Orang-orang
yang menghendaki berdiskusi atau berdebat hendaknya memahami berikut ini:
1.
Memiliki niat yang ikhlas, hal ini ditandai dengan sikap tawadhu’
dan siap ruju’ bila dirinya berada di pihak yang salah.
Demikian pula kita akan mendapatkan pahala
jika yang kita harapkan tidak tercapai. (QS. Al-Bayyinah [93]:5).
2.
Memahami tolak ukur standart kebenaran.
Tolak ukur
standar kebenaran yaitu Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat,
tabi’in dan tabi’ut tabi’in. (QS.
At-Taubah [9]:100).
Apa bila
lawan diskusi tidak mau mengembalikan permasalahan tersebut hendaknya
ditinggalkan.
3.
Memahami permasalahan yang akan didiskusikan dengan baik.
Tidak boleh
seseorang hanya bermodal ikhlas dan semangat saja dalam berdiskusi atau
berdebat, karena hal itu sangat berbahaya, yaitu tertutupnya kebenaran dan
dilecehkannya kebenaran tersebut.
4.
Berbaik sangka kepada rifalnya, bisa saja kebenaran samar
baginya.
Ini
sangat penting, karena jika sejak awal seseorang sudah tidak percaya kepada
lawan bicaranya yang terjadi seterusnya akan selalu menolak apa yang dikatakan lawan
bicara kita, sekalipun itu benar, sehingga orang tersebut bisa berdosa.
5.
Menjahui debat kusir.
Debat kusir
yaitu debat yang tanpa ada kesimpulannya, seseorang membuka pembicaraan satu
masalah setelah menemui jalan buntu dan pendapatnya dibantah lawan diskusinya
ternyata dirinya keliru, diapun lari kepada permasalahan yang lain, di mana
debat kusir ini hakekatnya hanyalah menolak untuk mengakui kebenaran lawan, dan
ini tidak akan ada habisnya.
6.
Berusaha memahami pendapat rifalnya.
Sejauh
pendapat tersebut mempunyai dalil baik dari Al-Qur’an dan Sunnah atau ucapan
para sahabat (yang shahih), karena dengan menghargai argumen orang lain, orang
lain akan mengharigai apa yang kita katakan.
7.
Memilih ucapan yang baik dan lembut.
Nafsu manusia
sangat berat menerima kebenaran, meskipun ucapan seseorang itu benar namun
apabila caranya keliru terkadang menjadikan rifalnya menolak. Lihatlah bagaimana
nabi Musa diperintahkan Allah ta’ala berkata lembut.
فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Maka berbicaralah kamu
berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat
atau takut." (QS. Taha[20]:44).
8.
Tidak berkata kasar, mencaci, memaki meskipun rifalnya seperti
itu.
Hendaknya
tidak terpancing dengan ucapan rifalnya menskipun menyulut emosi baik dengan
cacian maupun makian, hal itu akan menunjukkan kadar keilmuan seseorang dan
akan menghilangkan ilmu yang kita pahami.
9.
Memberi kesempatan rifalnya untuk mengemukakan alasan.
Dengan
demikian kita akan tahu apa yang menjadikan subhat pada lawan bicaranya, bisa
jadi perkaranya sepele dan tidak diketahui oleh lawan diskusinya.
10.
Tidak memaksakan kehendak kita.
Kita harus
menyadari bahwa yang memiliki hidayah taufiq adalah Allah ta’ala, oleh
karenanya Nabi Ibrahim alaihi salam tidak dapat memberi hidayah kepada
bapaknya, nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak dapat
memberi hidayah kepada pamannya apa lagi kita, yang kita lakukan adalah
menunjukkan dan membimbing selebihnya itu urusan Allah ta’ala.
11.
Kedua belah pihak siap ruju’ (menerima) apa bila kebenaran di
pihak lawan diskusi.
Muslim sejati
adalah bersedia menerima kebenaran meskipun datangnya dari lawan diskusi,
karena kebenaran ibarat mutiara yang hilang, jika ada orang yang menemukan
tentunya kita senang dan ridha, adapun kesombongan yaitu ketika seseorang
menolak kebenaran, bisa jadi karena jabatannya tinggi, karena menjadi tokoh
panutan, atau karena yang membawa kebenaran memiliki pendidikan rendah. Sombong
adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.
12.
Tetap menjaga ukuwah islamiyah.
Bagaimanapun
seseorang tidak mungkin ada persamaan secara keseluruhan dengan orang lain,
sekalipun orang tuannya, anaknya, istrinya, oleh karena itu selama mereka masih
bertuhan sama, nabinya sama, kiblatnya sama, rukun islam dan imannya sama,
kitabnya sama.
Kita
harus menjaga ukuwah kita, jika ada perkara yang diperselisihkan dilakukan dia
boleh tidak mengikuti apa bila hal itu dipandang bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya, demikian pula rifalnya hendaknya memaklumi dan tidak
dibesar-besarkan permasalahan hal itu, karena sama saja akan semakin
memperuncing permasalahan dan permusuhan.
13.
Menjahui sifat dendam.
Dendam hanya
akan menyiksa seseorang, menjauhkan dari kebaikan dan mendorong kepada sikap
kesombongan, dari sebab dendam banyak orang yang tidak mau menerima kebenaran
meskipun dari Al-Qur’an dan Sunnah hanya karena yang membawakan adalah lawan
debatnya. (QS. Al-Imran [3]:134).
14.
Mengalah jika memang dipandang lawan diskusinya mulai
mengabaikan adab-adab dan ukuran standart kebenaran, atau mengarah kepada
tindakan anarkis karena hal itu hanyalah sia-sia, meskipun itu terasa berat
karena akan dianggap kalah dipandangan manusia namun Allah menjanjikan rumah di
Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan sia-sia.
15.
Mendoakan hidayah bagi lawan diskusinya bila mereka masih berada
di dalam penyimpangan dan penyelisihan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, karena
menghadapi mereka sama halnya menganggap keberadaan mereka, sudah semestinya
keberadaan mereka diharapkan mendapatkan hidayah dari Allah ta’ala.
Demikianlah
semoga bermanfa’at.
Sragen
24-08-2024.
Junaedi
Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar