa
mendahulukan utang sebelum menunaikan wasiat. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ الآيَةَ
(مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ) وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم قَضَى بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ.
“Sesungguhnya kalian membaca ayat ini
‘sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya.”
(QS. An-Nisa [4]:11).
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melunasi utang sebelum menunaikan wasiat” (HR. Tirmidzi 2094,
Ahmad 1222, hadits ini di hasankan Syaikh al Albani di dalam Ibnu Majah 2715).
Ketiga: Berkurban dengan mengatasnamakan orang
yang sudah meninggal secara khusus. Contohnya, seseorang berkurban atas nama
ayahnya, atau ibunya yang sudah meninggal.
Para fuqaha Hanabilah membolehkan hal
ini, mereka mengkiyaskan dengan sedekah untuk mayit, menganggap pahala kurban
seperti ini akan sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepadanya.
Hanya saja hal semacam ini tidak dijumpai adanya riwayat dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya.
Oleh karena itu sebagian ulama memandang hal semacam ini
tidak termasuk sunnah Nabi atau sunnah para sahabat.
Namun jika hal hal ini dilakukan agar semua dagingnya
diberikan tanpa ada yang dikembalikan, karena yang memiliki adalah orang yang
telah meninggal tersebut, sudah dimaklumi orang yang meninggal tidak
membutuhkan hal ini, hal ini sebagaimana yang dikatakan Ibnul Mubarak.
Ibnul Mubarak berkata di dalam Syarhu Sunnah:
وَقَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ: أَحَبُّ
إِلَيَّ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْهُ، وَلا يُضَحِّيَ، وَإِنْ ضَحَّى، فَلا يَأْكُلْ
مِنْهَا شَيْئًا، وَيَتَصَدَّقْ بِهَا كُلِّهَا.
“Aku lebih suka bersedekah atas nama mayit (orang yang sudah
meninggal), tidak berkurban (atas nama mayit), namun jika berkurban atas nama
mayit (orang yang sudah meninggal tersebut hendaknya tidak memakan dagingnya
sedikitpun, dan agar disedekahkan semuanya.” (Syarhu Sunnah, al-Baghawi Juz 4
hal 358).
Penting untuk diketahui:
Seandainya mereka
mengetahui bahwa jika seorang lelaki berkurban dari hartanya untuk dirinya
sendiri dan keluarganya, maka hal itu sudah mencakup keluarganya yang hidup
maupun yang sudah meninggal, tentunya mereka akan melakukan hal ini, karena ada
dalil yang jelas, baik dari Rasulullah maupun sahabat Abu Ayub Al-Anshari.
Begitu pula setiap dari apa yang dilakukan anak berupa
kebaikan-kebaikan orang tua akan mendapatkan pahalanya.
Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ
كَسْبِهِ, وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ.
“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah
hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.”
(HR. Abu Daud 3528, Baihaqi 15743, Ibnu Majah 2290, dishahihkan Syaikh
al-Albani di dalam shahih Ibnu Majah 2137).
Qurban dibolehkan bagi dirinya dan keluarga, baik istri,
anak, kerabat dekat maupun jauh (namun tinggal bersama), orang tua, baik yang
masih hidup maupun yang telah meninggal, hal itu masih dianggap keluarga
apabila mereka semua itu mendapatkan nafkah dari dirinya (orang yang
berkurban).
Hal ini baukan hanya pada kambing namun juga berlaku pada
unta maupun sapi.
Diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa beliau
berkata:
فَلَمَّا كُنَّا بِمِنًى، أُتِيتُ
بِلَحْمِ بَقَرٍ، فَقُلْتُ: مَا هَذَا؟ قَالُوا: ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَزْوَاجِهِ بِالْبَقَرِ.
“Pada saat kami berada di Mina, seseorang masuk dengan membawa
daging sapi, maka kami bertanya: “(Daging) apa ini ?”, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah berkurban untuk para istrinya.” (HR. Bukhari 5548,
Shahih Ibnu Hibban 2905).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah
menyatakan, “Kalau kambing bisa berserikat dalam pahala untuk seseorang dan
anggota keluarganya. Begitu pula untuk bagian 1/7 sapi dan 1/7 unta bisa
diniatkan untuk dirinya dan anggota keluarganya.” (Syarh Al-Mumthi’, 7: 428)
Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah juga membolehkan apabila berqurban
unta dan sapi dibolehkan untuk tujuh orang. Setiap tujuh orang itu boleh
meniatkan untuk dirinya sendiri dan anggota keluarganya. (Fatwa Al Lajnah Ad
Da-imah lil Buhuts ’Ilmiyah wal Ifta’ no. 8790).
Demikianlah semoga
bermanfaat. Aamiin.
-----000-----
Sragen
03-6-2024
Junaedi
Abdullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar