Mukadimah
إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ,
وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ
هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ
لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ
تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا
رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي
تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا
قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ
الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Tidak diragukan lagi bahwa akhlaq
yang baik merupakan bagian yang sangat besar di dalam ajaran agama islam,
merupakan ciri khas dan makhkotanya seorang muslim, dimana seorang muslim apabila
memiliki akhlaq yang baik merupakan bekal di dalam mengarungi kehidupan ini, mereka
akan mudah untuk membaur dengan masyarakat mendakwahi mereka, mengajak mereka
kepada kebaikan dan menjauhi keburukan.
Tidak kita pungkiri sebagian
kaum muslimin mereka memiliki pengetahuan tentang dunia begitu maju dan pesat, namun
sangat disayangkan sedikit diantara kaum muslimin yang mau mempelajari akhlaq
nubuwah ini, sehingga mereka krisis di dalam akhlaq, sehingga banyak diantara
kaum muslimin yang kita dapatkan tersandung berbagai macam masalah, baik para
dainya, apalagi orang awamnyan, seperti kasus pencabulan, perzinaan, pencurian,
penipuan, korupsi, pembunuhan dan lain-lain, semua tidak lain karena lemahnya
iman dan jauhnya dari akhlaq yang mulia ini.
Begitu pula tanda krisis akhlaq pada umat ini,
mereka tidak begitu memperhatikan ikatan persaudaraan islam, hal ini dapat
dirasakan apa bila kita bermuamalah dengan salah seorang diantara mereka, saking
banyaknya kasus yang terjadi sehingga muncul rasa kuatir dari tipu dayanya,
baik ketika kita memberikan amanah jabatan, utang piutang, memperbaiki barang,
membeli barang, sampai berperkara di pengadilan, betapa sulitnya saat ini untuk
mendapatkan orang yang amanah, yang menjadikan kita merasa nyamanan dan terwujudnya
keadilan.
Dari sinilah saya merasa penting untuk menulis
dan mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan akhlaq sehingga dapat menggugah
dan menyadarkan kaum muslimin akan pentingnya memiliki akhlaq yang baik, dan
tidak lupa sebagiannya saya serertakan contoh-contoh teladan orang-orang shalih
dahulu yang memiliki akhlaq yang baik. Dengan demikian mudah-mudahan hal ini
mudah dicerna, kemudian diamalkan oleh kaum muslimin.
Semoga Allah memberkahi seseorang yang mau
mengingatkan kesalahan saya, mau mengajak saya untuk selalu menetapi kebaikan
dan kesabaran, serta memberi motivasi yang baik hingga dapat tercapai kebaikan.
Demikianlah sedikit tulisan ini semoga
mendapatkan keridhan Allah ta’ala menjadi amal shalih yang bermanfaat bagi
saya, kedua orang tua saya, guru-guru saya dan menjadikan pemberat timbangan
saya nanti pada hari kiamat aamiin.
Sragen 17-01-2023
Abu Ibrahim, Junaedi Abdullah.
BAB 1
AKHLAQ
Tauhid merupakan prioritas dakwah para nabi dan rasul, akan
tetapi perlu diketahui, bersamaan dengan itu mereka juga mendasari di dalam
dakwahnya dengan akhlaq yang mulia.
Oelh karena
itu orang-orang yang meneladani para nabi dan para rasul hendaknya menghiasi
dirinya dengan akhlaq yang mulia.
1.
Pengertian akhlak:
Di dalam bahasa Arab kata “akhlaq” (أخلاق) adalah bentuk jamak dari kata “khuluq” (خلق), yang berakar dari kata kerja “khalaqa” (خلق), yang berarti “menciptakan”. Kata “khuluq” diartikan dengan
sikap, tindakan, dan kelakuan.
“Akhlaq” di dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan secara
sederhana, yaitu “budi pekerti, kelakuan”, disinonimkan dengan kata-kata “tingkah laku,
perangai, dan watak.”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Akhlaq
sebuah bentuk jiwa yang tertanam kuat, yang darinya lahir perbuatan-perbuatan
dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pertibangan dan pemikiran. (Minhajul
Qhasidin, oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi)
Akhlaq terbagi menjadi dua yaitu:
1)
Akhlaq yang baik (mahmudah), apabila
perbuatan-perbuatan tersebut baik.
2)
Akhlaq yang buruk (madzmumah), bila
perbuatan-perbuatan tersebut buruk (Minhajul Qhasidin, Ibnu Qudamah
Al-Maqdisi).
Perbedaan antara adab dan akhlaq.
Sebagian ulama menganggap hal itu sama,
bagaimana beradab kepada Allah ta’ala, atau bagaimana berakhlaq kepada Allah
ta’ala.
Ada juga yang membedakan, adapun perbedaan
antara adab dan akhlaq yang paling mudah untuk bisa dipahami yaitu:
1) Adab adalah sikap seseorang.
Bagaimana seseorang bersikap pada sebuah
aturan yang telah diketahui kebaikannya bersama, seperti adab makan, adab minum,
adab ke kamar mandi atau adab seseorang kepada gurunya.
2) Akhlak adalah sifat seseorang.
Sifat atau karakter seseorang yang
dihasilkan dari didikan pada dirinya atau berasal dari takbi’at bawaan. Seperti
jujur, dermawan, pembrani dan lain sebagainya.
Asal-muasal terjadinya
akhlaq yang baik.
Akhlak bila ditinjau
dari asalnya ada dua yaitu:
1) Ghariziyyah atau Jibiliyah (naluriyah,
bawaan).
Akhlak
Ghariziyyah atau Jibilliyyah maksudnya Allah telah memberikan ke
dalam dirinya akhlak yang mulia itu, dimana ia tumbuh dewasa di atasnya. Hal
ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Asyaj Abdul
Qais, beliau bersabda:
إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ
يُحِبُّهُمَا اللهُ: الْحِلْمُ، وَالْأَنَاةُ.
“Sesungguhnya pada
dirimu terdapat dua perkara yang dicintai Allah, yaitu kesabaran dan tidak
tergesa-gesa.” (HR. Muslim 17, Tirmidzi 2011, Abu Dawud 5225).
2) Muktasabah (apa yang diusahakan).
Akhlak
Muktasabah maksudnya akhlaq yang dihasilkan dari usaha dan latihan disertai permohonan kepada Allah ta’ala
agar memberi akhlaq yang baik. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam,
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ
اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ
يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ
الصَّبْرِ.
“Barang siapa yang
berusaha menjaga dirinya (dari meminta-minta), maka Allah akan menjaganya.
Barang siapa yang merasa cukup dengan pemberian Allah, maka Allah akan
cukupkan. Barang siapa yang berusaha untuk sabar, maka Allah akan menyabarkan.
Tidak ada pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih
luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhari 6470, 1469, Abu Dawud 1644).
Ibnu Qudamah berkata, “Seandainya akhlaq tidak bisa bisa
dirubah, niscaya nasehat-nasehat tidak akan berarti apapun, bagaimana mungkin
seseorang mengingkari bila akhlaq bisa dirubah sementara seseorang melihat
binatang buas bisa dijinakkan, anjing diajari kapan dia harus makan, kuda
dididik bagaimana jalan yang baik dan dikendalikan dengan baik pula, hanya saja
harus diakuai ada takbiat yang mudah dirubah kepada kebaikan dan ada pula yang
sulit.” (Minhajul Qhasidin, Ibnu Qudamah
Al-Maqdisi).
Pada masa jahiliyah kerusakan akhlaq dan
moral merajalela, seperti perzinaan, meminum
khamer, perjudian dan pembunuhan, namun setelah mereka masuk islam dan
mendapatkan hidayah mereka menjadi manusia-manusia pilihan, inilah fakta dimana
akhlaq bisa berubah.
-----000-----
BAB 2
AKHLAQ RASULULLAH
Akhlaq Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Beliau memiliki akhlaq yang mulia, beliau diutus untuk
menyempurnakan aklaq yang telah ada, oleh karena itu beliau bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكاَرِمَ
اْلأَخْلاَقِ.
“Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan
akhlak.” (HR. Bukhari di dalam Adabul Mufrad 273, dishahihkan syaikh al-Albani
dalam Silsilah As-Shahihah 45).
Ketika beliau berdakwah keTha’if, dakwah beliau ditolak dan
beliau disakiti, namun beliau tidak membalas hal itu semua, bahkan beliau
berharap kebaikan pada mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَنَادَانِي
مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ
أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ
اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا.
“…Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan
salam lalu berkata: Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan
Akhsyabain.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak)
namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan
mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan
apapun juga.” (HR. Bukhari 3231, Muslim 1795).
Pujian Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya. Allah
ta’ala berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung.” (QS. Al Qalam [68]: 4)
Allah memerintahkan agar kita meneladani Rasul-Nya.
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا.
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21).
Ibnu Katsir
berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan dalil pokok yang paling besar, yang
menganjurkan kepada kita agar meniru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
dalam semua ucapan, perbuatan, dan sepak terjangnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, (QS.
Al-Ahzab[33]:21).
Akhlaq Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
disaksikan kebaikannya baik dari orang yang memusuhi beliau ataupun orang yang
dekat dekat beliau.
Diantara kesaksian tersebut:
Saat merenovasi kakbah.
Mereka berselisih tentang siapa yang berhak meletakkan hajar
aswad, hal itu terjadi 4-5 hari, bahkan hampir saja terjadi peperangan, kemudian
Abu Umayah bin Mugirah al-Makzumi menawarkan, siapapun yang pertama kali
melewati pintu masjid merekalah yang memutuskan, Allah taqdirkan Rasulullah
shallallah ‘alaihi wa sallam melewati pintu tersebut, merekapun berseru, “
Telah datang orang yang amanah (terpercaya).” (Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh
Syafiyyurrahman al-Mubarakfury).
Kesaksian dari Abu Sufyan di hadapan raja Rum, yang di waktu
itu masih menjadi orang kafir.
“Apa yang diperintahkannya kepada kalian?” Abu Sufyan
menjawab, “Ia memerintahkan kami agar menyembah Allah saja dan tidak
menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Melarang menyembah Tuhan-Tuhan nenek
moyang kami. Memerintahkan shalat, sedekah, menjaga kehormatan diri, memenuhi
janji, dan menunaikan amanah.” (Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Syafiyyurrahman al-Mubarakfury).
Kesaksian orang-orang Quraiys ketika
Rasulullah diperintahkan untuk berdakwah terang-terangan, kemudian belaiu naik
kebukit Shafa, mereka percaya terhadap apa yang di sampaikan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesaksian orang yang dekat dengan Rasullah shallallahu
‘alaihi a sallam:
عَنِ الْحَسَنِ قَالَ : سُئِلَتْ عَائِشَةُ عَنْ
خُلُقِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَتْ : كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ.
Dari Al-Hasan ia berkata: Aisyah ditanya tentang akhlak
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia menjawab: “Akhlaknya adalah
Al-Qur’an.” (HR. Ahmad 25813, Shahih menurut Syaikh Syu’aib Al-Arnauth,
dishahihkan syaikh al-Albani di dalam Shahihu Al Jami’ 4811).
Dan masih banyak lagi kesaksian yang menunjukkan kemuliaan
akhlaq Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
-----000-----
BAB 3
KEUTAMAAN AKHLAQ YANG BAIK.
Manusia tersusun dari jasad dan ruh, memiliki perasaan, oleh
karena itu mensikapinya tidak boleh semena-mena, karena hal itu akan
menyakitinya, mereka satu sama lain membutuhkan untuk diperlakukan dengan baik.
Adapun keutamaan memiliki akhlaq yang baik, diantaranya:
1) Menjadikan kecintaan Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ
مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ.
“Sungguh,
Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat
kebaikan.”(QS. An-Nahl[16]:128).
Yakni
Allah beserta mereka melalui dukungan-Nya, pertolongan-Nya, bantuan-Nya,
petunjuk dan upaya-Nya.(LIhat Tafsir Ibnu Katsir, QS. An-Nahl [16]:128).
ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ
يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ.
“Sayangilah
orang-orang yang ada di bumi, maka orang-orang yang ada di langit akan
menyayangimu.” (HR. Tirmidzi 1924, Baihaqi 17905, Dishahihkan Syaikh al-Albani
di dalam Ash Shahihah 925).
2) Menjadikan Rasulullah cinta.
Orang yang ingin
dicintai Rasulullah hendaknya memiliki akhlaq yang baik.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ
وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara
kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka
yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. Tirmidzi 2018, dihasankan oleh Syakh al-Albani dalam Shahih
Al-Jaami’ 1535, As-Shahihah 791).
3) Akan menjadi pemberat timbangan pada
hari kiamat.
Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ.
"Tidak
ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan (amalan) seorang mukmin pada
hari kiamat daripada akhlaq yang mulia."
(HR. Tirmidzi 2002, di hasankan oleh
Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahihah 876).
Bagaimana seseorang berkata yang baik, tersenyum, bersabar
dan lainnya yang semua ini tanpa dirasa merupakan tumpukan-tumpukan pahala yang
sangat besar.
4) Paling banyak memasukkan
manusia kedalam surga.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke surga
sebagaimana disebutkan dalam sebuah atsar:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ. وَسُئِلَ
عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ.
“Taqwa kepada Allah dan bagusnya akhlak.” Dan beliau ditanya
tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka, maka beliau
bersabda: “mulut dan farji (kemaluan).” (HR Tirmidzi 2004, Abu Dawud 2596, Ibnu
Majah 4246. Dihasankan syaikh al-Albani, Lihat As-Shahihah 977).
Bagaimana seseorang bertakwa kepada Allah dan berakhlaq yang
mulia akan menjadikan kebaikan di dunia ini sehingga semua urusanya menjadi
mudah, mendatangkan berkah, dan menjadikan masuk kedalam surga.
Sebaliknya mulut dan kemaluan dapat mendatangkan dosa, adzab,
menjauhkan keberkahan dan memasukkan kedalam neraka.
Dia berbuat syirik, bid’ah, menuduh,
menggunjing, marah tanpa alasan yang dibenarkan syari’at semua itu dilakukan
dengan lisannya.
5) Menunjukkan
kesempurnaan dan kemuliaan iman seseorang.
Baiknya akhlaq seseorang menunjukkan kesempurnaan imannya,
sedangkan orang yang sempurna imannya memiliki keutamaan yang besar, di sisi
Allah ta’ala, Rasulullah sallallahu ‘alaaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا .
“Orang mukmin yang
paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya, dan yang paling baik
di antara kamu sekalian adalah yang paling baik akhlaqnya terhadap
isteri-isterinya.” (HR. Ahmad 7402, Tirmidzi 1162, Abu Dawud 4682 dihasan
oleh syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 284).
Betapa banyak orang
yang memiliki hafalan yang banyak, ilmu yang tinggi namun akhlaqnya rendah,
oleh karena itu hendaknya mengiringi seseorang ilmu tersebut dengan akhlaq yang
mulia sehingga dapat menyempurnakan imannya.
6) Mendatangkan kecintaan manusia.
Fitrah manusia akan mencintai orang-orang yang
berbuat baik.
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ.
“Maka berkat rahmat Allah engkau
(Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap
keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.” (QS.
Ali-Imran[3]:159).
Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ ! دُلَّنِـيْ عَلَـىٰ عَمَلٍ إِذَا أَنَا
عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وَأَحَبَّنِيَ النَّاسُ. فَقَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
ازْهَدْ
فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ
يُحِبُّكَ النَّاسُ.
“Wahai Rasulullah! Tunjukkan
kepadaku satu amalan yang jika aku mengamalkannya maka aku akan dicintai oleh
Allah dan dicintai manusia.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Zuhudlah
terhadap dunia, niscaya engkau dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang
dimiliki manusia, niscaya engkau dicintai manusia.” (HR. Ibnu Majah 4102,
dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 944).
7) Akhlaq yang baik dapat memuaskan
hati manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّكُمْ
لَنْ تَسَعُوْا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ ، وَلٰكِنْ يَسَعُهُمْ مِنْكُمْ بَسْطُ
الوَجْهِ وَحُسْنُ الخُلُقِ.
“Sesungguhnya kalian tidak
akan dapat memuaskan jiwa manusia dengan harta-harta kalian, akan tetapi yang
dapat memuaskan jiwa mereka adalah bermuka manis dan berakhlak yang baik. (HR. Tirmidzi 2018, Bazar
8544, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Thargib wa Tharhib 2661).
8)
Meluluhkan hati musuh.
Allah Ta’ala berfirman :
ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ
فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka
tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah
menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fushilat : 34).
Banyak para sahabat dahulu yang
memusuhi Rasulullah namun akhirnya mendapatkan hidayah tidak lain karena keindahan
ajaran islam dan bagusnya akhlaq yang diajarkan Raslullah shallallahu ‘alahi wa
sallam.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
الأعمال الصالحة
والأخلاق الفاضلة والمعاملات الطيبة تفتح قلوب الأعداء أكثر مما تفتحه السيوف.
“Amal shalih, Akhlak yang mulia dan muamalah
yang baik lebih banyak membuka hati para musuh daripada membukanya dengan
pedang” (syarh Asy-Syafiah Al-Kafiyah 1/202).
9) Akhlaq yang baik akan menjadi bukti dan saksi
bagi orang lain.
Anas bin
Malik radliyallahu ‘anhu menuturkan:
مَرُّوا
بِجَنَازَةٍ، فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَجَبَتْ, ثُمَّ مَرُّوا بِأُخْرَى فَأَثْنَوْا
عَلَيْهَا شَرًّا، فَقَالَ: وَجَبَتْ, فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ: مَا وَجَبَتْ؟ قَالَ: هَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا،
فَوَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ، وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا، فَوَجَبَتْ
لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الأَرْضِ.
“Sahabat Anas bin
Malik berkata, orang-orang lewat membawa satu jenazah, mereka memujinya dengan
kebaikan. Maka Rasulullah bersabda, “Wajabat.” Kemudian lewat lagi orang-orang
membawa satu jenazah, mereka mencelanya dengan kejelekan. Maka Rasulullah
bersabda, “Wajabat.” Sahabat Umar bin Khathab berkata, “Apa yang wajib, ya
Rasul?” Rasulullah bersabda, “Jenazah ini yang kalian puji dengan kebaikan
wajib baginya surga. Dan orang ini yang kalian cela dengan kejelekan wajib
baginya neraka. Kalian adalah para saksinya Allah di muka bumi.” (HR. Bukhari
1367, Abu Dawud 3233).
10)
Akhlaq yang baik akan menentramkan hati pelakunya.
Ketika Rasulullah menerima wahyu di permulaan
dan berjumpa dengan Jibril sehingga beliau ketakutan dan pulang, meminta
istrinya agar menyelimutinya.
Khadijah
berkata menentramkan beliau:
كَلَّا
وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا؛ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ
الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى
نَوَائِبِ الْحَقِّ.
“Demi
Allah tidak mungkin! Allah tidak akan pernah menghinakanmu. Sebab engkau selalu
bersilaturrahmi, meringankan beban orang lain, memberi orang lain sesuatu yang
tidak mereka dapatkan kecuali pada dirimu, gemar menjamu tamu dan engkau
membantu orang lain dalam musibah-musibah.” (HR. Bukhari 3, Muslim160).
Demikianlah
akhlaq yang mulia memiliki keutamaan yang sangat banyak, dan masih banyak lagi keutamaan akhlaq lainnya.
-----000-----
BAB 4
PILAR-PILAR AKHLAQ.
Ibnu Rajab al-Hambali di dalam kitabnya,
Jamiul ‘ulum wal hikam menukil dari Muhammad bin Abi Zaid salah satu imam
madzhab Malikiyah di masanya, beliau berkata: adab-adab kebaikan terhimpun dan bersumber
dari 4 hadits, yaitu: “ Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaknya berkata baik atau diam,” hadits “ Salah satu pertanda baiknya
keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat,” hadits,
“Jangan engkau marah,” dan hadits, “ Seorang muslim mencintai kebaikan untuk
saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan tersebut bagi dirinya sendiri.”
(Jami’ul ‘ulum wal hikam hadits ke 12, Ibnu Rajab al-Hambali). Jadilah
hadits-hadits ini seakan-akan merupakan pilar-pilar akhlaq bagi seorang muslim.
1.
Menjaga lisan.
Dimana
lisan akan meninggikan derajat seseorang di surga atau akan menjerumuskannya
kedalam neraka.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت.
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau
hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari, 6018, Muslim, 47).
Maksudnya
adalah menjaga dan menahan lisan dari suatu pembicaraan, kecuali jika di
dalamnya mengandung faedah dan kebaikan. Sabda Nabi : “… maka hendaklah ia
berkata baik atau hendaklah ia diam.” Di dalamnya mengandung ajakan agar
seorang Muslim berpikir terlebih dahulu sebelum mengucapkan sesuatu.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ،
يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ.
“Sesungguhnya seorang hamba
berkata dengan satu kalimat dengan kalimat itu menjerumuskan dirinya kedalam
neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhari 6477, Muslim 2988).
Muadz bin Jabal mengatakan, "Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu 'Alaihi Wasallam pada
perang Tabuk, beliau bersabda:
أَلَا
أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الْأَمْرِ وَعَمُودِهِ وَذُرْوَةِ سَنَامِهِ؟ "
فَقُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: " رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ
وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ " ثُمَّ قَالَ:
" أَلَا أُخْبِرُكَ بِمِلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ " فَقُلْتُ لَهُ: بَلَى
يَا نَبِيَّ اللهِ. فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ، فَقَالَ: " كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا
" فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ
بِهِ؟ فَقَالَ: " ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ
فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ، أَوْ قَالَ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ، إِلَّا
حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟
Apakah mau aku beritahukan
kepadamu pokok segala urusan, tiangnya dan puncaknya..? Aku menjawab,
"Tentu saja mau wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Adapun
pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, sedangkan puncaknya
adalah jihad." kemudian
beliau berkata, “Maukah engkau aku jelaskan mengenai hal yang menjaga itu
semua?” Aku menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam memegang lidahnya kemudian bersabda, “Jagalah ini.” Aku berkata, “Wahai
Nabiyullah, apakah kita akan disiksa karena apa yang kita katakan?” Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ibumu kehilanganmu, wahai Mu’adz!
bukanlah manusia terjungkir di neraka di atas wajah mereka -atau beliau
bersabda: di atas hidung mereka- melainkan dengan sebab lisan mereka.”
(HR. Ahmad 36/345, Tirmidzi 2616, Nasai 11330, dishahihkan Syaikh al-Albani di
dalam Shahihu al-Jami’ 5136).
Dari
Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ
الجَنَّةَ
“Barangsiapa
bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua
janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga” (HR.
Bukhari 6474).
Sahl
bin Abdullah at-Tustari berkata, “ Barang siapa berkata sesuatu yang tidak
bermanfaat sulit baginya untuk berkata jujur.” (Jami’ul ‘Ulum wal hikam, Ibnu
Rajab al-Hambali, hadits ke 12).
Barangsiapa
yang tidak mampu menjaga lisannya, berarti dia bukan termasuk orang yang
berakhlak dengan baik.
2.
Meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat.
Allah ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ
لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr [59]:
18-19).
Rasulullah shallallahu
’alaihi wasallam bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ
تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara kebaikan islam seseorang adalah
meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi 2317 Ibnu Majah 3976.
Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Abu Hurairah berkata, dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ: فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ
بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، وَكُلُّ سَيِّئَةٍ
يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِمِثْلِهَا.
"Apabila seorang dari kalian baik keislamannya,
maka dari setiap ke- baikan yang dilakukannya akan ditulis baginya sepuluh
(kebaikan) semisalnya hingga tujuh ratus kali lipat, dan setiap satu kejelekan
yang dikerjakan akan ditulis satu kejelekan saja yang serupa dengannya hingga
ia menemui Allah.” (HR. Bukhari 42, Muslim 129, Ahmad 8217).
Hasan al-Basri berkata, “ Diantara ciri
berpalingnya Allah dari seorang hamba Dia membuatnya sibuk dengan hal-hal yang
tidak bermanfaat.” (Jami’ul ‘Ulum wal hikam, Ibnu Rajab al-Hambali, hadits ke
12).
3.
Tenang dan mampu menahan diri, terutama disaat marah.
Untuk
memiliki akhlaq yang baik seseorang harus mampu mengendalikan dirinya, oleh
karena itu Rasulullah memberi nasehat demikian itu.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
أَوْصِنِيْ
، قَالَ : لَا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : لَا تَغْضَبْ.
“Berilah aku wasiat” Beliau
menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya
berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau
jangan marah!”
لَيْسَ
الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ
الغَضَبِ.
“Orang yang
kuat bukanlah yang pandai bergulat, sungguh orang yang kuat adalah yang mampu
menguasai dirinya ketika marah.” (Bukhari 6114, Muslim 2609).
Dari Sahl
bin Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy, dari ayahnya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda:
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ
يَسْتَطِيعُ أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ
الخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ فِي أَيِّ الحُورِ شَاءَ.
“Barangsiapa menahan
kemarahan, sedangkan dia mampu melampiaskannya, niscaya pada hari kiamat Allah
‘Azza Wa Jalla akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, sehingga Allah
memberinya hak memilih di antara bidadari sorga yang dia kehendaki.” (HR. Tirmidzi,
2021, Abu Dawud 4777, Ibnu Majah 4186, Ahmad 15619, Dihasankan oleh Tirmidzi
dalam As-Sunan, syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 6522 dan Shahih
At-Targhib 2753).
Ketika
seseorang sedang marah, maka hendaknya dia tidak berbicara atau berbuat apapun.
Karena jika hal itu dilakukan, seringkali ucapan dan perbuatannya akan
mengeluarkan seseorang itu dari akhlak yang baik.
Oleh
karena itu, disebutkan dalam sebuah ucapan terkait jeleknya marah adalah:
الغَضَبُ أَوَّلُهُ جُنُوْنٌ
وَأٰخِرُهُ نَدَمٌ.
“Marah
itu awalnya perbuatan kegilaan dan pada akhirnya adalah sebuah penyesalan.”
Hal
itu terjadi karena saat marah ucapan dan tindakan yang dilakukan umumnya di
luar kontrol. Maka bagi seseorang yang sedang marah, hendaknya memiliki pola
dan metode untuk mencegahnya. Semisal yang disarankan Nabi dalam haditsnya,
yaitu jika marah dalam keadaan berdiri, maka hendaknya duduk. Jika marahnya
dalam posisi duduk, jika masih marah hendaknya berbaring, jika masih marah
hendaknya berwudhu. Dan dalam riwayat lain ketika sedang marah, hendaknya diam.
4.
Selamatnya hati.
Hendaknya
seseorang yang memiliki akhlaq baik mendasari kecintaan kepada sesama,
hendaknya menjauhkan diri dari sifat hasad, iri, dengki, dendam dan juga
kebencian tanpa alasan yang dibenarkan syari’at.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه.
“Tidaklah
seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya
sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari 13, Muslim 45).
Hadits
ini dijadikan sandaran oleh para ulama dalam bab akhlak, yaitu hendaknya hati
seseorang itu selamat dari sifat-sifat yang tidak terpuji, baik berupa hasad,
iri, dengki, dan berbagai macam penyakit hati yang lain.
Tidak
jarang berbagai macam penyakit muncul pada badan hal itu bermula dari hati yang
kotornya yaitu hasad, iri dan dengki tersebut.
Begitu
pula seorang muslim hendaknya tidak berburuk sangka kepada saudaranya sesama
muslim.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا
تَجَسَّسُوا.
“Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan
berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (QS. Al-Hujurat[49]: 12).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا
وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا.
“Berhati-hatilah
kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah
sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang
lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling
membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari 5143,
Muslim 2563).
Inilah hukum
asal prasangka buruk terhadap sesama Muslim, yaitu terlarang. Karena kehormatan
seorang Muslim pada asalnya terjaga dan mulia.
Orang
yang penuh dengan prasangka dan kecurigaan adalah orang yang tidak
memiliki adab dan akhlak yang baik. Karena kecurigaan akan mendorong perbuatan
yang tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain, sikap seperti ini
telah mengeluarkan seseorang untuk memiliki keistimewaan adab dan akhlaq yang
baik.
Sebagaimana
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ
دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ.
“Maka sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian, kehormatan
kalian haram atas sesama kalian.” ( HR. Bukhari 105, 1679).
Demikianlah pilar-pilar akhlaq ini hendaknya dimiliki setiap kaum
muslimin.
-----000-----
BAB
5
TIGA
AKHLAQ PENTING SAAT BERSAMA MANUSIA.
Hasan
Al-Basri mengatakan, akhlaq yang baik terkumpul
dalam tiga ungkapan berikut, Kafful adza (menahan gangguan kepada orang lain),
badzlun nada (memberikan manfaat kepada orang lain), Thalaqatul wajhi (wajah yang berseri-seri). (Begitupula disebutkan Syaikh Muhammad Bin Shalih
al-Utsaimin di dalam kitab Syahu Riyadhus Shalihin bab Husnul Khuluq).
Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
1.
Kafful adza (menahan diri
dari mengganggu), yaitu dengan tidak
mengganggu orang lain baik melalui ucapan maupun perbuatannya.
Mengganggu orang lain dengan lisannya, baik dengan cibiran,
cacian, makian, hinaan dan umpatan, hal ini bila dilakukan tanpa alasan
termasuk perbuatan dosa dan merupakan bentuk-bentuk gangguan kepada orang lain.
Allah ta’ala berfirman:
وَيَنْهَى
عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ.
“Dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji,
kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl [16]:90).
وَالَّذِينَ
يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ
احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا.
"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin
dan mukminat dengan perkataan atau perbuatan tanpa ada kesalahan yang mereka
lakukan, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al-Ahzab: 58),
قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ
مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا.
“Perkataan
yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan
yang menyakiti.” (QS. Al-Baqarah [2]:263).
Kemudian Allah ta’ala
berfirman:
قَوْلٌ
مَعْرُوفٌ
“Perkataan yang
baik.” (QS. Al-Baqarah[2]: 263).
Yang dimaksud
ialah kalimat yang baik dan doa buat orang muslim.
وَمَغْفِرَةٌ
“Dan pemberian
maaf.” (QS. Al-Baqarah[2]: 263).
Yakni memaafkan
dan mengampuni perbuatan aniaya yang ditujukan terhadap dirinya, baik berupa
ucapan maupun perbuatan.
خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُها
أَذىً
lebih baik
daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan. (Tafsir Ibnu
Katsir, QS. Al-Baqarah: 263).
Dari Abdullah
bin 'Amru dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ.
“Seorang muslim adalah orang
yang kaum muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” ( HR. Bukhari 10,
6468, Muslim 41).
وَإ ِمَاطَتُكَ الْـحَجَرَ وَالشَّوْكَةَ
وَالْعَظْمَ عَنِ الطَّرِيْقِ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فِـيْ
دَلْوِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ.
“Engkau menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan
adalah sedekah, engkau menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu adalah
sedekah.” (HR. Tirmidzi 1956, Shahih Ibnu Hibban 474, dishahihkan Syaikh
al-Albani di dalam Ash-Shahihah 572).
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الْإِيمَانُ
بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ : لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ،
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ.
“Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam
puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan La ilaha illallah, dan
yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan, malu itu termasuk
bagian dari iman.” (HR. Bukhari 9, Muslim 35, Ahmad 9361, Abu Dawud 4676).
2.
Badzlu nada (memberikan manfaat
dan kebaikan yang dimiliki),
yaitu memberikan apa yang dimilikinya berupa harta atau ilmu, kedudukan dan
kebaikan lainnya.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ
بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ
رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ.
Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan
siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat
pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak
bersedih hati. (QS. Al-Baqarah[2]:274).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَفَقَةُ الرَّجُلِ
عَلَـىٰ أَهْلِهِ صَدَقَةٌ.
“Nafkah seorang suami kepada keluarganya (istrinya) adalah
sedekah.” (QS. Bukhari 4006, Tirmidzi 1965).
أَنَّ امْرَأَةً بَغِيًّا رَأَتْ
كَلْبًا فِى يَوْمٍ حَارٍّ يُطِيفُ بِبِئْرٍ قَدْ أَدْلَعَ لِسَانَهُ مِنَ
الْعَطَشِ فَنَزَعَتْ لَهُ بِمُوقِهَا فَغُفِرَ لَهَا.
“Ada
seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panas terik. Anjing
itu menngelilingi sumur tersebut sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan.
Lalu wanita itu melepas sepatunya (lalu menimba air dengannya). Ia pun diampuni
karena amalannya tersebut.” (HR. Ahmad 10583, Muslim 2245).
خَيْرُ الناسِ أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ.
“Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR.
Thabrani al-Mu’jam al-Awasath 6/52, Dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam
shahihul jami’ 3289, Ash-Shahihah 427).
Dari
Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, Dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
كُلُّ
مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ
“Semua
kebaikan itu adalah sedekah.” (HR. Bukhari 6021, Muslim 1005).
3.
Thalaqatul wajhi (muka
berseri-seri, ramah), dengan cara menampakkan
wajah berseri apabila berjumpa dengan sesama. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/457).
Allah ta’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ.
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS.
Al-A’raf[7]:199).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ،
وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ
حَسَنٍ.
“Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kau berada, dan hendaknya
setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya.
Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987, dihasankan Syaikh
al-Albani di dalam Al-Misykah 16).
تَبَسُّمُكَ
فِـيْ وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ.
“Senyummu kepada saudaramu
adalah sedekah…”(HR. Tirmidzi 1956, Shahih Ibnu Hibban 474, dishahihkan Syaikh
al-Albani di dalam Ash-Shahihah 572).
لَا
تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ
طَلْقٍ.
“Janganlah
engkau menganggap remeh perbuatan baik sedikit pun, meskipun engkau berjumpa
saudaramu dengan wajah berseri-seri” (HR. Muslim 2626, Ahmad 20635).
-----000-----
BAB 6.
IKHLAS.
Dasar-dasar akhlaq yang baik diantaranya
yaitu:
1. Ikhlas dan
Ittiba’.
Ikhlas merupakan sumber kebaikan di
dunia dan di akhirat, dimana seseorang tidak beramal kecuali karena Allah
semata demiikian pula hendaknya ittiba’ yaitu mengikuti sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alahi wa sallam, karena dengan berpatokan ikhlas dan ittiba’ ini
menjadikan seseorang terbimbing.
Allah ta’ala berfirman:
ومَا أُمِرُوْا إِلاَّلِيَعْبُدُاللهَ مُخْلِصِيْنَ
لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus…”(QS. Al-Bayyinah[98] : 5).
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ.
“Maka sembahlah
Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar [39]:2).
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ
عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
“Maka barangsiapa mengharap pertemuan
dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia
mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS.
Alkahfi [18]:110).
Yakni dengan
mengerjakan amal yang semata-mata hanya karena Allah, tiada sekutu bagi-Nya.
Demikianlah syarat utama dari amal yang diterima oleh Allah ta’ala, yaitu harus
ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan syariat yang telah dijelaskan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tafsir Ibnu Katsir, QS.
Al-Kahfi [17]:110).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ،
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.
“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan
sesuai niatnya.” (HR Bukhari 1, 6689, Muslim 1907).
Allah tidak melihat harta dan rupa tetapi melihat amal dan
akhlaq kita.
إِنَّ
اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلاَ صُوَرِكُـمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى
قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta-harta
kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal
kalian.”(Muslim 2564).
Banyak orang berkata, “Meskipun saya tidak shalat, tidak memakai jilbab
yang penting hati kita baik dan tidak mengganggu orang lain.” Maka kita
katakan, “ orang seperti ini baik menurut pandangan manusia tapi menurut Allah
tidak demikian, karena Allah melihat hati kita dan amal perbuatan kita,
seseorang yang tidak taat kepada Allah tidak dianggap baik oleh Allah ta’ala, hendaknya
baik menurut manusia juga baik menurut Allah, yaitu mentaati apa yang
diperintahkan Allah ta’ala.”
Sufyan
ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah aku mengobati suatu penyakit
yang lebih sulit daripada masalah niatku. Karena ia sering
berbolak-balik.” (lihat Hilyah thalabul ilmi syaikh Bakar bin Abdullah Abu
Zaid).
Yusuf bin Al
Husain Ar-Razi rahimahullah mengatakan,
”Sesuatu yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas. Betapa sering aku
berusaha mengenyahkan riya’ dari dalam hatiku, namun sepertinya ia kembali
muncul dengan warna yang lain.” (Jami’ul
‘Ulum, hal. 25).
Diriwayatkan
dari Mutharrif bin Abdullah rahimahullah bahwa
dia mengatakan, ”Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Sedangkan baiknya
amalan adalah dengan baiknya niat.” (Jami’ul
‘Ulum, hal. 17)
Dari Ibnul
Mubarak rahimahullah, dia
mengatakan, ”Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar gara-gara niat. Dan
betapa banyak amal yang besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 17).
Sahl bin
Abdullah rahimahullah mengatakan,
”Tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi jiwa daripada keikhlasan, karena di
dalamnya hawa nafsu tidak ambil bagian sama sekali.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 25).
-----000----
BAB 7.
JUJUR.
Sifat Jujur.
Jujur maknanya selaras antara lahir dan batin
seseorang dengan berita yang diberitakan atau perbuatan yang ditampakan.
Sifat jujur merupakan salah satu
karakter mulia yang amat dianjurkan di dalam agama islam.
Kebenaran dan kejujuran tutur kata
adalah indikasi kewibawaan, ke muliaan jiwa, kebersihan hati, ketinggian motivasi,
kekuatan akal, sehingga menjadikan manusia cinta kepada dirinya.
Sebaliknya siapapun orangnya tidak
akan suka jika dirinya didustai ataupun dikhianati.
Orang yang mengabaikan kejujuran,
memiliki kedangkalan fikir, mencidrai dirinya, ilmunya, keluarganya, dan orang
lain, dia memiliki kepribadian yang buruk.
Orang yang tidak jujur secara tidak
langsung telah meremehkan dan merendahkan orang lain, dan siapapun tidak akan
ridha jika diremehkan maupun direndahkan.
Oleh karena itu agama ini benar-benar
melarang dusta dan menganjurkan agar berhias dengan kejujuran, memperingatkan
bahayanya dusta dan akibat yang akan diterima kelak di akhirat.
Allah Azza wa Jalla berfiman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ ۗ
وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar,
niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu.
Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenengan yang besar.” (QS.Al-Ahzab[33] : 70-71).
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah
kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah[9]:119).
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ
الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ
صِدِّيقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ
يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا .
“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, sedangkan
kebaikan akan membawa kedalam surga, tidaklah seseorang selalu jujur hingga dicatat
seorang yang jujur, sesungguhnya dusta membawa kepada kefajiran, sesungguhnya
kefajiran akan membawa kedalam neraka, tidaklah seseorang berkata dusta hingga
di catat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari 6094, Muslim
2607).
Bentuk-bentuk kejujuran yang harus selalu dipegang:
1) Jujur dalam
niat. Agar Ikhlas di
dalam beramal kepada Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ.
“Maka sembahlah
Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar [39]:2).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
Allah Tabaraka
wa Ta’ala berfirman:
أَنَا أَغْنَى
الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى
تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ.
“Aku tidaklah butuh adanya
tandingan-tandingan. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal dalam keadaan
menyekutukan Aku dengan selain Aku, maka Aku akan meninggalkan dia dan
perbuatan syiriknya itu.’” (HR. Muslim 2985, Ibnu Majah 4202).
Imam Nawawi di dalam syarah Muslim mengatakan, “ Maknanya
Aku (Allah ta’ala) tidak membutuhkan sekutu, barang siapa beramal untukku namun
juga untuk selainku Aku tidak akan menerimanya aku tinggalkan padanya, yang di
maksud, batallah amal orang-orang yang riya, dan tidak mendapatkan pahala
maupun balasan.”
2) Jujur dalam berkata.
Selalu menjaga
lisannya untuk tidak berdusta.
Allah ta’ala menyebutkan bagaimana orang munafiq mereka suka berdusta:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ
وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ . يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ
إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ.
“Di
antara manusia ada yang mengatakan: ‘kami beriman kepada Allah dan Hari
Kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya
menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah [2]:8-9).
Ayat ini menunjukan orang munafiq selalu
menghiasi ucapan mereka dengan dusta.
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dari Nabi
shallallah ‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ
المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ.
“Tanda
orang munafik itu tiga apabila ia berkata dusta, apabila berjanji mengingkari,
dan apabila dipercaya mengkhianati” (HR.
Bukhari 33, 2682, Muslim 59).
Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan, “Orang-orang munafik itu
akan terus ada sepanjang masa. Apalagi tatkala kekuatan Islam nampak dan mereka
benar-benar tidak bisa mengalahkannya. Saat itulah mereka memeluk Islam dengan
tujuan memasang makar buat Islam dan orang-orang Islam dalam hati mereka.” (Kitab At-Tauhid hlm. 20).
Allah ta’ala berfirman:
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا.
“Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra[17]: 36).
Qatadah
menjelaskan ayat di atas, “Janganlah kamu katakan ‘Aku melihat’ padahal kamu
tidak melihat, jangan pula katakan ‘Aku mendengar’ sedang kamu tidak mendengar,
dan jangan katakan ‘Aku tahu’ sedang kamu tidak mengetahui, karena sesungguhnya
Allah akan meminta pertanggung-jawaban atas semua hal tersebut.” (Tafsir Ibnu
Katsir QS. Al-Isra’[17]:36).
3) Jujur dalam
perbuatan. Selaras
antara hati dan perbuatannya.
Allah ta’ala berfirman:
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا
وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ
مُسْتَهْزِئُونَ.
“Apabila mereka menjumpai orang-orang mukmin,
mereka berkata, ‘Kami telah beriman.’ Namun jika mereka menyendiri beserta
dedengkot-dedengkotnya, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami di pihak kalian.
Hanya saja kami hendak mengolok-olok kaum mukmin.” (QS: Al-Baqarah [2]:
14).
Demikian pula orang yang memerintahkan kebaikan sementara
mereka hati mereka mengingkari, mereka termasuk keumuman firman Allah ta’ala:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ
أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ.
“Mengapa kamu
menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu
sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?”
(QS.Al-Baqarah [2]:44).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ
مَا لَا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ
تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ.
Wahai orang-orang beriman! Mengapa kamu mengatakan
apa yang tidak kamu kerjakan? (iu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu
mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan (QS. As-Saff [61]:
2-3).
Tingkatan hal ini:
Pertama: Orang yang paling baik adalah mereka
yang memerintahkan dan menjalankan apa yang diperintahkan, melarang sesuatu dan
meninggalkan apa yang dilarang tersebut.
Kedua: Orang yang memerintahkan kebaikan dan
melarang keburukan, namun mereka tidak menjalankan, sedang dirinya melakukan
apa yang dilarang tersebut.
Ketiga: Orang yang tidak mau menyuruh
kebaikan dan tidak menjalankan tidak pula melarang keburukan tersebut.
Keempat: Orang yang melarang kebaikan dan
memerintahkan keburukan, orang seperti ini yang paling buruk.
4) Jujur dalam
berpakaian dan penampilan. Apa yang dipakai sesuai kenyataannya.
Seorang muslim hendaknya berpakaian sopan, menutup auratnya,
tidak berlebihan dan tidak menghnakan dirinya, begitu pula tidak boleh menipu
orang lain, berapa banyak seseorang memakai pakaian untuk mengelabuhi manusia seperti
halnya:
Memakai pakaian seragam tertentu sedang dirinya bukan bagiannya,
hal itu terkadang dimaksudkan untuk mengelabuhi manusia.
Banyak orang kaya memakai baju pengemis, dan menjadikan
ngemis sebagai profesi untuk memperkaya diri dengan mengemis tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا
يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.
“Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat
ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di
wajahnya” (HR. Bukhari 1474, Muslim 1040 ).
Ada juga orang yang tidak mampu tapi berpenampilan seperti
milyader.
Mereka rela berpakaian mewah, berpenampilan seksi berkilauan
perhiasan, mereka hanya ingin berpenampilan wah, tapi kenyataanya semua serba
pinjam, semua serba setoran, mereka hanya ingin agar orang-orang kagum pada
dirinya, agar orang lain takjub, iri, di mana sebenarnya orang seperti ini
telah mendustai dirinya sendiri.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang hal ini. Beliau bersabda:
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلَابِسِ
ثَوْبَيْ زُورٍ.
“Orang yang (berpura-pura) berpenampilan dengan sesuatu yang
tidak diberikan kepadanya bagaikan orang yang memakai dua pakaian palsu
(kedustaan).” (HR. Bukhari 5219, Muslim 2130).
Abu U’baid berkata, “ Orang yang menghiasi dirinya dengan
kebatilan.” (Syarah Shahih Bukhari li Ibni Bathal).
Ada juga orang yang ingin terlihat tinggi namun badan
pas-pasan, dia pun memakai sandal dengan hak yang tinggi atau jinjit, semua itu
dilarang di dalam agama sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dalam hadits
dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda:
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ كَانَتْ
قَصِيرَةً فَاتَّخَذَتْ لَهَا نَعْلَيْنِ مِنْ خَشَبٍ فَكَانَتْ تَمْشِي بَيْنَ
امْرَأَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ تَطَاوَلُ بِهِمَا.
“Ada seorang wanita Bani Israel yang bertubuh pendek memakai
sandal dari kayu. Kemudian berjalan diantara dua wanita yang tinggi agar
terlihat tinggi dengan sandal itu. (HR. Ibnu Hibban 5592, dishahihkan Syaikh al-Albani
di dalam As-Shahihah 486).
Begitu pula memakai konde (menyambung rambut) wig, dan oprasi
plastic agar hidungnya mancung dan lain sebagainya, semua ini dilarang di dalam
agama, karena ini adalah penipuan (tazwir), dimana menampakkan kondisi yang
tidak sesuai kenyataan aslinya.
Telah datang seorang wanita kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam beliau mengingkari hal itu..
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ لِي ابْنَةً
عُرَيِّسًا أَصَابَتْهَا حَصْبَةٌ فَتَمَرَّقَ شَعْرُهَا أَفَأَصِلُهُ، فَقَالَ:
لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ.
Datang seorang wanita ke Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya anak
putri yang akan menikah, dia kena penyakit campak sehingga rambutnya rontok,
saya hendak menyambung rambutnya.” Nabi bersabda, “Allah melaknat wanita
penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari 5934, Muslim
2122, Ahmad 55905, Ibnu Majah 1988).
Wanita
yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah di atas,
sangat membutuhkan untuk bisa menutupi aib putrinya dengan menyambung
rambutnya. Meskipun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap
melarangnya, demikian pula menyambung bulu mata, diantara keburukannya yaitu:
.
1. Menyerupai
wanita kafir (tasyabbuh), karena kebiasaan ini berasal dari mereka dan telah menjadi
ciri khas mereka.
2. Merubah ciptaan
Allah ta’ala.
3. Sebagian ahli
menyebut bahwa bulu mata palsu membahayakan kelopak mata dan mengakibatkan bulu
mata yang asli jadi rontok.
4. Pencitraan,
tampil menipu dengan kecantikan yang tidak dimiliki dan senang dipuji dengan
hal tersebut.
5. Alat kecantikan
ini pada umumnya dipakai di Indonesia untuk di luar rumah, bukan untuk berhias
di depan suami. Dan hukum diberikan untuk kondisi yang ghalib dan jamak
terjadi.
5) Jujur dalam
janji. Menepati jani.
Hendaknya seorang muslim menepati janjinya, hal ini akan
mendatangkan kecintaan Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ.
“Sebenarnya
barangsiapa menepati janji dan bertakwa, maka sungguh, Allah mencintai
orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali-Imran[3]:76).
Sebagaimana hadits di
atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا
اؤْتُمِنَ خَانَ.
“Tanda orang munafik itu tiga
apabila ia berucap berdusta, jika membuat janji berdusta, dan jika dipercayai
mengkhianati” (HR. Bukhari 33, 2682,
Muslim 59).
Dewasa ini banyak
orang-orang muslim yang mereka tidak menepati janji mereka, baik ketika hendak
memenuhi undangan, membayar hutang, memberi hadiah ataupun janji lainnya, tentu
sifat seperti ini menyerupai sifat-sifat orang munafiq.
Banyak orang yang dikecewakan telah menolong dengan
memberikan pinjaman kemudian mengingkari janjinya bahkan mengkhianati bahkan
berbuat dhalim kepada orang lain, akhirnya jarang sekali orang yang mau
meminjami dan suburlah tempat-tempat riba, hal ini juga yang paling cepat dalam
memutuskan persaudaraan, persahabatan, dan hilangnya kepercayaan orang lain.
6) Jujur dalam
pandangan. Tidak berkhianat
dan menjaga pandangannya.
Hendaknya seorang muslim menjaga pandangannya, tidak boleh
berkhianat, baik dalam keadaan sendiri maupun saat bersama, karena Allah
mengetahui pandangan yang jujur maupun yang berkhianat, hal ini sebagaimana
seseorang yang suka mencuri-curi pandangan, baik saat berjalan di kerumunan, ataupun
ketika Ikhtilath (bercampunya) antara
laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya dan mengumbar pandangannya.
Allah ta’ala
berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
يَصْنَعُونَ . وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا
ظَهَرَ مِنْهَا.
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar
mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu,
lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” (QS. An-Nur[24]:30-31).
Allah ta’ala berfirman:
يَعْلَمُ خَاۤىِٕنَةَ الْاَعْيُنِ وَمَا
تُخْفِى الصُّدُوْرُ.
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang
khianat dan apa yang tersembunyi di dalam dada. (QS. Gafir[40]: 19).
Ibnu
Katsir mengatakan, “Ayat ini merupakan peringatan bagi manusia agar selalu
merasa di bawah pengawasan Allah, sehingga mereka merasa malu dari Allah dengan
malu yang sebenar-benarnya, dan bertakwa kepada-Nya dengan takwa yang
sebenar-benarnya, dan merasa berada dalam pengawasan-Nya dengan perasaan
seseorang yang mengetahui bahwa Dia melihatnya. Karena sesungguhnya Allah
subhanahu wa ta’ala mengetahui pandangan mata yang khianat, sekalipun pada
lahiriahnya menampakkan pandangan yang jujur.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir QS
Al-Mu’min atau Gafir[40]:19).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ
زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا
الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا.
“Kedua mata zinanya adalah memandang,
kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, lidah zinanya adalah berbicara,
tangan zinanya adalah memegang, dan kaki zinanya adalah melangkah.“ (HR. Muslim 2657, Ahmad 8932).
7) Jujur dalam
berdagang. Selaras
apa yang disampaikan dengan barangnya.
Hendaknya seorang muslim berdagang dengan sikap jujur, hal
ini akan menjadikan halal dan berkah di dalam jual beli mereka, bukan hanya
itu, pelanggan akan senang kepadanya, karena mereka akan merasa aman dan tidak
akan tertipu, karena pelanggan akan melihat integritas kita di dalam pelayanan
karena berdagang merupakan salah satu cara untuk mendapatkan rezki yang halal.
Allah ta’ala berfirman:
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا.
“Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]:275).
اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ
يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا، بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا،
وَإنْ كَتَمَا وَكَذَبَا، مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا.
“Penjual dan pembeli
memiliki hak khiyar selama mereka belum berpisah maka jika keduanya jujur dan
saling terbuka niscaya akad mereka diberkahi, dan jika keduanya berdusta dan
saling menutupi dicabut keberkahan dari akad yang mereka lakukan.” (HR. Bukhari
2079, 2082, Muslim 1532).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berdagang
dengan curang, diriwayatkan dari
‘Abdurrahman bin Syibel, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ
الْفُجَّارُ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ
قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ؟ قَالَ: بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ
فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ فَيَأْثَمُونَ .
“Para pedagang adalah tukang maksiat.”
Diantara para sahabat ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah Allah
telah menghalalkan jual-beli?”. Rasulullah menjawab: “Ya, namun mereka sering
berdusta dalam berkata, juga sering bersumpah namun sumpahnya palsu”.
(HR. Ahmad 15530, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 1594).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى.
“Barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR.
Muslim 102).
Diantara kecurangan
para pedagang:
Mengurangi timbangan,
mengurangi meteran, mengurangi kwalitas tanpa persetujuan, menambahkan campuran
yang tidak selayaknya, seperti gabah dituangi air, katul dituangi padas,
seperti susu dicampur dengan air, membuat madu palsu kemudian dikatakan asli,
murni, menampakkan yang baik dan menutupi yang buruk seperti penjual mobil,
motor, kain, beras, jagung, buah dan lain-lain, semua ini telah berdusta di
dalam berdagang, hukumnya haram dan menjauhkan keberkahan.
وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ
وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ .
“Dan tegakkanlah
timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS.
Ar-Rahman[55]:9).
Begitupula
bersumpah palsu, diriwayatkan dari sahabat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
الحَلِفُ
مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ، مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
“Sumpah itu melariskan barang dagangan, namun menghilangkan
keberkahan.” (HR. Bukhari 2087, Muslim 1606).
Dengan sumpah palsu ataupun dusta dapat melariskan dagangan,
tapi menjauhkan keberkahan, hendaknya seorang muslim bukan hanya mencari
banyaknya laba yang di dapat tapi juga mencari berkahnya.
8) Jujur dalam
berkasih sayang kepada sesama muslim. Cinta karena Allah benci karena Allah, tidak saling
menjerumuskan.
Seorang muslim seperti satu bangunan, saling menguatkan satu
dengan yang lain, oleh karena itu hendaknya berbuat baik dalam setiap keadaan,
Allah dan Rasul-Nya melarang keras menelantarkan atau merendahkan.
Hendaknya mencintai mereka dengan tulus karena Allah ta’ala, sebab
orang-orang yang berkasih sayang hanya karena dunia semata kelak akan menyesal.
Allah ta’ala berfirman:
الْأَخِلَّاءُ
يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ.
“Orang-orang yang berkasih sayang karena dunia,
pada hari kiamat nanti sebagian mereka akan menjadi musuh untuk yang lain
kecuali orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf[43]: 67).
Yakni semua sahabat dan teman yang didasari bukan
karena Allah, kelak di hari kiamat berbalik menjadi permusuhan. Kecuali apa
yang berdasarkan karena Allah subhanahu wa ta’ala. (Tafsir Ibnu Katsir QS.
Az-Zuhruf [43]: 67).
مُحَمَّدٌ
رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ
بَيْنَهُمْ.
“Muhammad itu
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah
keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (Al-Fath [48]: 29).
وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا.
“Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi
kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.” (QS. Al-Baqarah[2]:231).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
المُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ
بَعْضُهُ بَعْضًا, وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Seorang Mukmin
dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu sama
lain.” Dan beliau menjalin jemarinya sebagian kesebagian yang lain.” (HR. Bukhari
2446, 6026, Muslim 2585).
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ،
وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ
شَيْءٌ، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.
“Perumpamaan kaum
Mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti
satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota
tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan
demam.” (HR. Muslim 2586, Ahmad 18373).
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لاَ
يَجِدُ أَحَدٌ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ حَتَّى يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا
لِلَّهِ، وَحَتَّى أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ
يَرْجِعَ إِلَى الكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ، وَحَتَّى يَكُونَ
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا.
“Seseorang
tidak akan pernah mendapatkan manisnya iman sehingga ia mencintai seseorang,
tidak mencintainya kecuali karena Allah, sehingga ia dilemparkan ke dalam api
lebih ia sukai daripada kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan
darinya dan sehingga Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya.” (HR.
Bukhari 6041).
Hendaknya seorang
muslim saling mencintai saudaranya karena Allah ta’ala, seandainya saudaranya
berbalik fasiq ataupun murtad (wal iyadzubillah) berpisah juga karena Allah,
sebagaimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
رَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ
اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ.
“Dua
orang yang saling mencintai karena Allah, bekumpul karena Allah, benci pun
karena Allah.” (HR. Bukhari 660, Muslim 1031).
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْحُبُّ
فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ.
“Sekuat-kuatnya
tali iman adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Thabrani
11537, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash- Shahihah 998).
Tidak
boleh seorang muslim mencela dan memusuhi bahkan menjerumuskan saudarannya baik
laki-laki maupun perempuan.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلَا
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ..
“Sesungguhnya darah
kalian, harta kalian, kehormatan kalian haram atas kalian…” (HR. Ahmad 18966, Muslim
1218, Abu Dawud 1905).
Adapun
dusta yang diijinkan oleh syari’at yaitu:
1.
Seorang
suami mendustai istrinya dalam hal cinta, makanan, ataupun pujian yang tidak
sesuai, hal itu dibolehkan syari’at.
2.
Ataupun
berdusta untuk mendamaikan dua orang yang berselisih.
3.
Mengatur
siasat perang, semua itu di bolehkan di dalam agama.
9) Jujur dalam
memberi. Agar
memberi karena Allah ta’ala.
Bukan karena mengharapkan imbalan lebih banyak, minta
dukungan, ingin disebut dermawan atau tendensi yang lainnya.
وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ
السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا.
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang
dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS. Al-Isra’
[17]:26).
Rasulullah
shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ
لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ.
“Siapa
yang cintanya karena Allah, bencinya karena Allah, memberinya karena Allah dan
tidak memberi pun karena Allah, maka sungguh telah sempurna keimanannya.” (HR.
Abu Dawud 4681 Thabrani 7613 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam
Ash-Shahihah 380).
10)
Jujur dalam kemampuan. Sesuai kemampuan yang dimiliki.
Seorang muslim hendaknya jujur dalam kemampunnya, kita bisa
membayangkan bagaimana seandainya seseorang tidak memiliki kemampuan reparasi
kemudian dia melakukan hal itu tentu akan semakin merusaknya, demikian pula
tidak mampu menyopir dia bilang mampu tentu akan membahayakan nyawa orang lain,
oleh karena itu seorang muslim tidak boleh untuk bersikap sok tahu, padahal dia
tidak tahu, sok bisa padahal tidak bisa, sok kuat padahal lemah, dan lain-lain
sehingga hal ini bisa membahayakan orang lain baik hartanya maupun nyawanya
seperti orang-orang yang melakukan malpraktik.
Perkara seperti ini mencakup urusan dunia maupun urusan
akhirat.
Allah ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
"Maka bertakwalah
kepada Allah semampumu." (QS. At-Tagabun[64]: 16).
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا
إِلَّا وُسْعَهَا .
Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya.”(QS. Al-Baqarah[2]: 286).
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ
عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ،
فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ
عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ.
“Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah.
Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu
kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena
mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari 92,
Muslim 1337).
Diantara perkara-perkara yang menyelisihi kejujuran yaitu:
Pertama: kemusyrikan,
orang musyrik, mereka menampakkan beribadah kepada Allah akan tetapi
kenyataanya mereka beribadah kepada selain Allah.
Kedua:
Kemunafikan, orang munafik tidak dikatakan jujur karena antara hati dan
perbuatannya berlainan.
Ketiga: Pelaku
bid’ah, mereka seakan-akan mengikuti tuntunan dan sunnah Rasulullah akan tetapi
kenyataanya mereka membuat ajaran seendiri kemudian di atas namakan Rasulullah,
mereka berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ .
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang
tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.” (HR. Muslim 1718).
Keempat: Orang yang berdusta atas nama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ
عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ.
”Sesungguhnya berdusta atas namaku itu tidak sama dengan berdusta
atas nama orang lain. Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku,
maka persiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR.
Bukhari 1291, Muslim 4).
seorang mukmin benar keimananya kepada
Allah dan Rasul-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ
ءَامَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا
بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan
Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.“ (Al Hujurat[49]:15).
-----000-----
Kisah
teladan orang-orang yang jujur.
Allah
ta’ala perintahkan agar kita mengisahkan:
فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ.
"Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir." (QS.
Al-A'raf: 176).
Kisah kejujuran anak penjual susu.
Ketika Umar bin Khattab radhiallahu anhu pada masa
kekuasannya melarang mencampur laban (susu) dengan air, suatu malam dia
mengelilingi kota Madinah. Kemudian dia bersandar di sebuah dinding untuk
beristirahat. Ternyata seorang wanita sedang berpesan kepada puterinya untuk
mencampur laban dengan air. Maka sang puteri tersebut berkata, “Bagaimana aku
mencampurnya sedangkan Amirul Mukminin melarang hal tersebut.” Lalu wanita
tersebut berkata, “Amirul Mukminin tidak mengetahuinya.” Maka sang anak
menjawab, “Jika Umar tidak mengetahuinya, maka Tuhannya Umar mengetahuinya. Aku
tidak akan melaksanakannya selama hal tersebut telah dilarang.”
Ucapan sang anak perempuan tersebut sangat berkesan di
hati Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu. Maka di pagi harinya dia memanggil
puteranya bernama Ashim, lalu dia ceritakan kejadiannya dan dia beritahu
tempatnya, kemudian dia berkata, “Pergilah wahai anakku, nikahilah anak tersebut.”
Maka akhirnya Ashim menikahi puteri tersebut, dan dari perkawinan tersebut,
lahirlah Abdu Aziz bin Marwan bin Hakam, kamudian darinya lahir Umar bin Abdul
Aziz. (Disalin dari islamqa).
-----000-----
Kisah
Kejujuran pembeli tanah dan Sekantong Emas.
Sebagaimana disebutkan dalam
hadits shahih, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, seseorang membeli
tanah dari orang lain. Ternyata si pembeli bahwa di tanahnya terdapat sekantong
emas.
Pembeli berkata kepada si
penjual: “Ambillah emasmu dari aku, sesungguhnya aku hanya membeli tanahmu dan
tidak membeli emasmu.”
Penjual: “Sesungguhnya yang aku
jual adalah tanah dan apa yang terdapat di dalamnya.”
Akhirnya keduanya meminta
ketetapan hukum seorang hakim.
Hakim: “Apakah kalian memiliki
anak?”
Salah seorangnya berkata,
"Saya punya anak laki-laki." Yang satunya berkata, "Saya punya
anak perempuan."
Maka hakim berkata,
"Nikahkan anak laki-laki tersebut dengan anak perempuan tersebut, lalu
berikan itu semua kepada mereka berdua." Maka keduanya bersadaqah. (HR.
Bukhari 3472, Muslim 1721, disebutkan pula di islamqa).
-----000-----
Kisah
peminjam yang Jujur.
Imam Bukhari rahimahullah
meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau menyebutkan bahwa seseorng dari
Bani Israil meminta pinjaman kepada salah seorang dari Bani Israil sebanyak
seribu dinar. Lalu orang itu berkata, "Hadirkan beberapa orang saksi yang
menyaksikan ini." Maka dia berkata, "Cukuplah Allah sebagai
saksi." Lalu dia berkata, "Hadirkan orang yang dapat memberikan
jaminan." Dia berkata, "Cukuplah Allah sebagai jaminan." Maka
dia berkata, "Engkau benar." Dia ridha dengan jaminan Allah,
menunjukkan keimanan orang yang memberi hutang dan keyakinannya terhadap Allah
Azza wa Jalla.
Lalu dia memberinya seribu dinar
untuk jangka waktu tertentu. Kemudian sang peminjam berlayar untuk suatu
keperluan. Kemudian saat hendak kembali, dia mencari perahu yang dapat
mengantarnya pulang untuk melunasi hutang pada waktunya. Namun dia tidak
mendapatkan perahu. Maka dia mengambil sebatang perahu, lalu melobanginya,
kemudian dia memasukkan uang seribu dinar dan sehelai surat kepada pemberi
hutang. Kemudian lobang kayu tersebut dia tutup. Lalu dia pergi ke pantai dan
berkata, "Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku meminjam dari si fulan
sebanyak seribu dinar. Dia telah memintaku untuk menghadirkan penjamin, lalu
aku katakan 'Cukuplah Allah sebagai penjamin, lalu dia ridha Engkau (sebagai
penjamin)."
Kemudian dia meminta saksi
kepadaku, maka aku katakan kepadanya, "Cukuplah Allah sebagai saksi."
Lalu dia ridha dengan hal itu. Kini aku tidak mendapatkan kapal yang
mengantarkan aku kepadanya, sehingga aku tidak mampu (melunasi hutang)
kepadanya. Maka aku titipkan kepada Engkau uang ini.
Lalu dia lemparkan kayu berisi
uang tersebut hingga dia terapung di tengah lautan.
Dia melemparkannya dengan
keyakinan dan tawakal kepada Allah serta hatinya tenang bahwa dirinya telah
menitipkan sesuatu kepada Dzat yang tidak akan menyia-nyiakan titipannya.
Kemudian orang itu kembali
mencari-cari kapal yang dapat membawanya keluar dari negeri tersebut. Sementara
itu orang yang memberinya hutang pergi (ke pantai) untuk melihat-lihat apakah
ada kapal yang datang membawa orang yang meminjam hartanya. Ternyata dia kemudian
mendapatkan sebongkah kayu yang di dalamnya terdapat uang tersebut. Lalu dia
mengambilnya dan dibawa ke keluarganya untuk dijadikan kayu bakar. Ketika dia
hendak memotong kayu tersebut dengan gergaji, ternyata dia dapatkan uang
tersebut dan suratnya
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, "Kemudian orang yang meminjam tadi datang dengan membawa
uang seribu dinar, lalu dia berkata, 'Demi Allah, sebelum ini aku tidak
mendapatkan kapal yang dapat mengantarkan aku untuk membayar hutangmu." Lalu
si pemberi hutang berkata, "Apakah engkau telah mengirim sesuatu
untukku." Dia berkata, "Aku sudah kabarkan bahwa aku tidak
mendapatkan kapal untuk mengantarkan aku kepadamu." Maka orang itu
berkata, "Sesungguhnya Allah telah mengirimkan uang tersebut yang terdapat
di dalam kayu yang engkau kirim. Bawalah kembali uangmu yang seribu dinar
tersebut."
Maksudnya adalah bahwa ketika
orang yang berhutang dapat kembali ke negerinya, dia segera mendatangi orang
yang memberinya hutang dan membawa uang sebanyak seribu dinar yang lain. Karena
dia khawatir, uang yang dikirim melalui kayu tidak sampai kepadanya. Maka
ketika bertemu dia langsung meminta maaf dan menjelaskan keterlambatannya dalam
melunasi hutangnya tepat waktu. Maka orang yang memberi hutang tersebut mengabarkan
bahwa Allah Azza wa Jalla yang dijadikan orang tersebut sebagai saksi dan
penjaminnya telah melunaskan hutang untuknya pada waktunya yang tepat.
( HR. Bukhari 2291, juga disebutkan di dalam Islamqa).
-----000-----
BAB 8.
AMANAH
Kemuliaan sifat amanah.
Amanah
berarti dapat dipercaya dan bertanggung jawab terhadap tugas yang di embankan
sesuai dengan maksud dan tujuannya, hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala:
وَالَّذِينَ
هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ.
“Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara
amanat-amanat dan janjinya.” (QS. Al-Mukminun [23]:8).
Allah ta’ala juga berfirman:
إِنَّا
عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ
أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولًا.
"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat
kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat
bodoh." (QS. Al-Ahzab[33]: 72).
Maksudnya amanah yaitu apa yang diwajibkan oleh Allah
kepada manusia, bila manusia taat akan diberi pahala, bila dia maksiat akan
diberi adzab. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Ahzab [33]:72).
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam juga bersabda:
فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ
فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ
الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ .
"Apabila sifat Amanah sudah hilang, maka tunggulah
terjadinya kiamat". Orang itu bertanya, "Bagaimana hilangnya amanah
itu?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Jika urusan
diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat". (HR.
Bukhari 59).
Oleh karena itu para ulama banyak
yang mengatakan bahwa ayat dan hadits di atas maknanya luas dimana seseorang
harus menunaikan semua amanahnya.
Diantara bentuk amanah yang harus ditunaikan yaitu:
1) Amanah terhadap Allah ta’ala. Antara
lain yang menyangkut hak-hak Allah ta’ala atas hamba-hamba-Nya, seperti agar
mentauhidkan Allah ta’ala, salat, zakat, puasa, kafarat, semua jenis nazar,
serta perintah dan larangannya, maupun hak-hak Rasul-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kalian
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal [8]: 27).
Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan, Allah melarang kalian
berbuat khianat terhadap Allah dan Rasul-Nya, janganlah kalian berbuat seperti
apa yang dilakukan oleh orang-orang munafik. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Anfal
[8]:27).
2) Amanah terhadap sesama makhluk. Agar
berbuat baik kepada mereka.
Allah ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ
الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا.
“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga
jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh,
Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisa’
[4]:36).
3) Amanah pada jabatannya. Hendaknya tidak
menyalahgunakan jabatan, memonopoli maupun memanfaatkan untuk kepentingan
pribadi atau golongannya.
Hal ini berlaku seperti kepala negara, kepala daerah,
demikian pula jabatan umum seperti seorang hakim.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
“Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil. Dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS.
Al-Baqarah[2]: 188).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ
رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ، إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ.
“Tiada seorang hamba yang diberi amanah
rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan hamba itu
tidak akan mencium baunya surga.” (HR. Bukhari 7150).
Dari Ma’qil Bin Yasar Radhiyallahu anhu berkata,
aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ
اللَّهُ رَعِيَّةً,
يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ, وَهُوَ
غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ
,إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba pun yang diberi
amanah oleh Allah untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih
berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga
atasnya. (HR. Bukhari 7150, Muslim 142).
4) Amanah pada jasanya atau tenaganya. Tidak berlaku curang, culas dan menipu.
Hendaknya seorang muslim bersikap amanah, hal ini apa bila seseorang
bekerja ditempat orang lain, baik menjual jasa berupa tenaga, menjadi pegawai
negri, karyawan swasta, perbengkelan bahkan menjadi ART ataupun kuli sekalipun,
maka hendaknya memegang amanah.
Amanah yang harus diperhatikan:
Pertama: waktu bekerja, jam berapa wajib
hadir dari yang telah disepakati.
Kedua: waktu pulang, hendaknya sesuai
kesepakatan.
Ketiga: penggunaan fasilitas dan
perawatannya.
Keempat: penjagaan barang atau dagangannya
atau lainnya.
Kelima: saat bekerja itu sendiri,
hendaknya focus dan tidak hanya asal hadir.
Keenam: amanah dalam menjual jasa, seorang
muslim yang menjual jasa seperti perbengkelan, reparasi dan lainnya hendaknya amanah
dan tidak menipu para pelanggan, semisal ada kerusakan sedikit dibilang banyak,
tidak rusak dikatakan rusak, mengganti onderdil bekas dibilang baru, menuntut
upah yang tidak sesuai dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan.
Demikian pula menjual jasa ahli maupun birokrasi, jangan sampai
mendapatkan pesanan barang atau disuruh mencarikan barang justru dia main mata
dengan pemilik barang, padahal dirinya telah mendapatkan upah, demikian pula penjualan
property atau barang, hendaknya yang amanah, janganlah ketika mendapatkan
penawaran tinggi dikatakan rendah, tidak disampaikan sesuai perjanjian, tidak
mau mempertemukan kepada pemiliknya bahkan disampaikan secara dusta.
Sebaliknya pemilik property jangan sampai khianat dan tidak amanah,
menggunting dalam lipatan, memangkas jalan-jalannya dan meninggalkan orang yang
mencarikan pembeli.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ucapkanlah perkataan yang benar.” ( QS. Al-Ahzab [33]:70).
Oraqng-orang yang diberi amanah mencarikan barang, hewan, atau tanah
mereka telah mendapatkan upah, namun mereka mencari keuntungan dengan bermain
mata pada pemilik barang, semua ini menjauhkan dari keberkahan dan mengundang
kemurkaan Allah ta’ala.
5) Amanah terhadap hartanya. tidak boleh seseorang
membelanjakan hartanya pada kemaksiatan karena ini merupakan bentuk tabdir
(pemborosan).
Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا .
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ
لِرَبِّهِ كَفُورًا.
“Janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros." "Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra’[17]:26-27).
Ibnu
Mas'ud dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa istilah tab'zir berarti
membelanjakan harta bukan pada jalan yang benar.
Mujahid
mengatakan, "Seandainya seseorang membelanjakan semua hartanya dalam
kebenaran, dia bukanlah termasuk orang yang boros. Dan seandainya seseorang
membelanjakan satu mud bukan pada jalan yang benar, dia termasuk
seorang pemboros."
Qatadah mengatakan bahwa tab'zir ialah
membelanjakan harta di jalan maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, pada
jalan yang tidak benar, serta untuk kerusakan. (Tafsir Ibnu Katsir, QS.
Al-Isra’ [17]:26-27).
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ
يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا.
“Dan orang-orang
yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula
kikir), dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian.” (QS. Al-Furqan[25]:67).
Kelak orang-orang
yang memiliki harta akan ditanya tentang harta tersebut.
وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ
اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ.
“Tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke
mana dibelanjakannya.” (HR. Tirmidzi 2417, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam
Shahih sunan Tirmidzi 1969).
Termasuk melakukan perkara yang terlarang yaitu orang
laki-laki yang memakai pakaian sutra dan emas, sedangkan hal itu dibolehkan
bagi wanita, adapun menggunakan piring dari emas terlarang sebagaimana hadits
di bawah ini.
Dari Hudzaifah bin Yaman, dia berkata, Aku pernah
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَلْبَسُوا الحَرِيرَ وَلاَ
الدِّيبَاجَ، وَلاَ تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ، وَلاَ
تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَنَا فِي
الآخِرَةِ.
“Janganlah kalian mengenakan
sutra halus dan sutra kasar, dan janganlah kalian minum dengan menggunakan
bejana emas dan perak, janganlah kalian makan dengan piring emas dan perak,
karena yang demikian itu bagi mereka di dunia dan bagi kalian di akhirat.” (HR.
Bukhari 5426, Muslim 2067).”
6) Amanah pada anggota badannya. Tidak
boleh seseorang membiarkan anggota badannya maupun indranya melakukan
kemaksiatan.
Allah ta’ala berfirman kepada para laki-laki:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
يَصْنَعُونَ . وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا
ظَهَرَ مِنْهَا.
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar
mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu,
lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.
Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” (QS. An-Nur[24]:30-31).
Allah ta’ala berfirman:
يَعْلَمُ خَاۤىِٕنَةَ الْاَعْيُنِ وَمَا
تُخْفِى الصُّدُوْرُ.
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang
khianat dan apa yang tersembunyi di dalam dada. (QS. Gafir[40]: 19).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ
زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا
الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا.
“Kedua mata zinanya adalah memandang,
kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, lidah zinanya adalah berbicara,
tangan zinanya adalah memegang, dan kaki zinanya adalah melangkah.“ (HR. Muslim 2657, Ahmad 8932).
Dalam riwayat yang lain Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ
مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ،
وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ
وَيُكَذِّبُهُ .
"Sesungguhnya Allah
telah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, pasti mengenai hal itu apa
yang tidak bisa dihindarkan. Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga
adalah mendengarkan, zina lisan adalah mengucapkan, zina tangan adalah
menyentuh, zina kaki adalah melangkah, dan zina hati adalah nafsu dan berharap.
Sedangkan kemaluan, itulah yang membenarkan atau mendustakannya." (HR.
Bukhari 6243, 6612,
Di dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya
mewaspadai terhadap perempuan terutama yang bukan mahram, baik suaranya,
melihatnya, menyentuhnya, berjalan mendekatinya, keinginan hati untuk
bersenang-senang dengannya, atau sekedar berangan-angan karena semua itu
termasuk jenis-jenis zina, kita berlindung kepada Allah dari semua itu.
Berapa banyak orang yang asalnya
hanya main-main saja, namun akhirnya dia terperangkap rayuan setan karena
perzinaan takubahnya seperti pusaran yang bisa menyeret siapapun yang
mendekatinya dan akhirnya tenggelam, inilah hikmahnya kenapa Allah melarang
mendekati zina.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا
الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا.
Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh
suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’[17]:32).
Semua anggota badan kita kelak akan dimintai pertanggung
jawaban.
Allah ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ
نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ
بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ.
“Pada
hari ini Kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan berkata kepada Kami dan
kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”
(QS. Yasin[36]:65).
Termasuk dalam hal ini agar seseorang menjaga hatinya.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ
مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ
كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا.
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu
ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan
diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’ [17]:36).
Ibnu Katsir berkata, “Seseorang hamba akan dimintai
pertanggungjawaban tentang apa yang dilakukan oleh anggota-anggota tubuhnya itu
pada hari kiamat, dan semua anggota tubuhnya akan ditanyai tentang apa yang
dilakukan oleh pemiliknya.” (LIhat tafsir Ibnu Katsir, QS,
Al-Isra’[17]:36).
Allah mengancam orang-orang yang tidak menggunakan indranya
untuk memahami ayat-ayat Allah, sebaliknya indra tersebut indra tersebut
dipakai untuk bermaksiat kepada Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا
يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ
الْغَافِلُونَ.
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari
kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya
untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat
Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lengah.” (QS. AL-A’raf [7]:179).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ
أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا
تَحِلُّ لَهُ.
“Sesungguhnya andai kepala seseorang kalian ditusuk dengan jarum
yang terbuat dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang
tidak halal baginya.” (HR.Tabrani 486, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam
Ash-Shahihah 226).
Demikianlah indra kita dituntut untuk amanah dan menggunakan
pada keridhan Allah ta’ala.
7) Amanah terhadap ilmunya. Hendaknya seseorang amanah
dalam menuntut ilmu, mengamalkan dan menyampaikan ilmunya secara amanah.
Ilmu disini mencakup ilmu dunia maupun ilmu agama, hendaknya
mengamalkan ilmunya, menggunakan ilmu tersebut sesuai dengan keridhaan Allah
ta’ala, bukan semata-mata untuk mencari kekayaan dengan cara yang batil.
Seseorang memiliki ilmu dunia untuk mengelabuhi manusia,
sehingga dengan hal itu dia mengumpulkan hartanya.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang
berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-NIsa’(4):29).
Orang yang menampakkan dirinya alim ditengah manusia, hkemudian atas
nama investasi mereka mengumpulkan harta dari umat, setelah terkumpul mereka
berkhianat dan berdusta, tentu hal ini akan mencoreng keindahan islam.
Demikian pula diantara para da’i mereka menganggap dirinya suci dan
memiliki berkah sehingga melelang barang-barang yang di miliki dengan harga
yang tinggi kepada orang-orang yang tidak paham agama, semua ini bentuk
penipuan kepada umat.
Ada juga seorang da’i dimana mereka lupa bahwa ilmu adalah amanah,
mereka memasang tarif untuk dirinya, dan groupnya, tentu ini jelas tidak
amanah.
8) Amanah terhadap titipan. Hendaknya disampaikan kepada
yang berhaq menerimanya.
Allah ta’ala berfiman:
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا.
"Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan
amanah-amanah kepada pemiliknya." (QS. An-Nisa’ [4]: 58).
Abul Aliyah mengatakan, “Amanat itu ialah semua hal
yang mereka diperintahkan untuk melakukannya dan semua hal yang dilarang mereka
mengerjakannya.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. An-Nisa
[4]:58).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ
لَا عَهْدَ لَهُ.
"Tidak sempurna keimanan bagi orang yang tidak
amanah, dan tidak sempurna agama seseorang bagi yang tidak memenuhi
janji." (HR. Ahmad 12383, Tabrani di dalam Mu’jam 2292, dishahihkan Syaikh
al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 7179, al- Misykah 35).
Sebuah kisah dari salah satu tiga orang yang
diselamatkan Allah dari gua sebagaimana disebutkan dalam hadits:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ
الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ
أَجْرَهُمْ ( أَيْ : ثَمَنه) غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِي لَهُ وَذَهَبَ
فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ فَجَاءَنِي بَعْدَ حِينٍ
فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى
مِنْ أَجْرِكَ مِنْ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ فَقَالَ يَا
عَبْدَ اللَّهِ لا تَسْتَهْزِئُ بِي فَقُلْتُ إِنِّي لا أَسْتَهْزِئُ بِكَ
فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا اللَّهُمَّ
فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ
فِيهِ فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ.
Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Yang ketiga berkata, ‘Ya Allah, dahulu aku menyewa beberapa orang pekerja,
lalu aku berikan upah mereka masing-masing kecuali satu orang yang
meninggalkannya begitu saja. Maka upahnya tersebut aku kembangkan hingga
berkembang. Lalu (sekian lama kemudian) orang itu datang kepadaku dan berkata,
‘Wahai fulan, berikan upahku.’ Maka aku katakan kepadanya, ‘Semua yang engkau
lihat berupa onta, sapi, kambing dan budak adalah upahmu.” Maka orang itu
berkata, ‘Wahai Abdullah, jangan meledek aku,’ Aku berkata, ‘Sungguh aku tidak
meledekmu.” Lalu orang itu mengambil semua haknya tanpa menyisakan sedikitpun.
“Ya Allah, jika aku lakukan semua itu karena berharap wajah-Mu, maka
bebaskanlah aku dari apa yang aku alami ini.” Lalu batu itu bergerak sehingga
akhirnya mereka dapat keluar meninggalkan tempat tersebut. (HR. Bukhari 2272).
Lihatlah betapa dia sangat amanah, uang itu
dikembangkan sehingga menjadi banyak yang tentu hal ini akan menyenangkan hati
orang yang memilikinya tersebut.
Hendaknya para pemilik jasa, baik
itu titipan, reparasi, bengkel dan lainnya memberikan ketentuan yang jelas,
sehingga setelah sekian lama tidak diambil barulah dia mengambil tindakan,
jangan sampai hal ini menjadikan beban diakhirat kelak.
9) Amanah terhadap rahasia. Tidak membocorkan rahasia
siapapun.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ الحَدِيثَ ثُمَّ التَفَتَ فَهِيَ
أَمَانَةٌ.
“Jika seseorang menceritakan suatu peristiwa
kemudian ia berpaling, maka cerita itu menjadi amanah.” (HR. Tirmidzi 1959, Abu
Dawud 4868, Ahmad 14514. Dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah
1089).
10)
Amanah
terhadap waktunya. Hendaknya dia gunakan waktu pada keridhaan Allah
ta’ala.
Amanah terhadap waktu. Allah ta’ala berfirman:
وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ .
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.
Demi
masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang yang
beriman dan beramal shalih, saling nasehat-menasehati di dalam kebenaran dan
saling nasehat-menasihati di dalam kesabaran. (QS. Al-‘Ashr [103]:1-3).
Allah memuji orang-orang yang menunaikan amanahnya dengan baik di mana
hal ini merupakan salah satu sifat diantara sifat-sifat penghuni surga.
Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ.
"Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan
janjinya." (QS. Al-Mu’minun [8]:23).
Dari Abu
Hurairah, ia berkata, ‘Rasulullah telah bersabda:
أَذِّاْلأَمَانَةَ
إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ.
“Tunaikanlah
amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah kamu
mengkhianati orang yang mengkhianatimu” (HR. Ahmad 15424, Abu Dawud 3534, Tirmidzi
1264, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 240).
Demikianlah
hendaknya seseorang menjaga amanahnya, karena amanah diperintahkan di dalam
agama ini, barang sisapa menyia-nyiakan dia akan berdosa.
-----000-----
Kisah-kisah orang-orang yang
amanah.
Kisah amanahnya Umar Ibnul
Khatab.
Sebuah kisah,
Abdullah bin Umar juga bercerita. Suatu malam, Abdullah selaku anak datang
mengetok rumah Umar. Ia ingin berbicara dengan ayahnya yang merupakan seorang
pemimpin kaum muslimin. Mendengar ketokan pintu, Umar pun bertanya, “Siapa di
luar,” tanya.
Abdullah pun
menjawab. “Saya Abdullah bin Umar, anak mu,” katanya. Kemudian Umar
melanjutkan, “Ada keperluan apa, wahai Abdullah,”. “Aku ingin berbicara dengan
mu ayah,” jawab Abdullah.
Umar pun
mempersilahkan anaknya masuk rumah. “Kamu ingin berbicara untuk
kepentingan pribadi atau masalah negara atau masalah kaum muslimin,” tanya
Umar. “Saya ingin mebicarakan masalah pribadi, ayah,” tutur Abdullah.
Mendengar itu, Umar
meniup mematikan lampu yang ada di rumahnya. Abdullah heran, akan sikap Umar.
“Kenapa kamu matikan wahai amirul mukminin,” tanya Abdulla heran. Umar pun
menjelaskan, “Lampu ini merupakan fasilitas negara yang diberikan pada ku,
bagaimana mungkin aku mempergunakannya untuk membicarakan kepentingan pribadi
keluarga ku, “ tutur Umar. Jadilah keduanya berbicara dalam gelap malam.
(Tarikh Khulafa, Imam Jalaludin as-Suyuti).
-----000-----
Kisah Mubarak
seorang budak yang amanah
Dahulu kala ada seorang laki-laki yang bernama Mubarak, dia adalah
seorang pembantu dari seorang saudagar penduduk Hamdzan dari Bani Hanzhalah di
daerah Khurasan. Ia bekerja di perkebunan saudagar itu dalam jangka waktu yang
lama.
Pada suatu
hari, datanglah saudagar tersebut ke perkebunannya. Ia menyuruh Al-Mubarak
mengambilkan buah delima yang manis dari kebunnya. Al-Mubarak pun bergegas
mencari pohon delima dan memetik buahnya kemudian menyerahkan kepada tuannya.
Setelah
tuannya membelah dan memakannya, ternyata rasanya kecut. Maka marahlah dia
sambil berkata, “Aku minta yang rasanya manis, malah kamu berikan aku yang
kecut. Ambilkan yang manis!”
Al-Mubarak
pun pergi dan memetik delima dari pohon yang lain. Ketika tuannya tersebut
membelah dan memakannya untuk kedua kalinya, ternyata rasanya sama kecut, maka
tuannya sangat marah kepadanya dan memerintahkan Al-Mubarak untuk ketiga
kalinya memetik buah delima tersebut, dan ternyata sang tuan masih mendapatkan
rasa yang kecut.
Akhirnya
tuannya bertanya: ”Apa kamu tidak bisa membedakan yang manis dan yang
kecut?“ Al-Mubarak menjawab: “Tidak.”
“Mengapa?” tanya tuannya. “Karena saya tidak pernah mencicipi sedikit pun buah
tersebut sehingga saya tidak mengetahui rasanya,” jawab Al-Mubarak.
“Mengapa
kamu tidak mencicipinya?” tanya tuannya dengan perasaan kesal bercampur heran.
“Karena tuan
tidak pernah mengizinkan saya untuk memakannya.”
Tuannya
terdiam dan merenungkan ucapan Al-Mubarak dan akhirnya dia menyadari kejujuran
pembantunya itu. Maka menjadi mulialah al-Mubarak di mata tuannya sehingga sang
tuan pun menikahkan beliau dengan putrinya. Dari perkawinan tersebut, lahirlah
seorang anak laki-laki dari negeri Khurasan yang diberi nama Abdullah Ibnul
Mubarak yang kelak menjadi salah seorang ulama besar dalam sejarah islam.
(Sumber:
Siyar A’lam an-Nubala, Imam Adzahabi).
-----000-----
Kisah pengembala
yang amanah.
Nafi berkata, “Aku pergi bersama Ibnu Umar ke beberapa
daerah di pinggir kota. Ikut pula beberapa orang, lalu mereka membuka hidangan
untuk makan. Kemudian seorang anak penggembala melewati mereka. Maka Ibnu Umar
berkata kepadanya, “Ayo nak, mari makan.” Anak tersebut berkata, “Saya sedang
puasa.” Lalu Ibnu Umar berkata, “Pada hari panas seperti ini sedangkan engkau
sedang menggembala kambing di antara pegunungan, engkau berpuasa?” Sang anak
menjawab, “Aku ingin memanfaatkan waktu yang senggang.”
Ibnu Umar terpesona dengan anak tersebut, lalu dia
berkata, “Apakah engkau bersedia menjual seekor kambing dari gembalamu, lalu
akan kami sembelih dan kamu akan kami berikan makan dengan dagingnya lalu kami
akan berikan uangnya.”
Dia berkata, “Ini bukan milik saya, tapi milik tuan
saya.”
Ibnu Umar berkata, “Bukankah engkau dapat mengatakan
kepadanya bahwa seekor srigala telah memangsanya.”
Lalu sang anak tersebut pergi sambil mengangkat
jarinya ke langit seraya berkata, “Di mana Allah?”
Maka Ibnu Umar selalu mengulang-ulang perkataan, “Si
penggembala berkata, ‘Di mana Allah?’. Maka setelah tiba di Madinah, beliau
mengirim utusan kepada tuan anak tersebut untuk membeli budak tersebut beserta
gembalanya, lalu sang budak dimerdekakan dan hewan ternaknya diberikan
kepadanya. Semoga Allah merahmatinya.”
(Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Jauzi rahimahullah
dalam Kitab Sifatush-Shafwa, 2/188).
-----000-----
BAB
9.
SABAR.
Sifat sabar
Sifat sabar dibutuhkan oleh
manusia di setiap keadaannya, di mana semua aktifitas tidaklah akan berjalan
dengan baik apabila seseorang tidak memiliki kesabaran.
Pengertian sabar.
Sabar secara bahasa diambil dari kata al-habsu yang artinya
menahan.
Adapun secara istilah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah menahan nafsu
di dalam ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah,
serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah.”
(Syarhu Al-Ushulu Tsalatsah hal 22-23).
Ada kesabaran yang
sifatnya ikhtiyari (dapat diusahakan).
Ada juga sabar yang
sifatnya idhthirari (tidak dapat ditolak). (Tazkiyatun Nafs, DR. Ahmad Farid).
Sebagaimana apabila
seseorang mendapatkan musibah atau perkara yang tidak disukai.
Sabar idhthirari
dimiliki semua orang, karena semua orang akan menghadapi dinamika kehidupan
yang mau tidak mau pasti akan merasakan pahit getirnya kehdupan.
Sabar jenis pertama (ikhtiyari) lebih utama
daripada sabar yang kedua (idhthirari), oleh karena itu kesabaran nabi Yusuf
terhadap godaan Zulaiha lebih besar nilainya dari kesabaran ketika dibuang oleh
saudara-saudaranya.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّهُ
مَنْ يَتَّقِ وَيَصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ.
“Sungguh, Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada
kami. Sesungguhnya barangsiapa bertakwa dan bersabar, maka Sungguh, Allah tidak
menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf [12]:90).
وَإِنْ
تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ.
“Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya
yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan.” (QS. Ali-‘Imran
[3]:186).
Allah ta’ala berfirman:
أُولَئِكَ
يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا.
“Mereka itulah
orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan
sebab kesabaran mereka.” (QS.
Al-Furqaan [25]: 75).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman,
bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan
bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran [3] : 200).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ
أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ
أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ
صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ.
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah
baik baginya. Tidaklah hal itu terjadi kecuali pada seorang mukmin. Apabila
mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka itu baik baginya. Apabila tertimpa
kesusahan, dia pun bersabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim 2999, shahih Ibnu Hibban 2896).
Bentuk-bentuk kesabaran:
1.
Sabar di dalam keta’atan. Maksudnya
sabar di dalam berusaha menjalankan semua bentuk keta’atan, seperti menuntut
ilmu, beramal, berdakwah bersabar dalam menanggung gangguan dakwah.
Allah ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ
مَعَ الصَّابِرِينَ.
“Hai orang-orang yang beriman,
jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama
orang-orang yang sabar“. (QS. Al-Baqarah[2]: 153).
وَأْمُرْ
أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ
نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى.
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki
kepadamu, Kamilah yang
memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi
orang yang bertakwa.” (QS. Thaha [20]:132).
Diantara bentuk sabar dalam ketaatan yaitu:
1) Sabar menuntut ilmu.
Allah memerintahkan
dan memuji orang-orang yang menuntut ilmu.
Allah ta’ala berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ.
“Maka
ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah.” (QS.
Muhammad [47]:19).
وَمَا كَانَ
الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا
فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ.
“Tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (QS.At-Taubah [9]: 122).
يَرْفَعِ اللَّهُ
الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.
“Allah akan mengangkat derajat
orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang orang yang di beri ilmu
dengan beberapa derajat.” ( QS Al-Mujadilah[58]:11).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap
muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dishahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if
Sunan Ibnu Majah 224)
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.
“ Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka
Allah akan memberikan kefaqihan (pemahaman) agama baginya.“ (HR. Bukhari 71,
3116, Muslim 1037).
وَمَنْ
سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا
إِلَى الْجَنَّةِ.
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu,
Allah akan mempermudah baginya jalan menuju surga.” (H.R Muslim 2699,
Ahmad 7427).
Yang
dimaksud menempuh jalan untuk mencari ilmu, ada dua bentuk :
1)
Menempuh
jalan secara hakiki, yaitu dengan berjalan menuju tempat majelis ilmu.
2)
Menempuh
jalan secara maknawi, yaitu melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan ilmu
seperti medengarkan ceramah, menghafal, mempelajari, membaca buku yang
bermanfaat, menulis, serta perbuatan lainnya, untuk mendapatkan ilmu tersebut.
Ali
bin Abi Thalib berkata:
قِيْمَةُ الـمَرْءِ بِقَدْرِ مَا يُحْسِنُهُ.
”Nilai seseorang
adalah dengan diukur keahliannya.” (Hilyah thalaibil ‘ilmi, Bakar Bin Abi Zaid).
مَنْ لَمْ يَكُنْ
رُحَلَةً لَمْ يَكُنْ رُحْلَةً.
"Siapa yang tidak banyak
melakukan perjalanan, tidak akan layak menjadi tujuan perjalanan."
(Tadzkiratus sami wal mutakallim).
-----000-----
Kisah kesabaran dalam menuntut ilmu
Sebagaimana Syu’bah rahimahullah dia mengadakan
perjalanan sebulan penuh dalam rangka mencari sebuah hadits yang beliau dengar
melalui satu jalur yang belum pernah didapatkannya.
Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata,
“Telah sampai kepadaku dari seseorang dari sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sebuah hadits yang dia dengar dari
Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang aku belum pernah
mendengarnya. Maka aku membeli seokar unta, aku pasang pelana diatasnya, lalu
aku mengadakan perjalanan selama sebulan penuh hingga aku tiba di Syam. Maka
sahabat yang aku maksudkan adalah Abdullah bin Unais Al-Anshari. Kemudian
setelah sampai maka aku mengatakan kepada utusan Abdullah bin Unais, ‘Sampaikan
bahwa Jabir ada di depan pintu rumah.’ Maka sang utusan tersebut kembali lagi
menemui Jabir membawa pertanyaan Abdullah bin Unais. Dia bertanya, ‘Apakah
engkau adalah seorang yang bernama Jabir bin Abdillah?’. Maka aku katakan,
‘Betul’. Kemudian utusan tersebut kembali menemui Abdullah bin Unais dan
menyampaikan pesanku. Kemudian Abdullah bin Unais keluar menemuiku. Maka dia
memelukku dan akupun memeluknya. Aku katakan kepada Abdullah bin Unais, ‘Ada
sebuah hadits yang sampai ke telingaku bahwasannya engkau telah mendengar hadis
tersebut dari Rasulullah tentang masalah tindakan kedzaliman yang aku belum
pernah mendengar hadits tersebut dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan aku khawatir aku mati atau engkau mati terlebih dahulu sebelum
aku sempat mendengarnya.’” (Ar-Rihlah fii Talabil Hadits karya Al-Khatib
Al-Baghdadi hal. 110).
-----000-----
2) Sabar
mengamalkan ilmu.
Allah ta’ala berfirman:
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ.
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada
orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan)
surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS.Al-Baqarah[2]:25).
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ
خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ
بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ.
(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika
ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit
atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Luqman[31]: 16).
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ
يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ
اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ.
“Katakanlah, “Apakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
(QS. Az-Zumar[39:9).
اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ
الْعُلَمٰۤؤا.
“Hanya saja yang
takut kepada Allah dari sekian hamba-Nya adalah ulama.” (QS. Fatir[35]:28).
Bahayanya ilmu apabila
tidak diamalkan.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن
تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ.
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu
yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. “ (QS. Ash Shaf[61]:2-3)
أَتَأْمُرُونَ
النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ
أَفَلاَ تَعْقِلُونَ.
“ Mengapa
kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan kewajiban
dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu
berpikir? “ ( QS. Al-Baqarah [2]: 44).
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا
التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا ۚ بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ
اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ.
“Perumpamaan
orang-orang yang dipikulkan kepada mereka (kitab suci) Taurat, kemudian mereka
tiada menunaikannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab besar lagi
tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah
tiada memberi petunjuk bagi kaum yang zhalim.” (QS. Al-Jumu`ah [62]: 5).
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يُجَاءُ
بِالرَّجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ
فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ
النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ: أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ
تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ المُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ
آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَآتِيهِ.
“Kelak
akan didatangkan seorang laki-laki pada hari kiamat, lalu ia dilempar kedalam
api neraka, lalu membuat ususnya keluar, lalu ia berputar-putar seperti keledai
yang memutari penggilingan. Lalu penduduk neraka berkumpul mengerumuninya dan
berkata: ‘Hai Fulan, ada apa dengan kamu? Bukankah kamu dahulu menyuruh kepada
yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar?’ Maka orang ini berkata: ‘Iya,
dahulu aku menyuruh kalian kepada yang ma’ruf tapi aku tidak melakukannya, aku
melarang kalian dari perbuatan yang buruk tapi aku malah melakukannya.” (HR.
Bhukari 3267, Ahmad 21784).
Malik bin Dinar berkata:
إِذَا تَعَلَّمَ الْعَبْدُ الْعِلْمَ
لِيَعْمَلَ بِهِ كَسَرَهُ عِلْمُهُ وَإِذَا تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِغَيْرِ
الْعَمَلِ بِهِ زَادَهُ فَخْرًا.
“Jika
seorang hamba mempelajari suatu ilmu dengan tujuan untuk diamalkan, maka ilmu
itu akan membuatnya semakin merunduk. Namun jika seseorang mempelajari ilmu
bukan untuk diamalkan, maka itu hanya akan membuatnya semakin sombong (berbangga
diri).” (Hilyah Auliya’ wa Thabaqatul Asfiya’ 2:372, Abu Nu’aim al-Ashbahani).
Wahb
bin Munabbih berkata:
مَثَلُ مَنْ
تَعَلَّمَ عِلْمًا لَا يَعْمَلُ بِهِ كَمَثَلِ طَبِيبٍ مَعَهُ دَوَاءٌ لَا
يَتَدَاوَى بِهِ.
“Permisalan orang yang
memiliki ilmu lantas tidak diamalkan adalah seperti seorang dokter yang
memiliki obat namun ia tidak berobat dengannya.” (Hilyah Auliya’ wa Thabaqatul Asfiya’ 4:71 Abu Nu’aim
al-Ashbahani).
3) Sabar di dalam
berdakwah dan gangguan dakwah.
Berdakwah adalah
amalan yang sanagat mulia, hendaknya menguatkan podasi dakwah dengan ilmu dan
manhaj (Metode di dalam memahami agama) yang benar.
Allah ta’ala memuji para sahabat
dimana salah satu sifat mereka adalah mengajak kepada kebaikan dan mencegah
dari yang mungkar.
Allah berfirman:
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ.
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
(karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar,
dan beriman kepada Allah.”(QS. Al-Imran
[3]:110).
وَلْتَكُنْ
مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. AL-Imran[3]:104).
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata, amal ma’ruf nahi mungkar hendaknya
memiliki tiga bekal:
1)
Berilmu.
2)
Bersikap lemah lembut.
3)
Bersabar. ( Al-Amru bil makruf wa nahyu
‘anil mungkar).
Syaikh Muhamaad bin Shalih al-Utsaimin berkata: “Menjadi seorang da’i hendaknya memenuhi beberapa syarat
berikut ini:
Pertama: hendaknya ia
mengilmui apa yang ia dakwahkan.
Kedua: hendaknya ia
memahami kondisi orang-orang yang didakwahi.
Ketiga: hendaknya bersikap hikmah dalam dakwahnya.
Keempat: hendaknya da’i memiliki akhlak yang baik dalam perkataan,
perbuatan, dan penampilan. (Fatawa Nuurun ‘alad Darb, 2/24).
Bersabar dalam gangguan
dakwah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mendapatkan gangguan
yang berat di dalam dakwahnya hingga sebagiannya disebutkan Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ
وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ.
“Ketika mereka mendengar Al-Quran mereka berkata, ‘Dia (Muhammad)
adalah benar-benar orang gila’.” (QS.
Al-Qalam [68]: 51).
Al-Qur’an
dianggap dongeng orang dulu.
وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ .
Dan mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu..” (QS. Al-Furqon 25]: 5).
Mereka juga menyebut utusan Allah dengan tukang sihir.
Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَ
الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ.
“Orang-orang kafir berkata, ‘Orang ini adalah penyihir yang banyak
berdusta.”(QS Shad [38]: 4).
إِنَّهُمْ كَانُوا
إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ .وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو
آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ.
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan
kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak
disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri dan
mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan
sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (QS. Ash-Shaffat
[37]: 35-36).
Abu
Thalib berkali-kali didatangi orang-orang musyrik Makkah agar menghentikan
dakwah keponakannya, sampai ingin menukar Imarah bin Al-Walid dengan
Nabi Muhammad agar bisa membunuhnya, hal itu menjadikan Abu Thalib marah dan
tidak membiarkannya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam gangguan mereka.
Rasulullah
pernah berdakwah ke Tha’if, akan tetapi orang-orang Tha’if tidak mau menerima
dakwah beliau bahkan beliau dilempari batu hingga berdarah-darah.
Demikianlah
kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam berdakwah, seharusnya
diwarisi oleh setiap para da’i yang menyeru kepada Allah ta’ala. (Arrahiq
al-Makhtum, Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury).
-----000-----
Kisah
orang yang disiksa karena mengamalkan ilmu.
Kisah
tukang sihir, rahib dan seorang pemuda.
Peristiwa Ashhabul
Ukhdud adalah sebuah kejadian yang besar dimana orang-orang beriman dibantai
dan di sebuah parit-parit yang dinyalakan api di dalamnya, hal itu tidak lain
karena keimanannya kepada Allah ta’ala. Allah mengabadikannya di dalam Alquran.
Allah ta’ala
berfirman:
قُتِلَ
أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ . النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ .
“Binasa dan
terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan)
kayu bakar.” (QS. Al-Buruju[85]: 4-5).
Dari suhaib bahwasanya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ مَلِكٌ
فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، وَكَانَ لَهُ سَاحِرٌ، فَلَمَّا كَبِرَ، قَالَ
لِلْمَلِكِ: إِنِّي قَدْ كَبِرْتُ، فَابْعَثْ إِلَيَّ غُلَامًا أُعَلِّمْهُ
السِّحْرَ، فَبَعَثَ إِلَيْهِ غُلَامًا يُعَلِّمُهُ….
Raja dan
tukang sihir.
“Dahulu ada seorang
raja, dari orang-orang sebelum kalian. Dia memiliki seorang tukang sihir.
Tatkala tukang sihir itu sudah tua, ia berkata kepada rajanya: “Sesungguhnya
aku telah tua. Utuslah kepadaku seorang anak anak muda yang akan aku ajari
sihir.” Maka sang raja pun mengutus seorang anak muda untuk diajari sihir.
Anak
muda dan rahib.
Setiap kali anak muda
tersebut datang menemui tukang sihir, di tengah perjalanan ia selalu melewati
seorang rabib, ia pun duduk mendengarkan pembicaraan rahib tersebut, sehingga
ia kagum kepadanya. Maka setiap kali ia datang ke tukang sihir, ia selalu duduk
dan mendengarkan terlebih dahulu petuah rahib itu, kemudian baru ia datang ke
tukang sihir sehingga tukang sihirpun memukulnya (disebabkan terlambat) ia
mengadukan hal itu kepada rahib, rahib pun berpesan: “Kalau engkau takut kepada
tukang sihir, katakanlah bahwa keluargamu telah menghalangimu, dan bila engkau
takut kepada keluargamu, katakan juga bahwa tukang sihir itu telah mencegahmu.
Pemuda
dan tanda-tanda karamahnya.
Maka tatkala
berlangsung demikain, tiba-tiba ada seekor binatang yang besar melintang di
tengah jalan sehingga menghalangi lalu-lalangnya manusia. Menghadapi peristiwa
ini maka ia pun berkata: “Pada hari ini akan aku buktikan apakah tukang sihir
itu lebih utama ataukah rahib itu.”
Ia pun mengambil
sebuah batu kemudian mengatakan: “Ya Allah, apabila perkara rahib lebih engkau
sukai daripada tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini.” Kemudian ia lemparkan
batu tersebut, sehingga matilah binatang besar tadi dan manusia pun bisa lewat
kembali. Sesudah itu datanglah ia kepada rahib dan mengabarkan kejadian yang
baru saja ia alami, kemudian sang rahib mengatakan:
“Wahai anakku, hari
ini engkau lebih baik daripada aku, dan engkau telah sampai pada perkara yang
engkau ketahui, sesungguhnya engkau akan mendapat ujian, dan bila engkau diuji,
janganlah engkau tunjukkan tentang diriku.”
Allah
beri kemampuan untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Dan kini ia dapat
menyembuhkan penyakit buta, penyakit kusta, serta dapat mengobati manusia dari
berbagai macam penyakit.
Hal ini terdengar oleh
seorang teman duduk raja, sedangkan dia adalah seorang yang buta, kemudian ia
membawa hadiah yang banyak seraya mengatakan: “Aku akan berikan hadiah ini
kepadamu bila engkau bersedia menyembuhkan penyakitku.” Maka sang anak
menjawab, “Sesungguhnya aku tidak bisa menyembuhkan siapapun, yang bisa
menyembuhkan hanyalah Allah. Kalau engkau beriman kepada Allah maka aku akan
berdoa kepada-Nya untuk kesembuhanmu.” Maka ia pun beriman kepada Allah dan
Allah pun menyembuhkan penyakitnya. Kemudian datanglah dia menemui sang raja
dan duduk sebagaimana biasanya, sang raja pun heran seraya mengatakan:
“Siapakah yang telah mengembalikan pandanganmu?” maka ia menjawab:
“Tuhanku.” Sang raja melanjutkan:
“Apakah engkau memiliki tuhan selain aku?” Jawabnya, “Ya, Dia adalah Tuhanku
dan Tuhanmu.” Maka sang raja pun menyiksanya dan terus menyiksanya sampai ia
akhirnya menunjukkan kepada anak tersebut. Didatangkanlah si anak itu, kemudian
sang raja berujar: “Wahai anakku, sekarang engkau telah memiliki kepandaian
sihir, sehingga bisa menyembuhkan orang yang buta dan juga bisa menyembuhkan
penyakit kusta dan lain sebagainya.” Sang anak balik menjawab, “Sesungguhnya
aku tidak bisa menyembuhkan siapapun, dan hanya Allah-lah yang bisa menyembuhkan.”
Siksaan
raja kepada orang-orang yang beriman dan perintah agar kembali murtad.
Akhirnya sang raja pun
menyiksanya dan terus menyiksanya sampai ia menunjukkan kepada rahib. Maka
didatangkanlah si rahib, kemudian dikatakan kepadanya: “kembalilah dari
agamamu!” Ia pun enggan. Maka sang raja meminta gergaji kemudian diletakkan di
tengah kepalanya, dan dibelahlah tubuhnya sampai terbelah menjadi dua bagian.
Kemudian didatangkan pula teman duduk sang raja tersebut, dan dikatakan
kepadanya: “kembalilah dari agamamu!” Demikian pula, ia pun enggan, kemudian
ditaruh gergaji itu di atas kepalanya, tubuhnya digergaji dan terbelah menjadi dua bagian.
Perintah
agar pemuda tersebut kembali (murtad) kepada agamanya dulu.
Selanjutnya
didatangkanlah sang anak muda tersebut, dan dikatakan kepadanya: “kembalilah
dari agamamu!” Ia pun menolak. Kemudian ia dilemparkan kepada sekelompok
prajurit raja, dan dikatakan: “Pergilah kalian ke gunung ini dan gunung ini,
mendakilah sampai di puncak gunung, apabila ia mau berhenti dari agamanya
selamatkan dia, dan kalau tidak, maka lemparkan ia ke dasar jurang.”
Maka mereka pun pergi,
kemudian naik, dan tatkala berada di atas gunung sang anak berdoa: “Ya Allah
Jagalah diriku dari tipudaya mereka sebagaimana yang engkau kehendaki.” Tiba-tiba
bergetarlah gunung tersebut dan semua prajurit raja jatuh berguguran ke bawah
jurang, kemudian kembalilah sang anak menemui sang raja. Ia heran dan
mengatakan: ‘Apa yang terjadi pada para sahabatmu?” Sang anak menjawab:
“Sesungguhnya Allah telah menjagaku dari makar mereka.” Maka kembali sang raja
melemparkannya ke sekelompok prajuritnya yang lain, kalai ini perintah sang
raja: “Pergilah kalian dan bawalah anak muda ini ke sebuah perahu, apabila
kalain telah ke tengah laut, maka apabila ia mau berhenti dari agamanya
selamatkanlah ia, kalau ia tetap enggan, lemparkanlah ia ke tengah lautan!”
Maka mereka pun pergi,
setelah sampai di tengah laut, maka anak muda itu kembali berdoa: “Ya Allah!
Jagalah diriku dari tipudaya mereka sebagaimana yang engkau kehendaki.” Maka
perahu itu pun terbalik, namun Allah tetap menyelematkannya dan tenggelamlah
seluruh prajurit raja. Kembalilah anak muda tersebut menemui sang raja, ia pun
terkejut seraya mengatakan: “Apa yang terjadi pada para sahabatmu?” anak muda
ini menjawab, “Allah telah menjagaku dari makar mereka.”
Perintah
anak muda kepada raja.
Kemudian ia berkata
kepada sang raja, “Sesungguhnya engkau tidak akan pernah bisa membunuhku,
kecuali bila engkau mau menuruti permintaanku.” Sang raja menjawab, “Apakah itu? Anak muda ini mengatakan, “Kumpulkanlah
seluruh manusia pada satu tempat, kemudian saliblah aku di sebuah pohon kurma,
kemudian ambillah satu anak panah dari tempat anak panahku, letakkan anak panah
itu di busurnya, kemudian katakanlah “Bismilah bi Rabbil ghulam (dengan nama
Allah Tuhan anak muda ini).’ Kemudian lepaskanlah anak panah tersebut. Dengan
begitu engkau bisa membunuhku.”
Pengorbanan
anak muda untuk meninggikan nama Allah ta’ala.
Maka sang raja pun
mengumpulkan manusia pada suatu padang yang luas. Dia menyalib anak tersebut
pada sebuah batang kurma, kemudian mengambil sebuah anak panah dari tempat anak
panahnya dan diletakkan di sebuah busur, kemudian mengatakan: “Bismillah Rabbin
ghulam (Dengan menyebut nama Allah, Tuhan anak muda ini).” Kemudian panah itu
dilepaskan, maka anak panah itu melesat tepat mengenai pelipis sang anak,
setelah itu Ia meletakkan tangannya di pelipisnya kemudian meninggal.
Keimanan
manusia terhada Allah.
Maka manusia
seluruhnya mengucapkan, “Aamanna bi Rabbil ghulam (Kami beriman kepada Allah
Rabb-nya anak muda tersebut).” Maka dikatakan kepada sang raja: “ Wahai sang
raja, Tahukah engkau, perkara yang selama ini kau khawatirkan telah terjadi.
Sungguh manusia seluruhnya telah beriman.” Maka sang raja memerintahkan untuk
membuat sebuah parit di dekat pintu-intu jalan dan membuat lubang panjang. Lalu
dinyalakanlah api kemudian ia berkata: “Barangsiapa yang tidak mau kembali dari
agamanya, maka lemparkanlah ke dalam parit tersebut.” Atau sehingga dikatakan,
“Lemparkanlah!!” maka mereka pun melemparkan seluruhnya. Sampai datang seorang
wanita bersama bayinya, ia seorang wanita bersama bayinya, ia berputusasa,
karena hal itu mengenainya, tiba-tiba sang bayi itu berkata, “Wahai ibuku..
bersabarlah, sesungguhnya engkau dalam kebenaran…!”
( Sumber: HR. Muslim
3005, Ibnu Hibban 873).
Demikianlah besarnya
ujian orang-oraang terdahulu terhadap keimanan.
-----000-----
2.
Bersabar meninggalkan kemaksiatan. Dari
dosa yang paling besar, kemudian dosa besar setelah itu dosa kecil.
Dosa besar seperti kesyirikan
dimana dosa kesyirikan adalah dosa yang paling besar, setidaknya ada tiga hal yang
bisa membinasakan seorang apabila terjerumus ke dalam kesyirikan dan meninggal
dalam keadaan menyekutukan Allah.
1) Tidak mendapatkan ampunan Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ
يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ.
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”(QS. An Nisaa [4]: 48, 116).
2) Akan menghapuskan pahala ibadahnya.
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ.
“Dan Sesungguhnya telah
diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu
mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu
termasuk orang-orang yang merugi.”
(QS. Az Zumar [39]: 65)
وَلَوْ
أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.
“Seandainya mereka
mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang Telah mereka
kerjakan.” (QS. Al An’am [6]: 88)
3) Akan menjadikan kekal
selamanya di dalam neraka.
Allah ta’ala
berfirman:
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ.
“Sungguh, orang-orang yang kafir dari golongan Ahli
Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke dalam neraka Jahanam; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk.”
(QS. Al-Bayyinah [98]:6)
Hendaknya seorang muslim
meninggalkan dosa-dosa besar, karena kemaksiatan
adalah sebab utama binasanya seseorang, oleh karena itu hendaknya seorang hamba
bertaubat dan meninggalkannya.
Allah ta’ala berfirman:
إِنْ
تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا.
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang
mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan
kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa[4]:31).
Allah ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى
اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا.
“Wahai
orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang
semurni-murninya.” (QS.At-Tahrim[66]:8).
فَأَمَّا مَنْ
تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسَى أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُفْلِحِين.
“Maka adapun orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka
mudah-mudahan dia termasuk orang yang beruntung.” (QS Al-Qashas[28]: 67).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ
إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً.
“Demi Allah. Sungguh aku selalu beristighfar dan bertaubat
kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari 6037)
يَآايُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا
إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ.
”Hai sekalian
manusia, taubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampun kepadaNya, karena sesungguhnya
aku bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali.”( HR. Ahmad
18294, Nasai di dalam As-Sunan Al-Kubra 10205, dishahihkan Syaikh al-Albani di
dalam Ash- Shahihah 1452).
يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ
وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِى أَغْفِرْ
لَكُمْ.
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa di waktu
siang dan malam, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun
kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian.” (HR. Muslim 6737).
Barang siapa meninggalkan maksiat karena Allah ta’ala Allah ganti
bagi orang tersebut dengan lebih baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاءَ اللهِ إِلَّا
أَعْطَاكَ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ.
“Sesungguhnya tidaklah engkau
meninggalkan sesuatu karena ketakwaan kepada Allah Ta’ala, kecuali
Allah pasti akan memberikan sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR.
Ahmad 20738, Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth, dishahihkan Syaikh
al-Albani di dalam KItab Hijab Mar’ah Muslimah hal 46).
Bahaya orang yang maksiat dan
tidak segera bertaubat.
Hati orang yang bermaksiat akan
tertitik hitam jika hal ini terus menerus akan menjadikan gelap dan akhirnya
tertutup hatinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ
خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ
وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ
قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى
قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) .
“Seorang
hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah
titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat,
hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan
titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah “ar raan” yang disebutkan
Allah di dalam firman-Nya, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang
selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (HR Tirmidzi 3334, Ibnu
Majah 4244, di shahihkan Syaikh
al-Albani di dalam As-Shahihul Jami’ 1670).
Ibnul Qayyim menyebutkan
beberapa dampak maksiat yaitu:
Hati menjadi sulit menerima
kebaikan.
Dapat menjadikan terhalang dari
rezki.
Menjadikan hati hampa dan
kosong dari kedekatan kepada Allah.
Menjadikan urusannya sulit.
Menjadikan hatinya gelap.
Menjadikan lemah hati dan
badanya.
Menjadikan terasa asing
diantara orang-orang yang shalih.
Menjadikan terhenti rutinitas
amal kebaikannya.
Menjadikan hilang keberkahan
umurnya.
Membawa pada kemaksiatan yang
lain. (Ad-Dhaa’ wa Ad-Dawaa’ Ibnu Qayyim al-Zaujiyyah).
Betapapun besarnya dosa
seseorang apa bila bertaubat dengan memenuhi syaratnya pasti Allah akan terima
taubatnya.
Kisah orang yang membunuh 100
orang.
Allah maha pengampun dan maha luas rahmatnya, hal itu
sebagaimana kisah orang yang membunuh 100 orang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ
تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا، فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ
عَلَى رَاهِبٍ، فَأَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا،
فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لَا، فَقَتَلَهُ، فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً،
ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ،
فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ:
نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟ انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ
كَذَا وَكَذَا، فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ فَاعْبُدِ اللهَ
مَعَهُمْ، وَلَا تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ، فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ، فَانْطَلَقَ
حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ، فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ
مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلَائِكَةُ الْعَذَابِ، فَقَالَتْ مَلَائِكَةُ
الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلًا بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ، وَقَالَتْ
مَلَائِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ، فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ
فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ، فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ، فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ
الْأَرْضَيْنِ، فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ، فَقَاسُوهُ
فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ، فَقَبَضَتْهُ مَلَائِكَةُ
الرَّحْمَةِ "، قَالَ قَتَادَةُ: فَقَالَ الْحَسَنُ ذُكِرَ لَنَا، أَنَّهُ
لَمَّا أَتَاهُ الْمَوْتُ نَأَى بِصَدْرِهِ.
“Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah
membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling
alim di muka bumi. Namun ia ditunjukan pada seorang rahib. Lantas ia pun
mendatanginya dan berkata, ”Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah
taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak diterima
taubatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang
telah dibunuh.
Kemudian ia bertanya penduduk negri orang yang paling alim di
muka bumi. Ia pun ditunjukan kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya kepada orang
‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah masih diterima taubatnya?”
Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan
menghalangi antara dirinya dengan taubat? Tujulah negri itu, di sana terdapat
sekelompok manusia yang menyembah Allah ta’ala, maka sembahlah Allah bersama
mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu karena tempat tersebut adalah
tempat yang buruk.”
Laki-laki ini pun
pergi, Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya,
terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab. Malaikat
rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan
hatinya kepada Allah”. Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah
melakukan kebaikan sedikit pun”. Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk
manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus
perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut.
Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.” Lalu mereka pun
mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih
dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya, ruhnya pun dicabut oleh malaikat
rahmat.” Qatadah berkata, Hasan menyebutkan kepada kami, ketika kematian mendatangi orang ini
menjauhkan dadanya kepada tempat yang dituju. (HR. Muslim 2766, Ibnu Majah
2622, Ahmad 11154).
Demikian hendaknya segera bertaubat dan meninggalkan kemaksiatan.
3.
Bersabar di dalam menerima taqdir Allah ataupun musibah-Nya.
Hendaknya
seseorang bersabar menerima taqdir dari Allah ta’ala dengan lapang dada, karena
Allah memberikan yang terbaik untuk hambanya, Allah bermaksud meninggikan
derajadnya, menghapuskan dosa-dosanya dan menghilangkan kesombongannya.
Allah
ta’ala berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي
أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى
اللَّهِ يَسِيرٌ . لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَل مَا فَاتَكُمْ
وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ.
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri malainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah. Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan berduka cita terhadap
apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap
apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiaporang yang
sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadid ayat 22-23).
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلا
بِاللَّهِ.
“Bersabarlah (hai
Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS
An-Nahl [16]: 127).
Hal ini
mengukuhkan perintah bersabar, sekaligus sebagai pemberitaan bahwa kesabaran
itu tidak dapat diraih melainkan dengan ijin dan kehendak Allah serta
pertolongan-Nya, berkat upaya dan kekuatan-Nya.
Adapun
musibah itu yang mengenai hamba ada tiga, yaitu:
Pertama: Musibah berkaitan dengan
harta, baik kesulitan mencarinya ataupun diuji dengan kemudahannya.
Hendaknya bersabar di dalam kesulitan untuk
mendapatkan harta yang halal karena Allah memerintahkan kita untuk mencari
rezki yang halal.
Allah
ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ.
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh,
setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah[2]:168).
Banyak orang yang tidak sabar menghadapi sulitnya hidup akhirnya mereka
mengambil jalan pintas, dengan bermaksiat kepada Allah ta’ala, dengan cara mencari
pesugihan, berjudi, menipu, membegal, merampok, mencuri, korupsi, padahal ini
adalah dosa besar.
Hendaknya kita menyadari sebenarnya Allah ta’ala telah menjamin rezki kita dan hendaknya hati kita tentram:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ
فِي الأرض إِلا عَلَى الله رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا
كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ.
“Dan tidak ada suatu binatang melata
pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui
tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam
kitab yang nyata (Al Lauh Al Mahfuz).” (QS. Hud[11]: 6).
Adanya
berbagai kesedihan, kekurangan, semua itu adalah ladang pahala karena Allah
menguji kesabaran kita.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ.
“Dan Kami
pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang
sabar.” (QS. AL-Baqarah[2]:155).
وَالصَّابِرِينَ
فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ.
“Dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa“. (QS.
Al-Baqarah[2]: 177).
Kedua: Bersabar di dalam
membelanjakannya di jalan Allah ta’ala.
Dari Ibnu Mas’ud dari Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا
تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ:
عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ,
وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ
فِيمَا عَلِمَ؟ "
“Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari
Kiamat, sampai ia ditanya tentang lima perkara, Tentang umurnya untuk apa dia
habiskan, tentang masa mudanya untuk apa dia gunakan, tentang hartanya darimana
dia dapatkan dan kemana dia belanjakan, dan tentang ilmunya, apakah yang telah dia
amalkan.“ (HR. Tirmidzi 2416, Baihaqi di dalam Syu’abul Iman 1647, Thabrani di
dalam Mu’jamul Kabir 9772, dihasankan syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 946).
Ketiga: Bersabar
terhadap musibah kehilangannya.
Hendaknya
setiap orang menyadari bahwa harta adalah titipan dari Allah, Allahlah pemilik segala
apa yang ada di langit dan dibumi.
Allah
ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ مَا
فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ.
“Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan.” (QS. AL-Imran
[3]:109).
Orang yang beriman apabila ditimpa musibah hendaknya bersabar dan
mengembalikan semua itu kepada Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
الَّذِينَ
إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ .
(yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna
ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).
(QS. Al-Baqarah[2]:156).
اَلْمَالُ
وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ
الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا.
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan
yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik
untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahf[18]: 46).
Kedua: Musibah mengenai badan.
Yaitu bersabar ketika sakit.
Hendaknya menjauhkan dari sikap mengeluh, putusasa
dan menjauh dari Allah ta’ala, karena hakekatnya ujian dari Allah tidak lain
untuk memberikan pahala yang besar bagi orang yang bersabar, mengangkat derajatnya,
dan menjauhkan dari sifat sombong yang ada pada diri orang tersebut.
Sebagaimana ujian ini pernah diterima oleh nabi
Allah Ayyub alaihi sallam.
Beliau dahulu adalah orang yang paling kaya, banyak
harta yang melimpah, binatang ternak, sapi, unta, kambing, dan keledai.
Beliau juga memiliki tanah yang luas membentang di
daerah Huran.
Allah juga memberikan kepada beliau karunia berupa
keluarga dan anak laki-laki dan perempuan.
Nabi Ayyub sangat terkenal sebagai orang yang baik,
bertakwa, dan menyayangi orang miskin. Beliau juga biasa memberi makan orang
miskin, menyantuni janda, anak yatim, kaum dhuafa dan ibnu sabil (orang yang
kehabisan bekal di dalan). Beliau adalah orang yang rajin bersyukur atas nikmat
Allah dengan menunaikan hak Allah. (Tafsir Al-Baghawi, 17: 176, juga disebutkan
Ibnu Katsir di dalam tafsir QS. Al-Anbiya [21]: 83-84).
Maka Allah menguji nabi Ayyub dengan menimpakan bencana
kepada semua miliknya itu, semuanya lenyap tiada tersisa. Kemudian cobaan
ditimpakan pula kepada jasad atau tubuh nabi Ayyub sendiri.
Menurut suatu pendapat, penyakit yang menimpanya adalah
penyakit lepra yang mengenai sekujur tubuhnya, sehingga tiada suatu bagian pun
dari anggota tubuhnya yang selamat dari penyakit ini, kecuali hati dan lisannya
yang selalu berzikir mengingat Allah subhanahu wa ta’ala. (Tafsir Ibnu Katsir di dalam tafsir QS. Al-Anbiya [21]: 83-84).
Allah ta’ala berfirman:
وَاذْكُرْ
عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ
وَعَذَابٍ.
Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru
Tuhannya, "Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.”
(QS. Shad[38]: 42).
وَأَيُّوبَ
إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ.
Dan (ingatlah
kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, "(Ya
Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan
Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya[21]:83).
As-Saddi mengatakan bahwa daging tubuh Ayyub berguguran
rontok, sehingga tiada yang tersisa dari tubuhnya selain otot-otot dan
tulang-tulangnya. Selama itu Ayyub dirawat oleh istrinya yang selalu
mendatanginya dengan membawa abu. Setelah sakit Ayyub cukup lama, istrinya
berkata kepadanya, "Hai Ayyub, sekiranya kamu berdoa kepada Tuhanmu untuk
kesembuhanmu, tentu Dia akan melenyapkan penyakitmu ini." Ayyub menjawab,
"Saya telah menjalani masa hidup selama tujuh puluh tahun dalam keadaan
sehat. Masa itu sebentar, maka sudah sepantasnya bagiku bersabar demi karena
Allah selama tujuh puluh tahun." Maka istrinya merasa terkejut dan
mengeluh mendapat jawaban tersebut, lalu ia pergi. (Tafsir Ibnu Katsir di dalam tafsir QS. Al-Anbiya [21]: 83-84)
Ada beberapa pendapat ulama mengenai berapa lama
nabi Ayyub diuji oleh Allah ta’ala, ada yang menyebutkan 7 tahun, 7 bulan, 7
hari. Ada juga yang menyebutkan 3 tahun.
Dalam hal ini telah jelas ada dari riwayat dari
nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Anas bin Malik bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِنَّ
أَيُّوبَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِثَ فِي بَلَائِهِ
ثَمَانَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَرَفَضَهُ الْقَرِيبُ وَالْبَعِيدُ إِلَّا رَجُلَيْنِ
مِنْ إِخْوَانِهِ..
"Sesungguhnya (nabi Allah) Ayub menjalani masa cobaan
selama delapan belas tahun. Dirinya dijauhi oleh semua
orang, baik keluarga dekat maupun jauh. Kecuali dua orang dari saudara
laki-lakinya…”(HR. Ibnu Hibban 2898,
Bazar 4593, Hakim 4115 dalam Mstadraknya, dan dishahihkan Syaikh
al-Albani di dalam Ash-Shahihah 17).
Dari Anas Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْـجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ
الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ ، وَمَنْ
رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ.
“Sungguh, besarnya pahala setimpal dengan besarnya
cobaan; dan sungguh, Allah Tabaraka wa Ta’ala apabila mencintai suatu kaum,
Allah menguji mereka (dengan cobaan). Barang siapa yang ridha maka baginya
keridhaan dari Allah, sedang barang siapa yang marah maka baginya kemarahan
dari Allah.” (HR. Tirmidzi 2396, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu
Al-Jami’ 2110).
Kemudian
Allah perintahkan agar nabi Ayyub menghentakkan kakinya ketanah, seketika
muncullah mata air jernih dan sejuk, sebagaimana Allah firmankan:
ارْكُضْ
بِرِجْلِكَ هَذَا مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ وَشَرَابٌ.
(Allah berfirman), "Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk
untuk mandi dan untuk minum.” (QS. Shad[38]: 42).
Kemudian nabi Ayyub sembuh seperti semula, sampai-sampai istrinya tidak
mengenalinya, kecuali setelah diberitahu.
Bukan hanya itu, harta benda dan anak-anaknya dikembalikan lagi oleh
Allah ta’ala kepada beliau, bahkan dengan lebih banyak.
Allah ta’ala berfirman:
وَوَهَبْنَا
لَهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنَّا وَذِكْرَى لِأُولِي
الْأَلْبَابِ.
“Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan
kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak
mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai pikiran.” (QS. Shad[38]:43).
Allah juga berfirman:
فَاسْتَجَبْنَا
لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ
مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ.
“Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami
lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya,
dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami
dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS.
Al-Anbiya21]:84).
Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengungkapkan bahwa keluarga dan
hartanya kemudian kembali. Allah karuniakan lagi pada Nabi Ayyub keluarga dan
harta yang banyak. Itu semua disebabkan kesabaran dan keridhaan beliau ketika
menghadapi musibah. Inilah balasan yang disegerakan di dunia sebelum balasan di
akhirat kelak. (Tafsir As-Sa’di, QS. Al-Anbiya’ [21]:83-84).
-----000-----
Kisah
kesabaran Urwah bin Zubair.
Urwah
bin Zubair di undang oleh amirul mukminin di Damaskus, Beliau mengajak putra
sulungnya, datanglah ketetapan dan kehendak Allah, anaknya melihat-lihat kuda
pilihan, tiba-tiba saja seekor kuda menyepakkan kakinya hingga anaknya tewas.
Belum
lagi bersih tangannya mengubur anaknya salah satu telapak kakinya terluka,
betisnya tiba-tiba membengkak dan menjalar dengan cepat.
Amirul
mukminin mendatangkan tabib dari seluruh negri dan memerintahkan mengobati
dengan cara apapun, para tabib memutuskan untuk mengamputasi kakinya.
Beliau
tidak mau meminum arak untuk menghilangkan rasa sakitnya saat di amputasi, atau
di bius, beliau memilih untuk shalat di saat di amputasi kakinya.
setelah
minyak didihkan dan di teteskan pada luka untuk menghentikan pendarahannya,
beliaupun pingsan.
Disaat
bersamaan dengan itu di rumah Khalifah datang serombongan Bani Abbas, salah
seorang diantara mereka buta matanya.
Al-Walid
menanyakan sebab kebutaanya, dia menjawb:
"Wahai
Amirul mukminin, dulu tidak ada seorangpun di kalangan Bani Abbas yang lebih
kaya dalam harta dan anak dibandingkan saya, saya tinggal bersama keluarga saya
di suatu lembah di tengah kaum saya.
Mendadak
muncullah air bah yang langsung menelan habis seluruh harta dan keluarga saya,
yang tersisa bagi saya hanyalah seekor onta dan seorang bayi yang baru lahir.
Onta
itu sangat liar dan dia lari dari saya, maka saya taruh bayi saya lalu saya
kejar onta tersebut, belum jauh saya berlari saya mendengar jerit bayi tadi,
setelah saya menoleh ternyata kepalanya telah berada di mulut srigala dia telah
memangsanya, saya kembali tapi tak bisa berbuat apa-apa karena bayi itu telah
di lahapnya, setelah itu srigala itu lari kencang.
Saya
kembali mengejar onta saya, setelah dapat, onta itu menyepakkan kakinya
sehingga wajah saya hancur dan kedua mata saya buta, demikianlah saya dapati
diri saya kehilangan harta dan keluarga dalam semalam saja dan hidup tanpa
penglihatan. Demikian kisah orang yang buta tersebut.
Amirul
mukminin menyuruh membawa orang tadi kepada Urwah agar menceritakan untuk
menghibur dirinya.
Ketika
pulang ke Madinah beliau menjumpai keluarganya, Urwah berkata sebelum di tanya:
"Janganlah
kalian risau dengan apa yang kalian lihat Allah memberiku empat orang anak (ada
yang menyebut tujuh) kemudian Dia mengambil satu, maka masih tersisa tiga, puji
syukur kepada-Nya, Aku diberi empat kekuatan lalu Allah mengambil satu, maka
masih tersisa tiga. puji syukur kepada Allah, masih banyak yang di tinggalkan
untukku.
(Mereka
adalah Tabi'in, Syaikh DR. Abdurahman Ra'fat Basya).
-----000-----
Ketiga: Musibah mengenai agama.
Inilah musibah yang paling besar dan hendaknya
setiap orang beriman takut akan hal ini, karena musibah ini akan membawa
kesengsaraan di dunia dan di akhirat.
Allah ta’ala berfirman:
مَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ
فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.
"Barangsiapa
yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka
mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya," (QS. Al-Baqarah [2]: 217).
كُلُّ
نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً
وَإِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ.
“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya[21]: 35).
‘Abdullah ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Maksudnya, Kami akan
menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit,
kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat, serta petunjuk
dan kesesatan. (Tafsir ath-Thabari, 9/26, 24588).
“Dari
Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ
غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا
يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ
فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ
لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا
إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ
الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
“Demi
Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang
melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal
sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan
ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian
ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka
tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan
perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.” (HR. Bukhari 3208 Muslim 2643).
Banyak
sekali orang-orang yang meninggal dalam keadaan su’ul hatimah.
Orang
yang beriman hendaknya mewaspadai hal ini.
Diantara
kisah-kisahnya sebagai berikut:
Dari Sahal bin Sa'd (dia
menceritakan):
أَنَّ
رَجُلًا مِنْ أَعْظَمِ المُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنِ المُسْلِمِينَ، فِي غَزْوَةٍ
غَزَاهَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَظَرَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى
الرَّجُلِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا, فَاتَّبَعَهُ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ، وَهُوَ
عَلَى تِلْكَ الحَالِ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَلَى المُشْرِكِينَ، حَتَّى جُرِحَ،
فَاسْتَعْجَلَ المَوْتَ، فَجَعَلَ ذُبَابَةَ سَيْفِهِ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ حَتَّى
خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ، فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْرِعًا، فَقَالَ: أَشْهَدُ
أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ: وَمَا ذَاكَ, قَالَ: قُلْتَ لِفُلاَنٍ: مَنْ أَحَبَّ أَنْ
يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَيْهِ,
وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِنَا غَنَاءً عَنِ المُسْلِمِينَ، فَعَرَفْتُ أَنَّهُ لاَ
يَمُوتُ عَلَى ذَلِكَ، فَلَمَّا جُرِحَ اسْتَعْجَلَ المَوْتَ فَقَتَلَ نَفْسَهُ،
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: إِنَّ
العَبْدَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ،
وَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الجَنَّةِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالخَوَاتِيمِ.
“Bahwasanya ada seorang
muslimin yang gagah berani dalam peperangan ikut serta bersama Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperhatikan
orang itu kemudian berkata: "Barangsiapa ingin melihat lelaki penghuni
neraka, silahkan lihat orang ini." Seorang laki-laki akhirnya mengikutinya,
dan rupanya lelaki tersebut merupakan orang yang paling berani terhadap
orang-orang musyrik. akhirnya lelaki tersebut terluka dan dia ingin segera mati
sebelum waktunya, maka ia ambil pucuk pedangnya dan ia letakkan di dadanya
kemudian ia hunjamkan hingga tembus diantara kedua lengannya. Orang yang mengikuti
lelaki tersebut langsung menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata,
'Saya bersaksi bahwa engkau utusan
Allah.' 'apa itu? ' Tanya Nabi. Orang tadi menjawab; 'anda berkata terhadap
orang tersebut; 'siapa yang ingin melihat penghuni neraka, silahkan lihat orang
ini, ' orang itu merupakan orang yang paling pemberani diantara kami, kaum
muslimin. Lalu aku tahu, ternyata dia mati tidak diatas keislaman, sebab dikala
ia mendapat luka, ia tak sabar menanti kematian, lalu bunuh diri.' Seketika itu
pula Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh ada seorang
hamba yang melakukan amalan-amalan penghuni neraka, namun berakhir menjadi
penghuni surga, dan ada seorang hamba yang mengamalkan amalan-amalan penghuni
surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka, sungguh amalan itu ditentukan dengan
penutupan." (HR. Bukhari 6607, Ahmad, 22835, Thabrani
dalam Al-Mu’jamul Al-Kabir 5799).
Kisah
muadzin yang murtad.
Diceritakan
bahwa di Mesir pernah ada seorang pria yang senantiasa ke masjid untuk
mengumandangkan adzan dan iqomat sekaligus melaksanakan shalat. Dalam dirinya
terdapat sinar ketaatan dan cahaya ibadah.
Pada suatu
hari ia naik ke menara masjid untuk mengumandangkan adzan seperti biasanya. Di
bawah menara tersebut terdapat rumah seorang Nasrani.
Entah mengapa
ketika pria ini menengok ke dalam rumah tadi, tanpa sengaja ia melihat seorang
gadis pemilik rumah. Dia terfitnah dengan kecantikanya. Ia pun turun menemuinya
gadis tersebut dan meninggalkan adzan.
Sesampai di
rumah tersebut, bertanyalah wanita nashrani itu, “Ada perlu apa? Apa yang kamu
inginkan?
“Aku
menginginkanmu.”
“Mengapa?”
“Karena kamu
telah menawan akal pikiranku dan mengambil seluruh isi hatiku.”
“Aku tidak
akan tertipu dengan rayuanmu.”
“Aku Ingin
menikah denganmu.”
“Engkau
muslim, sedangkan aku Nasrani, ayahku tidak akan menikahkanku denganmu,”
sanggah wanita tadi.
“Kalau begitu
aku akan pindah ke agama Nashrani.”
“Jika engkau
melakukannya, maka aku akan menikah denganmu “ tegas wanita itu.
Maka si pria
langsung memeluk aagama Nashrani demi menikahi gadis tersebut dan tingggal di
rumahnya.
Masih pada
hari yang sama, siang harinya pria tadi naik ke atap rumah untuk satu
keperluan. Tiba tiba dia terjatuh dari atap rumah dan akhirnya meninggal.
Ironisnya, dia belum sempat menggauli gadis tersebut padahal sudah mengorbankan
agamanya.
Kisah ini bisa
menjadi pelajaran bagi setiap muslim, agar kita berhati-hati menjaga imannya
supaya tidak mudah terjebak oleh kemilaunya dunia, cantiknya wanita dan segala
rayuan yang ada. Karena menjual agama demi kesenangan dunia adalah sebuah
kerugian yang nyata dan penyesalan yang tiada tara.
Seorang muslim
seharusnya menundukkan pandangan, karena fitnah setiap saat datang dan kita
tidak tahu berawal dari mana kebinasaan itu muncul, sebagaimana kita juga tidak
tahu kebaikan kecil atau kebaikan yang dianggap besar yang akan memasukkan kita
kedalam surga.
(Ibnu Qaiyyim
Al jauziah dalam kitabnya Ad-dha’ wa Ad-dhawa’).
-----000-----
Kisah Tragis seorang ahli Ibadah yang mati Su'ul Khatimah
Manshur bin Ammar mengisahkan, dulu kala aku punya seorang teman
yang suka melampaui batas, lalu bertaubat. Aku melihat dia banyak beribadah dan
shalat tahajjud. Suatu ketika aku putus komunikasi dengannya. Dan menurut kabar
dari orang-orang, ia sedang sakit. Maka aku pergi ke rumahnya dan anak
perempuannya datang menemuiku. Dia bertanya, “Siapa yang engkau ingin temui?”
Aku menjawab, “Si fulan.” Maka ia mengizinkanku masuk dan akupun bergegas ke
dalam rumah. Aku melihatnya sedang tebaring di atas ranjang yang terletak di
tengah rumah. Mukanya terlihat kehitaman, kedua matanya tertutup dan kedua
bibirnya bengkak dan menebal.
Aku berkata padanya dengan perasaan takut melihatnya, “Wahai
saudaraku, perbanyaklah mengucap Laa Ilaaha Illallaah.” Ia membuka kedua
matanya dan menatapku dengan penuh kemarahan, lalu ia tak sadarkan diri.
Kembali kuulangi perkataanku kedua kalinya, wahai saudaraku perbanyaklah
mengucap Laa Ilaaaha Illallaah.” Pada saat aku mengulanginya untuk ke tiga
kalinya, lalu ia membuka matanya dan berkata, “Wahai Manshur, saudaraku,
kalimat ini telah menjauh dariku.”
Aku bergumam, "Tiada daya dan tiada upaya melainkan dengan izin
Allah, Dzat Mahatinggi dan Mahamulia."
Kemudian aku bertanya padanya, “wahai saudaraku, di manakah
shalat, puasa, tahajud dan shalat malammu?”
Ia menjawab, “Aku melakukan semua itu bukan untuk
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan taubatku hanyalah taubat palsu.
Sebenarnya aku melakukan semua itu supaya aku dikenal dan disebut-sebut orang,
aku melakukannya dengan maksud pamer kepada orang lain. Bila aku menyepi seorang
diri, aku masuk ke dalam rumah dan memasang tirai-tirai, lalu aku minum khamer
dan menantang Tuhan dengan kemaksiatan-kemaksiatan. Aku terus melakukan itu
sampai beberapa masa. Kemudian aku ditimpa penyakit hingga hampir binasa. Saat
itu juga aku suruh anak perempuanku, ‘ambilkanlah aku mushaf!’ dan aku
berdoa, ‘Ya Allah, demi kebenaran Al-Qur’an yang agung, sembuhkanlah aku!’ Dan
aku berjanji tidak akan kembali melakukan dosa untuk selamanya. Maka Allah
membebaskanku dari penyakit.
Setelah sembuh, aku kembali kepada keadaan semula, hidup
berpoya-poya dan berhura-hura. Syetan telah membuatku lupa dengan perjanjian
yang telah kuikrarkan kepada Tuhanku. Aku terlena dalam keadaan itu sampai
beberapa saat lamanya hingga aku menderita sakit hampir mati karenanya. Lalu
aku perintahkan keluargaku membawaku ke tengah-tengah rumah seperti biasanya.
Kemudian aku suruh mereka mengambilkan mushaf dan aku mulai membacanya. Lalu
aku acungkan mushaf itu seraya berdoa, ‘Ya Allah, demi kehormaan kalam-Mu yang
ada dalam mushaf ini, bebasknalah aku dari penyakitku!.’ Maka Allah mengabulkan
permintaanku dan menyembuhkan penyakitku.
Kemudian aku kembali hidup bersenang-senang dan akupun jatuh sakit
lagi. Lalu aku perintahkan keluargaku membawaku ke tengah-tengah rumah seperti
yang engkau lihat sekarang ini. Kemudian aku menyuruh mereka mengambilkan
mushaf untuk kubaca, tetapi mataku sudah tidak bisa melihat saru huruf-pun. Aku
pun menyadari bahwa Allah sudah murka kepadaku. Lalu aku acungkan mushaf itu di
atas kepalaku sembari memohon, ‘Ya Allah, demi kehormatan mushaf ini,
bebaskalah aku dari penyakit ini, wahai penguasa bumi dan langit!’ Tiba-tiba
aku mendengar seperti suara memanggil, ‘engkau bertaubat tatkala engkau sakit,
dan engkau kembali kepada perbuatan dosa tatkala engkau sembuh. Betapa banyak
Dia menyelamatkanmu dari kesusahan, dan betapa bayak Dia menyingkap bala’
cobaan tatkala engkau diuji. Tidaklah engkau takut dengan kematian? Dan engkau
telah binasa di dalam kesalahan-kesalahan’.”
Manshur bin ‘Ammar berkata, “sungguh demi Allah aku keluar dari
rumahnya dengan air mata tertumpah merenungkan ‘ibrah yang baru kulihat, dan
belum sampai di pintu rumahku, sampailah kabar bahwa dia sudah
meninggal.”
(Sumber: Mi’ah Qishash wa Qishah fi Anis ash-Shalihin wa Samir
al Muttaqin, Muhammad Amin al Jundi, Indonesia: 101 kisah
teladan, Mitra Pustaka Yogyakarta, Cet XI November 2006).
-----000-----
BAB 10.
ADIL.
Adil artinya menempatkan sesuatu pada
tempatnya, yang merupakan lawan kata dari dzalim.
Adil merupakan sifat yang Allah dan
Rasul-Nya perintahkan, dimana Allah sangat mencintai orang-orang yang berbuat
adil.
Allah ta’ala berfirman:
وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ.
“Dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]:8), semakna dengan ini (QS.
Al-Hujrat [49]:9).
فَإِنْ
فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ.
“Jika
golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang
yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujrat [49]:9).
Adapun
sikap adil hendaknya dilakukan kepada diri sendiri, kepada keluarga, kerabat,
dan manusia.
1.
Adil terhadap Allah.
Yaitu
beribadah kepada-Nya tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya di dalam
ibadah, karena Allah yang telah menciptakan dirinya, memberinya rezki,
keturunan, kesehatan, kebutuhan jasmani dan juga rohaninya.
Hendaknya
mengagung sifat-sifat-Nya, mentaati dan tidak bermaksiat kepada-Nya, senantiasa
mengingat (berdzikir) tanpa melalaikannya serta bersyukur tanpa mengingkari
nikmatNya.
Allah
ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ . الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا
وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ
الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ.
“Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian Yang telah
menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.
Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai
atap dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan
hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian. Karena itu, janganlah
kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui.” (QS.
Al-Baqarah [2]:21-22).
هُوَ
الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى
السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu
kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah[2]:29).
2.
Adil terhadap orang tuanya, dengan
cara berbakti kepada kedua orang tua.
Hendaknya
berbuat adil kepada kedua orang tuannya, di mana orang tua merupakan lantaran
keberadaan dirinya, mengandungnya selama 9 bulan, mengasuhnya diwaktu kecil, membesarkannya
dengan keringat dan air mata, membiayai kebutuhannya hingga dewasa.
Apabila
seseorang melupakan hal ini tentu merupakan perbuatan yang dzalim dan tidak
adil, oleh karena itu Allah selalu menyandingkan haq-Nya dengan haq orang tua.
Berbakti
kepada kedua orang tua diantaranya dengan cara:
1) Berbuat baik
kepada keduannya.
Allah
ta’ala berfirman:
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا.
“Dan hendaklah kamu
beribadah hanya kepada Allah dan janganlah mempersekutukan dengan
sesuatu apapun juga dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapak,”
(QS. An Nisaa’ [4]: 36).
2) Tidak berkata kasar kepada keduannya.
Allah
ta’ala berfirman:
وَقَضَى
رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا.
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia." (QS. Al Israa’ [17]: 23)
3) Tidak boleh
mentaatinya di dalam kemaksiatan.
Allah
ta’ala berfirman:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ
عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا.
"Dan
jika keduanya memaksamu mempersekutukan sesuatu dengan-Ku yang tidak ada
pengetahuanmu tentang Aku maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” (QS. Lukman [31]: 15).
Asbaabun
nuzul ayat ini berkaitan dengan Sa’ad bin Abi Waqas dan ibunya Hamnah. Yang
meminta Sa’ad untuk kembali kepada agama jahiliyah namun beliau enggan. (Lihat
tafsir Ibnu katsir QS. Luqman[31]15)
لاَ طَاعَةَ فَيٍ مَعْصِيَةِ اللهِ
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tiada
kewajiban untuk taat (kepada seseorang) yang memerintahkan untuk durhaka kepada
Allah Kewajiban taat hanya pada hal yang ma’ruf.” (HR. Bukhari 7257,
Muslim 1840, Ahmad 724).
4) Mendakwahi mereka.
Mendakwahi
dengan cara yang baik kepada kedua orang tua apabila masih belum beriman atau
di dalam kesesatan, sebagaimana hal itu dilakukan nabi Ibrahim alaihi sallam.
Allah
ta’ala berfirman:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا
يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا.
“Ingatlah
ketika ia Berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, Mengapa kamu menyembah
sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu
sedikitpun.” (QS. Maryam [19]: 42).
5)
Menjahui kemurkaannya.
Allah
ta’ala berfirman:
رِضَى
الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ.
“Ridha Rabb tergantung ridha orang tua, dan murka Allah tergantung
murka orang tua”. (HR. Tirmidzi 1899
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah 516).
Dari Nabi sallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
رَغِمَ اَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ اَنْفُ
ثُمَّ رَغِمَ اَنْفُ قِيْلَ: مَنْ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ اَدْرَكَ
اَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِاَحَدُهُمَااَوْكِلَيْهِمَافَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ.
“Celaka, celaka, Dia celaka, Lalu
beliau ditanya orang, Siapakah yang celaka, ya Rasulullah? Jawab Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam,
Siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut), atau salah satu
dari keduanya, tetapi dia tidak memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Muslim
2551).
Rasulullah
sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ
فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ.
“Ada tiga do’a yang mustajab, tidak ada keraguan tentang hal
itu; do’a orang tua (untuk anaknya), do’a musafir, dan do’a orang terdzalimi.”
(HR. Abu Daud dan Ahmad, dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam As-Shahihah
596).
6) Memperhatikan kebutuhan orang
tua.
Tempat tinggalnya, layak atau tidak, jika memang
kita diberi kemampuan, merawat kesehatannya, keperluannya sehari-hari, adakah
yang dimakan atau tidak.
Karena orang tua kita dulu orang yang paling sedih
apabila kita sakit dan menderita, mereka rela tidak makan dan tidak tidur untuk
kita.
7) Menemaninya apabila dibutuhkan.
Barangkali
ada hal-hal yang dibutuhkan dari tenaga kita, membersihkan pekarangan,
memperbaiki genting, belanja atau yang lainnya, mungkin orang tua kita
merasakan kesepian dan membutuhkan kedekatan kita, meskipun hanya sekedar
bercengkrama, makan bersama, hingga Cuma sekedar ingin dekat dengan kita.
Ini semua
masuk dalam firman Allah ta’ala:
وَصَاحِبْهُمَا فِي
الدُّنْيَا مَعْرُوفًا.
“Dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” (QS. Lukman [31]: 15).
8) Hendaknya ijin dalam
perkara-perkara tertentu. Seperti bepergian jauh, menggunakan
barang-barang miliknya dan lain-lain.
Disebutkan
di dalam sebuah atsar:
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَأْذَنَهُ فِي
الجِهَادِ، فَقَالَ: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَفِيهِمَا
فَجَاهِدْ.
“Seseorang
datang, kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, meminta
ijin untuk ikut berjihad, Maka beliau bersabda, “apakah kedua orang tuamu masih
hidup..?, “ orang tersebut menjawab “ benar”, maka Rasulullah berkata, “ kepada
keduanya berjihadlah.” (HR. Bukhari 3004, Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra
17827).
9) Hendaknya tetap berbakti setelah tiada
lagi.
Ditanyakan
kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.
يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ
شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا
وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ
الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا.
“Wahai
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah masih ada cara berbakti kepada
kedua orang tuaku setelah keduanya meninggal?” Beliau sallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab,”Ya, dengan mendoakannya, memintakan ampun untuknya,
melaksanakan janjinya (wasiat), menyambung silaturahmi yang tidak bisa
disambung kecuali melalui jalan mereka berdua, dan memuliakan teman-temannya.”
(HR Abu Dawud 5142 tetapi hadits ini didho’ifkan syaikh al-Albani).
10)
Mendoakan kepada orang tua kita.
Hendaknya
mendoakan orang karena Allah ta’ala mengajarkan demikian.
وَقُلْ رَبِّ
ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.
“Katakanlah, “Ya Tuhanku kasihanilah
kedua orang tuaku sebagaimana mereka mengasihi aku di waktu kecil.” (QS.
Al-Israa’[17]:24).
3.
Adil di dalam menghukumi antar manusia.
Yaitu
dengan memberikan hak kepada masing-masing yang berhak dan barang-barang yang
menjadi haknya.
Allah
ta’ala berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا
حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ..
”Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian agar
menunaikan amanah kepada ahlinya (yang berhak menerima), dan apabila kalian menghukum
di antara manusia, hendaklah menghukum dengan adil.” (QS. An-Nisa[ 4]:58).
4.
Adil di antara para istrinya.
Yaitu
dengan tidak melebihkan dalam hal makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian,
dan giliran.
Hendaknya
bijaksana dengan membedakan yang beda dan menyamakan yang sama, tidak mengutamakan
salah seorang dari yang lainnya atau kepada sebagian atas sebagian yang
lainnya.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَنْ
تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا
تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ
تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا.
Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.
An-Nisa [4]:129).
Apabila tidak
menghendaki hendaknya dicerai dengan cara yang baik.
Allah ta’ala berfirman:
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ.
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah
mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri.” (QS. Al-Baqarah [2]:231).
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَشِقُّهُ مَائِلٌ.
“Barangsiapa memiliki dua isteri,
kemudian ia lebih condong kepada salah satu dari keduanya, maka ia akan datang
pada hari Kiamat dalam keadaan pundaknya miring sebelah. ( HR. Ahmad 7936, Abu
Dawud 2133, IBnu Majah 1969, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Al-Irwa’
2017, shahih Abu Dawud 1851).
Bahkan tidak boleh dzalim kepada
istri dengan meninggalkan tanpa menggaulinya.
Dari
Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Tatkala Salman berkunjung
(ziarah) ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam
keadaan mengenakan pakaian yang serba kusut. Salman pun bertanya padanya,
“Mengapa keadaan kamu seperti itu?” Wanita itu menjawab, “Saudaramu Abu Darda’
sudah tidak mempunyai hajat lagi pada keduniaan.”
Kemudian
Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Setelah selesai Abu
Darda’ berkata kepada Salman, “Makanlah, karena saya sedang berpuasa.” Salman
menjawab, “Saya tidak akan makan sebelum engkau turut makan.” Maka Abu Darda’
pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat
malam. Salman pun berkata padanya, “Tidurlah.” Abu Darda’ pun tidur kembali.
Ketika
Abu Darda’ bangun hendak mengerjakan shalat malam, Salman lagi berkata padanya,
“Tidurlah!” Hingga pada akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah.” Lalu mereka
shalat bersama-sama. Setelah itu, Salman berkata kepadanya:
إِنَّ
لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ
حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ سَلْمَانُ.
“Sesungguhnya
bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak.
Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.”
Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi.
Beliau lantas bersabda, “Salman itu benar.” (HR. Bukhari 1968, Tirmidzi 2413).
5.
Adil terhadap anak-anaknya.
Tidak bisa dipungkiri orang tua terkadang
menyayangi sebagian anaknya lebih dari sebagian yang lain. Dalam hal ini tidak masalah
jika hal itu hanya sebatas perasaan sayang yang ada dalam hati, karena
menyamaratakan semua anak dalam kasih sayang hati adalah sesuatu yang sulit,
bahkan di luar kuasa manusia, hanya saja sebisa mungkin apa yang bisa
diusahakan hendaknya berusaha untuk diusahakan, seperti mencium anak-anaknya
kecuali yang masih kecil.
Adapun dalam masalah pemberian
hendaknya memperhatikan bahwa pemberian orang tua kepada anak-anaknya ada
beberapa macam, yaitu:
1)
Pemberian nafkah.
Orang tua memberikan kepada anak
sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
2)
Pemberian hibah.
Dalam pemberian hibah islam memerintahkan
bahwa orang tua harus berbuat adil, Jika salah satu diberi, yang lain juga
hendaknya juga harus diberi bagian yang sama.
Disebutkan
dalam sebuah atsar, dari sahabat an-Nu’man bin Basyir, beliau radhiyallahu anhu
berkata:
تَصَدَّقَ
عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ، فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لَا
أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُشْهِدَهُ
عَلَى صَدَقَتِي، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: اتَّقُوا اللهَ،
وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ»، فَرَجَعَ أَبِي، فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ.
“Bapakku
bersedekah kepadaku dengan sebagian hartanya, berkata ibuku ‘Amrah binti Rawahah, “
Saya tidak ridha sampai engkau menjadikan saksi Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, kemudian ayahku berjalan menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, agar disaksikan beliau sedekah yang diberikan kepadaku, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ayahku, “ apakah engkau engkau melakukan hal semacam
ini kepada semua anakmu, “ ayahku berkata, “ tidak” kemudian Beliau berkata, “
bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah adil kepada anak-anakmu.” Maka ayahku
pulang dan membatalkan sedekahnya.” (HR. Muslim 1623, Ahmad 18363, Nasa’i
3682).
Dalam
riwayat lain disebutkan:
اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلادِكُمْ فِي النُّحْلِ، كَمَا تُحِبُّونَ
أَنْ يَعْدِلُوا بَيْنَكُمْ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ.
“Bersikaplah adil di antara anak-anak
kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada
kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. Shahih Ibnu Hibban 5104, Baihaqi
dalam as-Sunan al-Kubra 12003, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu
Al-Jami’ 1046).
Imam
Nawawi rahimahullah berkata:
أَنَّهُ
يَنْبَغِي أَنْ يُسَوِّيَ بَيْنَ أَوْلَادِهِ فِي الْهِبَةِ وَيَهَبَ لِكُلِّ
وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِثْلَ الْآخَرِ وَلَا يُفَضِّلَ وَيُسَوِّيَ بَيْنَ الذَّكَرِ
وَالْأُنْثَى.
“Hendaknya
menyamakan diantara anak-anaknya di dalam pemberian, dan memberi setiap orang
dari mereka seperti yang lain.” (Syarah Muslim, Imam Nawawi (Bab tidak disukai
mengutamakan sebagian anak di dalam pemberian 1623).
3)
Pemberian warisan.
Allah
ta’ala telah mengatur bahwa bagian seorang laki-laki sama dengan dua orang wanita.
Allah
ta’ala berfirman:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الْأُنْثَيَيْنِ.
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang
(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan...” (QS. An-Nisa[4]:11).
Demikianlah
sikap orang tua, jika hal ini diabaikan maka akan menjadi kebencian antara anak
dan orang tua bahkan sesama mereka.
4) Adil kepada
manusia baik dalam ucapan maupun bersaksi.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ
شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا
تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu
kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Maidah[5]:8).
وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى.
"Dan apabila kalian berkata, maka hendaklah kalian
berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat kalian." (QS. Al-An'am[6]:
152).
Allah memerintahkan berbuat adil dalam semua
tindak-tanduk dan ucapan, baik terhadap kaum kerabat yang dekat maupun yang
jauh. Allah selalu memerintahkan berbuat adil terhadap setiap orang di setiap
waktu dan keadaan, agar keadilan tetap harus ditegakkan. (Tafsir Ibnu Katsir,
QS Al-An’am[6]:152).
5) Adil kepada
diri sendiri.
Yaitu
dengan mensyukuri karunia Allah yang berupa akal, anggota badan yang lengkap,
sehat, kemudian dijaga haq-haqnya, jangan sampai memaksa pada sesuatu yang
dapat merusaknya, baik akal maupun badannya.
Orang-orang
yang berbuat maksiat hakekatnya menganiyaya dirinya sendiri karena hal itu
dapat merusak dirinya, baik badan maupun pikirannya.
Satu
misal orang yang berjudi, mereka merusak badan dan pikirannya, karena orang
yang kalah akan meninggalkan sakit hati yang dalam dan menumbuhkan permusuhan.
Orang
yang minum-minuman keras, dapat merusak organ tubuhnya.
Orang
yang berzina dapat merusak keturunnanya dan kehormatannya.
Orang
yang melakukan riba, akan merusak pikirannya sebab tekanan riba tersebut.
Demikianlah seterusnya.
Oleh
karena itu Allah melarang orang yang bunuh diri.
Allah
ta’ala berfirman:
وَلَا
تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا.
“Janganlah
kalian membunuh diri-diri kalaian, sesungguhnya Allah maha penyayang kepada
kalian.”( QS. An-Nisa [4]:29).
Demikianpula
orang yang beribadah harus tetap memberikan haknya bagi dirinya, sebagaimana
nasehat Salman kepada Abu Darda”.
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا،
وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي
حَقٍّ حَقَّهُ.
“Sesungguhnya
bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak.
Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.” (HR. Bukhari 1968, Tirmidzi 2413).
11)
Bersabar dari gangguan manusia.
Bersabar ketika membaur bersama dengan manusia.
Didalam bergaul dengan manusia secara umum membutuhkan
kesabaran, hal itu karena kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu, sehingga
kebanyakan mereka berbuat jahil.
Abdullah bin Umar raḍiyallahu
'anhuma meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam beliau bersabda:
المؤمن الذي
يخالط الناس، ويصبر على أذاهم خير من الذي لا يخالط الناس ولا يصبر على أذاهم.
"Orang
Mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka, lebih baik
dari orang Mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas
gangguan mereka." (HR. Ahmad 5022, Ibnu Majah 4032, dishahihkan
Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 939, Al- Misykah 5087).
Kesabaran
bergaul dengan tidak boleh mengikuti mereka di dalam perbuatan kemaksiatan.
Demikianlah
pentingnya mempelajari kesabaran.
-----000-----
Sragen 06-12-2024
Junaedi abdullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar