Senin, 16 September 2024

HAK ALLAH TA’ALA ATAS PARA HAMBANYA. 5

 

BAB 5.

    TINGKATAN ISLAM KE 3 YAITU IHSAN.

 

س ٥  - مَا هُوَ الْإِحْسَانُ فِي الْعِبَادَةِ ؟

Soal 5: Apa yang dimaksud ihsan (berbuat baik) dalam ibadah ?

ج ٥ – الإِحْسَانُ هُوَ مُرَاقَبَةُ اللَّهِ تَعَالَى فِي الْعِبَادَة

Jawab: Berlaku ihsan dalam ibadah adalah selalu merasa diawasi oleh Allah tatkala melakukan ibadah.

قَالَ اللهُ تَعَالَى:

Allah ta’ala telah berfirman:

}الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ . وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ} سورة الشعراء : ۲۱۸-۲۱۹

“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk salat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS. As-Syu’ara[26]:118-119).

وَقَالَ :

Rasulullallah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

(أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ) رواه مُسْلِمٌ.

“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatNya maka Dia melihat engkau.” (HR. Muslim 8).

 

-----000-----

 

Penjelasan:

1.   Mnetapkan sifat melihat bagi Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ . وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ.

“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS. Asy-Syu’araa [26]: 217-219).

Melihatnya Allah berbeda dengan melihatnya seorang hamba, Allah maha melihat dengan penglihatan yang sempurna, tidak ada satu makhluk pun yang luput dari penglihatan Allah ta’ala.

Nama Allah Al-bashir disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 42 kali.

Diantaranya Allah ta’ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. As-Syura[42]:11).

Al Bashir memiliki 2 makna:

1)  Al Bashir: Allah memiliki penglihatan, dapat melihat segala sesuatu.

Allah melihat langkah semut hitam diatas batu hitam di gelapnya malam. Allah dapat melihat proses pencernaan makanan dalam organ tubuhnya, melihat aliran darah diurat nadinya, Allah melihat segala sesuatu apa yang di bawah tujuh lapis bumi apa yang ada di dalam bumi dan apa yang ada diatas langit.

2)  Al Bashirah: Allah melihat segala hal dengan sempurna.

Allah mengetahui watak, keadaan dan segala perbuatan makhluknya.

Allah ta’ala berfirman:

وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ .

“Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid[57]: 4).

وَهُوَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ.

“Dan dia maha mengetahui apa yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hadid[57]: 6).

(Lihat pula Fiqhu Al-Asma Al-Husna, Syaikh Abdur Razaq bin Abdul Muhsin Al-Badar).

3)  Kesempurnaan penglihatan Allah tanpa adanya cacat.

Allah ta’ala mengabarkan apa yang dikatakan Ibrahim kepada ayahnya, dimana berhala-berhala yang mereka sembah tidak dapat melihat, sedangkan Allah ta’ala maha sempurna penglihatannya.

Allah ta’ala berfirman:

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا. 

“(Ingatlah) ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya, "Wahai ayahku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?” (QS. Maryam[19]:42).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى لَيْسَ بِأَعْوَرَ، أَلَا وَإِنَّ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ أَعْوَرُ الْعَيْنِ الْيُمْنَى، كَأَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَافِئَةٌ.

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak buta sebelah, dan ketahuilah sesungguhnya al-Masih Dajjal adalah picek mata sebelah kanannya. Mata-nya bagaikan anggur yang menonjol.” (HR. Bukhari 7407, Muslim 169).

2.   Keutamaan shalat berjama’ah.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةُ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً.

“Shalat berjama’ah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian.” ( HR. Bukhari 645).

3.   Ihsan dalam beribadah.

Adapun ihsan beribadah kepada kepada Allah ta’ala ada dua tingkatan:

1)   Musyahadah yaitu seakan-akan melihat Allah ta’ala.

Hamba akan meberibadah dengan sungguh-sungguh apabila membayangkan dirinya sedang di hadapan Allah ta’ala.

2)   Muraqabah yaitu meyakini Allah melihat hambanya.

Baik dalam keadaan beribadah maupun dalam keadaan muamalah, seakan-akan Allah selalu mengawasi dirinya, orang seperti ini tentu akan takut untuk bermaksiat kepada Allah ta’ala.

Adapun tingkatan yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. (Lihat di dalam Syarah Ushul tsalatsah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin).

4.   Ihsan kepada makhluknya.

Adapun ihsan kepada makhluk ada yang sifatnya wajib dan mustahab.

1)  Wajib, apabila sesuatu dilakukan tidak dengan baik menjadikan berdosa, maka hukumnya wajib.

Seperti berbakti kepada orang tua, Allah ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا.

“Dan sembahlahlah Allah dan janganlah kalian menyekutukan dengan sesuatu apapun, dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak.” (QS. An-Nisa[4]:36).

Demikian pula interaksi kepada orang lain, seperti bekerja atau menjual jasa, apabila dilakukan dengan cara menipu sehingga orang lain dirugikan maka perbuatan seperti ini hukumnya haram, dan wajib berbuat baik dan melakukan sesuai dengan kesepakatan.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ.

“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang muhsin.” (QS. An-Nahl [16]: 128).

“Diriwayatkan dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus Radhiyallahu ‘Anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwasannya beliau bersabda:

إنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ.[رَوَاهُ مُسْلِمٌ].

“Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan berbuat baik dalam segala sesuatu, maka kalau kalian membunuh hendaklah kalian memperbaiki cara membunuh dan kalau kalian menyembelih hendaklah kalian memperbaiki cara menyembelih kalian. Dan hendaklah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan mengistirahatkan binatang sembelihannya.” (HR Muslim 1955, Abu Dawud 2815, Tirmidzi 1409).

Membayar hutang, maka wajib dilakukan dengan sebaik-baiknya, tidak boleh menunda-nunda padahal dia mampu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ﻣَﻄْﻞُ ﺍﻟْﻐَﻨِﻰِّ ﻇُﻠْﻢٌ.

“Penundaan pelunasan hutang oleh orang yang mampu adalah sebuah kezaliman. (HR. Bukhari 2288, Muslim 1564).

Hendaknya bersikap sebagaimana dirinya suka disikapi seperti itu.

فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ، وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ، فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ.

“Barangsiapa ingin dijauhkan dari neraka dan masuk ke dalam surga, hendaknya ketika ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah, dan hendaknya ia berperilaku kepada orang lain sebagaimana ia senang diperlakukan oleh orang lain.” (HR. Muslim 1844).

2)  Mustahab.

Adapun mustahab seperti seseorang membantu saudaranya tanpa diminta, jika dia tidak melakukan tidak mengapa.

Dari sini Ihsan (berbuat baik) kepada makhluk bisa dengan harta, kedudukan, ilmu, dan tenaga.

a)  Berbuat baik dengan harta.

Ihsan dengan harta adalah dengan cara mengeluarkan zakat hartanya yang wajib terlebih dahulu, kemudian diiringi dengan sedekah.

Sedekah yang lebih utama adalah nafkah kepada istri, ibu, bapak, anak, saudara, keponakan, paman, bibi, dan kerabat lainnya.

Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

دِينَارٌ أنْفَقْتَهُ في سَبيلِ اللهِ، وَدِينار أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِينارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَدِينَارٌ أنْفَقْتَهُ عَلَى أهْلِكَ، أعْظَمُهَا أجْرًا

الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أهْلِكَ.

"Dinar yang engkau infakkan dijalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan untuk orang yang miskin dan dinar yang engkau infakkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah yang engkau infakkan untuk keluargamu."(HR. Muslim 995).

Imam Nawawi berkata, “Nafkah kepada keluarga lebih utama dibandingkan sedekah sunnah.” (Syarah Muslim 7:82).

الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ .

“Bersedekah kepada orang miskin adalah satu (pahala) sedekah, dan kepada kerabat ada dua (pahala), pahala sedekah dan silaturrahim.” (HR. Ahmad 844), Nasa’I 2582, Ibnu Majah dan Hakim, Shahihul Jami’ 3858)

Seorang suami akan berdosa bila tidak mau memberi nafkah kepada keluarganya.

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ.

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ahmad 6828, Abu Dawud 1692, dishahihkan Syaikh al-Albani, Shahihul Jami’ 4481).

b)  Ihsan dengan kedudukan atau jabatan.

Yaitu dengan mempermudah orang lain dalam urusan terkait pemerintah.

Berlaku amanah dan adil, menghentikan kedzaliman orang yang dzalim dan membantu yang lemah, menjahui berbagai macam riswah (suap) karena ini akan mendatangan laknat dari Allah dan rasul-Nya.

Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ.

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil.” (QS. Al-Baqarah[2]:188).

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , ia berkata :

لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ.

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap.”(HR Tirmidzi 1337, Ahmad 6532, Abu Dawud 3580, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ 5093).

Hendaknya menyadari bahwa jabatan adalah amanah dan tidak lama akan dilepaskan.

c)   Ihsan dengan ilmu.

Yaitu mengajarkan ilmu di sekolah, majelis taklim, sampai pun di warung kopi. Namun, harus dengan hikmah, tidak terus menerus diceramahi agar tidak bosan.

Hendaknya dalam menyampaikan ilmu dengan mematok tarif sehingga lupa tujuan haq ilmu yaitu agar diajarkan kepada orang lain.

d)  Ihsan dengan tenaga.

Yaitu dengan membantu orang lain, mengangkat barangnya yang perlu diangkat untuk dibantu, menunjukkan jalan bagi yang kebingungan.

(lihat pula di dalam Syarah Ushul tsalatsah Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin).

5.   Allah tidak bisa dilihat di dunia ini.

Berbagai kejadian di masa lalu ketika Bani Isra’il ingin melihat Allah ta’ala tidak bisa, begitu pula nabi Musa alaihi salam.

Allah ta’ala berfirman:

 رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ.

"Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat Engkau." Tuhan berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala), niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Tatkala Tuhannya menampakkan diri pada gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh, dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, "Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau, dan aku orang yangpertama-tama beriman." (QS. Al-A’raf[7]:143).

Akan tetapi nanti pada hari kiamat orang-orang beriman dapat melihat Rabnya sebagaimana ini di jelaskan di dalam hadits yang shahih.

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ . إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ.

“Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat..” (QS. Al Qiyamah[75] : 22-23).

Demikianlah semoga bermanfaat.

 

-----000-----

Sragen 17-09-2024.

Junaedi Abdullah.




 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANG-ORANG DZALIM ADALAH ORANG YANG BANGKRUT PADA HARI KIAMAT

  Manusia adalah makhluk sosial, mereka akan merespon setiap segala sesuatu sesuai dengan akal dan nalurinya. Ketika manusia tidak mempe...