BAB 1.
HAK ALLAH TA’ALA ATAS PARA HAMBANYA.
SOAL 5.
TINGKATAN KETIGA, MEMAHAMI RUKUN IHSAN
س ٥ - مَا هُوَ الْإِحْسَانُ فِي الْعِبَادَةِ
؟
Soal 5: Apa yang
dimaksud ihsan (berbuat baik) dalam ibadah ?
ج ٥ – الإِحْسَانُ هُوَ مُرَاقَبَةُ اللَّهِ تَعَالَى
فِي الْعِبَادَة
Jawab: Berlaku
ihsan dalam ibadah adalah selalu merasa diawasi oleh Allah tatkala melakukan
ibadah.
قَالَ
اللهُ تَعَالَى:
Allah ta’ala telah berfirman:
}الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ . وَتَقَلُّبَكَ فِي
السَّاجِدِينَ} سورة الشعراء : ۲۱۸-۲۱۹
“Yang melihat
kamu ketika kamu berdiri (untuk salat), dan (melihat
pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS.
As-Syu’ara[26]:118-119).
وَقَالَ
ﷺ:
Rasulullallah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(أَنْ
تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ) رواه مُسْلِمٌ.
“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihatnya, jika engkau tidak melihatNya maka Dia melihat engkau.” (HR. Muslim
8).
-----000-----
Penjelasan:
1.
Menetapkan
sifat melihat bagi Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِي
يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ . وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ.
“Yang melihat kamu ketika kamu
berdiri (untuk shalat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara
orang-orang yang sujud.” (QS. Asy-Syu’araa [26]: 217-219).
Melihatnya Allah
berbeda dengan melihatnya seorang hamba, Allah maha melihat dengan penglihatan yang sempurna, tidak
ada satu makhluk pun yang luput dari penglihatan Allah ta’ala.
Nama Allah Al-bashir disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 42
kali.
Diantaranya Allah ta’ala berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.
“Tidak ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.”
(QS. As-Syura[42]:11).
Al Bashir memiliki beberapa makna:
1) Al Bashir:
Allah memiliki penglihatan, dapat melihat segala sesuatu.
Allah melihat langkah semut hitam diatas batu hitam di gelapnya
malam. Allah dapat melihat proses pencernaan makanan dalam organ tubuhnya,
melihat aliran darah diurat nadinya, Allah melihat segala sesuatu apa yang di
bawah tujuh lapis bumi apa yang ada di dalam bumi dan apa yang ada diatas
langit.
2)
Al Bashirah: Allah melihat
segala hal dengan sempurna.
Allah yang mencipta manusia mengetahui
watak, keadaan dan segala perbuatan makhluknya.
Allah ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ.
“Padahal Allah-lah
yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. As-Saffat [37] ayat
96).
وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ .
“Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Hadid[57]: 4).
وَهُوَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ.
“Dan dia maha mengetahui apa yang ada di dalam dada.” (QS.
Al-Hadid[57]: 6).
(Lihat pula Fiqhu Al-Asma Al-Husna, Syaikh Abdur Razaq bin Abdul
Muhsin Al-Badar).
3) Kesempurnaan
penglihatan Allah tanpa adanya cacat.
Hal ini tidak sebagaimana berhala-berhala dan apa yang
disembah manusia, Allah ta’ala mengabarkan apa yang dikatakan Ibrahim kepada
ayahnya, dimana berhala-berhala yang mereka sembah sangat lemah, tidak dapat
melihat, sedangkan Allah ta’ala maha sempurna penglihatannya.
Allah ta’ala berfirman:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا
أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ
شَيْئًا.
“(Ingatlah)
ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya, "Wahai ayahku! Mengapa engkau
menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat
menolongmu sedikit pun?” (QS. Maryam[19]:42).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى لَيْسَ بِأَعْوَرَ، أَلَا وَإِنَّ الْمَسِيحَ
الدَّجَّالَ أَعْوَرُ الْعَيْنِ الْيُمْنَى، كَأَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَافِئَةٌ.
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak buta sebelah, dan ketahuilah
sesungguhnya al-Masih Dajjal adalah picek mata sebelah kanannya. Mata-nya
bagaikan anggur yang menonjol.” (HR. Bukhari 7407, Muslim 169).
2.
Keutamaan shalat berjama’ah.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةُ الْفَذِّ
بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً.
“Shalat berjama’ah lebih utama dua puluh tujuh derajat
daripada shalat sendirian.” ( HR. Bukhari 645, Ahmad 5332, Baihaqi 4956).
3.
Ihsan dalam beribadah.
Adapun ihsan beribadah kepada
kepada Allah ta’ala ada dua tingkatan:
1)
Musyahadah yaitu seakan-akan melihat Allah ta’ala.
Hamba
akan beribadah dengan sungguh-sungguh apabila membayangkan dirinya sedang di
hadapan Allah ta’ala.
2)
Muraqabah yaitu meyakini Allah melihat
hambanya.
Baik
dalam keadaan beribadah maupun dalam keadaan muamalah, seakan-akan Allah selalu
mengawasi dirinya, orang seperti ini tentu akan takut untuk bermaksiat kepada
Allah ta’ala.
Adapun tingkatan yang pertama lebih
tinggi dari yang kedua. (Lihat di dalam Syarah Ushul tsalatsah Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin).
4.
Ihsan kepada makhluknya.
Adapun ihsan kepada makhluk ada yang
sifatnya wajib dan mustahab.
1)
Wajib, apabila sesuatu dilakukan tidak dengan baik menjadikan berdosa,
maka hukumnya wajib.
Seperti berbakti kepada orang tua, Allah
ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا.
“Dan sembahlahlah Allah dan janganlah kalian menyekutukan dengan
sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak.” (QS.
An-Nisa[4]:36).
Demikian pula berbuat baik kepada anak
istri, tetangga, seperti bekerja atau menjual jasa, apabila dilakukan dengan cara
menipu sehingga orang lain dirugikan maka perbuatan seperti ini hukumnya haram,
dan wajib berbuat baik dan melakukan sesuai dengan kesepakatan.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ اللهَ
مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ.
“Sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. An-Nahl
[16]: 128).
“Diriwayatkan dari Abu Ya’la
Syaddad bin Aus Radhiyallahu ‘Anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bahwasannya beliau bersabda:
إنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا
ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ،
وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ.
“Sungguh
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan berbuat baik dalam segala sesuatu, maka
kalau kalian membunuh hendaklah kalian membunuh dengan cara yang baik, kalau
kalian menyembelih hendaklah kalian menyembelih dengan cara yang baik. Dan
hendaklah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan binatang
sembelihannya.” (HR Muslim 1955, Abu Dawud 2815, Tirmidzi 1409).
Demikian
pula, gadai, jual beli hutang piutang, maka wajib dilakukan dengan
sebaik-baiknya, tidak boleh menunda-nunda padahal dia mampu.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻄْﻞُ ﺍﻟْﻐَﻨِﻰِّ ﻇُﻠْﻢٌ.
“Penundaan
pelunasan hutang oleh orang yang mampu adalah sebuah kezaliman. (HR. Bukhari
2288, Muslim 1564).
Hendaknya
bergaul dengan manusia sebagaimana dirinya suka dipergauli seperti itu.
فَمَنْ
أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ، وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ، فَلْتَأْتِهِ
مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَلْيَأْتِ إِلَى
النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ.
“Barangsiapa ingin dijauhkan dari neraka dan masuk ke dalam
surga, hendaknya ketika ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah, dan
hendaknya ia berperilaku kepada orang lain sebagaimana ia senang diperlakukan
oleh orang lain.” (HR. Muslim 1844).
2)
Mustahab.
Adapun mustahab seperti seseorang
membantu saudaranya tanpa diminta, jika dia tidak melakukan tidak mengapa,
demikian pula memberi hadiah kepada orang-orang dekat dan lain-lain.
Dari sini Ihsan (berbuat baik) kepada
makhluk bisa dengan harta, kedudukan, ilmu, dan tenaga.
a)
Berbuat baik dengan harta.
Ihsan dengan harta adalah dengan
cara mengeluarkan zakat hartanya yang wajib terlebih dahulu, kemudian diiringi
dengan sedekah.
Sedekah yang lebih utama adalah
nafkah kepada istri, ibu, bapak, anak, saudara, keponakan, paman, bibi, dan
kerabat lainnya.
Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
دِينَارٌ أنْفَقْتَهُ في سَبيلِ اللهِ، وَدِينار أَنْفَقْتَهُ فِي
رَقَبَةٍ، وَدِينارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أنْفَقْتَهُ
عَلَى أهْلِكَ، أعْظَمُهَا أجْرًا
الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أهْلِكَ.
"Dinar yang engkau infakkan dijalan Allah,
dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau
sedekahkan untuk orang yang miskin dan dinar yang engkau infakkan untuk
keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah yang engkau infakkan untuk
keluargamu."(HR. Muslim 995).
Imam Nawawi berkata, “Nafkah kepada keluarga
lebih utama dibandingkan sedekah sunnah.” (Syarah Muslim 7:82).
الصَّدَقَةُ
عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَانِ: صَدَقَةٌ
وَصِلَةٌ .
“Bersedekah kepada orang miskin adalah satu (pahala)
sedekah, dan kepada kerabat ada dua (pahala), pahala sedekah dan silaturrahim.”
(HR. Ahmad 844), Nasa’I 2582, Ibnu Majah dan Hakim, Shahihul Jami’ 3858)
Seorang suami akan berdosa bila tidak mau
memberi nafkah kepada keluarganya.
Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
كَفَى
بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ.
“Cukuplah
seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”
(HR. Ahmad 6828, Abu Dawud 1692, dishahihkan Syaikh al-Albani, Shahihul
Jami’ 4481).
b)
Ihsan dengan kedudukan atau jabatan.
Yaitu dengan mempermudah orang lain
dalam urusan terkait pemerintah di mana seseorang menduduki posisinya tersebut.
Berlaku amanah dan adil,
menghentikan kedzaliman orang yang dzalim dan membantu yang lemah, menjahui
berbagai macam riswah (suap) karena riswah (suap) ini akan mendatangan laknat
dari Allah dan rasul-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ.
“Dan janganlah sebahagian kamu
memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (QS.
Al-Baqarah[2]:188).
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , ia
berkata :
لَعَنَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ.
“Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap.”(HR Tirmidzi 1337,
Ahmad 6532, Abu Dawud 3580, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihul
Jami’ 5093).
Hendaknya menyadari bahwa jabatan
adalah amanah dan tidak lama akan dilepaskan, tinggalah pertanggung jawaban.
c)
Ihsan dengan ilmu.
Yaitu memberi teladan kebaikan, mengajarkan
kebaikan di manapun berada, baik di majelis taklim, saat bekerja sampai pun di
warung kopi. Namun, harus dengan hikmah, tidak terus menerus diceramahi agar
tidak bosan.
Hendaknya dalam menyampaikan ilmu dengan
ikhlas, tidak mengharap-harapkan imbalan, tidak boleh memasang tarif, adapun jika
ada orang yang peduli atas waktu, tenaga, dan perjalanannya hal itu tidak
mengapa, asal bukan menjadi tujuan utamanya. sebagaimana yang dijelaskan para
ulama.
d)
Ihsan dengan tenaga.
Yaitu dengan membantu orang lain, mendorong
kendaraan, mengangkat barangnya, menunjukkan jalan bagi orang yang kebingungan.
(lihat pula di dalam Syarah Ushul
tsalatsah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin).
5.
Allah tidak bisa dilihat di dunia ini.
Berbagai kejadian di masa lalu di
mana Bani Isra’il ingin melihat Allah ta’ala namun mereka tidak mampu, begitu
pula nabi Musa alaihi salam.
Allah ta’ala berfirman:
وَإِذْ
قُلْتُمْ يَا مُوسَىٰ لَن نُّؤْمِنَ لَكَ حَتَّىٰ نَرَى اللَّهَ جَهْرَةً
فَأَخَذَتْكُمُ الصَّاعِقَةُ وَأَنتُمْ تَنظُرُونَ
ثُمَّ
بَعَثْنَاكُم مِّن بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ.
“Dan (ingatlah) ketika kalian berkata,
"Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah
dengan terang," karena itu kalian disambar halilintar, sedangkan kalian
menyaksikannya. Setelah itu Kami bangkitkan kalian sesudah kalian mati, supaya
kalian bersyukur.” (QS. Al-Baqarah[2]:55).
رَبِّ
أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ
فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ
لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ
سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ.
"Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri
Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau." Tuhan berfirman,
"Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihatlah ke bukit
itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala), niscaya
kamu dapat melihat-Ku.” Tatkala Tuhannya menampakkan diri pada gunung itu,
kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh, dan Musa pun jatuh pingsan.
Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, "Mahasuci Engkau, aku
bertobat kepada Engkau, dan aku orang yangpertama-tama beriman." (QS.
Al-A’raf[7]:143).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menegaskan bahwa
manusia apapun tidak mungkin melihat Tuhannya di dunia. Beliau bersabda:
تَعَلَّمُوا
أَنَّهُ لَنْ يَرَى أَحَدٌ مِنْكُمْ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ حَتَّى يَمُوتَ.
“Kalian mengetahui, bahwa seorangpun diantara kalian tidak
akan bisa melihat Tuhannya sampai dia mati.” (HR. Muslim 169, Ahmad 23673,
Tirmidzi 2235).
Kaum muslimin sepakat bahwa tidak ada seorangpun di dunia ini
yang bisa melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri, sebagaimana yang
ditegaskan oleh Ad-Darimi dalam Ar-Rad Ala Al-Jahmiyah (hlm. 306), Syaikhul
Islam dalam Majmu’ Fatawa (6/510), dan Ibn Abil Iz dalam Syarh Aqidah Thahwiyah
(1/222).
Adapun ketika Nabi Muhammad Isra’ mi’raj apakah melihat
Tuhannya atau tidak ada perbedaan ulama.
1)
Mayoritas
Ahlu Sunnah mengatakan Rasulullah melihat.
Diantaranya pendapat Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhum ajma’in.
2)
Melihat
dengan mata hati.
Ibnu Abbas berkata:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ بِفُؤَادِهِ
مَرَّتَيْنِ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya dengan
hatinya dua kali.” (HR. Muslim 176, Baihaqi 926).
3)
Tidak
melihat Allah ta’ala.
Ini merupakan berpendapat Ummul Mukminin, Aisyah radhiyallahu
‘anha:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: مَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَأَى
رَبَّهُ فَقَدْ أَعْظَمَ، وَلَكِنْ قَدْ رَأَى جِبْرِيلَ فِي صُورَتِهِ وَخَلْقُهُ
سَادٌّ مَا بَيْنَ الأُفُقِ.
“Siapa yang meyakini bahwa Muhammad pernah melihat Tuhannya,
berarti dia telah membuat kedustaan yang besar atas nama Allah.” (HR. Bukhari 3234,
Muslim 177, Turmudzi 3068).
عَنْ أَبِي
ذَرٍّ، قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، هَلْ
رَأَيْتَ رَبَّكَ؟ قَالَ: نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ .
Abu Dzar, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, apakah Nabi melihat Allah ketika isra mi’raj? Jawab Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam “Ada cahaya, bagaimana aku melihat-Nya.” (HR. Muslim 178, Turmudzi 3282,
Ahmad 21392, Abu Dawud 476).
Sebagian tabi’in, mereka memilih tawakuf (berdiam), tidak
membenarkan jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah, juga
tidak membantah, diantaranya Sa’id bin Jubair seorang ulama tabi’in.
Adapun Ahlu Sunnah sepakat bahwa orang-orang beriman akan melihat
Allah nanti pada hari kiamat, hal ini disebutkan di dalam Al-Qur’an maupun hadits
yang shahih.
Allah ta’ala berfirman:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ . إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ.
“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri.
Kepada Rabb-nya mereka melihat..” (QS. Al Qiyamah[75] : 22-23).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا
الْقَمَرَ.
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana
kalian melihat bulan.”(HR. Bukhari 554, Muslim 633, Abu Dawud 4729).
Demikianlah semoga bermanfaat.
-----000-----
Sragen 23-09-2024.
Junaedi Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar