Sabtu, 24 Agustus 2024

ADAB-ADAB DALAM BERDEBAT ATAU BERDISKUSI.

 




Orang-orang yang menghendaki berdiskusi atau berdebat hendaknya memahami berikut ini:

 

1.   Memiliki niat yang ikhlas, hal ini ditandai dengan sikap tawadhu’ dan siap ruju’ bila dirinya berada di pihak yang salah.

Demikian pula kita akan mendapatkan pahala jika yang kita harapkan tidak tercapai. (QS. Al-Bayyinah [93]:5).

 

2.   Memahami tolak ukur standart kebenaran.

Tolak ukur standar kebenaran yaitu Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.  (QS. At-Taubah [9]:100).

Apa bila lawan diskusi tidak mau mengembalikan permasalahan tersebut hendaknya ditinggalkan.

3.   Memahami permasalahan yang akan didiskusikan dengan baik.

Tidak boleh seseorang hanya bermodal ikhlas dan semangat saja dalam berdiskusi atau berdebat, karena hal itu sangat berbahaya, yaitu tertutupnya kebenaran dan dilecehkannya kebenaran tersebut.

4.   Berbaik sangka kepada rifalnya, bisa saja kebenaran samar baginya.

Ini sangat penting, karena jika sejak awal seseorang sudah tidak percaya kepada lawan bicaranya yang terjadi seterusnya akan selalu menolak apa yang dikatakan lawan bicara kita, sekalipun itu benar, sehingga orang tersebut bisa berdosa.

5.   Menjahui debat kusir.

Debat kusir yaitu debat yang tanpa ada kesimpulannya, seseorang membuka pembicaraan satu masalah setelah menemui jalan buntu dan pendapatnya dibantah lawan diskusinya ternyata dirinya keliru, diapun lari kepada permasalahan yang lain, di mana debat kusir ini hakekatnya hanyalah menolak untuk mengakui kebenaran lawan, dan ini tidak akan ada habisnya.

6.   Berusaha memahami pendapat rifalnya.

Sejauh pendapat tersebut mempunyai dalil baik dari Al-Qur’an dan Sunnah atau ucapan para sahabat (yang shahih), karena dengan menghargai argumen orang lain, orang lain akan mengharigai apa yang kita katakan.

7.   Memilih ucapan yang baik dan lembut.

Nafsu manusia sangat berat menerima kebenaran, meskipun ucapan seseorang itu benar namun apabila caranya keliru terkadang menjadikan rifalnya menolak. Lihatlah bagaimana nabi Musa diperintahkan Allah ta’ala berkata lembut.

فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (QS. Taha[20]:44).

8.   Tidak berkata kasar, mencaci, memaki meskipun rifalnya seperti itu.

Hendaknya tidak terpancing dengan ucapan rifalnya menskipun menyulut emosi baik dengan cacian maupun makian, hal itu akan menunjukkan kadar keilmuan seseorang dan akan menghilangkan ilmu yang kita pahami.

9.   Memberi kesempatan rifalnya untuk mengemukakan alasan.

Dengan demikian kita akan tahu apa yang menjadikan subhat pada lawan bicaranya, bisa jadi perkaranya sepele dan tidak diketahui oleh lawan diskusinya.

 

10.                        Tidak memaksakan kehendak kita.

Kita harus menyadari bahwa yang memiliki hidayah taufiq adalah Allah ta’ala, oleh karenanya Nabi Ibrahim alaihi salam tidak dapat memberi hidayah kepada bapaknya, nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak dapat memberi hidayah kepada pamannya apa lagi kita, yang kita lakukan adalah menunjukkan dan membimbing selebihnya itu urusan Allah ta’ala.

11.                        Kedua belah pihak siap ruju’ (menerima) apa bila kebenaran di pihak lawan diskusi.

Muslim sejati adalah bersedia menerima kebenaran meskipun datangnya dari lawan diskusi, karena kebenaran ibarat mutiara yang hilang, jika ada orang yang menemukan tentunya kita senang dan ridha, adapun kesombongan yaitu ketika seseorang menolak kebenaran, bisa jadi karena jabatannya tinggi, karena menjadi tokoh panutan, atau karena yang membawa kebenaran memiliki pendidikan rendah. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.

12.                        Tetap menjaga ukuwah islamiyah.

Bagaimanapun seseorang tidak mungkin ada persamaan secara keseluruhan dengan orang lain, sekalipun orang tuannya, anaknya, istrinya, oleh karena itu selama mereka masih bertuhan sama, nabinya sama, kiblatnya sama, rukun islam dan imannya sama, kitabnya sama.

Kita harus menjaga ukuwah kita, jika ada perkara yang diperselisihkan dilakukan dia boleh tidak mengikuti apa bila hal itu dipandang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, demikian pula rifalnya hendaknya memaklumi dan tidak dibesar-besarkan permasalahan hal itu, karena sama saja akan semakin memperuncing permasalahan dan permusuhan.

13.                        Menjahui sifat dendam.

Dendam hanya akan menyiksa seseorang, menjauhkan dari kebaikan dan mendorong kepada sikap kesombongan, dari sebab dendam banyak orang yang tidak mau menerima kebenaran meskipun dari Al-Qur’an dan Sunnah hanya karena yang membawakan adalah lawan debatnya. (QS. Al-Imran [3]:134).

14.                        Mengalah jika memang dipandang lawan diskusinya mulai mengabaikan adab-adab dan ukuran standart kebenaran, atau mengarah kepada tindakan anarkis karena hal itu hanyalah sia-sia, meskipun itu terasa berat karena akan dianggap kalah dipandangan manusia namun Allah menjanjikan rumah di Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan sia-sia.

15.                        Mendoakan hidayah bagi lawan diskusinya bila mereka masih berada di dalam penyimpangan dan penyelisihan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, karena menghadapi mereka sama halnya menganggap keberadaan mereka, sudah semestinya keberadaan mereka diharapkan mendapatkan hidayah dari Allah ta’ala.

Demikianlah semoga bermanfa’at.

 

Sragen 24-08-2024.

Junaedi Abdullah.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB 10 HAK TETANGGA

  BAB 10 HAK TETANGGA Tetangga adalah orang yang dekat dengan kita, baik di depan, belakang, kanan ataupun kiri dari rumah kita menurut ...