HIJRAH PARA SAHABAT
Aktivitas Di Darul Arqam
Merupakan suatu hikmah
(hal yang bijak) dalam menyingkapi penindasan-penindasan tersebut, Rasulullah
melarang kaum Muslimin memproklamirkan keislaman mereka, baik dalam bentuk
perkataan maupun tindakan serta tidak mengizinkan mereka bertemu dengan beliau
kecuali secara rahasia, karena bila mereka bertemu dengan beliau secara
terbuka, maka tidak diragukan lagi kaum musyrikin akan membatasi ruang gerak
beliau sehingga keinginan beliau untuk mentazkiyah (menyucikan diri) kaum
Muslimin dan mengajarkan mereka al-Kitab dan as-Sunnah akan terhalangi.
Dan tidak tertutup
kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya benturan antara ke dua belah pihak,
bahkan hal itu benar-benar terjadi pada tahun ke empat kenabian, yaitu manakala
sahabat-sahabat Rasulullah berkumpul di lereng-lereng perbukitan tempat mereka
melakukan shalat secara rahasia. Tiba-tiba, hal itu terlihat oleh beberapa
orang kafir Quraisy, lalu mencaci-maki dan memerangi kaum Muslimin. Hal ini
mengakibatkan Sa'ad bin Abi Waqqash memukul salah satu dari mereka sehingga
mengalirlah darahnya ketika itu. Inilah, darah pertama yang mengalir dalam
Islam.(Ibnu Hisyam, Op.cit., h.263).
Bisa diketahui akibatnya benturan
ini berulang kali terjadi dan berkepanjangan, tentunya akan berdampak pada
penghancuran dan pembantaian terhadap kaum Muslimin. Oleh karena itu, adalah
bijak untuk (melakukan siasat) sembunyi-sembunyi. Umumnya para sahabat
menyembunyikan keislaman, peribadatan, dakwah dan pertemuan mereka. Sedangkan
Rasulullah tetap berdakwah dan beribadah secara terbuka di depan mata kepala
kaum musyrikin. Tidak ada sesuatupun yang dapat menghalang-halanginya. Namun
demikian, beliau tetap melakukan pertemuan dengan kaum Muslimin secara rahasia
demi kepentingan mereka dan agama Islam.
Rumah al-Arqam bin Abi
al-Arqam al-Makhzumiy terletak di atas bukit shafa dan terpencil sehingga luput
dari intaian mata para Thaghut dan bahan pembicaraan pertemuan-pertemuan
mereka. Tempat itulah yang dijadikan Rasulullah sebagai pusat dakwah dan pertemuan
beliau dengan kaum Muslimin. Di dalam rumah tersebut, beliau membacakan kepada
mereka ayat-ayat Allah, menyucikan hati mereka serta mengajarkan mereka
al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah).
Hijrah Pertama Menuju Negeri Habasyah
(Ethiopia)
Penindasan terhadap kaum
Muslimin pada pertengahan atau akhir tahun ke-4 kenabian. Pada mulanya tidak
seberapa, namun kemudian dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan berubah
menjadi lebih keras, dan semakin menghebat pada pertengahan tahun ke-5, kenabian
sehingga seakan tiada tempat lagi bagi mereka di Mekkah dan memotifasi mereka
untuk memikirkan cara meloloskan diri dari siksaan-siksaan tersebut. Dalam
kondisi yang seperti inilah, turun surat az-Zumar yang mengisyaratkan perlunya
berhijrah dan memberitahukan bahwa bumi Allah tidaklah sempit. Hal ini,
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
لِلَّذِيْنَ
اَحْسَنُوْا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗوَاَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةٌ.
“..Orang-orang yang berbuat baik di dunia
ini akan memperoleh kebaikan. Bumi Allah itu luas.(QS. Az-Zumar[39]:10).
Rasulullah telah
mengetahui bahwa Ashhimah an-Najasyiy, raja Habasyah adalah seorang yang adil,
tidak seorang pun yang terzhalimi olehnya. Karena itu, beliau memerintahkan
kaum Muslimin agar berhijrah ke sana guna menyelamatkan agama mereka dari
fitnah.
Pada bulan Rajab tahun
ke-5 kenabian, berhijrah rombongan pertama dari kalangan para sahabat menuju
negeri Habasyah (berjarak kurang lebih 1000 km pen.). Rombongan ini terdiri
dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita, dikepalai oleh 'Utsman bin 'Affan
yang membawa serta Ruqayyah putri Rasulullah Rasulullah bersabda tentang
keduanya, "Sesungguhnya mereka berdua adalah keluarga pertama yang
berhijrah di jalan Allah setelah apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim
dan Luth. (Lihat Zadul Ma'ad, 1/24).
Kepergian mereka dilakukan
dengan mengendap-endap pada malam yang gelap-gulita agar tidak diketahui oleh
kaum Quraisy menuju laut, kemudian mengarah ke pelabuhan Sya'ibah. Ternyata, takdir
mereka sejalan dan seiring dengan itu dimana ketika itu ada dua buah kapal
dagang yang akan berlayar menuju Habasyah dan mereka pun ikut serta bersamanya.
Kaum Quraisy akhirnya mengetahui hal itu, lalu menelusuri jejak perjalanan kaum
Muslimin akan tetapi tatkala mereka sampai di tepi pantai, kaum Muslimin telah
bertolak dengan aman. Akhirnya, kaum Muslimin menetap di Habasyah dan
mendapatkan sebaik-baik perlindungan.
Kisah Sujudnya Kaum musyrikin
Pada bulan Ramadhan di
tahun yang sama, Rasulullah pergi ke mesjid al-Haram. Di sana banyak berkumpul
kaum Quraisy, terdiri dari para pemuka dan tokoh-tokoh mereka. Beliau kemudian
berdiri di tengah mereka dan mendadak membaca surat an-Najm. Orang-orang kafir
tersebut, sebelumnya tidak pernah mendengarkan secara langsung Kalamullah,
karena program yang mereka lancarkan secara kontinyu adalah melakukan apa yang
apa yang saling mereka nasehatkan satu sama lain. Sebagaimana diabadikan oleh
Allah dalam firman-Nya,
لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْءَانِ وَالْغَوْا
فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ.
"...Janganlah kamu mendengar
dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya
supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)." (QS. Fushshilat: 26).
Maka, manakala secara mendadak,
beliau membacakan surat tersebut kepada mereka dan Kalam Ilahi yang demikian
indah menawan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata keindahannya sempat
mengetuk gendang telinga mereka, maka seakan mereka mengesampingkan apa yang
selama ini mereka lakukan dan setiap orang terkonsentrasi untuk mendengarkannya
sehingga tidak ada yang terlintas di hatinya selain kalam itu. Lalu sampailah
beliau pada akhir surat ini, berupa ketukan-ketukan yang membawa hati seakan terbang
melayang, beliau membaca firman-Nya,
فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا.
"Maka bersujudlah kepada Allah
dan sembahlah Dia." (an-Najm: 62),
Kemudian beliau pun sujud.
Melihat pemandangan itu, tak seorang pun dari mereka yang dapat menahan dirinya
untuk tidak sujud, sehingga mereka pun sujud bersama beliau. Sebenarnya,
keindah-menawanan al-Haq telah meluluhlantakkan kebatuan yang meliputi jiwa
kaum yang takabbur dan suka mengejek; mereka semua tak sanggup menahannya
bahkan bersimpuh sujud kepada Allah. (Imam al-Bukhariy meriwayatkan kisah sujud
ini secara singkat dari hadits yang diriwa yatkan oleh Ibnu Mas'ud dan Ibnu
Abbas. Lihat bab: Sajdatun Najm dan bab Sujúdul Muslimin wal musyrikin, 1/146,
dan bab: Ma Lagiyan Nabiyya wa Askhabuhu Minal Musyrikin bi Makkah, 1/534).
Mereka linglung dan tak
tahu harus berbuat apa, manakala keagungan Kalamullah telah memelintir kendali
yang selama ini mereka pegang sehingga membuat mereka melakukan sesuatu yang
selama ini justru dengan susah payah berusaha mereka hapus dan lenyapkan. Kejadian
tersebut mendapatkan kecaman dari teman-teman mereka yang tidak sempat hadir
ketika itu. Maka, mereka merasa inilah momen bagi mereka untuk mendustakan
Rasulullah dengan membalikkan fakta yang sebenarnya, bahwa yang terjadi adalah
beliau mengungkapkan kata-kata penghormatan terhadap berhala-berhala, yaitu
beliau mengatakan "itulah al-Gharaniq yang Mulia, yang syafa'atnya selalu
diharap-harapkan."
Isu bohong ini mereka
gembar-gemborkan agar dapat menjadi alasan sujud mereka bersama Nabi ketika
itu. Tentunya, hal ini tidak begitu mengherankan sekali sebab sumbernya adalah
dari orang yang selama ini pekerjaannya suka mengarang-ngarang dusta serta
menghembuskan isu.
Berita tersebut (tentang
sujudnya kaum Quraisy-penj.,) sampai ke telinga kaum Muslimin yang berhijrah di
Habasyah akan tetapi versi beritanya sangat bertentangan dengan realitas yang
sebenarnya. Yaitu, yang sampai kepada mereka bahwa kaum Quraisy telah masuk
Islam. Oleh karena itu, merekapun kembali ke Mekkah pada bulan Syawwal di tahun
yang sama, namun ketika mereka berada di tempat yang tidak berapa jauh dari
Mekkah, yaitu sesaat di waktu siang, dan mereka akhirnya mengetahui duduk
persoalannya; sebagian mereka ada yang kembali lagi ke Habasyah sedangkan
sebagian yang lain ada yang memasuki Mekkah secara diam-diam atau berlindung di
bawah jaminan salah seorang tokoh Quraisy.
(Zadul Ma’aad 1/24.11/4, Ibnu Hisyam, op.cit. h 364).
Hijrah Kedua Ke Negeri Habasyah
Setelah peristiwa
tersebut, kaum Quraisy meningkatkan frekuensi penindasan dan penyiksaan
terhadap mereka dan terhadap kaum Muslimin secara umum, juga tak ketinggalan
keluarga besar suku mereka sendiri memperlakukan hal yang hampir sama. Meskipun
demikian, kaum Quraisy sulit menerima berita mereka, bahwa an-Najasyi adalah
seorang raja yang memperlakukan tamunya dengan baik. Maka, Rasulullah melihat
tidak ada jalan lain kecuali menyarankan para sahabatnya berhijrah kembali ke
negeri Habasyah.
Perjalanan hijrah kali ini
dirasakan amat sulit dibanding perjalanan sebelumnya mengingat kaum Quraisy
dalam keadaan waspada dan bertekad untuk menggagalkannya. Akan tetapi, Allah
memudahkan perjalanan kaum Muslimin sehingga mereka bergerak lebih cepat dan
berangkat menuju kerajaan an-Najasyi sebelum kaum Quraisy mendengar
keberangkatannya.
Hijrah kali ini membawa
rombongan yang terdiri dari 83 orang laki-laki -jika Ammar bin Yasir terhitung
di dalamnya, sebab, riwayat yang menyatakan keikutsertaannya dalam rombongan
ini masih diragukan kevalidannya- dan 18 atau 19 orang wanita. (Lihat Zadul
Ma'ad, Ibid., 1/24).
Kaum Quraisy Untuk
Memperdaya Kaum Muslimin Yang Berhijrah Ke Habasyah
Kaum musyrikin merasa tidak senang
ketika kaum Muhajirin tersebut mendapatkan tempat berlindung bagi diri dan
agama mereka. Untuk itulah, mereka mengutus dua orang pilihan yang dikenal
sebagai orang yang telah teruji lagi cerdik, yaitu 'Amr bin al-'Ash dan
'Abdullah bin Abi Rabi'ah sebelum keduanya masuk Islam-. Keduanya membawa
titipan hadiah yang menggiurkan dari pemuka Quraisy untuk an-Najasyi dan para
uskupnya. Kedua orang ini mempersembahkan hadiah kepada para uskup terlebih
dahulu sambil membekali mereka beberapa alasan yang dapat menyebabkan kaum
Muslimin dapat terusir dari Habasyah.
Setelah para uskup
menyetujui untuk mengangkat permintaan keduanya tersebut kepada an-Najasyi agar
mengusir kaum Muslimin, keduanya langsung menghadap kepada sang raja,
menyerahkan beberapa buah hadiah kepadanya lalu berbicara dengannya. Keduanya
berkata, "Wahai baginda raja! Sesungguhnya sekelompok yang masih bau
kencur memasuki negeri baginda sebagai orang asing, mereka telah meninggalkan
agama kaum mereka, sekalipun begitu, mereka tidak juga menganut agama baginda
bahkan mereka membawa agama baru yang tidak kami ketahui, demikian juga dengan
baginda. Kami di sini, adalah sebagai utusan kepada baginda. Di antara orang
yang mengutus kami tersebut ada yang merupakan pemuka kaum mereka, baik itu
orang tua, paman-paman serta keluarga besar suku mereka agar tuan mengembalikan
para pendatang ini kepada mereka tentunya, mereka lebih banyak memantau tindak
tanduk para pendatang tersebut, lebih mengetahui cela mereka, dan telah menegur
mereka dalam hal ini."
Para uskup serta-merta
menimpali, "Benar apa yang dikatakan oleh keduanya wahai baginda raja!
Serahkanlah mereka kepada keduanya agar keduanya membawa mereka pulang ke kaum
dan negeri mereka."
Akan tetapi an-Najasyi berpandangan
bahwa masalah ini perlu ada kejelasan dan perlu mendengarkan dari kedua belah
pihak sekaligus. Lalu dia mengutus orang untuk menemui kaum Muslimin dan
mengundang mereka untuk hadir. Mereka-pun hadir, setelah sebelumnya bersepakat
akan mengatakan sejujur-jujurnya apa-pun yang akan terjadi.
An-Najasyi berkata kepada mereka,
"Apa gerangan agama yang membuat kalian memisahkan diri dari kaum kalian
dan tidak membuat kalian masuk ke dalam agamaku atau agama-agama yang
lain?."
Ja'far bin Abi Thalib selalu juru
bicara kaum Muslimin bertutur:
"Wahai baginda raja! Kami
dahulunya adalah kaum Jahiliyyah (hidup dalam kebodohan); menyembah berhala,
memakan bangkai binatang, melakukan perbuatan keji, memutus tali rahim, suka
mengusik tetangga. Kaum yang kuat di antara kami menindas kaum yang lemah.
Demikianlah kondisi kami ketika itu, hingga Allah mengutus kepada kami seorang
rasul dari bangsa kami sendiri yang kami kami ketahui jelas nasab, kejujuran,
amanat serta kesucian dirinya. Lalu dia mengajak kami untuk mentauhidkan dan
menyembah Allah serta agar kami tidak lagi menyembah batu dan berhala yang dulu
disembah oleh nenek moyang kami. Beliau memerintahkan kami agar jujur dalam
bicara, melaksanakan amanat, menyambung tali rahim, berbuat baik kepada
tetangga dan menghindari pertumpahan darah. Dia melarang kami melakukan
perbuatan yang keji, berbicara dusta, memakan harta anak yatim serta menuduh
wanita yang suci melakukan zina tanpa bukti. Beliau memerintahkan kami agar
menyembah Allah semata, tidak menyeku-tukan-Nya dengan sesuatupun, memerintahkan
kami agar melakukan shalat, membayar zakat, berpuasa, (....selanjutnya Ja'far
menyebutkan lalu kami membenarkan hal itu semua dan hal-hal lainnya) beriman
kepadanya. Kami ikuti ajaran yang dibawanya dari Allah; kami sembah Allah
semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu-pun, apa yang diharamkannya
atas kami, kami pun mengharamkannya dan apa yang dihalalkannya bagi kami, kami
pun menghalalkannya. Lantaran itu, kaum kami malah memusuhi kami, menyiksa, dan
membujuk kami agar keluar dari agama yang memerintahkan kami beribadah kepada
Allah, dan mengajak kami kembali menyembah berhala-berhala, menghalalkan
melakukan perbuatan-perbuatan keji yang dahulu pernah kami lakukan. Maka
tatkala mereka memaksa kami, menganiaya, mempersempit ruang gerak serta
menghalangi kami agar tidak dapat melakukan ritual agama, kami akhirnya menempuh
jalan menyelamatkan diri menuju negeri baginda. Kami lebih memilih baginda
daripada yang lain lebih suka berada di bawah perlindungan baginda. Ini semua
dengan harapan agar kami tidak terzhalimi disisimu, wahai baginda raja!."
An-Najasyi bertanya, "Apakah ada
bukti yang dibawanya dari Allah bersama kalian?."
Ja'far menjawab, "Ya! Ada."
An-Najasyi bertanya lagi,
"bacakan dihadapanku!."
Lalu dia membacakan permulaan surat
Maryam.
Manakala mendengar lantunan ayat
tersebut, Demi Allah! (ucapan ini sebenarnya berasal dari penutur kisah ini,
yaitu Ummu Salamah yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri peristiwa
itu-penj.,) sang raja-pun menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya.
Demikian pula dengan para uskupnya hingga air mata mereka membasahi
lembaran-lembaran-kitab suci yang berada di tangan mereka. Kemudian an-Najasyi
berkata kepada mereka,
"Sesungguhnya ini dan apa yang
dibawa oleh 'Isa adalah bersumber dari satu lentera."
Lalu kepada kedua utusan Quraisy, dia
berkata, "Pergilah kalian berdua, demi Allah, sekali-kali tidak akan aku
serahkan mereka kepada kalian dan hal itu tidak akan terjadi.."
Keduanya keluar namun 'Amr bin
al-'Ash sempat berkata kepada 'Abdullah bin Rabi'ah, "Demi Allah! sungguh
akan aku datangi lagi dia besok pagi untuk membicarakan perihal mereka dan akan
aku satrnoni mereka (mementahkan argumentasi kaum Muslimin-penj.) sebagaimana
aku menyatroni ladang mereka."
Abdullah bin Rabi'ah berkata,
"Jangan kamu lakukan itu! Sesungguhnya mereka itu masih memiliki hubungan
tali rahim dengan kita sekalipun mereka menyelisihi kita."
Akan tetapi 'Amr tetap bersikeras
dengan tekadnya.
Benar saja, keesokan harinya dia
mendatangi an-Najasyi dan berkata kepadanya, "Wahai baginda raja!
Sesungguhnya mereka itu mengatakan suatu perkataan yang sangat serius terhadap
'Isa bin Maryam."
An-Najasyi lalu mengirim utusan
kepada kaum Muslimin untuk mempertanyakan perihal pendapat mereka tentang 'Isa
al-Masih tersebut. Mereka sempat kaget menyikapi hal itu, namun akhirnya tetap
bersepakat untuk berkata dengan sejujur-jujurnya apapun yang terjadi. Ketika
mereka sudah berada di hadapan sang raja dan dia bertanya kepada mereka tentang
hal itu, Ja'far berkata kepadanya, "Kami mengatakan tentangnya sebagaimana
yang diberitahukan kepada kami oleh Nabi kami 'Dia adalah hamba Allah,
Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, si perawan
suci."
An-Najasyi kemudian memungut sebatang
ranting pohon dari tanah seraya berujar, "Demi Allah! apa yang kamu
ungkapkan itu tidak melangkahi 'Isa bin Maryam meski seukuran ranting
ini."
Mendengar itu, para uskup mendengus,
dan dengusan itu langsung ditimpalinya, 'Demi Allah! sekalipun kalian
mendengus."
Dia kemudian berkata kepada kaum
Muslimin, "Pergilah! Kalian akan aman di negeriku. Siapa saja yang mencela
kalian, maka dia akan dikenai sanksi, aku tidak ingin memiliki gunung emas jika
dengan cara harus menyakiti salah seorang di antara kalian."
Kemudian an-Najasyi berkata kepada
para pejabat istana, "Kembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada keduanya,
karena aku tidak memerlukannya. Demi Allah! Tatkala Allah Ta'ala mengembalikan
kekuasaan ini kepadaku, Dia tidak pernah mengambil suap dariku, sehingga aku
merasa patut mengambil suap (dengan memanfaatkan) kekuasaanku dan ketentuanku
yang dipatuhi oleh manusia aku pun akan mematuhinya."
Ummu Salamah yang meriwayatkan kisah
ini berkata, "Kemudian keduanya keluar dari hadapannya dengan raut muka
yang kusam karena alasan yang mereka kemukakan tertolak sama sekali. Setelah
itu, kami menetap di sisinya, sebaik-baik tempat singgah bersama sebaik-baik
tetangga." (Diringkas dari Ibnu Hisyam, Op.cit, h.334-338).
-----000-----
Sumber Ar-Rahiqu Al-Makhtum
Syaikh Shafiyurrahman al Mubarakfury.
Ditulis ulang oleh Abu Ibrahim
Junaedi Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar