Jumat, 23 Agustus 2024

LARANGAN BERDEBAT DI DALAM AGAMA.

 

المعتقد الصحيح الواجب على كل مسلم اعتقاده

النَّهْي عَنِ الْجِدَالِ فِي الدِّينِ

LARANGAN BERDEBAT DI DALAM AGAMA.

۱۱- وَيَنْهَى أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ عَنِ الْجِدَالِ وَالْخُصُومَاتِ فِي الدين :

Ahlu sunnah wal jama’ah berdebat di dalam agama.

إِذْ قَدْ حَذَرَ النَّبِيُّ مِنْ ذَلِكَ. فَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنِ النَّبِيِّ أَنَّهُ قَالَ:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal itu, di dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اقْرَلُوا الْقُرْآنَ مَا اخْتَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوبُكُمْ، فَإِذَا اخْتَلَفْتُمْ فَقُومُوا عَنْهُ.

“Bacalah Al-Qur`an selama hati-hati kalian masih bersatu, maka jika kalian sudah berselisih maka berdirilah darinya.” (HR. Bukhari 5060, Muslim 2667).

وَفِي الْمُسْتَدِ وَسُنَنِ ابْنِ مَاجَهُ - وَأَصْلُهُ فِي صَحِيحِ مُسْلِمٍ - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضَ اللَّهُ عَنْهُمَا

Dan dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah –dan asalnya dalam Shahih Muslim- dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma:

أَنَّ النَّبِيَّ خَرَجَ وَهُمْ يَخْتَصِمُونَ فِي الْقَدَرِ، فَكَأَنَّمَا يُفْقَأُ فِي وَجْهِهِ حَبُّ الرُّمَّانِ مِنَ الْغَضَبِ، فَقَالَ: بِهَذَا أُمِرْتُمْ؟! أَوْ لِهَذَا خُلِقْتُمْ؟ تَضْرِبُونَ الْقُرْآنَ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ !! بِهَذَا هَلَكَتِ الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ.

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar sedangkan mereka (para sahabat) sedang berselisih tentang taqdir, maka memerahlah wajah beliau bagaikan merahnya buah rumman karena marah, maka beliau bersabda : “Apakah dengan ini kalian diperintah?! Atau untuk inikah kalian diciptakan?! Kalian membenturkan sebagian Al-Qur’an dengan sebagiannya!! Karena inilah umat-umat sebelum kalian binasa.” (HR. Ahmad 6668, Ibnu Majah 85 dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam Al-Misykah 98,99,237).

بَلْ جَاءَ الْخَبَرُ بِأَنَّ الْجِدَالَ عُقُوبَةٌ مِنْ عُقُوبَاتِ اللَّهِ فِي الْأُمَّةِ،

Bahkan telah datang khabar bahwasanya berdebat adalah hukuman Allah terhadap umat.

 فَفِي سُنَنِ التَّرْمِذِيِّ وَابْنِ مَاجَهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ رَضَوَانَهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ :

Di dalam sunan Tirmidzi dan Ibnu Majah dari hadits Abu Umamah radiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ ، ثُمَّ قَرَأَ : مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا,  )الزُّخْرُفُ : ٥٨.(

“Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali yang suka berdebat,” kemudian beliau membaca (ayat) : ’Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja.” (QS. Azuhruf [43]:58). (HR. Tirmidzi 3253, Ibnu Majah 48, Ahmad 22204 di hasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahih wa dhaif Sunan Ibnu Majah 48)

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللَّهُ: أُصُولُ السُّنَّةِ عِنْدَنَا: التَّمَسُّكُ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ أَصْحَابُ الرَّسُولِ وَالِاقْتِدَاءُ بِهِمْ، وَتَرْكُ الْبِدَعِ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ فَهِيَ ضَلَالَةٌ، وَتَرْكُ الْخُصُومَاتِ وَالْجُلُوسِ مَعَ أَصْحَابِ الْأَهْوَاءِ، وَتَرْكُ

الْمِرَاءِ وَالْجِدَالِ وَالْخُصُومَاتِ فِي الدِّينِ. اهـ.

Berkata imam Ahmad rahimahullah, Ushul As-Sunnah pada kami ialah:

 

Berpegang teguh terhadap manhaj para shahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan mengikuti mereka, Meninggalkan segala macam bid'ah karena setiap perbuatan bid'ah adalah kesesatan. Meninggalkan perselisihan dan permusuhan dan tidak duduk bersama orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu (ahli bid'ah). Menjauhi perselisihan, perdebatan, dan permusuhan di dalam agama. (Ushul As-Sunnah Imam Ahmad bin Hanbal).

الْجَدَلُ الْمَذمُومُ:

Berdebat yang yang tercela:

وَكُلُّ ذَلِكَ فِي الْجِدَالِ بِالْبَاطِلِ، أَوِ الْجِدَالِ فِي الْحَقِّ بَعْدَمَا تَبَيَّنَ، أَوِ الْجِدَالِ فِيمَا لَا يَعْلَمُ الْمُحَاجُ ، أَوِ الْجِدَالِ فِي الْمُتَشَابِهِ مِنَ الْقُرْآنِ، أَوِالْجِدَالِ بِغَيْرِ نِيَّةٍ صَالِحَةٍ ... وَنَحْوِ ذَلِكَ .

Setiap debat yang di dalam kebatilan, atau berdebat di dalam kebenaran setelah jelas kebenaran, atau debat yang tidak diketahui metodenya (debat kusir), atau debat tentang ayat-ayat mutasyabihat ( ayat-ayat yang tidak ada yang tahu maknanya kecuali Allah), atau debat tanpa adanya niat yang baik, ….Atau semisal itu.

الْجَدَلُ الْمَحْمُودُ

Adapun debat yang terpuji:

أَمَّا إِذَا كَانَ الْجِدَالُ لِإِظْهَارِ الْحَقِّ وَبَيَانِهِ مِنْ عَالِمِ لَهُ نِيَّةٌ صَالِحَةٌ، مُلْتَزِمِ بِالْأَدَبِ؛ فَذَلِكَ مِمَّا يُحْمَدُ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: ﴿ أَدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ﴾ [النَّحْلُ : ١٢٥]. وَقَالَ تَعَالَى: ﴿ وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ . ]الْعَنكَبُوتُ : ٤٦[

Adapun apabila perdebatan itu untuk menampakkan kebenaran dan menjelaskannya dari seorang alim (orang yang memiliki pengetahuan tentang hal itu), memiliki niat yang shalih, berpegang dengan adab-adab demikian itu terpuji.

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى:

Allah ta’ala berfirman:

 

﴿ أَدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ﴾ [النَّحْلُ : ١٢٥].

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl[16]:125).

 وَقَالَ تَعَالَى:

Allah ta’ala berfirman:

 ﴿ وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ] الْعَنكَبُوتُ : ٤٦[

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik..” (QS. Al-Ankabut [29]:46). 

وَقَالَ تَعَالَى:

Allah ta’ala berfirman:

﴿ قَالُوا يَنُوحُ قَدْ جَدَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأَيْنَا بِمَا تَعِدُنَا إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ ﴾ [ هُودٌ : ٣٢[

Mereka berkata, "Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” (QS. Hud [11]:32).

بَعْضُ الْمُجَادَلَاتِ الشَّرْعِيَّةِ:

Diantara perdebatan yang disyari’atkan:

وَأَخْبَرَ تَعَالَى عَنْ مُحَاجَّةِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَعَ قَوْمِهِ، وَمُوسَى عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مَعَ فِرْعَوْنَ. وَفِي السُّنَّةِ ذِكْرُ مُحَاجَّةِ آدَمَ وَمُوسَى عَلَيْهِمَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَنُقِلَ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مُنَاظَرَاتٌ كَثِيرَةٌ، وَكُلُّهَا مِنَ الْجِدَالِ الْمَحْمُودِ الَّذِي تَوَفَّرَ فِيهِ: الْعِلْمُ، وَالنِّيَّةُ، وَالْمُتَابَعَةُ، وَأَدَبُ الْمُنَاظَرَةِ.

Dan Allah ta’ala mengabarkan tentang perdebatan Ibrahim ‘alaihi wa sallam bersama kaumnya, Musa ‘alaihi wa sallam bersama Fir’aun, juga disebutkan di dalam sunnah bagaimana nabi Adam berdebat dengan nabi Musa ‘alaihima shalatu wa sallam, dan telah dinukil dari para salafus shalih perdebatan mereka yang banyak, semua itu perdebatan yang terpuji yang di dalamnya terdapat ilmu, niat, ittiba’ dan adab di dalam berdebat.

-----000-----



Sragen 24-08-2024.

      Diterjemahkan oleh Junaedi Abdullah 

 



Memahami istilah dalam ihtilaf.

Apa yang tersebar di masyarakat kita, yaitu menganggap semua ikhtilaf (perselisihan) itu semuanya boleh, Para ulama telah meneliti dalil-dalil tentang ikhtilaf, sehingga nampak jelas bahwa ikhtilaf itu ada dua macam, ada juga yang menyebutnya tiga macam, masing-masing terdiri dari beberapa bentuk.

Secara ringkas kami bawakan sebagai berikut:

1.   Ikhtilaf tanawwu’. Yaitu suatu istilah mengenai beragam pendapat yang bermacam-macam namun semuanya tertuju kepada maksud yang sama, di mana salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan dengan yang lainnya. Semisal perbedaan ahli tafsir dalam menafsirkan Ash-Shirath Al-Mustaqim dalam surat Al-Fatihah. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Qur`an, Islam, As-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Semua pendapat ini benar dan tidak bertentangan maksudnya.

 

Demikian pula orang yang membaca tasyahhud dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia memandang bolehnya membaca tasyahhud yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya. Perbedaan yang seperti ini tidak tercela. Namun bisa menjadi tercela manakala perbedaan seperti ini dijadikan sebab atau alat untuk menzalimi orang lain.

 

2.   Ikhtilaf tadhad. Yaitu suatu ungkapan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan di mana masing-masing pendapat orang yang berselisih itu berlawanan dengan yang lainnya, salah satunya bisa dihukumi sebagai pendapat yang salah. Misalnya dalam satu perkara, ada ulama yang mengatakan haram dan ulama yang lain mengatakan halal.
Dalam perselisihan semacam ini tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat tersebut menurut keinginan (hawa nafsu)nya, tanpa melihat akar masalah yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil.

 

3.   Ikhtilaf afham. Yaitu perbedaan dalam memahami suatu nash. Hal ini boleh namun dengan beberapa syarat di antaranya: Ia harus berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak banyak menyelisihi apa yang Ahlus Sunnah di atasnya, kembali kepada yang haq ketika terbukti salah, dan hendaknya ia termasuk orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.

(Hujajul Aslaf, Abu Abdirrahman dan Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan, Muhammad Al-Imam).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB 10 HAK TETANGGA

  BAB 10 HAK TETANGGA Tetangga adalah orang yang dekat dengan kita, baik di depan, belakang, kanan ataupun kiri dari rumah kita menurut ...