KISAH RASULULLAH SERI 6, SIKAP KAUM
MUSRIKIN TERHADAP DAKWAH RASULULLAH.
Adapun Rasulullah (kala itu) tidaklah
mengalami siksaan
yang sedemikian. Beliau adalah orang
yang terhormat, berwibawa dan sosok yang langka. Baik kawan maupun lawan
semuanya segan dan mengagungkannya. Setiap orang yang berjumpa dengannya, pasti
akan menyambutnya dengan rasa hormat dan pengagungan. Tidak seorang pun yang
berani melakukan perbuatan tak senonoh dan perbuatan buruk lainnya terhadap
beliau selain manusia-manusia kerdil dan picik. Terlebih lagi, beliau juga
mendapatkan perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, yang merupakan tokoh yang
diperhitungkan di Mekkah, terpandang nasabnya dan disegani orang. Oleh karena
itu, amatlah sulit bagi seseorang untuk meleceh-kan orang yang sudah berada
dalam perlindungannya. Kondisi ini tentu amat mencemaskan kaum Quraisy dan
membuat mereka terjepit sehingga tidak dapat berbuat banyak. Hal ini, memaksa
mereka untuk memikirkan secara jernih jalan keluarnya tanpa harus berurusan
dengan tapal larangan yang bila tersentuh akan berakibat tidak baik. Problem
tersebut malah memberikan inspirasi bagi mereka untuk memilih jalan berunding
dengan sang sesepuh terbesar, Abu Thalib. Akan tetapi tentunya dengan lebih
banyak melakukan pende-katan secara hikmah dan ekstra tegas, disisipi dengan
trik menantang dan ultimatum terselubung sehingga dia mau tunduk dan
mende-ngarkan apa yang mereka katakan.
UTUSAN QURAISY MENGHADAP ABU THALIB
Ibnu Ishaq berkata, "Sekelompok
tokoh bangsawan kaum Quraisy menghadap Abu Thalib, lalu berkata kepadanya,
'Wahai Abu Thalib! Sesungguhnya keponakanmu telah mencaci tuhan-tuhan kita,
mencela agama kita, menganggap kita menyimpang dan menganggap nenek moyang kita
sesat. Karenanya, engkau hanya punya dua alternatif; mencegahnya atau
membiarkan kami dan dia menyelesaikan urusan ini. Sesungguhnya kondisimu adalah
sama seperti kami, tidak sepen-dapat dengannya, oleh karena itu kami berharap
dapat mengandal-kanmu dalam menghentikannya. ( Ibnu Hisyam, Op.cit., h.265).
Abu Thalib berkata kepada mereka
dengan tutur kata yang lembut dan menjawabnya dengan jawaban yang halus dan
baik. Setelah itu mereka pun akhirnya undur diri. Sementara itu, Rasu-lullah
tetap melakukan aktivitas seperti biasanya; menampakkan agama Allah dan
mengajak (manusia) kepadanya."
Akan tetapi, orang-orang Quraisy
tidak dapat berlama-lama sabar manakala melihat Rasulullah terus melakukan
aktivitas dandakwahnya. Bahkan hal itu semakin membuat mereka memper-soalkan
dan saling mempropokasi. Hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk menghadap
Abu Thalib sekali lagi. Kali ini, dengan cara yang lebih kasar dan keras
daripada sebelumnya.
KAUM QURAISY MENGULTIMATUM ABU THALIB
Para pemuka kaum Quraisy kembali
mendatangi Abu Thalib seraya berkata kepadanya, "Wahai Abu Thalib!
Sesungguhnya usia, kebangsawanan dan kedudukanmu bernilai di sisi kami. Dan
sesung-guhnya pula, kami telah memintamu menghentikan polah kepo-nakanmu itu,
namun engkau tidak mengindahkannya. Demi Allah, Sesungguhnya kami tidak sabar
lagi atas perbuatannya mencela nenek moyang kami, menganggap sesat kami dan
mencemooh tuhan-tuhan kami, kecuali jika engkau mencegahnya sendiri atau kami
yang akan membuat perhitungan dengannya dan denganmu sekaligus. Setelah itu,
kita lihat siapa di antara dua pihak ini yang akan binasa."
Ancaman dan ultimatum yang keras
tersebut dirasakan berat oleh Abu Thalib, karenanya dia menyongsong Rasulullah
seraya berkata kepadanya, "Wahai keponakanku! Sesungguhnya kaummu telah
mendatangiku dan mengatakan ini dan itu kepadaku. Maka, kasihanilah aku dan
dirimu juga. Janganlah engkau membebaniku dengan sesuatu yang tak mampu aku
lakukan!."
Rasulullah mengira bahwa dengan ini,
pamannya telah menghentikan pembelaannya dan tak mampu lagi melindungi dirinya,
maka beliaupun menjawab, "Wahai pamanku! Demi Allah, andaikata mereka
meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku
meninggalkan utusan ini, niscaya aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah
memenangkannya atau aku binasa karena-mya." Beliau mengungkapkannya dengan
berlinang air mata dan tersedu, lalu berdiri dan meninggalkan pamannya, namun
pamannya memanggilnya dan tatkala beliau menghampirinya, dia berkata
kepa-danya, "Pergilah wahai keponakanku! Katakanlah apa yang engkau suka,
demi Allah, sekali-kali aku tidak akan pernah menyerahkanmu kepada
siapapun!." (Ibnu Hisyam, Op.cit., h.165-166).
Lalu dia merangkai beberapa untai
bait puisi (artinya), Demi Allah! mereka semua tidak akan dapat menjamahmu
Hingga aku mati berkubang tanah Sampaikanlah dengan lugas urusanmu, tiada cela
bagimu. Karenanya bergembiralah kamu dan bersuka citalah. (Lihat Dald ilun
Nubuwwah karya al-Baihaqiy, II/188).
KAUM QURAISY KEMBALI MENGHADAP ABU
THALIB
Tatkala kaum Quraisy melihat
Rasulullah masih terus mela-kukan aktivitasnya, tahulah mereka bahwa Abu Thalib
tak berkeinginan untuk menghentikankan pembelaannya pada Rasulullah dan telah
bulat hatinya untuk memisahkan diri dan memusuhi mereka. Maka sebagai upaya
untuk membujuknya, mereka membawa 'Imârah bin al-Walid bin al-Mughirah ke
hadapannya seraya berujar, "Wahai Abu Thalib! Sesungguhnya ini ada seorang
pemuda yang paling gagah dan tampan di kalangan kaum Quraisy! Ambillah dia dan
engkau boleh menjadi penanggungjawab dan pembelanya. Jadikanlah dia sebagai
anakmu, maka dia jadi milikmu. Lalu serahkan kepada kami keponakanmu yang telah
menyelisihi agamamu dan agama nenek moyangmu itu, menceraiberaikan persatuan
kaummu dan mengang-gap sesat mereka agar kami bunuh. Ini adalah barter manusia
dengan manusia di antara kita."
Abu Thalib menjawab, "Demi
Allah! sungguh tawaran kalian tersebut sesuatu yang murahan! Apakah kalian
ingin memberikan kepadaku anak kalian ini agar aku beri makan dia demi kalian,
sementarą aku memberikan anakku agar kalian bunuh?. Demi Allah! ini tidak akan
pernah terjadi!."
Al-Muth'im bin 'Adiy bin Naufal bin
'Abdu Manaf berkata, "Demi Allah, wahai Abu Thalib! Kaummu telah berbuat
adil terha-dapmu dan berupaya untuk membebaskanmu dari hal yang tidak engkau
sukai. Jadi, apa sebabnya aku lihat engkau tidak mau mene-rima sesuatupun dari
tawaran mereka?."
Dia menjawab, "Demi Allah!
kalian bukannya berbuat adil terhadapku, akan tetapi engkau telah bersepakat
menghinakanku dan mengkonfrontasikanku dengan kaum Quraisy. Karenanya,
lakukanlah apa yang ingin engkau lakukan!." ( Ilmu Hisyam, Op.cit,
h.266.267).
Manakala kaum Quraisy gagal dalam
perundingan tersebut dan tidak berhasil membujuk Abu Thalib untuk mencegah
Rasulullah dan menghentikan laju dakwahnya kepada Allah, maka mereka pun
memutuskan untuk memilih langkah yang sebelumnya telah berupaya mereka hindari
dan mereka jauhi karena khawatir akan akibat serta implikasinya, yaitu langkah
mencelakakan Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
BERBAGAI PELECEHAN TERHADAP
RASULULLAH
Kaum Quraisy akhirnya membatalkan
sikap pengagungan dan penghormatan yang dulu pernah mereka tampakkan terhadap
Rasulullah semenjak munculnya dakwah Islamiyyah di lapangan. Memang, sungguh
sulit merubah sikap yang terbiasa dengan kebe-ngisan dan kesombongan untuk
berlama-lama sabar, maka dari itu, mereka mulai mengulurkan tangan permusuhan
terhadap Rasulullah Sebagai implementasinya, mereka melakukan berbagai bentuk
ejekan, hinaan, pencemaran nama baik, pengaburan, keusilan dan lain sebagainya.
Tentunya, sudah lumrah bila yang menjadi garda terdepan dan ujung tombaknya
adalah Abu Lahab, sebab dia adalah salah seorang pemuka suku Bani Hasyim. Dia
tidak pernah memikirkan pertimbangan apapun sebagaimana yang selalu
diper-timbangkan oleh tokoh-tokoh Quraisy lainnya. Dia adalah musuh bebuyutan
Islam dan para pemeluknya. Sejak pertama, dia sudah menghadang Rasulullah
sebelum kaum Quraisy berkeinginan melakukan hal itu. Telah kita ketahui dimuka
bagaimana perilaku Abu Lahab terhadap Nabi di majlis Bani Hasyim dan di bukit
Shafa. Sebelum beliau diutus, Abu Lahab telah mengawinkan kedua anaknya; 'Utbah
dan 'Utaibah dengan kedua putri Rasulullah Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Namun
tatkala beliau diutus menjadi Rasul, dia memerintahkan kedua anaknya tersebut
agar menceraikan kedua putri beliau dengan cara yang kasar dan keras, hingga
keduanya pun menceraikan kedua putri Rasulullah tersebut. ( Usudul Ghabah,
Op.cit., VI, pada tarjamah Ruqayyah dan Ummu Kultsum ).
Ketika 'Abdullah, putra kedua
Rasulullah ﷺ wafat, Abu Lahab
amat gembira dan mendatangi semua kaum musyrikin untuk mem-beritakan perihal
Muhammad yang sudah menjadi orang yang terputus (keturunannya). (Tafsir Ibnu
Katsir, surat al-Kautsar. (Orang-orang di zaman jahiliyah mempunyai anggapan
apabila seseorang kehilangan putra-putranya karena wafat, maka terputuslah
sejarah-nya. Karena gar garis keturunan bersambung melaui anak laki-laki bukan
perempuan. Penj)
Telah disebutkan di atas, bahwa Abu
Lahab selalu menguntit di belakang Rasulullah saat musim haji dan di
pasar-pasar sebagai upaya mendustakannya. Dalam hal ini, Thariq bin 'Abdullah
al-Muhâriby meriwayatkan suatu berita yang intinya bahwa yang dila-kukannya
tidak sekedar mendustakan Rasulullah, akan tetapi lebih dari itu, dia juga
memukuli beliau dengan batu hingga kedua tumit beliau berdarah. (1 Kamzail
Ummál. XII/449).
Istri Abu Lahab, Ummu Jamil binti
Harb bin Umayyah saudara perempuan Abu Sufyan, tidak kalah pula frekuensi
permusuhannya terhadap Nabi dibanding sang suami. Dia pernah membawa duri dan
menyerakkannya di jalan yang dilalui oleh Nabi ﷺ bahkan juga, di depan pintu rumah beliau
pada malam harinya. Dia adalah sosok perempuan yang galak. selalu mencaci
Rasulllah, mengarang berita dusta dan berbagai isu, menyulut api fitnah serta
mengobar-kan perang membabibuta terhadap Nabi . Oleh karena itulah, al-Qur'an
menjulukinya sebagai Hammálatal Hathab (wanita pembawa kayu bakar).
Ketika dia mendengar ayat al-Qur'an
yang turun mengenai dirinya dan suaminya, dia langsung mendatangi Rasulullah
yang sedang duduk-duduk bersama Abu Bakar ash-Shiddiq di dekat Ka'bah. Tidak
lupa, dia membawa segenggam batu di tangannya, namun ketika dia berdiri di
hadapan keduanya, Allah membutakan pandangannya dari beliau sehingga hanya
dapat melihat Abu Bakar, lantas dia berkata, "Wahai Abu Bakar! Mana
sahabatmu itu? Aku mendapat berita bahwa dia telah mengejekku. Demi Allah!
andai aku menemuinya, niscaya akan aku tampar mulutnya dengan batu yang di
genggamanku ini. Demi Allah! Sesungguhnya aku adalah seorang Penyair!."
Kemudian dia menguntai bait sya'ir berikut (artinya):
Si tercela yang kami tentang,
Urusannya yang kami tolak, Diennya
yang kami benci
Kemudian dia berlalu. Setelah
kepergiannya, Abu Bakar berkata, "Wahai Rasulullah! Tidaklah engkau lihat
dia dapat melihatmu?."
Beliau menjawab, "Dia tidak
dapat melihatku. Sungguh! Allah telah membutakan pandangannya dariku."(
Lihat Strah Ibnu Hisyam, Op.cit, h.335,336).
Abu Bakar al-Bazzar meriwayatkan
kisah diatas. Di dalam riwayat itu disebutkan bahwa ketika dia (Ummu Jamil)
berdiri di hadapan Abu Bakar, dia berkata, "Wahai Abu Bakar! Sahabatmu itu
telah mengejek kami!."
Abu Bakar menjawab, "Tidak, demi
Rabb bangunan ini (Ka'bah)! Dia tidak pernah berbicara dengan merangkai sya'ir
ataupun melan-tunkannya."
Dia menjawab, "Sungguh! Engkau
selalu membenarkan (Muhammad)."
Demikianlah yang dilakukan oleh Abu
Lahab, padahal dia adalah paman beliau sekaligus tetangganya, rumahnya menempel
dengan rumah beliau. Sama seperti tetangga-tetangga beliau yang lain yang
selalu mengganggu beliau di saat beliau sedang berada di rumahnya.
Ibnu Ishaq berkata, "Mereka yang
selalu mengganggu Rasu-lullah saat beliau berada di rumahnya adalah Abu Lahab,
al-Hakam bin Abi al-'Ash bin Umayyah, 'Uqbah bin Abi Mu'îth, 'Adiy bin Hamra
ats-Tsaqafiy dan Ibnu al-Ashda al-Huzaly. Semuanya adalah tetangga-tetangga
beliau namun tak seorang pun di antara mereka yang (nantinya) masuk Islam
kecuali al-Hakam bin Abi al-'Ash. (Dia adalah ayah dari khalifah Bani Ummayyah,
Marwan bin al-Hakam).
Salah seorang di antara mereka ada
yang melempari beliau dengan rahim kambing saat beliau tengah melakukan shalat.
Yang lain lagi pernah memasukkan bangkai tersebut ke dalam priuk milik beliau
yang terbuat dari batu - ketika sedang dipanaskan. Hal ini, membuat Rasulullah
mamasang penghalang dari batu agar dapat terlindungi dari mereka manakala
beliau tengah melakukan shalat. Apabila mereka melemparkan kotoran tersebut
kepada Rasulullah belaiau membawanya keluar dan meletakkannya diatas sebatang
ranting, kemudian berdiri di depan pintu rumahnya lalu berseru, "Wahai
Bani 'Abdi Manaf! Tetangga-tetangga macam apa yang begini kelakuannya?."
Kemudian barang tersebut beliau lempar ke jalan. (Ibnu Hisyam, op.cit. hal 416).
'Uqbah bin Abi Mu'ith malah melakukan
hal yang lebih buruk dan busuk dari itu. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari
'Abdullah bin Mas'ud bahwa pernah suatu hari saat Nabi melakukan shalat di sisi
Ka'bah sedangkan Abu Jahal dan rekan-rekannya tengah duduk-duduk, sebagian
mereka berkata kepada sebagian yang lain, "Siapa di antara kalian yang
(punya keberanian) membawa kotoran onta Bani Fulan lalu menumpahkannya ke
punggung Muhammad saat dia sedang sujud?." Maka bangkitlah 'yaitu, sosok
yang paling sesat di antara mereka 'Uqbah bin Abi Mu'ith. (Hal ini disebutkan
secara jelas di dalam Shahih al-Bukhariy, Op.cit., 1/543).
Dia membawa kotoran tersebut sambil
memperhatikan gerak-gerik Nabi Muhammad Tatkala beliau beranjak sujud kepada
Allah, dia menumpahkan kotoran tersebut ke atas punggungnya antara kedua
bahunya. Aku (Ibnu Mas'ud-penj.,) hanya dapat memandangi hal itu tanpa mampu
berbuat apa-apa, andai saja (saat itu) aku mempunyai kekuatan. Lalu mereka
tertawa terbahak-bahak sambil memiringkan badan satu sama lainnya dengan penuh
kesombongan dan keang-kuhan sementara Rasulullah masih sujud. Beliau tidak
mengangkat kepalanya hingga Fathimah datang dan membuang kotoran tersebut dari
punggung beliau, barulah beliau mengangkat kepala, kemudian berdoa, Ya Allah!
berilah balasan (setimpal) kepada kaum Quraisy tersebut. Beliau mengucapkannya
tiga kali. Doa ini membuat dada mereka sesak. Dia (Ibnu Mas'ud-penj..) bertutur
lagi, 'Mereka beranggapan bahwa doa yang dipanjatkan di negeri itu (Mekkah)
pasti terkabul. Kemudian beliau melanjutkan doanya tersebut, dengan menyebut
nama mereka satu per-satu, Ya Allah! binasakanlah Abu Jahal, 'Utbah bin
Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, al-Walid bin 'Uthah, Umayyah bin Khalaf, 'Uqbah
bin Abi Mu'ith ketika menyebutkan nama orang ke tujuh, Ibnu Mas'ud tidak
mengingatnya-. Selanjutnya Ibnu Mas'ud berkata, "Demi Dzat yang jiwaku di
tangan-Nya! Sungguh aku telah melihat orang-orang yang disebut satu persatu
oleh Rasulullah tersebut (dijebloskan) dalam keadaan tewas menegenaskan ke
dalam sumur badr.” (Para pemuka Quraisi yang tewas dalam perang Badr (mayatnya
dijebloskan ke sumur yang terdapat di padang Badr. Penj). (Ibid, Kitab
al-Wudhu, bab: Idza Ulqiya 'ala al-Mushally Qadzirun aw jifah, h.37).
Adapun nama orang yang ke tujuh
tersebut sebenarnya adalah 'Imarah bin al-Walid. ( Ibid, hadits no.520, yaitu
hadits terakhir dalam kitab ash-Shaldh)
Berbeda lagi dengan perlakuan
Ummayyah bin Khalaf; bila melihat Rasulullah dia langsung mengumpat dan
mencelanya. Karenanya, turunlah terhadapnya ayat: وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ أُمَزَةٍ
"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat (al-Humazah) lagi pencela."
(al-Humazah: 1).
Ibnu Hisyam berkata, "Makna kata
"al-Humazah" adalah orang yang mencemooh seseorang secara
terang-terangan dan tanpa ditutup-tutupi, memain-mainkan kedua matanya sambil
mengedipkannya, sedangkan makna kata "al-Lumazah" adalah orang yang
mencela manusia secara sembunyi dan menyakiti hati mereka. (Ibnu Hisyam,
Op.cit., h.356,357).
Saudara laki-lakinya, Ubay bin Khalaf
merupakan sahabat karib dari 'Uqbah bin Abi Mu'ith. Suatu ketika, 'Uqbah hadir
di majlis Nabi sambil mendengarkan dakwahnya, namun manakalaberita tersebut
sampai ke telinga Ubay, dia langsung menegur dan mengritik saudaranya tersebut
serta memintanya agar meludah ke wajah Rasulullah, maka dia pun melakukannya.
Sementara Ubay sendiri tidak mau kalah, dia menumbuk tulang belulang yang ada
di situ sampai remuk-redam, lalu meniupnya ke arah angin yang ber-hembus menuju
Rasulullah ﷺ(Ibnu Hisyam,
Op.cit., h.361,362).
Bentuk pelecehan lainnya, al-Akhnas
bin Syuraiq at-Tsaqafy selalu mencaci maki Rasulullah. Karenanya, al-Qur'an
melebelkan terhadapnya sembilan sifat yang menyingkap perangainya tersebut,
yaitu firman Allah Ta'ala,
مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ
هَمَّازٍ مَشَاءِ بِنَمِيمٍ
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِينٍ
أَثِيمٍ عُتُلٍ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيمٍ
"Dan janganlah kamu ikuti setiap
orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari
menghambur fitnah. Yang enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak
dosa. Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya."
(al-Qalam: 10-13).
Demikian pula dengan Abu Jahal,
terkadang dia mendatangi Rasulullah dan mendengarkan al-Qur'an, kemudian
berlalu namun hal itu tidak membuatnya beriman, tunduk, berperangai baik
apalagi takut. Bahkan dia menyakiti Rasulullah dengan ucapannya, meng-halang-halangi
(manusia) dari jalan Allah, berlalu lalang dengan angkuh memamerkan apa yang
diperbuatnya dan bangga dengan kejahatan yang dilakukannya tersebut seakan
melakukan sesuatu prestasi besar. Terhadapnya turunlah ayat (artinya),
"Dan ia tidak mau membenarkan (Rasulullah dan al-Qur'an) dan tidak mau
mengerjakan shalat... dst." (al-Qiyamah: 31-dst). Dia selalu melarang
Rasulullah shalat sejak pertama kali melihat beliau melakukannya di Masjid
al-Haram. Suatu kali, dia melewati beliau yang sedang melakukan shalat di sisi
Maqam Ibrahim, lalu berkata, "Wahai Muhammad! Bukankah aku sudah
melarangmu melakukan ini?." Maka Rasulullah mengancam dan berbicara keras
kepadanya serta membentaknya. Dia berkata kepada beliau, "Wahai Muhammad!
Dengan apa engkau akan mengancamku? Demi Allah! aku ini adalah orang yang
paling banyak kerabat dan pendukungnya di lembah ini (Mekkah)." Maka
turunlah ayat:
فَيَدْعُ نَادِيَهُ سَنَدْعُ
الزَّبَانِيَةَ
"Maka biarkanlah dia memanggil
golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah,
[18]." (al-'Alaq: 17-18).
Dalam riwayat yang lalu disebutkan
bahwa Nabi menceng-keram lehernya dan mengguncang-guncangkannya sambil
membaca-kan firman Allah:
أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى ثُمَّ أَوْلَى
لَكَ فَأَوْلَى
"Kecelakaanlah bagimu (hai orang
kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemu-dian kecelakaanlah bagimu (hai orang
kafir) dan kecelakaanlah bagimu." (al-Qiyamah: 34-35).
Lantas sang musuh Allah itu berkata,
"Engkau hendak mengan-camku, wahai Muhammad? Demi Allah! engkau dan
Tuhanmu tidak akan sanggup melakukan apapun. Sesungguhnya aku-lah orang yang
paling perkasa yang berjalan di antara dua gunung di Mekkah ini!." (Lihat
Tafsir Ibnu Jarir, at-Tirmidzi dalam tafsir surat Iqra'; Ibnu Katsir, IV/477;
ad-Durrul Mantsür, VI/478).
Sekalipun sudah dibentak-bentak
seperti itu, Abu Jahal tidak pernah jera dari kedunguannya bahkan semakin
menjadi-jadi saja. Berkaitan dengan ini, Imam Muslim meriwayatkan (sebuah
hadits) dari Abu Hurairah, dia berkata, "Abu Jahal berkata, 'Apakah Mu-hammad
sujud dan menempelkan dahinya di tanah (shalat) di depan batang hidung
kalian?.'
Mereka menjawab, 'Ya, benar!.'
Dia berkata lagi, 'Demi Lâta dan
'Uzza! Sungguh aku akan menginjak-injak lehernya dan membenamkan mukanya ke
tanah!.'
Kemudian dia pun mendatangai
Rasulullah yang sedang melakukan shalat. Abu Jahal sebelumnya sesumbar akan
menginjak-injak leher beliau, namun mereka di kagetkan dengan berbalik
mundurnya Abu Jahal dan malah berlindung di balik kedua tangan-nya. Mereka lalu
bertanya, "Wahai Abu Jahal! Ada apa gerangan denganmu?."
Dia menjawab, "Sesungguhnya
antara diriku dan dirinya terda-pat parit dari api, makhluk yang menyeramkan
dan memiliki sayap-sayap."
Lantas Rasulullah bersabda,
"Andai dia sedikit lagi mendekat kepadaku, niscaya tubuhnya akan disambar
malaikat dan terkoyak satu persatu. ( HR. Muslim di dalam Shahih-nya, Shifatul
Munafiqin, hadits no.38).
Demikianlah gambaran yang amat kecil
sekali dari berbagai gangguan orang-orang musyrik.
-----000-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar