Jumat, 14 November 2025

KISAH RASULULLAH SERI KE 7, HIJRAH PARA SAHABAT KEHABASYAH PERTAMA DAN KEDUA

 



HIJRAH PARA SAHABAT

 

Aktivitas Di Darul Arqam

 

Merupakan suatu hikmah (hal yang bijak) dalam menyingkapi penindasan-penindasan tersebut, Rasulullah melarang kaum Muslimin memproklamirkan keislaman mereka, baik dalam bentuk perkataan maupun tindakan serta tidak mengizinkan mereka bertemu dengan beliau kecuali secara rahasia, karena bila mereka bertemu dengan beliau secara terbuka, maka tidak diragukan lagi kaum musyrikin akan membatasi ruang gerak beliau sehingga keinginan beliau untuk mentazkiyah (menyucikan diri) kaum Muslimin dan mengajarkan mereka al-Kitab dan as-Sunnah akan terhalangi.

Dan tidak tertutup kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya benturan antara ke dua belah pihak, bahkan hal itu benar-benar terjadi pada tahun ke empat kenabian, yaitu manakala sahabat-sahabat Rasulullah berkumpul di lereng-lereng perbukitan tempat mereka melakukan shalat secara rahasia. Tiba-tiba, hal itu terlihat oleh beberapa orang kafir Quraisy, lalu mencaci-maki dan memerangi kaum Muslimin. Hal ini mengakibatkan Sa'ad bin Abi Waqqash memukul salah satu dari mereka sehingga mengalirlah darahnya ketika itu. Inilah, darah pertama yang mengalir dalam Islam.(Ibnu Hisyam, Op.cit., h.263).

Bisa diketahui akibatnya benturan ini berulang kali terjadi dan berkepanjangan, tentunya akan berdampak pada penghancuran dan pembantaian terhadap kaum Muslimin. Oleh karena itu, adalah bijak untuk (melakukan siasat) sembunyi-sembunyi. Umumnya para sahabat menyembunyikan keislaman, peribadatan, dakwah dan pertemuan mereka. Sedangkan Rasulullah tetap berdakwah dan beribadah secara terbuka di depan mata kepala kaum musyrikin. Tidak ada sesuatupun yang dapat menghalang-halanginya. Namun demikian, beliau tetap melakukan pertemuan dengan kaum Muslimin secara rahasia demi kepentingan mereka dan agama Islam.

Rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam al-Makhzumiy terletak di atas bukit shafa dan terpencil sehingga luput dari intaian mata para Thaghut dan bahan pembicaraan pertemuan-pertemuan mereka. Tempat itulah yang dijadikan Rasulullah sebagai pusat dakwah dan pertemuan beliau dengan kaum Muslimin. Di dalam rumah tersebut, beliau membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan hati mereka serta mengajarkan mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah).

 

Hijrah Pertama Menuju Negeri Habasyah (Ethiopia)

 

Penindasan terhadap kaum Muslimin pada pertengahan atau akhir tahun ke-4 kenabian. Pada mulanya tidak seberapa, namun kemudian dari hari ke hari dan dari bulan ke bulan berubah menjadi lebih keras, dan semakin menghebat pada pertengahan tahun ke-5, kenabian sehingga seakan tiada tempat lagi bagi mereka di Mekkah dan memotifasi mereka untuk memikirkan cara meloloskan diri dari siksaan-siksaan tersebut. Dalam kondisi yang seperti inilah, turun surat az-Zumar yang mengisyaratkan perlunya berhijrah dan memberitahukan bahwa bumi Allah tidaklah sempit. Hal ini, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗوَاَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةٌ.

“..Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Bumi Allah itu luas.(QS. Az-Zumar[39]:10).

Rasulullah telah mengetahui bahwa Ashhimah an-Najasyiy, raja Habasyah adalah seorang yang adil, tidak seorang pun yang terzhalimi olehnya. Karena itu, beliau memerintahkan kaum Muslimin agar berhijrah ke sana guna menyelamatkan agama mereka dari fitnah.

Pada bulan Rajab tahun ke-5 kenabian, berhijrah rombongan pertama dari kalangan para sahabat menuju negeri Habasyah (berjarak kurang lebih 1000 km pen.). Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita, dikepalai oleh 'Utsman bin 'Affan yang membawa serta Ruqayyah putri Rasulullah Rasulullah bersabda tentang keduanya, "Sesungguhnya mereka berdua adalah keluarga pertama yang berhijrah di jalan Allah setelah apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Luth. (Lihat Zadul Ma'ad, 1/24).

Kepergian mereka dilakukan dengan mengendap-endap pada malam yang gelap-gulita agar tidak diketahui oleh kaum Quraisy menuju laut, kemudian mengarah ke pelabuhan Sya'ibah. Ternyata, takdir mereka sejalan dan seiring dengan itu dimana ketika itu ada dua buah kapal dagang yang akan berlayar menuju Habasyah dan mereka pun ikut serta bersamanya. Kaum Quraisy akhirnya mengetahui hal itu, lalu menelusuri jejak perjalanan kaum Muslimin akan tetapi tatkala mereka sampai di tepi pantai, kaum Muslimin telah bertolak dengan aman. Akhirnya, kaum Muslimin menetap di Habasyah dan mendapatkan sebaik-baik perlindungan.

Kisah Sujudnya Kaum musyrikin

 

Pada bulan Ramadhan di tahun yang sama, Rasulullah pergi ke mesjid al-Haram. Di sana banyak berkumpul kaum Quraisy, terdiri dari para pemuka dan tokoh-tokoh mereka. Beliau kemudian berdiri di tengah mereka dan mendadak membaca surat an-Najm. Orang-orang kafir tersebut, sebelumnya tidak pernah mendengarkan secara langsung Kalamullah, karena program yang mereka lancarkan secara kontinyu adalah melakukan apa yang apa yang saling mereka nasehatkan satu sama lain. Sebagaimana diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya,

لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْءَانِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ.

"...Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)." (QS. Fushshilat: 26).

Maka, manakala secara mendadak, beliau membacakan surat tersebut kepada mereka dan Kalam Ilahi yang demikian indah menawan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata keindahannya sempat mengetuk gendang telinga mereka, maka seakan mereka mengesampingkan apa yang selama ini mereka lakukan dan setiap orang terkonsentrasi untuk mendengarkannya sehingga tidak ada yang terlintas di hatinya selain kalam itu. Lalu sampailah beliau pada akhir surat ini, berupa ketukan-ketukan yang membawa hati seakan terbang melayang, beliau membaca firman-Nya,

فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا.

"Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah Dia." (an-Najm: 62),

Kemudian beliau pun sujud. Melihat pemandangan itu, tak seorang pun dari mereka yang dapat menahan dirinya untuk tidak sujud, sehingga mereka pun sujud bersama beliau. Sebenarnya, keindah-menawanan al-Haq telah meluluhlantakkan kebatuan yang meliputi jiwa kaum yang takabbur dan suka mengejek; mereka semua tak sanggup menahannya bahkan bersimpuh sujud kepada Allah. (Imam al-Bukhariy meriwayatkan kisah sujud ini secara singkat dari hadits yang diriwa yatkan oleh Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas. Lihat bab: Sajdatun Najm dan bab Sujúdul Muslimin wal musyrikin, 1/146, dan bab: Ma Lagiyan Nabiyya wa Askhabuhu Minal Musyrikin bi Makkah, 1/534).

Mereka linglung dan tak tahu harus berbuat apa, manakala keagungan Kalamullah telah memelintir kendali yang selama ini mereka pegang sehingga membuat mereka melakukan sesuatu yang selama ini justru dengan susah payah berusaha mereka hapus dan lenyapkan. Kejadian tersebut mendapatkan kecaman dari teman-teman mereka yang tidak sempat hadir ketika itu. Maka, mereka merasa inilah momen bagi mereka untuk mendustakan Rasulullah dengan membalikkan fakta yang sebenarnya, bahwa yang terjadi adalah beliau mengungkapkan kata-kata penghormatan terhadap berhala-berhala, yaitu beliau mengatakan "itulah al-Gharaniq yang Mulia, yang syafa'atnya selalu diharap-harapkan."

Isu bohong ini mereka gembar-gemborkan agar dapat menjadi alasan sujud mereka bersama Nabi ketika itu. Tentunya, hal ini tidak begitu mengherankan sekali sebab sumbernya adalah dari orang yang selama ini pekerjaannya suka mengarang-ngarang dusta serta menghembuskan isu.

Berita tersebut (tentang sujudnya kaum Quraisy-penj.,) sampai ke telinga kaum Muslimin yang berhijrah di Habasyah akan tetapi versi beritanya sangat bertentangan dengan realitas yang sebenarnya. Yaitu, yang sampai kepada mereka bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Oleh karena itu, merekapun kembali ke Mekkah pada bulan Syawwal di tahun yang sama, namun ketika mereka berada di tempat yang tidak berapa jauh dari Mekkah, yaitu sesaat di waktu siang, dan mereka akhirnya mengetahui duduk persoalannya; sebagian mereka ada yang kembali lagi ke Habasyah sedangkan sebagian yang lain ada yang memasuki Mekkah secara diam-diam atau berlindung di bawah jaminan salah seorang tokoh Quraisy.  (Zadul Ma’aad 1/24.11/4, Ibnu Hisyam, op.cit. h 364).

Hijrah Kedua Ke Negeri Habasyah

Setelah peristiwa tersebut, kaum Quraisy meningkatkan frekuensi penindasan dan penyiksaan terhadap mereka dan terhadap kaum Muslimin secara umum, juga tak ketinggalan keluarga besar suku mereka sendiri memperlakukan hal yang hampir sama. Meskipun demikian, kaum Quraisy sulit menerima berita mereka, bahwa an-Najasyi adalah seorang raja yang memperlakukan tamunya dengan baik. Maka, Rasulullah melihat tidak ada jalan lain kecuali menyarankan para sahabatnya berhijrah kembali ke negeri Habasyah.

Perjalanan hijrah kali ini dirasakan amat sulit dibanding perjalanan sebelumnya mengingat kaum Quraisy dalam keadaan waspada dan bertekad untuk menggagalkannya. Akan tetapi, Allah memudahkan perjalanan kaum Muslimin sehingga mereka bergerak lebih cepat dan berangkat menuju kerajaan an-Najasyi sebelum kaum Quraisy mendengar keberangkatannya.

Hijrah kali ini membawa rombongan yang terdiri dari 83 orang laki-laki -jika Ammar bin Yasir terhitung di dalamnya, sebab, riwayat yang menyatakan keikutsertaannya dalam rombongan ini masih diragukan kevalidannya- dan 18 atau 19 orang wanita. (Lihat Zadul Ma'ad, Ibid., 1/24).

Kaum Quraisy Untuk Memperdaya Kaum Muslimin Yang Berhijrah Ke Habasyah

Kaum musyrikin merasa tidak senang ketika kaum Muhajirin tersebut mendapatkan tempat berlindung bagi diri dan agama mereka. Untuk itulah, mereka mengutus dua orang pilihan yang dikenal sebagai orang yang telah teruji lagi cerdik, yaitu 'Amr bin al-'Ash dan 'Abdullah bin Abi Rabi'ah sebelum keduanya masuk Islam-. Keduanya membawa titipan hadiah yang menggiurkan dari pemuka Quraisy untuk an-Najasyi dan para uskupnya. Kedua orang ini mempersembahkan hadiah kepada para uskup terlebih dahulu sambil membekali mereka beberapa alasan yang dapat menyebabkan kaum Muslimin dapat terusir dari Habasyah.

Setelah para uskup menyetujui untuk mengangkat permintaan keduanya tersebut kepada an-Najasyi agar mengusir kaum Muslimin, keduanya langsung menghadap kepada sang raja, menyerahkan beberapa buah hadiah kepadanya lalu berbicara dengannya. Keduanya berkata, "Wahai baginda raja! Sesungguhnya sekelompok yang masih bau kencur memasuki negeri baginda sebagai orang asing, mereka telah meninggalkan agama kaum mereka, sekalipun begitu, mereka tidak juga menganut agama baginda bahkan mereka membawa agama baru yang tidak kami ketahui, demikian juga dengan baginda. Kami di sini, adalah sebagai utusan kepada baginda. Di antara orang yang mengutus kami tersebut ada yang merupakan pemuka kaum mereka, baik itu orang tua, paman-paman serta keluarga besar suku mereka agar tuan mengembalikan para pendatang ini kepada mereka tentunya, mereka lebih banyak memantau tindak tanduk para pendatang tersebut, lebih mengetahui cela mereka, dan telah menegur mereka dalam hal ini."

Para uskup serta-merta menimpali, "Benar apa yang dikatakan oleh keduanya wahai baginda raja! Serahkanlah mereka kepada keduanya agar keduanya membawa mereka pulang ke kaum dan negeri mereka."

Akan tetapi an-Najasyi berpandangan bahwa masalah ini perlu ada kejelasan dan perlu mendengarkan dari kedua belah pihak sekaligus. Lalu dia mengutus orang untuk menemui kaum Muslimin dan mengundang mereka untuk hadir. Mereka-pun hadir, setelah sebelumnya bersepakat akan mengatakan sejujur-jujurnya apa-pun yang akan terjadi.

An-Najasyi berkata kepada mereka, "Apa gerangan agama yang membuat kalian memisahkan diri dari kaum kalian dan tidak membuat kalian masuk ke dalam agamaku atau agama-agama yang lain?."

Ja'far bin Abi Thalib selalu juru bicara kaum Muslimin bertutur:

"Wahai baginda raja! Kami dahulunya adalah kaum Jahiliyyah (hidup dalam kebodohan); menyembah berhala, memakan bangkai binatang, melakukan perbuatan keji, memutus tali rahim, suka mengusik tetangga. Kaum yang kuat di antara kami menindas kaum yang lemah. Demikianlah kondisi kami ketika itu, hingga Allah mengutus kepada kami seorang rasul dari bangsa kami sendiri yang kami kami ketahui jelas nasab, kejujuran, amanat serta kesucian dirinya. Lalu dia mengajak kami untuk mentauhidkan dan menyembah Allah serta agar kami tidak lagi menyembah batu dan berhala yang dulu disembah oleh nenek moyang kami. Beliau memerintahkan kami agar jujur dalam bicara, melaksanakan amanat, menyambung tali rahim, berbuat baik kepada tetangga dan menghindari pertumpahan darah. Dia melarang kami melakukan perbuatan yang keji, berbicara dusta, memakan harta anak yatim serta menuduh wanita yang suci melakukan zina tanpa bukti. Beliau memerintahkan kami agar menyembah Allah semata, tidak menyeku-tukan-Nya dengan sesuatupun, memerintahkan kami agar melakukan shalat, membayar zakat, berpuasa, (....selanjutnya Ja'far menyebutkan lalu kami membenarkan hal itu semua dan hal-hal lainnya) beriman kepadanya. Kami ikuti ajaran yang dibawanya dari Allah; kami sembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu-pun, apa yang diharamkannya atas kami, kami pun mengharamkannya dan apa yang dihalalkannya bagi kami, kami pun menghalalkannya. Lantaran itu, kaum kami malah memusuhi kami, menyiksa, dan membujuk kami agar keluar dari agama yang memerintahkan kami beribadah kepada Allah, dan mengajak kami kembali menyembah berhala-berhala, menghalalkan melakukan perbuatan-perbuatan keji yang dahulu pernah kami lakukan. Maka tatkala mereka memaksa kami, menganiaya, mempersempit ruang gerak serta menghalangi kami agar tidak dapat melakukan ritual agama, kami akhirnya menempuh jalan menyelamatkan diri menuju negeri baginda. Kami lebih memilih baginda daripada yang lain lebih suka berada di bawah perlindungan baginda. Ini semua dengan harapan agar kami tidak terzhalimi disisimu, wahai baginda raja!."

 

An-Najasyi bertanya, "Apakah ada bukti yang dibawanya dari Allah bersama kalian?."

Ja'far menjawab, "Ya! Ada."

An-Najasyi bertanya lagi, "bacakan dihadapanku!."

Lalu dia membacakan permulaan surat Maryam.

Manakala mendengar lantunan ayat tersebut, Demi Allah! (ucapan ini sebenarnya berasal dari penutur kisah ini, yaitu Ummu Salamah yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri peristiwa itu-penj.,) sang raja-pun menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya. Demikian pula dengan para uskupnya hingga air mata mereka membasahi lembaran-lembaran-kitab suci yang berada di tangan mereka. Kemudian an-Najasyi berkata kepada mereka,

"Sesungguhnya ini dan apa yang dibawa oleh 'Isa adalah bersumber dari satu lentera."

Lalu kepada kedua utusan Quraisy, dia berkata, "Pergilah kalian berdua, demi Allah, sekali-kali tidak akan aku serahkan mereka kepada kalian dan hal itu tidak akan terjadi.."

Keduanya keluar namun 'Amr bin al-'Ash sempat berkata kepada 'Abdullah bin Rabi'ah, "Demi Allah! sungguh akan aku datangi lagi dia besok pagi untuk membicarakan perihal mereka dan akan aku satrnoni mereka (mementahkan argumentasi kaum Muslimin-penj.) sebagaimana aku menyatroni ladang mereka."

Abdullah bin Rabi'ah berkata, "Jangan kamu lakukan itu! Sesungguhnya mereka itu masih memiliki hubungan tali rahim dengan kita sekalipun mereka menyelisihi kita."

Akan tetapi 'Amr tetap bersikeras dengan tekadnya.

Benar saja, keesokan harinya dia mendatangi an-Najasyi dan berkata kepadanya, "Wahai baginda raja! Sesungguhnya mereka itu mengatakan suatu perkataan yang sangat serius terhadap 'Isa bin Maryam."

An-Najasyi lalu mengirim utusan kepada kaum Muslimin untuk mempertanyakan perihal pendapat mereka tentang 'Isa al-Masih tersebut. Mereka sempat kaget menyikapi hal itu, namun akhirnya tetap bersepakat untuk berkata dengan sejujur-jujurnya apapun yang terjadi. Ketika mereka sudah berada di hadapan sang raja dan dia bertanya kepada mereka tentang hal itu, Ja'far berkata kepadanya, "Kami mengatakan tentangnya sebagaimana yang diberitahukan kepada kami oleh Nabi kami 'Dia adalah hamba Allah, Rasul-Nya, ruh-Nya dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, si perawan suci."

An-Najasyi kemudian memungut sebatang ranting pohon dari tanah seraya berujar, "Demi Allah! apa yang kamu ungkapkan itu tidak melangkahi 'Isa bin Maryam meski seukuran ranting ini."

Mendengar itu, para uskup mendengus, dan dengusan itu langsung ditimpalinya, 'Demi Allah! sekalipun kalian mendengus."

Dia kemudian berkata kepada kaum Muslimin, "Pergilah! Kalian akan aman di negeriku. Siapa saja yang mencela kalian, maka dia akan dikenai sanksi, aku tidak ingin memiliki gunung emas jika dengan cara harus menyakiti salah seorang di antara kalian."

Kemudian an-Najasyi berkata kepada para pejabat istana, "Kembalikan hadiah-hadiah tersebut kepada keduanya, karena aku tidak memerlukannya. Demi Allah! Tatkala Allah Ta'ala mengembalikan kekuasaan ini kepadaku, Dia tidak pernah mengambil suap dariku, sehingga aku merasa patut mengambil suap (dengan memanfaatkan) kekuasaanku dan ketentuanku yang dipatuhi oleh manusia aku pun akan mematuhinya."

Ummu Salamah yang meriwayatkan kisah ini berkata, "Kemudian keduanya keluar dari hadapannya dengan raut muka yang kusam karena alasan yang mereka kemukakan tertolak sama sekali. Setelah itu, kami menetap di sisinya, sebaik-baik tempat singgah bersama sebaik-baik tetangga." (Diringkas dari Ibnu Hisyam, Op.cit, h.334-338).

 

-----000-----

 

 Sumber Ar-Rahiqu Al-Makhtum

Syaikh Shafiyurrahman al Mubarakfury.

 

Ditulis ulang oleh Abu Ibrahim Junaedi Abdullah.

 

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HADITS KE 19 JAGALAH ALLAH.

  HADITS KE 19 WASIAT RASULULLAH KEPADA IBNU ABBAS   عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ ﷺ يَوْمًا فَق...