Jumat, 12 September 2025

KISAH RASULULLAH SERI 6, SIKAP KAUM MUSRIKIN TERHADAP DAKWAH RASULULLAH.

 


KISAH RASULULLAH SERI 6, SIKAP KAUM MUSRIKIN TERHADAP DAKWAH RASULULLAH.

Adapun Rasulullah (kala itu) tidaklah mengalami siksaan

yang sedemikian. Beliau adalah orang yang terhormat, berwibawa dan sosok yang langka. Baik kawan maupun lawan semuanya segan dan mengagungkannya. Setiap orang yang berjumpa dengannya, pasti akan menyambutnya dengan rasa hormat dan pengagungan. Tidak seorang pun yang berani melakukan perbuatan tak senonoh dan perbuatan buruk lainnya terhadap beliau selain manusia-manusia kerdil dan picik. Terlebih lagi, beliau juga mendapatkan perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, yang merupakan tokoh yang diperhitungkan di Mekkah, terpandang nasabnya dan disegani orang. Oleh karena itu, amatlah sulit bagi seseorang untuk meleceh-kan orang yang sudah berada dalam perlindungannya. Kondisi ini tentu amat mencemaskan kaum Quraisy dan membuat mereka terjepit sehingga tidak dapat berbuat banyak. Hal ini, memaksa mereka untuk memikirkan secara jernih jalan keluarnya tanpa harus berurusan dengan tapal larangan yang bila tersentuh akan berakibat tidak baik. Problem tersebut malah memberikan inspirasi bagi mereka untuk memilih jalan berunding dengan sang sesepuh terbesar, Abu Thalib. Akan tetapi tentunya dengan lebih banyak melakukan pende-katan secara hikmah dan ekstra tegas, disisipi dengan trik menantang dan ultimatum terselubung sehingga dia mau tunduk dan mende-ngarkan apa yang mereka katakan.

UTUSAN QURAISY MENGHADAP ABU THALIB

Ibnu Ishaq berkata, "Sekelompok tokoh bangsawan kaum Quraisy menghadap Abu Thalib, lalu berkata kepadanya, 'Wahai Abu Thalib! Sesungguhnya keponakanmu telah mencaci tuhan-tuhan kita, mencela agama kita, menganggap kita menyimpang dan menganggap nenek moyang kita sesat. Karenanya, engkau hanya punya dua alternatif; mencegahnya atau membiarkan kami dan dia menyelesaikan urusan ini. Sesungguhnya kondisimu adalah sama seperti kami, tidak sepen-dapat dengannya, oleh karena itu kami berharap dapat mengandal-kanmu dalam menghentikannya. ( Ibnu Hisyam, Op.cit., h.265).

 

 

Abu Thalib berkata kepada mereka dengan tutur kata yang lembut dan menjawabnya dengan jawaban yang halus dan baik. Setelah itu mereka pun akhirnya undur diri. Sementara itu, Rasu-lullah tetap melakukan aktivitas seperti biasanya; menampakkan agama Allah dan mengajak (manusia) kepadanya."

 

Akan tetapi, orang-orang Quraisy tidak dapat berlama-lama sabar manakala melihat Rasulullah terus melakukan aktivitas dandakwahnya. Bahkan hal itu semakin membuat mereka memper-soalkan dan saling mempropokasi. Hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk menghadap Abu Thalib sekali lagi. Kali ini, dengan cara yang lebih kasar dan keras daripada sebelumnya.

 

KAUM QURAISY MENGULTIMATUM ABU THALIB

 

Para pemuka kaum Quraisy kembali mendatangi Abu Thalib seraya berkata kepadanya, "Wahai Abu Thalib! Sesungguhnya usia, kebangsawanan dan kedudukanmu bernilai di sisi kami. Dan sesung-guhnya pula, kami telah memintamu menghentikan polah kepo-nakanmu itu, namun engkau tidak mengindahkannya. Demi Allah, Sesungguhnya kami tidak sabar lagi atas perbuatannya mencela nenek moyang kami, menganggap sesat kami dan mencemooh tuhan-tuhan kami, kecuali jika engkau mencegahnya sendiri atau kami yang akan membuat perhitungan dengannya dan denganmu sekaligus. Setelah itu, kita lihat siapa di antara dua pihak ini yang akan binasa."

 

Ancaman dan ultimatum yang keras tersebut dirasakan berat oleh Abu Thalib, karenanya dia menyongsong Rasulullah seraya berkata kepadanya, "Wahai keponakanku! Sesungguhnya kaummu telah mendatangiku dan mengatakan ini dan itu kepadaku. Maka, kasihanilah aku dan dirimu juga. Janganlah engkau membebaniku dengan sesuatu yang tak mampu aku lakukan!."

 

Rasulullah mengira bahwa dengan ini, pamannya telah menghentikan pembelaannya dan tak mampu lagi melindungi dirinya, maka beliaupun menjawab, "Wahai pamanku! Demi Allah, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan utusan ini, niscaya aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku binasa karena-mya." Beliau mengungkapkannya dengan berlinang air mata dan tersedu, lalu berdiri dan meninggalkan pamannya, namun pamannya memanggilnya dan tatkala beliau menghampirinya, dia berkata kepa-danya, "Pergilah wahai keponakanku! Katakanlah apa yang engkau suka, demi Allah, sekali-kali aku tidak akan pernah menyerahkanmu kepada siapapun!." (Ibnu Hisyam, Op.cit., h.165-166).

 

 

Lalu dia merangkai beberapa untai bait puisi (artinya), Demi Allah! mereka semua tidak akan dapat menjamahmu Hingga aku mati berkubang tanah Sampaikanlah dengan lugas urusanmu, tiada cela bagimu. Karenanya bergembiralah kamu dan bersuka citalah. (Lihat Dald ilun Nubuwwah karya al-Baihaqiy, II/188).

 

KAUM QURAISY KEMBALI MENGHADAP ABU THALIB

 

Tatkala kaum Quraisy melihat Rasulullah masih terus mela-kukan aktivitasnya, tahulah mereka bahwa Abu Thalib tak berkeinginan untuk menghentikankan pembelaannya pada Rasulullah dan telah bulat hatinya untuk memisahkan diri dan memusuhi mereka. Maka sebagai upaya untuk membujuknya, mereka membawa 'Imârah bin al-Walid bin al-Mughirah ke hadapannya seraya berujar, "Wahai Abu Thalib! Sesungguhnya ini ada seorang pemuda yang paling gagah dan tampan di kalangan kaum Quraisy! Ambillah dia dan engkau boleh menjadi penanggungjawab dan pembelanya. Jadikanlah dia sebagai anakmu, maka dia jadi milikmu. Lalu serahkan kepada kami keponakanmu yang telah menyelisihi agamamu dan agama nenek moyangmu itu, menceraiberaikan persatuan kaummu dan mengang-gap sesat mereka agar kami bunuh. Ini adalah barter manusia dengan manusia di antara kita."

 

Abu Thalib menjawab, "Demi Allah! sungguh tawaran kalian tersebut sesuatu yang murahan! Apakah kalian ingin memberikan kepadaku anak kalian ini agar aku beri makan dia demi kalian, sementarą aku memberikan anakku agar kalian bunuh?. Demi Allah! ini tidak akan pernah terjadi!."

 

Al-Muth'im bin 'Adiy bin Naufal bin 'Abdu Manaf berkata, "Demi Allah, wahai Abu Thalib! Kaummu telah berbuat adil terha-dapmu dan berupaya untuk membebaskanmu dari hal yang tidak engkau sukai. Jadi, apa sebabnya aku lihat engkau tidak mau mene-rima sesuatupun dari tawaran mereka?."

 

Dia menjawab, "Demi Allah! kalian bukannya berbuat adil terhadapku, akan tetapi engkau telah bersepakat menghinakanku dan mengkonfrontasikanku dengan kaum Quraisy. Karenanya, lakukanlah apa yang ingin engkau lakukan!." ( Ilmu Hisyam, Op.cit, h.266.267).

 

 

Manakala kaum Quraisy gagal dalam perundingan tersebut dan tidak berhasil membujuk Abu Thalib untuk mencegah Rasulullah dan menghentikan laju dakwahnya kepada Allah, maka mereka pun memutuskan untuk memilih langkah yang sebelumnya telah berupaya mereka hindari dan mereka jauhi karena khawatir akan akibat serta implikasinya, yaitu langkah mencelakakan Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

BERBAGAI PELECEHAN TERHADAP RASULULLAH

 

Kaum Quraisy akhirnya membatalkan sikap pengagungan dan penghormatan yang dulu pernah mereka tampakkan terhadap Rasulullah semenjak munculnya dakwah Islamiyyah di lapangan. Memang, sungguh sulit merubah sikap yang terbiasa dengan kebe-ngisan dan kesombongan untuk berlama-lama sabar, maka dari itu, mereka mulai mengulurkan tangan permusuhan terhadap Rasulullah Sebagai implementasinya, mereka melakukan berbagai bentuk ejekan, hinaan, pencemaran nama baik, pengaburan, keusilan dan lain sebagainya. Tentunya, sudah lumrah bila yang menjadi garda terdepan dan ujung tombaknya adalah Abu Lahab, sebab dia adalah salah seorang pemuka suku Bani Hasyim. Dia tidak pernah memikirkan pertimbangan apapun sebagaimana yang selalu diper-timbangkan oleh tokoh-tokoh Quraisy lainnya. Dia adalah musuh bebuyutan Islam dan para pemeluknya. Sejak pertama, dia sudah menghadang Rasulullah sebelum kaum Quraisy berkeinginan melakukan hal itu. Telah kita ketahui dimuka bagaimana perilaku Abu Lahab terhadap Nabi di majlis Bani Hasyim dan di bukit Shafa. Sebelum beliau diutus, Abu Lahab telah mengawinkan kedua anaknya; 'Utbah dan 'Utaibah dengan kedua putri Rasulullah Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Namun tatkala beliau diutus menjadi Rasul, dia memerintahkan kedua anaknya tersebut agar menceraikan kedua putri beliau dengan cara yang kasar dan keras, hingga keduanya pun menceraikan kedua putri Rasulullah tersebut. ( Usudul Ghabah, Op.cit., VI, pada tarjamah Ruqayyah dan Ummu Kultsum ).

Ketika 'Abdullah, putra kedua Rasulullah wafat, Abu Lahab amat gembira dan mendatangi semua kaum musyrikin untuk mem-beritakan perihal Muhammad yang sudah menjadi orang yang terputus (keturunannya). (Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Kautsar. (Orang-orang di zaman jahiliyah mempunyai anggapan apabila seseorang kehilangan putra-putranya karena wafat, maka terputuslah sejarah-nya. Karena gar garis keturunan bersambung melaui anak laki-laki bukan perempuan. Penj)

Telah disebutkan di atas, bahwa Abu Lahab selalu menguntit di belakang Rasulullah saat musim haji dan di pasar-pasar sebagai upaya mendustakannya. Dalam hal ini, Thariq bin 'Abdullah al-Muhâriby meriwayatkan suatu berita yang intinya bahwa yang dila-kukannya tidak sekedar mendustakan Rasulullah, akan tetapi lebih dari itu, dia juga memukuli beliau dengan batu hingga kedua tumit beliau berdarah. (1 Kamzail Ummál. XII/449).

 

Istri Abu Lahab, Ummu Jamil binti Harb bin Umayyah saudara perempuan Abu Sufyan, tidak kalah pula frekuensi permusuhannya terhadap Nabi dibanding sang suami. Dia pernah membawa duri dan menyerakkannya di jalan yang dilalui oleh Nabi bahkan juga, di depan pintu rumah beliau pada malam harinya. Dia adalah sosok perempuan yang galak. selalu mencaci Rasulllah, mengarang berita dusta dan berbagai isu, menyulut api fitnah serta mengobar-kan perang membabibuta terhadap Nabi . Oleh karena itulah, al-Qur'an menjulukinya sebagai Hammálatal Hathab (wanita pembawa kayu bakar).

 

Ketika dia mendengar ayat al-Qur'an yang turun mengenai dirinya dan suaminya, dia langsung mendatangi Rasulullah yang sedang duduk-duduk bersama Abu Bakar ash-Shiddiq di dekat Ka'bah. Tidak lupa, dia membawa segenggam batu di tangannya, namun ketika dia berdiri di hadapan keduanya, Allah membutakan pandangannya dari beliau sehingga hanya dapat melihat Abu Bakar, lantas dia berkata, "Wahai Abu Bakar! Mana sahabatmu itu? Aku mendapat berita bahwa dia telah mengejekku. Demi Allah! andai aku menemuinya, niscaya akan aku tampar mulutnya dengan batu yang di genggamanku ini. Demi Allah! Sesungguhnya aku adalah seorang Penyair!." Kemudian dia menguntai bait sya'ir berikut (artinya):

 

Si tercela yang kami tentang,

 

Urusannya yang kami tolak, Diennya yang kami benci

 

Kemudian dia berlalu. Setelah kepergiannya, Abu Bakar berkata, "Wahai Rasulullah! Tidaklah engkau lihat dia dapat melihatmu?."

 

Beliau menjawab, "Dia tidak dapat melihatku. Sungguh! Allah telah membutakan pandangannya dariku."( Lihat Strah Ibnu Hisyam, Op.cit, h.335,336).

Abu Bakar al-Bazzar meriwayatkan kisah diatas. Di dalam riwayat itu disebutkan bahwa ketika dia (Ummu Jamil) berdiri di hadapan Abu Bakar, dia berkata, "Wahai Abu Bakar! Sahabatmu itu telah mengejek kami!."

 

Abu Bakar menjawab, "Tidak, demi Rabb bangunan ini (Ka'bah)! Dia tidak pernah berbicara dengan merangkai sya'ir ataupun melan-tunkannya."

 

Dia menjawab, "Sungguh! Engkau selalu membenarkan (Muhammad)."

 

Demikianlah yang dilakukan oleh Abu Lahab, padahal dia adalah paman beliau sekaligus tetangganya, rumahnya menempel dengan rumah beliau. Sama seperti tetangga-tetangga beliau yang lain yang selalu mengganggu beliau di saat beliau sedang berada di rumahnya.

 

Ibnu Ishaq berkata, "Mereka yang selalu mengganggu Rasu-lullah saat beliau berada di rumahnya adalah Abu Lahab, al-Hakam bin Abi al-'Ash bin Umayyah, 'Uqbah bin Abi Mu'îth, 'Adiy bin Hamra ats-Tsaqafiy dan Ibnu al-Ashda al-Huzaly. Semuanya adalah tetangga-tetangga beliau namun tak seorang pun di antara mereka yang (nantinya) masuk Islam kecuali al-Hakam bin Abi al-'Ash. (Dia adalah ayah dari khalifah Bani Ummayyah, Marwan bin al-Hakam).

Salah seorang di antara mereka ada yang melempari beliau dengan rahim kambing saat beliau tengah melakukan shalat. Yang lain lagi pernah memasukkan bangkai tersebut ke dalam priuk milik beliau yang terbuat dari batu - ketika sedang dipanaskan. Hal ini, membuat Rasulullah mamasang penghalang dari batu agar dapat terlindungi dari mereka manakala beliau tengah melakukan shalat. Apabila mereka melemparkan kotoran tersebut kepada Rasulullah belaiau membawanya keluar dan meletakkannya diatas sebatang ranting, kemudian berdiri di depan pintu rumahnya lalu berseru, "Wahai Bani 'Abdi Manaf! Tetangga-tetangga macam apa yang begini kelakuannya?." Kemudian barang tersebut beliau lempar ke jalan. (Ibnu Hisyam, op.cit. hal 416).

 

 

'Uqbah bin Abi Mu'ith malah melakukan hal yang lebih buruk dan busuk dari itu. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud bahwa pernah suatu hari saat Nabi melakukan shalat di sisi Ka'bah sedangkan Abu Jahal dan rekan-rekannya tengah duduk-duduk, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, "Siapa di antara kalian yang (punya keberanian) membawa kotoran onta Bani Fulan lalu menumpahkannya ke punggung Muhammad saat dia sedang sujud?." Maka bangkitlah 'yaitu, sosok yang paling sesat di antara mereka 'Uqbah bin Abi Mu'ith. (Hal ini disebutkan secara jelas di dalam Shahih al-Bukhariy, Op.cit., 1/543).

Dia membawa kotoran tersebut sambil memperhatikan gerak-gerik Nabi Muhammad Tatkala beliau beranjak sujud kepada Allah, dia menumpahkan kotoran tersebut ke atas punggungnya antara kedua bahunya. Aku (Ibnu Mas'ud-penj.,) hanya dapat memandangi hal itu tanpa mampu berbuat apa-apa, andai saja (saat itu) aku mempunyai kekuatan. Lalu mereka tertawa terbahak-bahak sambil memiringkan badan satu sama lainnya dengan penuh kesombongan dan keang-kuhan sementara Rasulullah masih sujud. Beliau tidak mengangkat kepalanya hingga Fathimah datang dan membuang kotoran tersebut dari punggung beliau, barulah beliau mengangkat kepala, kemudian berdoa, Ya Allah! berilah balasan (setimpal) kepada kaum Quraisy tersebut. Beliau mengucapkannya tiga kali. Doa ini membuat dada mereka sesak. Dia (Ibnu Mas'ud-penj..) bertutur lagi, 'Mereka beranggapan bahwa doa yang dipanjatkan di negeri itu (Mekkah) pasti terkabul. Kemudian beliau melanjutkan doanya tersebut, dengan menyebut nama mereka satu per-satu, Ya Allah! binasakanlah Abu Jahal, 'Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, al-Walid bin 'Uthah, Umayyah bin Khalaf, 'Uqbah bin Abi Mu'ith ketika menyebutkan nama orang ke tujuh, Ibnu Mas'ud tidak mengingatnya-. Selanjutnya Ibnu Mas'ud berkata, "Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya! Sungguh aku telah melihat orang-orang yang disebut satu persatu oleh Rasulullah tersebut (dijebloskan) dalam keadaan tewas menegenaskan ke dalam sumur badr.” (Para pemuka Quraisi yang tewas dalam perang Badr (mayatnya dijebloskan ke sumur yang terdapat di padang Badr. Penj). (Ibid, Kitab al-Wudhu, bab: Idza Ulqiya 'ala al-Mushally Qadzirun aw jifah, h.37).

 

Adapun nama orang yang ke tujuh tersebut sebenarnya adalah 'Imarah bin al-Walid. ( Ibid, hadits no.520, yaitu hadits terakhir dalam kitab ash-Shaldh)

 

 

Berbeda lagi dengan perlakuan Ummayyah bin Khalaf; bila melihat Rasulullah dia langsung mengumpat dan mencelanya. Karenanya, turunlah terhadapnya ayat: وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ أُمَزَةٍ "Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat (al-Humazah) lagi pencela." (al-Humazah: 1).

 

Ibnu Hisyam berkata, "Makna kata "al-Humazah" adalah orang yang mencemooh seseorang secara terang-terangan dan tanpa ditutup-tutupi, memain-mainkan kedua matanya sambil mengedipkannya, sedangkan makna kata "al-Lumazah" adalah orang yang mencela manusia secara sembunyi dan menyakiti hati mereka. (Ibnu Hisyam, Op.cit., h.356,357).

 

 

Saudara laki-lakinya, Ubay bin Khalaf merupakan sahabat karib dari 'Uqbah bin Abi Mu'ith. Suatu ketika, 'Uqbah hadir di majlis Nabi sambil mendengarkan dakwahnya, namun manakalaberita tersebut sampai ke telinga Ubay, dia langsung menegur dan mengritik saudaranya tersebut serta memintanya agar meludah ke wajah Rasulullah, maka dia pun melakukannya. Sementara Ubay sendiri tidak mau kalah, dia menumbuk tulang belulang yang ada di situ sampai remuk-redam, lalu meniupnya ke arah angin yang ber-hembus menuju Rasulullah (Ibnu Hisyam, Op.cit., h.361,362).

 

Bentuk pelecehan lainnya, al-Akhnas bin Syuraiq at-Tsaqafy selalu mencaci maki Rasulullah. Karenanya, al-Qur'an melebelkan terhadapnya sembilan sifat yang menyingkap perangainya tersebut, yaitu firman Allah Ta'ala,

 

مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ

 

هَمَّازٍ مَشَاءِ بِنَمِيمٍ

 

وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِينٍ أَثِيمٍ عُتُلٍ بَعْدَ ذَلِكَ زَنِيمٍ

 

"Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. Yang enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa. Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya." (al-Qalam: 10-13).

 

Demikian pula dengan Abu Jahal, terkadang dia mendatangi Rasulullah dan mendengarkan al-Qur'an, kemudian berlalu namun hal itu tidak membuatnya beriman, tunduk, berperangai baik apalagi takut. Bahkan dia menyakiti Rasulullah dengan ucapannya, meng-halang-halangi (manusia) dari jalan Allah, berlalu lalang dengan angkuh memamerkan apa yang diperbuatnya dan bangga dengan kejahatan yang dilakukannya tersebut seakan melakukan sesuatu prestasi besar. Terhadapnya turunlah ayat (artinya), "Dan ia tidak mau membenarkan (Rasulullah dan al-Qur'an) dan tidak mau mengerjakan shalat... dst." (al-Qiyamah: 31-dst). Dia selalu melarang Rasulullah shalat sejak pertama kali melihat beliau melakukannya di Masjid al-Haram. Suatu kali, dia melewati beliau yang sedang melakukan shalat di sisi Maqam Ibrahim, lalu berkata, "Wahai Muhammad! Bukankah aku sudah melarangmu melakukan ini?." Maka Rasulullah mengancam dan berbicara keras kepadanya serta membentaknya. Dia berkata kepada beliau, "Wahai Muhammad! Dengan apa engkau akan mengancamku? Demi Allah! aku ini adalah orang yang paling banyak kerabat dan pendukungnya di lembah ini (Mekkah)." Maka turunlah ayat:

 

فَيَدْعُ نَادِيَهُ سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ

"Maka biarkanlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), kelak Kami akan memanggil malaikat Zabaniyah, [18]." (al-'Alaq: 17-18).

 

Dalam riwayat yang lalu disebutkan bahwa Nabi menceng-keram lehernya dan mengguncang-guncangkannya sambil membaca-kan firman Allah:

 

أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى

 

"Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu, kemu-dian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu." (al-Qiyamah: 34-35).

 

Lantas sang musuh Allah itu berkata, "Engkau hendak mengan-camku, wahai Muhammad? Demi Allah! engkau dan Tuhanmu tidak akan sanggup melakukan apapun. Sesungguhnya aku-lah orang yang paling perkasa yang berjalan di antara dua gunung di Mekkah ini!." (Lihat Tafsir Ibnu Jarir, at-Tirmidzi dalam tafsir surat Iqra'; Ibnu Katsir, IV/477; ad-Durrul Mantsür, VI/478).

 

Sekalipun sudah dibentak-bentak seperti itu, Abu Jahal tidak pernah jera dari kedunguannya bahkan semakin menjadi-jadi saja. Berkaitan dengan ini, Imam Muslim meriwayatkan (sebuah hadits) dari Abu Hurairah, dia berkata, "Abu Jahal berkata, 'Apakah Mu-hammad sujud dan menempelkan dahinya di tanah (shalat) di depan batang hidung kalian?.'

 

Mereka menjawab, 'Ya, benar!.'

 

Dia berkata lagi, 'Demi Lâta dan 'Uzza! Sungguh aku akan menginjak-injak lehernya dan membenamkan mukanya ke tanah!.'

 

Kemudian dia pun mendatangai Rasulullah yang sedang melakukan shalat. Abu Jahal sebelumnya sesumbar akan menginjak-injak leher beliau, namun mereka di kagetkan dengan berbalik mundurnya Abu Jahal dan malah berlindung di balik kedua tangan-nya. Mereka lalu bertanya, "Wahai Abu Jahal! Ada apa gerangan denganmu?."

 

Dia menjawab, "Sesungguhnya antara diriku dan dirinya terda-pat parit dari api, makhluk yang menyeramkan dan memiliki sayap-sayap."

 

Lantas Rasulullah bersabda, "Andai dia sedikit lagi mendekat kepadaku, niscaya tubuhnya akan disambar malaikat dan terkoyak satu persatu. ( HR. Muslim di dalam Shahih-nya, Shifatul Munafiqin, hadits no.38).

 

 

Demikianlah gambaran yang amat kecil sekali dari berbagai gangguan orang-orang musyrik.

 

 

-----000-----

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KISAH RASULULLAH SERI 6, SIKAP KAUM MUSRIKIN TERHADAP DAKWAH RASULULLAH.

  KISAH RASULULLAH SERI 6, SIKAP KAUM MUSRIKIN TERHADAP DAKWAH RASULULLAH. Adapun Rasulullah (kala itu) tidaklah mengalami siksaan yang ...