HADITS KE 19
WASIAT
RASULULLAH KEPADA IBNU ABBAS
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ ﷺ يَوْمًا فَقَالَ : يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ : احْفَظِ
اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظِ اللَّهُ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ
اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ
لَوْ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا
بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ, وَإِنِ
اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ
كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ, رُفِعَتِ
الْأَفْلَامُ وَحُقَّتِ الصُّحُفُ.
وَفِي
رِوَايَةٍ غَيْرَ التِرْمِذِيُّ : احْفَظِ اللَّهَ تَحِدُهُ أَمَامَكَ, تَعَرَّفْ
إِلَى اللَّهِ فِي الرِّجَاءِ يَعْرِفُكَ فِي الشِّدَّةِ, وَاعْلَمْ أَنَّ مَا
أَخْطَأَكَلَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ, وَمَا
أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ, وَاعْلَمْ
أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ, وَأَنَّ
الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.
Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, "Suatu hari saya dibonceng di
belakang Nabi, maka beliau bersabda, "Wahai bocah, aku akan mengajarkan
kepadamu beberapa perkara. Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah
Allah, niscaya Dia akan selalu berada di hadapanmu. Jika kamu meminta, mintalah
hanya kepada Allah. Jika kamu memohon pertolongan, mohonlah pertolongan hanya
kepada Allah. Ketahuilah jika suatu umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat
kepadamu, mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikit pun kecuali apa
yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan jika mereka berkumpul untuk
mencelakakanmu, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali jika hal itu telah
Allah tetapkan bagimu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering."
(HR. Tirmidzi dan beliau berkata, "Hadits ini hasan shahih" (HR.
Tirmidzi 2516, Ahmad 1:293).
Dalam riwayat selain Tirmidzi disebutkan, "Jagalah Allah, pasti
kamu mendapati-Nya di hadapanmu. Ingatlah Allah di waktu lapang (senang),
niscaya Allah akan mengingatmu di waktu sempit (susah). Ketahuilah bahwa apa
yang semestinya tidak menimpa kamu, maka hal itu tidak akan menimpamu, dan apa
yang semestinya menimpamu tidak akan terhindar darimu. Ketahuilah, sesungguhnya
kemenangan mengiringi kesabaran, dan jalan keluar itu bersama dengan kesulitan
itu sendiri, dan kemudahan menyertai kesulitan yang ada.
Hadits ini mengandung wasiat agung dan kaidah umum untuk per-kara yang
paling penting dalam agama. Sehingga, ada ulama berkata, "Aku merenungi
hadits ini, aku sangat tercengang, hampir saja aku pingsan. Sungguh malang
sekali orang yang tidak mengetahui dan memahami hadits ini."
Bagaimana Cara Hamba
Menjaga Allah?
Sabda beliau, "Jagalah Allah..." maksudnya jagalah
batasan-batasan Allah dengan melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya.
Maksud penjagaan itu dengan tetap senantiasa mengerjakan perintah-Nya
dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Adapun menjaga batas-batas Allah yaitu
tidak melewati dan menabraknya, atau tidak melebihi batas-batas yang diizinkan.
Siapa yang melakukan hal tersebut, maka ia termasuk orang yang menjaga
batas-batas yang ditetapkan Allah yang Allah puji dalam kitab-Nya.
Allah ta'ala berfirman:
هَذَا مَا تُوعَدُونَ
لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٌ مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبِ.
"Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang
selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-pera-turan-Nya).
(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, sedang Dia tidak
kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat." (Qaf [50]:
32-33).
Kata hafizh pada ayat di atas ditafsirkan dengan orang yang menjaga
perintah-perintah Allah dan menjaga diri dari dosa-dosa dengan cara bertaubat.
1)
Menjaga Shalat.
Perintah Allah yang paling utama untuk dijaga adalah perkara shalat,
Allah telah memerintahkan untuk menjaganya.
Allah ta'ala berfirman:
حَافِظُوا عَلَى
الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَوةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَنِتِينَ .
"Peliharalah
segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyuk." (QS. Al-Baqarah [2] : 238)
Allah juga memuji mereka yang menjaganya. Dia
berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى
صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ.
"Dan orang-orang yang memelihara shalatnya."
(QS. Al-Ma'arij [70]:34).
Tentang hal
ini pula Nabi bersabda, "Barangsiapa yang menjaganya (shalat), maka
baginya ada janji di sisi Allah untuk memasukkan dirinya ke dalam jannah
(surga).(HR. Ahmad, V: 315, 317; Abu Dawud, no. 1420; Nasa'i, 1: 230).
2)
Menjaga Kesucian
Wudhu’.
Begitu pula
thaharah (bersuci), sebab ia merupakan kunci shalat itu sendiri. Nabi bersabda:
لَا يُحَافِظُ عَلَى
الْوُضُوْءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ.
"Tidak
ada yang senantiasa menjaga wudhu kecuali mukmin." (HR. Ahmad, V: 276,
280, 282: Ibnu Majah, no. 277).
3)
Menjaga Sumpah.
Perkara lain yang harus dijaga adalah sumpah.
Allah Ta'ala berfirman:
وَاحْفَظُوا أَيْمَنَكُمْ.
"...Maka jagalah sumpah kalian..."
(Al-Ma'idah [5]: 89)
Hal ini
disebabkan sumpah sering terjadi pada manusia, dan kebanyakan mereka sering
meremehkannya, mereka tidak menjaga dan menepatinya.
Termasuk pula
dalam hal ini, menjaga kepala dan perut, sebagaimana hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Mas'ud secara marfu':
الاسْتِحْيَاءُ مِنَ
اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا
حَوَى.
"Malu kepada Allah dengan sebenarnya adalah
engkau menjaga kepala berikut kandungan pemahamannya, dan perut beserta isinya.
" (HR. Ahmad di dalan Musnadnya, 1:387: Tirmidzi, no. 2458).
4)
Menjaga Lisan
dan Kemaluan.
Larangan-larangan Allah yang paling utama untuk dijaga
adalah lisan dan kemaluan. Dalam hadits Abu Hurairah disebutkan, dari Nabi
bahwa beliau bersabda:
مَنْ حَفِظَ مَا بَيْنَ
لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ.
"Barangsiapa yang menjaga sesuatu di antara kedua
tulang rahangnya (lisan) dan kedua kakinya (kemaluan), maka ia masuk jannah
(surga). ( HR, Hakim di dalam Al-Mustadrak, IV: 357).
Allah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dan memuji
orang-orang yang menjaganya.
Allah ta'ala berfirman:
قُل لِلْمُؤْمِنِينَ
يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ
إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ.
"Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya'; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (QS. An-Nur
[24]: 30).
Allah juga berfirman:
وَالْحَفِظِينَ
فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ..
"...Laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya..." (QS. Al-
Ahzab [33]: 35).
Penjagaan Allah terhadap Hamba-Nya
Sabda beliau, "Niscaya Allah akan
menjagamu." Maknanya, barangsiapa yang menjaga batasan-batasan Allah,
menunaikan hak-hak-Nya, maka Allah akan menjaganya. Sebab, balasan itu sesuai
dengan jenis amal.
Penjagaan Allah kepada hamba-Nya ada dua macam,
yaitu:
Pertama,
penjagaan Allah kepadanya dalam hal kemaslahatan dunianya, seperti penjagaan
terhadap tubuh, anak, keluarga dan hartanya. Siapa yang menjaga Allah di waktu
muda dan kuatnya, maka Allah akan menjaganya di waktu tua dan melemah
kekuatannya, dan Allah akan me-nguatkan pendengaran, penglihatan, kekuatan, dan
akalnya.
Terkadang
Allah menjaga keturunan hamba-Nya lantaran keshalihannya setelah kematiannya.
Sebagaimana firman-Nya,
وَكَانَ اَبُوْهُمَا
صَالِحًا.
"...Sedang
ayahnya adalah seorang yang shalih..." (QS. Al-Kahfi [18]: 82); kedua anak
itu dijaga lantaran keshalihan ayahnya.
Sa'id bin
Al-Musayyib berkata kepada anaknya, "Aku akan menambah shalatku untukmu,
agar dengannya Allah menjagamu, kemudian ia mem-baca ayat ini."
Jika seorang
hamba sibuk dengan ketaatan kepada Allah, niscaya Allah akan menjaganya ketika
itu pula.
Sebagian
salaf berkata, "Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menjaga
dirinya, dan barangsiapa tidak bertakwa maka Dia akan menelantarkannya, dan
Allah tidak butuh padanya."
Di antara
keajaiban penjagaan Allah atas orang yang menjaga-Nya adalah Allah menjadikan
hewan-hewan yang biasa mengganggu ikut menjaga dirinya dari gangguan. Ini
sebagaimana yang terjadi pada Safinah, mantan pembantu Nabi. Saat kendaraannya
patah dan ia terdampar di sebuah pulau, kemudian ia melihat singa. Lalu sahabat
tersebut berjalan bersama singa itu hingga menemukan jalan. Tatkala sudah
sampai tujuan, singa tersebut meraung-raung layaknya mengucapkan kalimat
perpisahan, dan kembali ke tempat semula.
Kebalikan dari ini adalah barangsiapa yang tidak
menjaga Allah, maka Allah pun akan menelantarkannya, dan siapa pun yang paling
ia harapkan manfaatnya pun akan mengganggu dan mencelakakannya, termasuk
ke-luarga sendiri.
Seorang salaf mengatakan, "Sungguh aku telah
berbuat maksiat ke-pada Allah, aku bisa mengetahui ini dari kelakuan pembantu
dan hewan tungganganku."
Kedua, penjagaan Allah kepada hamba-Nya terhadap agama
dan imannya. Ini merupakan penjagaan yang paling utama di antara dua ma-cam
penjagaan ini.
Allah akan menjaga dalam kehidupannya dari perkara
syubhat yang menyesatkan, dan dari syahwat yang haram, Allah juga akan menjaga
aga-manya di saat hendak meninggal, sehingga Allah mewafatkannya di atas
keimanan.
Allah hanya
akan menjaga orang mukmin yang menjaga batasan-batasan-Nya, dan akan memagari
antara dirinya dengan perkara yang dapat merusak agamanya dengan segala
penjagaan, terkadang seorang hamba dapat merasakan penjagaan itu meskipun
terkadang ia membenci hal itu.
Tentang firman Allah:
وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ.
"...Ketahuilah
sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya..." (QS. Al-Anfal
[8]: 24)
Ibnu Abbas
berkata, "Allah memagari antara orang mukmin dan ke-maksiatan yang dapat
menjerumuskannya ke dalam neraka."
Cara Mendapatkan Ma'iyatullah (Kebersamaan Allah)
Sabda beliau,
"Jagalah Allah, pasti kamu mendapati-Nya di hadapanmu". Maknanya,
barangsiapa yang menjaga batasan-batasan Allah, menunaikan hak-hak-Nya, niscaya
ia akan mendapati Allah bersama dengannya di setiap keadaannya, di mana pun
berada Dia menjaganya dan menolongnya, membimbingnya dan meluruskannya.
Allah ta'ala
berfirman:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ
الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُم تُحْسِنُونَ .
"Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat
kebaikan." (QS. An-Nahl [16]: 128).
Sedang
ma'iyah (kebersamaan) yang khusus adalah sebagaimana yang disebutkan dalam
firman Allah kepada Nabi Musa dan Harun, Allah Ta'ala berfirman:
قَالَ لَا تَخَافَا
إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى .
"Janganlah
kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan
melihat." (QS. Thaha [20]:46)
Begitu pula perkataan Nabi Musa:
قَالَ كَلَّا إِنَّ
مَعِيَ رَبِّي سَيَهْدِينِ
"Sesungguhnya
Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (QS. Asy-Syu'ara'
[26]: 62).
Begitupula perkataan Nabi kepada Abu Bakar tatkala
keduanya di dalam gua Tsaur, "Bagaimana menurutmu jika ada dua orang, maka
Allah yang ketiganya? Janganlah bersedih sesungguhnya Allah bersama kita.
"(HR. Bukhari, no. 3653; Muslim, VII: 108).
Realisasi Pengetahuan Hamba terhadap Rabbnya
Sabda beliau,
"...Ingatlah Allah di waktu lapang (senang), niscaya Allah akan
mengingatmu di waktu sempit (susah)." Maknanya sesungguhnya jika seorang
hamba bertakwa kepada Allah, menjaga batasan-batasan-Nya dan
menunaikan
hak-hak-Nya di waktu lapang, maka ia telah mengingat Allah. Jadi antara dirinya
dengan Allah terdapat pengetahuan yang khusus, Allah akan mengingatnya di waktu
susah, Allah akan menjaganya karena sikap ingatnya kepada Allah di waktu
lapang, sehingga Allah menyelamatkannya di waktu susah ini lantaran
pengetahuannya kepada Allah.
Pengetahuan
secara khusus ini sebagai sebab kedekatan hamba kepada Rabbnya, kecintaan
kepada-Nya, dan pengabulan doanya.
Barangsiapa
yang bertakwa dan melakukan ketaatan untuk Allah di waktu lapangnya, maka Allah
akan memperlakukannya dengan lemah lembut, dan menolongnya di waktu susahnya.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah, ia berkata Rasulullah bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ
يَسْتَحِيْبَ اللَّهُ لَهُ عِنْدَ الشَّدَائِدِ وَالْكَرْبِ فَلْيُكْثِرِ
الدُّعَاءَ فِي الرَّحَاءِ.
"Barangsiapa
yang senang Allah mengabulkan doanya ketika dalam keadaan sempit dan kesusahan,
hendaknya ia banyak berdoa ketika dalam keadaan lapang, " (HR. Tirmidzi,
no. 3382).
Adh-Dhahak
bin Qais berkata, "Ingatlah Allah di waktu luang, niscaya Dia (Allah) akan
mengingat kalian di waktu susah. Dan, Nabi Yunus mengingat Allah ta'ala tatkala
ia masuk ke dalam perut ikan hiu.
Allah ta'ala
berfirman:
فَلَوْلَآ اَنَّهٗ كَانَ
مِنَ الْمُسَبِّحِيْنَ ۙ لَلَبِثَ فِيْ بَطْنِهٖٓ اِلٰى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَۚ
"Maka
kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah,
niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampal hari berbangkit"
(Ash-Shaffat [37]: 143-144).
Sedangkan
Fir'aun adalah orang yang membangkang, lalai dari mengingat Allah. Tatkala ia
tenggelam, ia berkata, "Aku beriman kepada Allah", maka tentang
dirinya Allah ta'ala berfirman:
اٰۤلْـٰٔنَ وَقَدْ
عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ.
"Apakah
sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak
dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS. Yunus
[10]: 91)
Persiapan
Untuk Hari Akhir
Musibah
terberat yang dihadapi seorang hamba di dunia adalah kematian, adapun
setelahnya, maka akan lebih berat jika hamba tidak kembali kepada tempat yang
baik. Maka wajib bagi seorang mukmin untuk mempersiapkan diri menghadapi
kematian dan perkara setelahnya di waktu sehat dengan ketakwaan dan amal-amal
shalih.
Allah ta'ala
berfirman:
يَأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ...
"Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hen-daklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)..." (QS.
Al-Hasyr [59]:18)
Barangsiapa
yang mengingat Allah di waktu sehat dan luangnya, dan ketika ia bersiap-siap
untuk menemui Allah dengan kematian dan perkara setelahnya, maka Allah akan
mengingatnya di waktu genting ini. Dia (Allah) akan bersamanya waktu itu,
menjaganya, membantunya, mengurusnya, dan meneguhkannya di atas ketauhidan
hingga ia menemui Allah dalam keadaan yang diridhai.
Namun
barangsiapa yang lalai kepada Allah di waktu sehat dan luangnya, dan tidak
bersiap-siap untuk menemui-Nya, maka Allah akan melupakannya di waktu genting
ini, dalam arti Allah berpaling darinya dan menelantarkannya.
Jika kematian
mendatangi seorang mukmin yang telah mempersiapkan dirinya, dan la berbaik
sangka terhadap Rabbnya, maka ia akan mendapatkan kabar gembira dari Allah, ia
senang dengan pertemuan dengan Allah dan Allah pun senang dengan pertemuannya,
sedangkan orang fajir kebalikan dari ini semua.
Adam bin Abi
lyas mengkhatamkan Al-Quran saat maut hendak menjemputnya, kemudian dia
berkata, "Dengan kecintaanku pada-Mu, perlakukanlah aku dengan lemah
lembut dalam menghadapi sakaratul maut ini, aku sungguh mendambakan
kehadiran-Mu pada hari ini, aku sungguh sangat berharap padamu, la ilaha
illallah." Kemudian ia meninggal dunia.
Perintah
Untuk Meminta Hanya kepada Allah
Sabda beliau,
"Jika kamu meminta, mintalah hanya kepada Allah; jika kamu memohon
pertolongan, mohonlah pertolongan hanya kepada Allah." Lafazh ini diambil
dari firman Allah:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ .
"Hanya
kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu pula kami meminta
pertolongan." (Al-Fatihah [1] : 5)
Meminta
kepada Allah yaitu doa dan kecintaan kepada-Nya. Lafazh ayat ini mengandung
perintah untuk meminta hanya kepada Allah dan tidak meminta kepada selain-Nya,
dan meminta tolong kepada-Nya, tidak kepada selain-Nya.
Adapun
permintaan, maka Allah memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya:
وَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ
فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا.
"...Dan
mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya..." (An-Ni-sa' [4]:32)
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah secara marfu':
مَنْ لَا يَسْأَلُ
اللَّهُ يَغْضَبْ عَلَيْهِ.
"Barangsiapa
yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya. "( HR.
Ahmad, II: 442, 447, Tirmidzi, no. 3373, Ibnu Majah, no. 3827, dan Bukhari di
dalam Al-Adabul Mufrad, no. 658).
Ada banyak
hadits shahih tentang larangan meminta kepada manusia. Nabi pernah membaiat
sejumlah sahabatnya untuk tidak meminta kepada manusia sedikitpun. Di antara
mereka ada Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abu Dzar dan Tsauban. Pernah seorang dari
mereka terjatuh cemetinya atau cambuk untanya, ia tidak meminta tolong orang
lain untuk mengambilkannya.
Dan, tidak
ada yang kuasa untuk menyingkirkan marabahaya dan mendatangkan kemanfaatan
selain Allah. Dia berfirman:
وَإِنْ
يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ
بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ.
"Jika
Allah menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah meng-hendaki kebaikan bagi kamu,
maka tak ada yang dapat menolak karu-nia-Nya..." (QS. Yunus [10]: 107)
Allah ta'ala
mencintai orang yang meminta dan berharap kepada-Nya untuk memenuhi
kebutuhannya, dan terus menerus meminta dan berdoa, dan Dia akan murka kepada
orang yang tidak meminta kepada-Nya. Sedangkan makhluk kebalikannya, ia tidak
suka jika terus dimintai, dan suka jika tidak dimintai, dikarenakan kelemahan,
kefakiran dan rasa butuhnya.
Hamba Butuh
Pertolongan Allah
Adapun
mengapa meminta pertolongan kepada Allah saja tidak pada selain-Nya, karena
hamba tidak mampu untuk dengan sendirinya mengambil manfaat dan menolak
marabahaya, tidak ada yang dapat membantunya untuk mendapatkan maslahat agama
dan dunianya kecuali Allah. Barangsiapa yang ditolong Allah maka dialah orang
yang tertolong dan barangsiapa yang
dihinakan Allah, maka dialah orang yang tidak tertolong. Ini merupakan
realisasi makna ucapan "la haula wa la quwwata illa billah", makna
lafazh ini adalah tidak ada kemampuan dan kekuatan bagi hamba untuk bergerak
kecuali dengan bersandar kepada Allah, ini adalah lafazh yang agung, dan termasuk
perbendaharaan jannah.
Barangsiapa
yang tidak meminta tolong kepada Allah, dan meminta tolong kepada selain-Nya,
maka Allah akan menggantungkannya (menyerahkannya) kepada sesuatu itu, jadilah
ia orang hina.
Terdahulunya Pencatatan Seluruh Takdir
Sabda beliau,
"Pena telah diangkat dan lembaran telah kering." Ini merupakan kiasan
akan terdahulunya penulisan semua takdir dan paripurna sejak jaman lampau. Ini
merupakan kiasan terbaik dan sempurna. Al-Quran dan sunnah-sunnah shahih telah
menunjukkan akan makna ini. Allah Ta'ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِن
مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ
أن تبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ .
"Tiada
suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) se belum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS.
Al-Hadid [57]: 22).
Rasulullah
bersabda:
ان الله كتب مقادير
الخلائق قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ.
"Allah
telah menentukan takdir segala sesuatu, lima puluh ribu tabun sebelum menciptakan langit dan bumi. (HR. Muslim, no.
2653. 185) HR. Muslim, no. 2648).
Dari Jabir,
ia berkata, "Suatu ketika seorang laki-laki (Suraqah bin Malik) datang
kepada Rasulullah lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah hakikat amalan
hari ini? Apakah karena pena yang telah kering (takdir yang telah ditetapkan)
dan takdir yang pasti berlaku, ataukah karena urusan mendatang?"
Rasulullah menjawab, "Tidak, tapi karena pena yang telah kering dan takdir
yang mesti berlaku." Suraqah bin Malik bertanya lagi, "Lalu untuk apa
kita beramal?" Beliau menjawab, "Beramallah, karena masing-masing akan
dimudahkan menjalani takdirnya, "
Kelemahan
Makhluk dan Ketidakmampuannya
Sabda beliau,
"Ketahuilah jika suatu umat berkumpul untuk memberi suatu manfaat
kepadamu, mereka tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kecuali apa
yang telah Allah tetapkan bagimu."
Maknanya, apa
pun yang menimpa hamba terkait urusan dunianya baik hal itu membahayakan atau
bermanfaat, semuanya telah ditetapkan baginya. Tidak ada yang menimpa hamba
kecuali telah dituliskan baginya dalam kitab Lauh Mahfuzh, meski seluruh
makhluk berupaya kuat untuk menolak bahaya darinya atau memberi manfaat
padanya. Al-Quran telah menunjukkan makna seperti ini:
قُل لَّن يُصِيبَنَا
إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَنَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ .
"Katakanlah,
'Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh
Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang
yang beriman harus bertawakal."(QS. At-Taubah [9]: 51)
Ketahuilah
bahwa semua wasiat Nabi dalam hadits bab ini ber-pusar pada urusan pokok ini.
Apa saja yang disebutkan sebelum dan se-sudahnya adalah cabangnya.
Jika seorang
hamba mengetahui bahwa tidak akan menimpanya kecuali yang telah ditetapkan
Allah baginya, baik berupa kebaikan atau keburukan, manfaat atau bahaya; dan
bahwa upaya makhluk seluruhnya terkadang berbeda dengan yang ditakdirkan lagi
tidak bermanfaat sama sekali, ketika itu ia akan menyadari Allah saja Dzat yang
menimpakan bahaya dan manfaat, memberi dan mencegah. Maka hal ini
mengharuskannya untuk mengesakan-Nya dalam hal takut, pengharapan, kecintaan,
permohonan, menghinakan diri dan berdoa, mengedepankan ketaatan kepada-Nya
dibanding kepada makhluk seluruhnya. Hendaknya ia takut akan murka-Nya meski
dengan itu membuat marah seluruh manusia, mengesakan-Nya dalam meminta
pertolongan, memohon, keikhlasan berdoa kepada-Nya di saat terdesak atau pun
lapang.
Keutamaan
Sifat Sabar
Dalam satu
hadits disebutkan:
وَاعْلَمْ أَنَّ فِي
الصَّبْرِ عَلَى مَا تَكْرَهُ خَيْرًا كَثِيرًا
Ketahuilah
bahwa dalam kesabaran terhadap hal yang engkau benci terdapat kebaikan yang
banyak." (HR. Ahmad 2803).
Maknanya,
segala bentuk musibah yang menimpa hamba dan telah ditetapkan baginya, jika ia
bersabar atasnya, maka dalam kesabaran itu terdapat kebaikan yang banyak.
Keyakinan
dalam hati terhadap gadha' yang lewat dan takdir yang telah lalu, membantu
hamba untuk bersikap ridha terhadap musibah yang menimpa dirinya.
Berikut ini
dua derajat seorang mukmin terhadap gadha dan qadar dalam menghadapi berbagai
musibah, yaitu:
Pertama,
hamba ridha dengan musibah itu, ini merupakan derajat yang sangat tinggi.
Allah ta'ala
berfirman:
مَا أَصَابَ مِن
مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِنُ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.
"Tidak
ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, dan
barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. At-Taghabun [64]:
11).
Tentang ayat
ini Alqamah berkata, "Itu adalah musibah yang menimpa seseorang dan ia
mengetahui bahwa hal itu datang dari Allah, maka ia menerima dan ridha
terhadapnya."
Nabi
mengucapkan dalam doanya:
أَسْأَلُكَ الرَّضَا
بَعْدَ الْقَضَاءِ.
"Aku
memohon kepadamu keridhaan setelah qadha.” ( HR. Nasai no. 1305, Ibnu Hibban
no. 1971).
Di antara
yang dapat mendorong seorang mukmin untuk ridha terhadap ketetapan-Nya adalah
realisasi keimanannya akan makna sabda Nabi:
لا يَقْضِي اللَّهُ
لِلْمُؤْمِنِ قَضَاءً إِلَّا كَانَ خَيْرًا لَهُ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ
كَانَ خَيْرًا لَهُ إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ كَانَ خَيْرًا لَهُ وَلَيْسَ
ذَلِكَ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ.
"Tidaklah
Allah menetapkan suatu ketetapan bagi seorang mukmin kecuali hal itu baik
untuknya. Bila mendapat kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya
dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya, hal ini
tidak terdapat kecuali pada seorang mukmin. (187) HR. Muslim, no. 2999).
Ibnu Mas'ud
berkata, "Sesungguhnya Allah dengan keadilan dan kebijakan-Nya menjadikan
kegembiraan dan kebahagiaan di dalam keyakinan dan keridhaan, begitupula
menjadikan kegundahan dan kesedihan dalam keragu-raguan dan kemurkaan. Maka
barangsiapa sampai pada derajat ini, maka kehidupannya berada dalam kenikmatan
dan kebahagiaan."
Abdul Wahid
bin Zaid berkata:
"Keridhaan
merupakan pintu menuju Allah yang sangat besar, dan surga dunia serta tempat
peristirahatan orang-orang yang senantiasa beribadah."
Tingkatan
kedua, bersabar terhadap cobaan, tingkatan ini bagi mereka
yang belum mampu untuk ridha terhadap qadha' (ketetapan). Ridha terhadap
ketetapan merupakan keutamaan dan hukumnya sunnah, se-dangkan bersabar
terhadapnya hukumnya wajib bagi setiap mukmin.
Perbedaan
antara ridha dan sabar dalam hal ini adalah:
Sabar yaitu
menahan diri dan mengekangnya dari marah terhadap musibah yang diiringi adanya
penderitaan dan mengharapkan hilangnya hal itu, serta menahan anggota badan
dari melakukan perbuatan yang timbul dari keluh-kesahnya.
Sedangkan
ridha adalah kelapangan dada dan keluasan hati terhadap ketetapan Alah, dan
tidak mengharap agar rasa sakit tersebut hilang, meskipun ia merasakan rasa
sakit, namun ridha mampu meringankan rasa tersebut, sebab hangatnya keyakinan
dan makrifat telah menyentuh kalbunya, jika keridhaan semakin kuat, kadang rasa
sakit bisa hilang secara total.
Kemenangan
Bersama dengan Kesabaran, Jalan Keluar Bersama dengan Kesusahan.
Sabda beliau,
"...Ketahuilah sesungguhnya kemenangan menyertai kesabaran..." Hadits
ini sesuai dengan firman Allah:
قَالَ الَّذِينَ
يَظُنُّونَ أَنَّهُم مُّلَقُوا اللَّهِ كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً
كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ .
"...Orang-orang
yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, 'Berapa banyak terjadi
golongan yang sedikit dapat men-galahkan golongan yang banyak dengan izin
Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar'." (QS. Al-Baqarah [2]:
249).
Ayat ini
berkenaan dengan jihad terhadap musuh yang nampak, yaitu jihad kepada
orang-orang kafir, dan jihad terhadap musuh yang tidak nampak yaitu jihad
terhadap hawa nafsu. Keduanya merupakan jihad yang paling besar, sebagaimana
Nabi ﷺ bersabda:
الْمُجَاهِدُ مَنْ
جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي اللَّهِ.
"Mujahid
adalah orang yang berjihad terhadap dirinya sendiri dalam (ketaatan kepada)
Allah.” (HR. Ahmad, VI: 20, 22: Tirmidzi, no. 1621).
Abdullah bin
Umar berkata kepada orang yang bertanya kepadanya tentang jihad, "Mulailah
dari dirimu dengan berjihad kepadanya, dan memeranginya."
Sabda beliau,
"...Sesungguhnya jalan keluar itu bersama dengan kesulitan itu
sendiri..."
Berapa banyak
Allah menceritakan kisah-kisah tentang jalan keluar dari kesulitan yang dialami
nabi-nabi-Nya. Seperti, selamatnya Nabi Nuh dan pengikutnya di kapal,
selamatnya Nabi Ibrahim dari api, selamatnya Nabi Musa dan kaumnya dari laut.
kisah Nabi Yunus dan Ayyub, kisah selamatnya Nabi Muhammad dari musuh-musuhnya,
seperti saat di gua, saat perang Ahzab, dan pada peristiwa lainnya.
"Dan
kemudahan menyertai kesulitan yang ada." Lafazh ini diambil dari firman
Allah Ta'ala:
سَيَجْعَلُ اللَّهُ
بَعْدَ عُسْرِ يُسْرًا.
"...Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan." (QS. Ath-Thalaq
[65]: 7).
Begitu pula
firman Allah:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ
يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا .
"Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesung-guhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan." (QS. Asy-Syarh [94]: 5-6).
Rahasia di
balik kebersamaan jalan keluar dengan kesusahan dan kemudahan dengan kesulitan
adalah jika kesusahan telah menghimpit, membesar dan menghimpit diri seorang
hamba, ia akan merasa adanya rasa putus asa untuk meminta dari makhluk, ia
hanya mampu untuk menggantungkan dirinya kepada Allah saja. Inilah hakekat
tawakkal kepada Allah, dan sebab yang paling besar untuk meminta hal-hal yang
di-butuhkan, karena Allah akan memcukupkan kebutuhan orang yang ber-tawakkal
kepadanya, sebagaimana firman Allah Ta'ala :
... وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ .
"...Dan
barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya." (QS. Ath-Thalaq [65]: 3).
Fudhail bin
'lyadh berkata, "Demi Allah, kalau engkau berputus asa dari semua makhluk,
hingga tidak ada apa pun yang engkau harapkan dari mereka, maka Allah akan
memberikan kepadamu semua yang kamu ingin-kan."
Selain itu,
seorang mukmin jika menganggap jalan keluar datang ter-lambat, dan berputus asa
setelah banyak-banyak berdoa, dan tidak ada tan-da-tanda dikabulkannya doa,
maka ia akan menyadari kekurangan diri, dan berkata kepada dirinya sendiri,
"Sesungguhnya aku diberi melalui dirimu, kalau engkau baik, maka
permohonanku pasti dikabulkan."
Celaan
terhadap diri semacam ini lebih disukai oleh Allah daripada berbagai ketaatan,
sebab hal tersebut menyebabkan hamba menjadi insyaf dan pasrah kepada Allah dan
merasa bahwa ia pantas menerima musibah, dan doanya tidak pantas dikabulkan,
karena itulah pengabulan doa dan jalan keluar akan segera datang, sebab Allah
sangat menyayangi orang-orang yang memasrahkan dirinya karena-Nya.
-----000-----
Sumber:Mukhtashar Jami'ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab
al-Hambali
Ditulis ulang
oleh Abu Ibrahim Junaedi Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar