Selasa, 27 Agustus 2024

BAGAIMANA KITA BERIBADAH KEPADA ALLAH..?



HAK ALLAH TA’ALA ATAS PARA HAMBANYA.

BAB 3.

BAGAIMANA KITA BERIBADAH KEPADA ALLAH.

 

س ٣ - كَيْفَ نَعْبُدُ الله ؟

Soal: 3 Bagaimana kita beribadah kepada Allah.?

 

ج ٣ - كَمَا أَمَرَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ.

Jawab: Sebagaimana yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.

 

قَالَ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهُ وَأَطِيعُوا الرَّسُوْلَ وَلَا تُبْطِلُوْا أَعْمَالَكُمْ} سورة مُحَمَّدٍ : ٣٣

Allah ta’ala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu.” (QS. Muhammad [47]: 33).

وقال

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

)مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ ) أَيِّ غَيْرُ مَقْبُول ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ

“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.” Maksudnya amalan tersebut tidak diterima. (HR. Muslim 1718).

 

-----000-----

 

Penjelasan:

 

1.   Ibadah sifatnya adalah tauqifiyah (berhenti, mengikuti dalil).

Sehingga diperlukan wahyu untuk membimbing manusia. Wahyu Allah ta’ala itu merupakan cahaya yang menuntun umat manusia di dunia ini agar tidak hidup dalam gelapnya hawa nafsu dan terperangkap dalam jerat-jerat setan yang sangat halus dan menyesatkan kehidupan manusia.

Allah ta’ala berfirman:

وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy-Syura[42]: 52).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا عِبَادِى كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُونِى أَهْدِكُمْ.

“Wahai hamba-Ku, kalian semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kalian minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya…”(HR. Muslim 2557,Tirmidzi 2495).

Oleh karena itu ada pepatah yang mengatakan:

لَوْلَا العِلْمُ لَكَانَ النَّاسُ كَالبَهَائِمِ

Kalaulah bukan karena ilmu manusia itu seperti binatang.

Kita bisa mengambil pelajaran bagaimana orang-orang yang hidup tanpa dibimbing dengan wahyu, ada diantara mereka yang menyukai sesama jenis, ada yang suka tidak berpakaian, ada yang menganggap bunuh diri merupakan kehormatan, ada yang membuang orang tuannya jika mereka sudah tua, melobangi bibir-bibir mereka, ada pula yang berbagi istri kepada orang lain.

 

2.   Allah berjanji untuk memberikan petunjuk kepada manusia.

Ketika nabi Adam telah memakan buah terlarang yang menyebabkan dikeluarkan dari surga, Allah berjanji akan memberikan petunjuk, bagi yang mengikuti petunjuk tidak perlu kuatir dan cemas, adapun orang yang kafir mereka akan menjadi penghuni neraka.

Allah ta’ala berfirman:

قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا ۖ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُون

وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.

Kami berfirman, "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran alas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati." Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2]:22).

3.   Allah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ.

"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada  tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut." (QS. An-Nahl [16]: 36)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ.

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (QS. Al-Anbiya [21] : 25).

Abu Dzar pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Berapa jumlah persis para nabi.” Beliau menjawab:

مِائَةُ أَلْفٍ وَأَرْبَعَةٌ وَعِشْرُونَ أَلْفًا الرُّسُلُ مِنْ ذَلِكَ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَخَمْسَةَ عَشَرَ جَمًّا غَفِيرًا.

Jumlah para nabi 124.000 orang, 315 diantara mereka adalah rasul. Banyak sekali.” (HR. Ahmad  22288, sanadnya dinilai shahih oleh Syaikh Al Bani dalam Al-Misykah 5737).

4.   Manusia wajib mengikuti bimbingan wahyu dari Allah dan rasul-Nya.

Hal itu untuk mengetahui bagaimana tata cara beribadah dengan benar.

Allah ta’ala berfirman:

ثُمَّ جَعَلْنٰكَ عَلٰى شَرِيْعَةٍ مِّنَ الْاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ.

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 18).

إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ.

"Sungguh, Al-qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus." (QS. Al-Isra [17]: 9).

اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ.

”Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al-An’am [6]: 106).

5.   Mengikuti bimbingan Rasul-Nya.

Allah memberitahukan kepada kita bahwa Allah telah mengutusnya untuk menyampaikan risalah, agar manusia mentaatinya.

Allah memberitahukan hal itu dengan firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. (QS. Al-Maidah [5]: 67).

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS.An-Nisa[4]:65).

6.   Mentaati Rasulullah sama dengan mentaati Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ.

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah..” (QS.An-Nisa[4]:64).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ.  

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu ..” (QS. An-Nisaa [4]: 59).

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ.

“Barang siapa mentaati Rasul (Muhammad) sesungguhnya dia telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisa[4]:80).

7.   Keselamatan dari kesesatan dan mendapatkan kecintaan Allah dengan mengikuti petunjuk Rasulullah.

Allah ta’ala memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah, hal itu sebagai jaminan keselamatan, namun banyak sekali ucapan-ucapan para pengikut hawa nafsu yang menyerupai kebenaran, padahal sebagiannya bertentangan dengan kebenaran yang dibawa Rasulullah tersebut, oleh karena itu Allah menguji dengan satu ayat apakah kita mengikuti Rasulullah atau tidak.

Allah ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ .

Katakanlah, "Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian." (QS. Ali Imran [3]:31).

Al-Hasan Al-Basri dan lain-Lainnya dari kalangan ulama Salaf mengatakan bahwa ada segolongan kaum yang menduga bahwa dirinya mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini.(Tafsir Ibnu Katsir, QS. Ali Imran [3]:31).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ.

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya sampai kalian bertemu denganku di telaga.” (HR. Al-Hakim di dalam mustadraknya 319, Disahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Sahihul Jami’ 2937).

8.   Rusaknya amal dapat disebabkan dengan berbagai sebab.

Diantaranya:

1)   Kekafiran seperti: Ateis, Komunis, Pluralisme yang menganggap semua agama benar dan lain-lain.

2)   Syirik besar, seperti yang terjadi pada agama-agama selain islam, Yahudi, Nasrani, hindu, Budha, Kong hucu, kejawen (Budi Darma) dan lain-lain. (QS. Al-Baiyyinah[93]:6).

3)   Syirik kecil (Riya, sum’ah, ‘ujub).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam hadits qudsi :

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِيْ غَيْرِيْ ، تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ.

“Aku adalah sekutu yang Maha Cukup, sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang dicampuri dengan perbuatan syirik kepadaKu, maka Aku tinggalkan dia dan (Aku tidak terima) amal kesyirikannya” (HR Muslim 2985 dan Ibnu Majah 4202).

4)   Kebid’ahan.

Definisi bid’ah secara bahasa yaitu :

Secara bahasa bid’ah adalah sesuatu yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya.

Allah ta’ala berfirman:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ.

“Dialah Allah Pencipta langit dan bumi.” (Al-Baqarah [2]: 117).

Secara Imam Asy Syatibi dalam kitabnya Al I’tisham. Beliau mengatakan:

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ.

Sebuah ungkapan pada tatacara di dalam beragama yang dibuat-buat menyerupai syari’at (yang tidak ada dasarnya), dimaksudkan melakukan hal itu untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah ta’ala. (Al-I’tisam hal 31-32, Imam Asy-Syatibi).

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا.

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7).

Ibnu Katsir mengatakan: “Yakni apa pun yang diperintahkan oleh Rasul kepada kalian, maka kerjakanlah; dan apa pun yang dilarang olehnya, maka tinggalkanlah. Karena sesungguhnya yang diperintahkan oleh Rasul itu hanyalah kebaikan belaka, dan sesungguhnya yang dilarang olehnya hanyalah keburukan belaka.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Hasyr [59]: 7).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ,  وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ .

“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada perintah dari kami maka tertolak.” Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.” (HR. Bukhari 2697, Muslim 1718).

Adapun dalam masalah dunia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang hal itu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ.

Kamu lebih mengetahui tentang urusan dunia kamu.” (HR. Muslim 2363).

Pembahasan lebih detail in syaa Allah nanti di belakang.

5)   Dosa-dosa besar.

Oleh karena itu Allah ta’ala memerintahkan kita agar menjahui dosa-dosa besar.

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا.

“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosa kalian yang kecil) dan Kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa [4]:31).

9.   Baiknya akal manusia belum tentu baik menurut syari’at.

Kebanyakan manusia memandang dan mengukur kebaikan dengan banyaknya orang yang melakukan, Allah membatalkan anggapan hal ini. Allah ta’ala berfirman:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ .

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’am [6]:116).

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً.

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Syarah I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah 126. Abul Qasim Al-Lalikai ). 

10.         Akal yang sehat, bersih akan selaras dengan wahyu.

Orang yang belum rusak fitrahnya dan belum terkontaminasi mereka akan sejalan dengan wahyu, sehingga ketika ada seruan iman mereka akan menerima seruan tersebut.

Allah ta’ala berfirman:

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا.

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhanmu", maka kamipun beriman.” (QS. Ali ‘imran [3]:193).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ  يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوّدَانِهِ اَوْ يُنَصّرَانِهِ اَوْ يُمَجّسَانِهِ.

“Setiap anak yang lahir, dia terlahir di atas fithrah, maka tergantung kedua orang tuanya yang menjadikan dia orang Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari 4775, Muslim 2658).

Ibnu Katsir mengaitkan hadits ini dengan ayat 172 dari surat Al-A’raf karena manusia sebelum terlahir mereka telah diambil janji oleh Allah ta’ala, agar kita mengetahui pada asalnya manusia tercipta dalam keadaan fitrah lurus, yaitu Islam. (lihat tafsir Ibnu Katsir, QS Al-A’raf[7]:172).

 

Demikianlah semoga bermanfaat.

 

 

-----000-----

 

Sragen 27-08-2024

Junaedi Abdullah.

 

 

Sabtu, 24 Agustus 2024

ADAB-ADAB DALAM BERDEBAT ATAU BERDISKUSI.

 




Orang-orang yang menghendaki berdiskusi atau berdebat hendaknya memahami berikut ini:

 

1.   Memiliki niat yang ikhlas, hal ini ditandai dengan sikap tawadhu’ dan siap ruju’ bila dirinya berada di pihak yang salah.

Demikian pula kita akan mendapatkan pahala jika yang kita harapkan tidak tercapai. (QS. Al-Bayyinah [93]:5).

 

2.   Memahami tolak ukur standart kebenaran.

Tolak ukur standar kebenaran yaitu Al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.  (QS. At-Taubah [9]:100).

Apa bila lawan diskusi tidak mau mengembalikan permasalahan tersebut hendaknya ditinggalkan.

3.   Memahami permasalahan yang akan didiskusikan dengan baik.

Tidak boleh seseorang hanya bermodal ikhlas dan semangat saja dalam berdiskusi atau berdebat, karena hal itu sangat berbahaya, yaitu tertutupnya kebenaran dan dilecehkannya kebenaran tersebut.

4.   Berbaik sangka kepada rifalnya, bisa saja kebenaran samar baginya.

Ini sangat penting, karena jika sejak awal seseorang sudah tidak percaya kepada lawan bicaranya yang terjadi seterusnya akan selalu menolak apa yang dikatakan lawan bicara kita, sekalipun itu benar, sehingga orang tersebut bisa berdosa.

5.   Menjahui debat kusir.

Debat kusir yaitu debat yang tanpa ada kesimpulannya, seseorang membuka pembicaraan satu masalah setelah menemui jalan buntu dan pendapatnya dibantah lawan diskusinya ternyata dirinya keliru, diapun lari kepada permasalahan yang lain, di mana debat kusir ini hakekatnya hanyalah menolak untuk mengakui kebenaran lawan, dan ini tidak akan ada habisnya.

6.   Berusaha memahami pendapat rifalnya.

Sejauh pendapat tersebut mempunyai dalil baik dari Al-Qur’an dan Sunnah atau ucapan para sahabat (yang shahih), karena dengan menghargai argumen orang lain, orang lain akan mengharigai apa yang kita katakan.

7.   Memilih ucapan yang baik dan lembut.

Nafsu manusia sangat berat menerima kebenaran, meskipun ucapan seseorang itu benar namun apabila caranya keliru terkadang menjadikan rifalnya menolak. Lihatlah bagaimana nabi Musa diperintahkan Allah ta’ala berkata lembut.

فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." (QS. Taha[20]:44).

8.   Tidak berkata kasar, mencaci, memaki meskipun rifalnya seperti itu.

Hendaknya tidak terpancing dengan ucapan rifalnya menskipun menyulut emosi baik dengan cacian maupun makian, hal itu akan menunjukkan kadar keilmuan seseorang dan akan menghilangkan ilmu yang kita pahami.

9.   Memberi kesempatan rifalnya untuk mengemukakan alasan.

Dengan demikian kita akan tahu apa yang menjadikan subhat pada lawan bicaranya, bisa jadi perkaranya sepele dan tidak diketahui oleh lawan diskusinya.

 

10.                        Tidak memaksakan kehendak kita.

Kita harus menyadari bahwa yang memiliki hidayah taufiq adalah Allah ta’ala, oleh karenanya Nabi Ibrahim alaihi salam tidak dapat memberi hidayah kepada bapaknya, nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak dapat memberi hidayah kepada pamannya apa lagi kita, yang kita lakukan adalah menunjukkan dan membimbing selebihnya itu urusan Allah ta’ala.

11.                        Kedua belah pihak siap ruju’ (menerima) apa bila kebenaran di pihak lawan diskusi.

Muslim sejati adalah bersedia menerima kebenaran meskipun datangnya dari lawan diskusi, karena kebenaran ibarat mutiara yang hilang, jika ada orang yang menemukan tentunya kita senang dan ridha, adapun kesombongan yaitu ketika seseorang menolak kebenaran, bisa jadi karena jabatannya tinggi, karena menjadi tokoh panutan, atau karena yang membawa kebenaran memiliki pendidikan rendah. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.

12.                        Tetap menjaga ukuwah islamiyah.

Bagaimanapun seseorang tidak mungkin ada persamaan secara keseluruhan dengan orang lain, sekalipun orang tuannya, anaknya, istrinya, oleh karena itu selama mereka masih bertuhan sama, nabinya sama, kiblatnya sama, rukun islam dan imannya sama, kitabnya sama.

Kita harus menjaga ukuwah kita, jika ada perkara yang diperselisihkan dilakukan dia boleh tidak mengikuti apa bila hal itu dipandang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, demikian pula rifalnya hendaknya memaklumi dan tidak dibesar-besarkan permasalahan hal itu, karena sama saja akan semakin memperuncing permasalahan dan permusuhan.

13.                        Menjahui sifat dendam.

Dendam hanya akan menyiksa seseorang, menjauhkan dari kebaikan dan mendorong kepada sikap kesombongan, dari sebab dendam banyak orang yang tidak mau menerima kebenaran meskipun dari Al-Qur’an dan Sunnah hanya karena yang membawakan adalah lawan debatnya. (QS. Al-Imran [3]:134).

14.                        Mengalah jika memang dipandang lawan diskusinya mulai mengabaikan adab-adab dan ukuran standart kebenaran, atau mengarah kepada tindakan anarkis karena hal itu hanyalah sia-sia, meskipun itu terasa berat karena akan dianggap kalah dipandangan manusia namun Allah menjanjikan rumah di Surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan sia-sia.

15.                        Mendoakan hidayah bagi lawan diskusinya bila mereka masih berada di dalam penyimpangan dan penyelisihan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah, karena menghadapi mereka sama halnya menganggap keberadaan mereka, sudah semestinya keberadaan mereka diharapkan mendapatkan hidayah dari Allah ta’ala.

Demikianlah semoga bermanfa’at.

 

Sragen 24-08-2024.

Junaedi Abdullah.

 

 

BAHAYA BID’AH

 



Dewasa ini bid’ah menyebar dimana-mana, sampai-sampai orang yang ingin tahu ajaran islam yang masih murni sebagaimana yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sebagaimana yang diterima para sahabat terasa sulit, baik untuk mendapatkan, membedakan dan juga memahami, hal karena banyaknya tersebar ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hingga pada suatu saat nanti benar-benar islam akan dianggap asing.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensinyalir hal ini dengan sabdanya:

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ.

“Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang asing.” (HR. Muslim 145, Ahmad 16690, Sunan Ibnu Majah 3986).

Demikianlah kondisi umat ini secara umum, banyak ajaran yang bukan dari islam namun dinisbatkan kepada islam.

Begitu pula para da’inya, saking banyaknya penyeru kesesatan sampai-sampai masyarakat tidak bisa membedakan mana dai yang menyeru kepada islam yang masih murni sesuai sunnah dan mana yang telah terkontaminasi dengan ajaran selain islam.

Oleh karena itu penting untuk menjelaskan hal ini.

Adapun yang perlu dijelaskan yaitu:

1.   Pengertian bid’ah

Secara bahasa bid’ah adalah sesuatu yang baru, yang tidak ada contoh sebelumnya.

Allah ta’ala berfirman:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ.

“Dialah Allah Pencipta langit dan bumi.” (Al-Baqarah [2]: 117).

Yakni menciptakan tanpa contoh sebelumnya.

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِّنَ الرُّسُلِ.

Katakanlah (Muhammad), “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (QS. Al-Ahqaf [46]:9).

Definisi bid’ah secara istilah yang paling lengkap adalah apa yang tulis oleh Imam Asy Syatibi dalam kitabnya Al I’tisham. Beliau mengatakan, bid’ah yaitu:

عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا المُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُدِ للهِ سُبْحَانَهُ.

Sebuah ungkapan pada tatacara di dalam beragama yang dibuat-buat menyerupai syari’at (yang tidak ada dasarnya), dimaksudkan melakukan hal itu untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah ta’ala. (Al-I’tisam hal 31-32, Imam Asy-Syatibi).

 

2.   Asal perbuatan bid’ah.

Bid’ah ditinjau dari asalnya ada dua:

1)              Bid’ah hakikiah.

Yaitu perbuatan (amalan) yang tidak memiliki sandaran dalil syar'i sama sekali, baik dari Al-Qur’an, Sunnah maupun ijma’, secara global maupun secara terperinci.

Disebut bid'ah hakikiyah, sebab perkara tersebut adalah perkara (amalan) yang baru sama sekali tanpa ada contoh sebelumnya.

2)      Bid'ah idhafiyah. ialah bid'ah yang mempunyai dalil, tetapi dalil tersebut tidak bisa dijadikan sandaran. (Al-I’tisam, Imam Asy-Syatibi).

Biasanya para pelaku bid’ah akan melakukan bid’ah terlebih dahhulu baru mencari-cari dalilnya.

Dari sinilah orang-orang banyak yang tertipu dan terseret.

 

3.   Larangan berbuat bid’ah dalam masalah agama.

Perlu diketahui, asal ibadah adalah tauqifiyah, yaitu berhenti mengikuti dalil sebagaimana Allah ta’ala berfirman:

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا.

“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr [59]: 7).

Ibnu Katsir mengatakan: “Yakni apa pun yang diperintahkan oleh Rasul kepada kalian, maka kerjakanlah; dan apa pun yang dilarang olehnya, maka tinggalkanlah. Karena sesungguhnya yang diperintahkan oleh Rasul itu hanyalah kebaikan belaka, dan sesungguhnya yang dilarang olehnya hanyalah keburukan belaka.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Hasyr [59]: 7).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ,  وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ .

“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada perintah dari kami maka tertolak.” Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.” (HR. Bukhari 2697, Muslim 1718).

فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

“Karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan dalam perkara agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad 17144, Ibnu Majah 42, Abu Dawud 4607 dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam as-Shahihah 937).

Dari Abu Hurairah ‘Abdurrahman bin Shakr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ . رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

“Apa saja yang aku larang, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyak bertanya dan menyelisihi perintah nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari 7288dan Muslim 1337)

Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً.

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Syarah I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah 126. Abul Qasim Al-Lalikai ).         

 

4.   Adapun dalam masalah dunia bukanlah dianggap bid’ah.

Di dalam salah satu kaidah fikih yang di pegang oleh jumhur ulama termasuk kalangan Syafi’iyah yaitu:

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةَ.

“Hukum segala sesuatu itu asalnya boleh.” (Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah Wa Tathbiqatuha Fi Al-Madzhab Asy-Syafi’i, karya Dr. Muhammad Az-Zuhaili, Juz 2, Hlm. 59-62).

الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ الْحَظْرُ وَ الْأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ الْإِبَاحَةُ.

“Pada dasarnya ibadah itu terlarang, sedangkan adat (kebiasaan yang tidak bertentangan dengan agama) itu dibolehkan.”

Dari kaidah di atas para ulama menjelaskan, bahwa tentang kemajuan jaman seperti, hp, mobil pesawat, motor dan sarana lainnya hal itu di bolehkan, dan bukan perkara bid’ah yang terlarang di dalam agama, sebagian para ulama menyebutkan bid’ah dari sisi bahasa semata, bukan secara hakekatnya, hal itu berdasarkan firman Allah ta’ala:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا.

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah [2]: 29).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ.

Kamu lebih mengetahui tentang urusan dunia kamu.” (HR. Muslim 2363).

Dengan demikian jelaslah yang terlarang adalah bid’ah dalam perkara yang disandarkan agama dan dianggap ibadah, padahal hal itu tidak diperintahkan Allah, tidak diperintahkan Rasul-Nya, tidak pula dilakukan para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in generasi terbaik umat ini, bukan tentang urusan dunia.

 

5.   Contoh-contoh bid’ah dalam agama.

Bid’ah dalam agama sangat banyak sekali jumlahnya, diantaranya:

Ritual ritual anak sebelum kelahirannya, ritual kematian, perayaan-perayaan seperti maulid dll, tahun baru islam, menghidupkan malam nisfi Sa’ban dll, shalawatan yang dilakukan bersama-sama dan yang tidak ada dasarnya seperti barjanji dll, dzikir-dzikir yang tidak ada dasarnya dan dilakukan beramai-ramai, beribadah sambil berjoget, dan masih banyak lagi.

 

6.   Bahaya bid’ah dalam agama.

Bid’ah dalam agama akan tak ubahnya seperti musuh dalam selimut, menghancurkan kemurnian islam dan memalsukan apa yang bukan ajaran islam, sehingga amalan pelakukan di tolak yang menjadikan rugi didunia dan akhirat, baik rugi waktu, tenaga, pikiran dan hartanya.

Mereka juga akan diusir dari telaga rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasulullah mengadukan hal itu:

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى.

“(Wahai Tuhanku) Mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.” (HR. Bukhari 7051).

Pelaku bid’ah lebih disukai iblis dari maksiat.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata:

الْبِدْعَةُ أَحَبُّ إِلَى إِبْلِيسَ مِنَ الْمَعْصِيَةِ، الْمَعْصِيَةُ يُتَابُ مِنْهَا، وَالْبِدْعَةُ لَا يُتَابُ مِنْهَا.

Bid’ah lebih dicintai oleh Iblis daripada maksiat. Hal ini karena perbuatan maksiat (pelakunya) bertaubat darinya sedangkan bid’ah (pelakunya) tidak mau bertaubat (karena tidak merasa bersalah).

 

Demikianlah sedikit ringkasan ini semoga bermanfa’at, Aamiin.

 

Sragen jum’at 21-06-2024,

Junaedi Abdullah.

MEMAHAMI AL WALA’ WAL BARA’

MEMAHAMI AL WALA’ WAL BARA’   Al wala’ wal bara’ merupakan salah satu sendi yang penting di dalam ajaran islam, kosekwensi seseorang ter...