KEUTAMAAN DAN KEWAJIBAN MENGIKUTI PARA
SAHABAT.
Agama islam adalah agama yang telah sempurna, di mana di dalamnya telah
diajarkan bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta’ala, bermuamalah sesama
manusia, menjahui apa yang terlarang dan membahayakan manusia baik di dunia dan
akhirat, begitu pula mengajarkan berbagai macam hal dari apa yang menjadi hajad
hidup manusia, Allah ta’ala telah menjelaskan kesempurnaan agama islam ini di
dalam firman-Nya:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا.
“… Pada hari
ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (QS.
Al-Maidah [5]: 3).
Dari Thariq bin
Syihab, ia berkata, “Ada seorang Yahudi yang datang kepada ‘Umar bin
al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu, lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin,
sesungguhnya kalian membaca sebuah ayat dalam kitab kalian. Jika ayat tersebut
diturunkan kepada kami, orang-orang Yahudi, niscaya kami akan menjadikan hari
itu (hari turunnya ayat itu) sebagai hari raya.” ‘Umar radhiyallahu 'anhu bertanya, “Ayat yang mana?”. Orang Yahudi itu berkata, “Yaitu
firman-Nya”:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا.
“… Pada
hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (QS. Al-Maidah[5]:
3).
Maka ‘Umar Radhiyallahu
‘anhu berkata, “Sesungguhnya aku telah mengetahui hari dan tempat ketika ayat
itu turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayat itu
diturunkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di ‘Arafah pada
hari Jum’at.” (Tafsir Ibnu Katsir (QS. Al Maidah[5]: 3).
Ini menunjukkan
bahwasanya orang Yahudi saja mereka memahami hal itu, sungguh mengherankan banyak
kaum muslimin yang tidak memahami hal ini (tentang kesempurnaan islam).
Allah ta’ala berfirman:
وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ
صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.
“Telah
sempurnalah kalimat Tuhanmu sebagai kalimat yang benar dan adil.” (Al-An'am
[6]: 115).
Firman Allah: “wa tammat kalimatu rabbika
shidqaw wa ‘adlan.” (“Telah sempurna kalimat dari Rabbmu, sebagai kalimat yang
benar dan adil.”) Qatadah berkata: “Yaitu benar dalam firman-Nya, dan adil
dalam putusan Nya.”
Laa mubaddila likalimaatihi (“Tidak ada
yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya.”) “Maksudnya, tidak ada seorang
pun yang dapat menolak putusan Allah Ta’ala, di dunia maupun di akhirat.” (Tafsir Ibnu
Katsir (QS. Al-An’am [6]: 115).
Adapun dari hadits, Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam bersabda:
قَدْ تَرَكْتُكُمْ
عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا
هَالِكٌ.
“Aku tinggalkan
kalian dalam keadaan terang-benderang, siangnya seperti malamnya. Tidak ada
yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali ia pasti celaka.” (HR. Ahmad
17142 Ibnu Majah 43 Thabrani 619 dan disahihkan Syaikh al-Albani di Shahihul
Jami’ 4369).
Dari
Abu Dzar radiyallahu’anhu beliau berkata:
تَرَكْنَا رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي
الْهَوَاءِ، إِلَّا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا، قَالَ: فَقَالَ: صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، ويُبَاعِدُ
مِنَ النَّارِ، إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.
“Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat meninggalkan kami dan tidaklah ada
burung yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah
menyebutkan kepada kami ilmunya.” Dia berkata, Rasulullah sallalahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidak tersisa suatu (amalan) pun yang dapat mendekatkan
kepada surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali sudah dijelaskan semuanya
kepada kalian.” (HR. Ahmad
21439, Thabrani dalam Al Mu’jamul Kabir
1647, disahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 1803).
عَنْ سَلْمَانَ، قَالَ: قِيلَ لَهُ: قَدْ عَلَّمَكُمْ
نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ
قَالَ: فَقَالَ: أَجَلْ.
Dari Salman Radhiyallahu anhu,
beliau berkata: “Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami, ‘Sesungguhnya
Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula
adab) buang air besar!’ Maka, Salman Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Ya’. ” (HR. Muslim 262, Tirmidzi 16).
Dari ayat dan hadis tersebut telah kita maklumi,
islam adalah agama yang sempurna, mengajarkan segala sesuatu yang akan membawa
kebaikan dunia dan akhirat sehingga tidak memerlukan tambahan dalam
perkara-perkara agama ini, sebagaimana tangan seseorang sempurna dengan lima
jari, seandainya ada enam jari tidaklah hal itu menjadikannya baik melainkan
cacat. Oleh karena itu Allah ta’ala telah mewahyukan kepada Rasul-Nya, dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan kepada kita, adapun
kewajiban kita hanyalah menerima, mengimani dan mengamalkannya, tanpa menambahi
dan menguranginnya.
1)
Wajibnya berpegang teguh
dengan Al Qur’an dan Sunnah.
Allah ta’ala
berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa [4]: 59).
Menurut Mujahid rahimahullah dan
juga lainnya, beliau mengatakan: “Segala sesuatu yang diperselisihkan di antara
manusia menyangkut masalah pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, hendaknya
perselisihan mengenai hal itu dikembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah.” (Tafsir Ibnu
Katsir, QS. An-Nisa[4]:59).
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ.
“Dan Kami
tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah..”
(QS.An-Nisa[4]:64).
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka
menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
(QS.An-Nisa[4]:65).
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
"Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka
dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara
mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Mereka itulah orang-orang
yang beruntung.” (QS
An-Nur [24]: 51).
مَنْ
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ.
“Barang
siapa mentaati Rasul (Muhammad) sesungguhnya dia telah mentaati Allah.” (QS.
An-Nisa[4]:80).
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ
وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا
عَظِيمًا.
”Dan
barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab[33]:71).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ
لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا
حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ.
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua
perkara, kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya sampai kalian bertemu denganku di telaga.” (HR.
Al-Hakim di dalam mustadraknya 319, Disahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam
Sahihul Jami’ 2937).
Sesungguhnya orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, tidak mau taat kepada Allah dan rasul-Nya, akan menemui
kehinaan di dunia dan kelak akhirat.
وَمَنْ
يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّحُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا
فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ.
“Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya
Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan
mendapat azab yang menghinakan.” (QS. An-Nisa [4]:14)
إِنَّ
الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ.
“Sesungguhnya orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan, sebagaimana orang-orang
yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan.”(QS. Al-Mujadilah[58]: ayat 5).
2)
Menyadari Keutamaan
para sahabat.
Sesungguhnya Allah ta’ala
menjadikan para sahabat adalah manusia-manusia yang terbaik yang menemani Rasul-Nya,
dan sebagai manusia yang akan diikuti generasi setelahnya.
Kita bisa membaca
bagaimana sejarah mencatat manusia-manusia yang sangat mulia ini. Di antara
penggalan kisah tersebut seperti :
Tabahnya hati mereka di
dalam mempertahankan aqidah.
Sebagian mereka orang-orang
yang lemah menerima seruan islam sehingga mereka menghadapi berbagai cobaan dan
siksaan dari orang-orang kafir, ada yang dicambuk, diseret di padang pasir, di
rendam di dalam air, ditindih batu dan bahkan ditombak dan meninggal dunia.
Kekejaman orang kafir terhadap para sahabat sampai-sampai membekas luka ditubuh
mereka.
Beratnya tekanan
orang-orang kafir tersebut membawa mereka rela meninggalkan kampung halaman
yang mereka cintai dan berjalan menyusuri lembah, menyebrang lautan hingga menempuh
ribuan kilo meter dengan kendaraan yang sederhana menuju negri Habasyah
(Ethiopia) yang belum tahu bagaimana seluk beluknnya. Semua dilakukan karena
untuk menyelamatkan aqidahnya.
Hijrah pertama tahun
ke-5 dari kenabian menuju ke Habasyah. Rombongan ini terdiri dari 12 orang
laki-laki dan 4 orang wanita. Kemudian hijrah kedua terdiri dari 83 muhajirin
dan 19 muhajirah (kaum wanita). (Terjemahan
Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, terbitan Darul
Haq).
Kecintaan para sahabat kepada Rasul-Nya.
Banyak sekali kisah-kisah sahabat yang
menunjukkan betapa cintanya para sahabat terhadap Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wa sallam, diantaranya seperti kisah Abu
Bakar Shidiq, Umar bin khatab, Utsman bin Afwan, Ali bin Abi Thalib, Mus’ab bin
Umair, Khubaib bin Adi, begitu pula kedua pemuda belia ketika terjadi perang
Badar, mereka adalah Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhuma.
Abdurrahman
bin 'Auf mengisahkan:
"Aku berada di dalam barisan pasukan saat perang Badar berkecamuk.
Tiba-tiba di sebelah kanan dan kiriku ada dua anak muda yang masih belia.
Seakan aku tidak percaya atas keberadaan mereka di situ. Lalu salah seorang di
antara keduanya berkata secara rahasia kepadaku agar tidak diketahui oleh
temannya, 'Wahai paman! Tunjukkan padaku, mana Abu Jahal!."
Lalu aku berkata, 'Wahai anak saudaraku! Apa yang akan kamu lakukan?' Dia
menjawab, “Aku diberitahu bahwa dia mencaci-maki Rasulullah, Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, jika aku melihatnya, maka dia tidak akan luput
dari incaranku hingga ada yang mati terlebih dahulu di antara kami.”
Mendengar hal itu, aku jadi terkesima. Dan setelah itu, yang seorang
lagi mengedipkan matanya kepadaku dan berkata sebagaimana yang dikatakan oleh
temannya itu. Maka tak berapa lama, aku melihat Abu Jahal berkeliling di tengah
orang-orang. Lalu aku berkata, "Tidakkah kalian berdua melihat? dialah
orang yang kalian berdua tanyakan tadi.” Lalu keduannya membunuh Abu Jahal
tersebut. (Terjemahan dari
Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, terbitan
Darul Haq).
Kedermawanan para sahabat.
Seperti kisah Abu Bakar, Umar, Utsman
bin Affan saat kaum muslimin membutuhkan sumur, yang di waktu itu dimiliki oleh
orang Yahudi, sehingga sahabat Utsman bin Affan
membeli sumur Raumah milik
Yahudi, banyak sekali pengorbanan para sahabat, seperti Abu Bakar, Umar,
Ustman, dan Ali, terutama di saat
perang badar, perang khandak, menjelang perang tabuk, saat ba’iatur ridhwan,
dan masih banyak sekali kisah-kisah yang mengharukan.
Mulianya akhlak para sahabat
Setelah mereka mendapat pengajaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sebagaimana kisah persaudaraan mereka kaum muhajirin dengan
orang-orang Anshar, kisah orang anshar yang disebut Allah ta’ala di dalam (Surat
Al Hasyr [59]: 9), pada perang Yarmuk al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu
Jahal dan Suhail bin Amr. Yang In syaa Allah akan ada pada pembahasan tersendiri
masalah akhlak.
Oleh karena itu pujian Allah subhanahu wa
ta’ala sangat banyak kita jumpai di dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala firman:
كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّه.
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran
[3] : 110).
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا
آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ
فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ
وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.
“Maka jika mereka beriman
kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat
petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam
permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan
Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 137).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan
ayat ini dalam kitab tafsirnya , “Maka jika mereka beriman”, yaitu orang-orang
kafir dari Ahlul
Kitab dan selain mereka, “seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya”,
wahai kaum mukminin, dengan keimanan kepada seluruh kitab Allah dan Rasul-Nya
tanpa membedakan seorang pun dari mereka, “sungguh mereka telah mendapat petunjuk”, yakni
mereka telah berada tepat di atas kebenaran dan mendapatkan petunjuk kepadanya.”
(Tafsir
Ibnu Katsir QS. Al Baqarah [2]: 137)
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ
الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي
قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا.
“Sungguh, Allah telah meridhai
orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon,
Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan
atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al
Fath [48]: 18)
Dari Jabir bin
Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
لَا
يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ.
“Tidak
akan masuk neraka orang-orang yang berbaiat di bawah pohon.” (HR. Abu Dawud 4653, Tirmidzi 3860, beliau
berkata: hasan shahih. Syaikh al-Albani menshahihkan dalam Shahihul
Jami’ 7680).
Dari
sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.
Sebaik-baik
generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian setelah
mereka lagi.” (HR. Bukhari
2652, Muslim 2533. Dengan lafald dari Bukhari).
Abu Sa’id Al Khudri
radiyallahu’anhu berkata, Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ
تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا, مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلاَ
نَصِيفَهُ.
“Jangan kalian mencela para
sahabatku, seandainya salah seorang kalian menginfakkan emas sebesar Uhud tidak
akan bisa menyamai satu mud-nya mereka tidak juga setengahnya.” (HR. Bukhari
3673, Muslim 2540).
Para sahabat adalah orang-orang
yang adil sebagaimana Allah ta’ala sebutkan:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى
النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا.
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (para sahabat) umat
yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan
agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kalian.” (QS. Al-Baqarah[2]: 143).
Tidak diragukan
lagi pujian di dalam ayat dan hadits di atas tidak lain adalah untuk para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang merupakan khitab (yang
diajak bicara) dalam ayat tersebut, karena orang yang beriman di waktu itu belum
ada yang lain selain para sahabat.
3)
Kewajiban mengikuti pemahaman para sahabat.
Setelah
kita mengetahui keutamaan para sahabat, keselamatan para sahabat, pujian Allah
kepada mereka, maka kewajiban kita adalah mengikuti pemahaman para sahabat
tersebut di dalam memahami agama ini, karena mengikuti mereka merupakan
perintahkan Allah dan juga Rasul-Nya.
Allah
ta’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ
الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم
بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ.
“Orang-orang
yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin
dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka (dalam melaksanakan)
kebaikan, Allah ridha kepada mereka; dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir. Mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS.
At-Taubah [9]: 100).
Ayat ini membagi generasi yang baik hanya menjadi dua generasi:
1.
Generasi pertama yaitu dari generasi para sahabat,
muhajirin dan anshar, yang mana hal ini tidak mungkin bisa kita capai.
2.
Generasi kedua adalah orang-orang setelahnya, yang
mengikuti mereka para sahabat dengan sebaik-baiknya, itulah yang kita memohon
kepada Allah agar menjadikan kita termasuk pengikut mereka dengan
sebaik-baiknya. Aamiin.
Adapun dalil dari
hadits yang mewajibkan mengikuti para sahabat sebagai berikut:
Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata:
وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
مَوْعِظًةً وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ فَقُلْنَا
: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةً مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ
تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي
اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati menjadi bergetar dan mata kami
menangis, maka kami berkata, “Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah wasiat
dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah wasiat kepada kami.” Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku berwasiat kepada kalian agar
bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin seorang
budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan
melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang
teguh pada sunnahku dan Sunnah Khulafaur rosyidin al-mahdiyyin (yang lurus dan
mendapatkan petunjuk). Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian,
jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Abu Dawud 4607, Tirmidzi 2676. Disahihkan syaikh al-Albani dalam sahihul jami’
2549).
4)
Jalan
kebenaran hanya satu.
Dari ibnu Mas’ud radiallahu ‘anhu beliau berkata:
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ
يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ
سُبُلٌ و عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو
إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ, وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ
وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan
Allah’, kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis
tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap
jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu,’ kemudian beliau
membaca:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا
السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ.
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari
jalan-Nya” (QS. Al-An’am[6]:153) (HR.
Ahmad 4142, Abu Dawud 241, dihasankan syaikh al-Albani di dalam Adh-Dhilal
16-17).
Dari ‘Auf
bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، فَوَاحِدَةٌ
فِي الْجَنَّةِ، وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى
ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ،
وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ
أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ،
وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ؟
قَالَ: الْجَمَاعَةُ.
“Orang-orang Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, satu
(golongan) masuk Surga dan tujuh puluh di Neraka. Dan Nasrani terpecah menjadi
tujuh puluh dua golongan, yang tujuh puluh satu golongan di Neraka dan yang
satu di Surga. Dan demi Yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, ummatku
benar-benar akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang satu di
Surga, dan yang tujuh puluh dua golongan di Neraka,’ Ditanyakan kepada beliau,
‘Siapakah mereka (satu golongan yang masuk Surga itu) wahai Rasulullah?’ Beliau
menjawab, ‘Al-Jama’ah’.” (HR.
Ibnu Majah 3992, Abu Dawud 4596, Tirmidzi 2831, di shahihkan Syaikh al-Albani
di Shahih Ibnu Majah 3992).
Dalam riwayat yang lain Beliau ditanya:
قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.
“Siapakah yang selamat itu ya
Rasulullah..?” Beliau menjawab, “Apa yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya” (HR.Tirmidzi 2641, dihasankan syaikh
al-Albani di dalam Sunan Tirmidzi 2641).
Pada ayat dan hadits di atas merupakan dalil tentang wajibnya umat ini
mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabatnya,
begitu pula jalan kebenaran hanyalah satu.
5)
Ancaman bagi orang-orang yang meninggalkan pemahaman
para sahabat.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا.
“Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan
dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke
dalam neraka Jahanam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa
[4]: 115).
Para sahabat Secara individu (person) bukanlah manusia yang maksum (bebas
dari salah), akan tetapi apa yang telah ditaqrir (didiamkan dan disetujui)
Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam terhadap sahabat merupakan dalil
kebenaran yang harus diikuti, begitu pula apa yang telah menjadi kesepakatan para
sahabat (ijma’ mereka) adalah merupakan kebenaran.
Dari sahabat Annas radillahu‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ هَذِهِ الْأُمَّةَ عَلَى
ضَلَالَةٍ أَبَدًا.
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengumpulkan umat ini di atas kesesatan selamanya.” (HR. Ibnu Majah 3940,
Hakim 201-202, Tirmidzi 2269 dan diShahihkan syaikh al-Albani di dalam Shahihul
Jami’ 1848, Al-Misykah 173).
Oleh karena itu ijtihad para sahabat, ada yang dibenarkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan ada yang di larang. Sehingga pandangan orang-orang
tentang bolehnya seseorang membuat revisi, kreasi, inovasi, ataupun tatacara
baru di dalam agama islam sekarang ini dengan dalih para sahabat juga melakukannya, kemudian dibenarkan Rasulullah sallallahu ‘alaih wa
sallam, pandangan seperti ini hendaknya di luruskan dan ditempatkan secara adil.
Anggapan ini didasari
oleh beberapa kisah dari apa yang dilakukan para sahabat diantaranya:
1) Bilal yang menjalankan shalat
setelah wudhu, (HR. Bukhari 1149).
2) Sahabat yang
shalat dengan bacaan “wal hamdulillahi hamdan katsiran tayyiban mubarakan fiih”
(HR. Muslim 600, Abu Dawud 774, Ibnu Hibban 845).
3) Sahabat yang shalat
tidak pernah meninggalkan surat Al-Ikhlas. Ada yang mengatakan bernama Qatadah
bin Nu’man. (HR. Bukhari 774, Tirmidzi 2901).
4) Sahabat yang meruqyah
dengan membaca Al Fatihah. (HR Bukhari 5736, Muslim 2201).
Sebagaimana
Rasulullah mentaqrir (mendiamkan dan menyetujui) para sahabat, namun ada juga
dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meluruskan dan bahkan melarang
mereka.
Oleh karena itu
hendaknya seseorang berbuat adil, tidak mengikuti hawa nafsunya dengan hanya
menukil dari apa yang didiamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa allam saja, tapi
hendaknya juga menukil apa yang diluruskan dan bahkan di larang oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikian
orang akan memahami agama ini dengan pemahaman yang benar, sehingga tidak
berani membuat atau mengada-adakan ajaran apapun terkait dalam agama ini. Karena ajaran islam setelah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat telah sempurna. Di antara kisah
para sahabat yang diluruskan bahkan dilarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah sebagai berikut:
1) Tiga sahabat yang mendatangi
Aisyah dan bertanya tentang ibadah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.(HR
Bukhari 5063, Muslim 1401).
2) Larangan menyembelih qurban
sebelum shalat id. (HR. Bukhari 7400, Muslim 985).
3) Larangan Rasulullah sllallahu
alaihi wa sallam menyerupai suatu kaum. (HR Abu Dawud 4031 di shahihkan Syaikh
al-Albani di dalam Irwa’ul Gholil 2384).
4) Nadzar yang terlarang seperti kesyirikan,
menyakiti badan atau hal-hal yang sia-sia. (HR Bukhari 6700).
5) Larangan mengkhususkan puasa pada hari jum’at saja.
Dari abu Hurairah, ia berkata
bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لا
يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ.
“Janganlah
salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali jika ia
berpuasa pula pada hari sebelum atau sesudahnya.” (HR. Bukhari 1849, Muslim 1929).
6) Meminta dibuatkan sesembahan seperti Dzatu anwath, hal ini sebagaimana
bani Israil meminta dibuatkan anak sapi, (QS. Al A’raf [7]: 138).
Ketika fatkhul Makkah banyak sahabat yang baru masuk islam, tidak
selang beberapa lama kemudian orang-orang berangkat perang menuju Hunain,
kemudian mereka melewati pohon milik orang kafir sehingga mereka meminta untuk
di buatkan Dzatu Anwath seperti mereka. (Pohon yang dipakai
menggantungkan pedang orang-orang musyrik).
يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى .
“Ya Rasulullah, Buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath (tempat
menggantungkan senjata) sebagaimana mereka (orang musyrik) memiliki Dzatu
Anwath.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Subhanallah! ini
sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Musa.” (HR Tirmidzi 2180
disahihkan Syaikh al-Albani di dalam Dzilalil Jannah 76, Al-Misykah 5369).
Demikianlah bahayanya apabila mengukur kebaikan itu semata-mata dari
akal saja dapat menjerumuskan mereka kedalam kesyirikan.
Orang-orang yang menganggap bolehnya seseorang membuat revisi, kreasi,
inovasi, ataupun tatacara baru di dalam agama islam mereka lupa bahwa para
sahabat adalah manusia pilihan yang hidup dinaungi oleh wahyu, dimana wahyu
turun kepada mereka siang maupun malam yang akan membenarkan mereka apabila
keliru, melalui Rasul-Nya.
Sebaliknya, siapakah yang akan menjamin kebenaran apa yang dilakukan orang-orang
sekarang bila mereka keliru, kita saksikan perkara baru dalam agama yang
semakin hari semakin banyak ini, padahal amalan tersebut dahulu tidak di
kerjakan oleh Rasulullah dan juga para sahabatnya.
Orang yang berakal pasti akan mencari yang lebih selamat, yaitu dengan
mengikuti apa yang telah diajarkan Rasul-Nya dan telah diamalkan para
sahabatnya yang telah jelas-jelas mendapatkan pujian dari Allah ta’ala, karena
mereka (para sahabat) dikeluarkan untuk generasi berikutnya.
Allah ta’ala berfirman:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Al Imran [3]: 110).
Dari ayat dan hadits
di atas jelas menunjukkan bahwa tidak ada yang dapat menjamin keselamatan agama
seseorang menuju kepada Allah ta’ala kecuali mengikuti Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam dan juga para sahabatnya radiallahu ‘ahum ajma’iin.
Demikianlah semoga
bermanfaat, aamiin.
------000-----
Sragen 27-09-2025
Abu Ibrahim, Junaedi
Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar