Jumat, 06 Desember 2024

AKHLAK SEORANG MUSLIM

 Mukadimah    

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

أَمَّا بَعْدُ

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.

Tidak diragukan lagi bahwa akhlaq yang baik merupakan bagian yang sangat besar di dalam ajaran agama islam, merupakan ciri khas dan makhkotanya seorang muslim, dimana seorang muslim apabila memiliki akhlaq yang baik merupakan bekal di dalam mengarungi kehidupan ini, mereka akan mudah untuk membaur dengan masyarakat mendakwahi mereka, mengajak mereka kepada kebaikan dan menjauhi keburukan.

Tidak kita pungkiri sebagian kaum muslimin mereka memiliki pengetahuan tentang dunia begitu maju dan pesat, namun sangat disayangkan sedikit diantara kaum muslimin yang mau mempelajari akhlaq nubuwah ini, sehingga mereka krisis di dalam akhlaq, sehingga banyak diantara kaum muslimin yang kita dapatkan tersandung berbagai macam masalah, baik para dainya, apalagi orang awamnyan, seperti kasus pencabulan, perzinaan, pencurian, penipuan, korupsi, pembunuhan dan lain-lain, semua tidak lain karena lemahnya iman dan jauhnya dari akhlaq yang mulia ini.

Begitu pula tanda krisis akhlaq pada umat ini, mereka tidak begitu memperhatikan ikatan persaudaraan islam, hal ini dapat dirasakan apa bila kita bermuamalah dengan salah seorang diantara mereka, saking banyaknya kasus yang terjadi sehingga muncul rasa kuatir dari tipu dayanya, baik ketika kita memberikan amanah jabatan, utang piutang, memperbaiki barang, membeli barang, sampai berperkara di pengadilan, betapa sulitnya saat ini untuk mendapatkan orang yang amanah, yang menjadikan kita merasa nyamanan dan terwujudnya keadilan.

Dari sinilah saya merasa penting untuk menulis dan mengumpulkan hal-hal yang berkaitan dengan akhlaq sehingga dapat menggugah dan menyadarkan kaum muslimin akan pentingnya memiliki akhlaq yang baik, dan tidak lupa sebagiannya saya serertakan contoh-contoh teladan orang-orang shalih dahulu yang memiliki akhlaq yang baik. Dengan demikian mudah-mudahan hal ini mudah dicerna, kemudian diamalkan oleh kaum muslimin.

Semoga Allah memberkahi seseorang yang mau mengingatkan kesalahan saya, mau mengajak saya untuk selalu menetapi kebaikan dan kesabaran, serta memberi motivasi yang baik hingga dapat tercapai kebaikan.

Demikianlah sedikit tulisan ini semoga mendapatkan keridhan Allah ta’ala menjadi amal shalih yang bermanfaat bagi saya, kedua orang tua saya, guru-guru saya dan menjadikan pemberat timbangan saya nanti pada hari kiamat aamiin.

Sragen 17-01-2023

Abu Ibrahim, Junaedi Abdullah.

 

 

BAB 1

AKHLAQ

Tauhid merupakan prioritas dakwah para nabi dan rasul, akan tetapi perlu diketahui, bersamaan dengan itu mereka juga mendasari di dalam dakwahnya dengan akhlaq yang mulia.

Oelh karena itu orang-orang yang meneladani para nabi dan para rasul hendaknya menghiasi dirinya dengan akhlaq yang mulia.

 

1.   Pengertian akhlak:

Di dalam bahasa Arab kata “akhlaq” (أخلاق) adalah bentuk jamak dari kata “khuluq” (خلق), yang berakar dari kata kerja “khalaqa” (خلق), yang berarti “menciptakan”. Kata “khuluq” diartikan dengan sikap, tindakan, dan kelakuan.

“Akhlaq” di dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan secara sederhana, yaitu “budi pekerti, kelakuan”, disinonimkan dengan kata-kata “tingkah laku, perangai, dan watak.”

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Akhlaq sebuah bentuk jiwa yang tertanam kuat, yang darinya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pertibangan dan pemikiran. (Minhajul Qhasidin, oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi)

Akhlaq terbagi menjadi dua yaitu:

1)   Akhlaq yang baik (mahmudah), apabila perbuatan-perbuatan tersebut baik.

2)   Akhlaq yang buruk (madzmumah), bila perbuatan-perbuatan tersebut buruk (Minhajul Qhasidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi).

Perbedaan antara adab dan akhlaq.

Sebagian ulama menganggap hal itu sama, bagaimana beradab kepada Allah ta’ala, atau bagaimana berakhlaq kepada Allah ta’ala.

Ada juga yang membedakan, adapun perbedaan antara adab dan akhlaq yang paling mudah untuk bisa dipahami yaitu:

1)  Adab adalah sikap seseorang.

Bagaimana seseorang bersikap pada sebuah aturan yang telah diketahui kebaikannya bersama, seperti adab makan, adab minum, adab ke kamar mandi atau adab seseorang kepada gurunya.

2)  Akhlak adalah sifat seseorang.

Sifat atau karakter seseorang yang dihasilkan dari didikan pada dirinya atau berasal dari takbi’at bawaan. Seperti jujur, dermawan, pembrani dan lain sebagainya.

Asal-muasal terjadinya akhlaq yang baik.

Akhlak bila ditinjau dari asalnya ada dua yaitu:

1)  Ghariziyyah atau Jibiliyah (naluriyah, bawaan).

Akhlak Ghariziyyah atau Jibilliyyah maksudnya Allah telah memberikan ke dalam dirinya akhlak yang mulia itu, dimana ia tumbuh dewasa di atasnya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Asyaj Abdul Qais, beliau bersabda:

إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ: الْحِلْمُ، وَالْأَنَاةُ.

“Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua perkara yang dicintai Allah, yaitu kesabaran dan tidak tergesa-gesa.” (HR. Muslim 17, Tirmidzi 2011, Abu Dawud 5225).

2)   Muktasabah (apa yang diusahakan).

Akhlak Muktasabah maksudnya akhlaq yang dihasilkan dari usaha dan  latihan disertai permohonan kepada Allah ta’ala agar memberi akhlaq yang baik. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ  يُغْنِهِ اللَّهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللَّهُ، وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ.

“Barang siapa yang berusaha menjaga dirinya (dari meminta-minta), maka Allah akan menjaganya. Barang siapa yang merasa cukup dengan pemberian Allah, maka Allah akan cukupkan. Barang siapa yang berusaha untuk sabar, maka Allah akan menyabarkan. Tidak ada pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhari 6470, 1469, Abu Dawud 1644).

Ibnu Qudamah berkata, “Seandainya akhlaq tidak bisa bisa dirubah, niscaya nasehat-nasehat tidak akan berarti apapun, bagaimana mungkin seseorang mengingkari bila akhlaq bisa dirubah sementara seseorang melihat binatang buas bisa dijinakkan, anjing diajari kapan dia harus makan, kuda dididik bagaimana jalan yang baik dan dikendalikan dengan baik pula, hanya saja harus diakuai ada takbiat yang mudah dirubah kepada kebaikan dan ada pula yang sulit.” (Minhajul Qhasidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi).

Pada masa jahiliyah kerusakan akhlaq dan moral merajalela, seperti  perzinaan, meminum khamer, perjudian dan pembunuhan, namun setelah mereka masuk islam dan mendapatkan hidayah mereka menjadi manusia-manusia pilihan, inilah fakta dimana akhlaq bisa berubah.

 

 

-----000-----

 

BAB 2

AKHLAQ RASULULLAH

 

Akhlaq Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau memiliki akhlaq yang mulia, beliau diutus untuk menyempurnakan aklaq yang telah ada, oleh karena itu beliau bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكاَرِمَ اْلأَخْلاَقِ.

“Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Bukhari di dalam Adabul Mufrad 273, dishahihkan syaikh al-Albani dalam Silsilah As-Shahihah 45).

Ketika beliau berdakwah keTha’if, dakwah beliau ditolak dan beliau disakiti, namun beliau tidak membalas hal itu semua, bahkan beliau berharap kebaikan pada mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ فَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا.

“…Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsyabain.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun juga.” (HR. Bukhari 3231, Muslim 1795).

Pujian Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al Qalam [68]: 4)

Allah memerintahkan agar kita meneladani Rasul-Nya.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21).

Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan dalil pokok yang paling besar, yang menganjurkan kepada kita agar meniru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. dalam semua ucapan, perbuatan, dan sepak terjangnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, (QS. Al-Ahzab[33]:21).

Akhlaq Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah disaksikan kebaikannya baik dari orang yang memusuhi beliau ataupun orang yang dekat dekat beliau.

Diantara kesaksian tersebut:

Saat merenovasi kakbah.

Mereka berselisih tentang siapa yang berhak meletakkan hajar aswad, hal itu terjadi 4-5 hari, bahkan hampir saja terjadi peperangan, kemudian Abu Umayah bin Mugirah al-Makzumi menawarkan, siapapun yang pertama kali melewati pintu masjid merekalah yang memutuskan, Allah taqdirkan Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam melewati pintu tersebut, merekapun berseru, “ Telah datang orang yang amanah (terpercaya).” (Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Syafiyyurrahman al-Mubarakfury).

Kesaksian dari Abu Sufyan di hadapan raja Rum, yang di waktu itu masih menjadi orang kafir.

“Apa yang diperintahkannya kepada kalian?” Abu Sufyan menjawab, “Ia memerintahkan kami agar menyembah Allah saja dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Melarang menyembah Tuhan-Tuhan nenek moyang kami. Memerintahkan shalat, sedekah, menjaga kehormatan diri, memenuhi janji, dan menunaikan amanah.” (Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Syafiyyurrahman al-Mubarakfury).

Kesaksian orang-orang Quraiys ketika Rasulullah diperintahkan untuk berdakwah terang-terangan, kemudian belaiu naik kebukit Shafa, mereka percaya terhadap apa yang di sampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kesaksian orang yang dekat dengan Rasullah shallallahu ‘alaihi a sallam:

عَنِ الْحَسَنِ قَالَ : سُئِلَتْ عَائِشَةُ عَنْ خُلُقِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَتْ : كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ.

Dari Al-Hasan ia berkata: Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia menjawab: “Akhlaknya adalah Al-Qur’an.” (HR. Ahmad 25813, Shahih menurut Syaikh Syu’aib Al-Arnauth, dishahihkan syaikh al-Albani di dalam Shahihu Al Jami’ 4811).

Dan masih banyak lagi kesaksian yang menunjukkan kemuliaan akhlaq Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

 

-----000-----

 

BAB 3

KEUTAMAAN AKHLAQ YANG BAIK.

 

Manusia tersusun dari jasad dan ruh, memiliki perasaan, oleh karena itu mensikapinya tidak boleh semena-mena, karena hal itu akan menyakitinya, mereka satu sama lain membutuhkan untuk diperlakukan dengan baik.

Adapun keutamaan memiliki akhlaq yang baik, diantaranya:

1)  Menjadikan kecintaan Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ.

“Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS. An-Nahl[16]:128).

Yakni Allah beserta mereka melalui dukungan-Nya, pertolongan-Nya, bantuan-Nya, petunjuk dan upaya-Nya.(LIhat Tafsir Ibnu Katsir, QS. An-Nahl [16]:128).

ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ.

“Sayangilah orang-orang yang ada di bumi, maka orang-orang yang ada di langit akan menyayangimu.” (HR. Tirmidzi 1924, Baihaqi 17905, Dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash Shahihah 925).

2)  Menjadikan Rasulullah cinta.

Orang yang ingin dicintai Rasulullah hendaknya memiliki akhlaq yang baik.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا

“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. Tirmidzi 2018,  dihasankan oleh Syakh al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ 1535, As-Shahihah 791).

 

3)  Akan menjadi pemberat timbangan pada hari kiamat.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ. 

"Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan (amalan) seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlaq yang mulia." (HR. Tirmidzi 2002, di hasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahihah 876).

Bagaimana seseorang berkata yang baik, tersenyum, bersabar dan lainnya yang semua ini tanpa dirasa merupakan tumpukan-tumpukan pahala yang sangat besar.

4)  Paling banyak memasukkan manusia kedalam surga.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke surga sebagaimana disebutkan dalam sebuah atsar:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ  تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ. وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ  الْفَمُ وَالْفَرْجُ.

“Taqwa kepada Allah dan bagusnya akhlak.” Dan beliau ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka, maka beliau bersabda: “mulut dan farji (kemaluan).” (HR Tirmidzi 2004, Abu Dawud 2596, Ibnu Majah 4246. Dihasankan syaikh al-Albani, Lihat As-Shahihah 977).

Bagaimana seseorang bertakwa kepada Allah dan berakhlaq yang mulia akan menjadikan kebaikan di dunia ini sehingga semua urusanya menjadi mudah, mendatangkan berkah, dan menjadikan masuk kedalam surga.

Sebaliknya mulut dan kemaluan dapat mendatangkan dosa, adzab, menjauhkan keberkahan dan memasukkan kedalam neraka.

Dia berbuat syirik, bid’ah, menuduh, menggunjing, marah tanpa alasan yang dibenarkan syari’at semua itu dilakukan dengan lisannya.

5)  Menunjukkan kesempurnaan dan kemuliaan iman seseorang.

Baiknya akhlaq seseorang menunjukkan kesempurnaan imannya, sedangkan orang yang sempurna imannya memiliki keutamaan yang besar, di sisi Allah ta’ala, Rasulullah sallallahu ‘alaaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا .

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya, dan yang paling baik di antara kamu sekalian adalah yang paling baik akhlaqnya terhadap isteri-isterinya.” (HR. Ahmad 7402, Tirmidzi 1162, Abu Dawud 4682 dihasan oleh syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 284).

Betapa banyak orang yang memiliki hafalan yang banyak, ilmu yang tinggi namun akhlaqnya rendah, oleh karena itu hendaknya mengiringi seseorang ilmu tersebut dengan akhlaq yang mulia sehingga dapat menyempurnakan imannya.

6)  Mendatangkan kecintaan manusia.

Fitrah manusia akan mencintai orang-orang yang berbuat baik.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ.

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.” (QS. Ali-Imran[3]:159).

Ada seseorang yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ ! دُلَّنِـيْ عَلَـىٰ عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِيَ اللهُ وَأَحَبَّنِيَ النَّاسُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ.

“Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku satu amalan yang jika aku mengamalkannya maka aku akan dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau dicintai Allah dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya engkau dicintai manusia.” (HR. Ibnu Majah 4102, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 944).

7)  Akhlaq yang baik dapat memuaskan hati manusia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوْا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ ، وَلٰكِنْ يَسَعُهُمْ مِنْكُمْ بَسْطُ الوَجْهِ وَحُسْنُ الخُلُقِ.

Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memuaskan jiwa manusia dengan harta-harta kalian, akan tetapi yang dapat memuaskan jiwa mereka adalah bermuka manis dan berakhlak yang baik. (HR. Tirmidzi 2018, Bazar 8544, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Thargib wa Tharhib 2661).

8)  Meluluhkan hati musuh.

Allah Ta’ala berfirman :

ٱدْفَعْ بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ

Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fushilat : 34).

Banyak para sahabat dahulu yang memusuhi Rasulullah namun akhirnya mendapatkan hidayah tidak lain karena keindahan ajaran islam dan bagusnya akhlaq yang diajarkan Raslullah shallallahu ‘alahi wa sallam.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

الأعمال الصالحة والأخلاق الفاضلة والمعاملات الطيبة تفتح قلوب الأعداء أكثر مما تفتحه السيوف.

“Amal shalih, Akhlak yang mulia dan muamalah yang baik lebih banyak membuka hati para musuh daripada membukanya dengan pedang” (syarh Asy-Syafiah Al-Kafiyah 1/202).

9)  Akhlaq yang baik akan menjadi bukti dan saksi bagi orang lain.

Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu menuturkan:

مَرُّوا بِجَنَازَةٍ، فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَجَبَتْ, ثُمَّ مَرُّوا بِأُخْرَى فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا، فَقَالَ: وَجَبَتْ, فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا وَجَبَتْ؟ قَالَ: هَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا، فَوَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ، وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا، فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الأَرْضِ.

“Sahabat Anas bin Malik berkata, orang-orang lewat membawa satu jenazah, mereka memujinya dengan kebaikan. Maka Rasulullah bersabda, “Wajabat.” Kemudian lewat lagi orang-orang membawa satu jenazah, mereka mencelanya dengan kejelekan. Maka Rasulullah bersabda, “Wajabat.” Sahabat Umar bin Khathab berkata, “Apa yang wajib, ya Rasul?” Rasulullah bersabda, “Jenazah ini yang kalian puji dengan kebaikan wajib baginya surga. Dan orang ini yang kalian cela dengan kejelekan wajib baginya neraka. Kalian adalah para saksinya Allah di muka bumi.” (HR. Bukhari 1367, Abu Dawud 3233).

10)                    Akhlaq yang baik akan menentramkan hati pelakunya.

Ketika Rasulullah menerima wahyu di permulaan dan berjumpa dengan Jibril sehingga beliau ketakutan dan pulang, meminta istrinya agar menyelimutinya.

Khadijah berkata menentramkan beliau:

كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا؛ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ.

“Demi Allah tidak mungkin! Allah tidak akan pernah menghinakanmu. Sebab engkau selalu bersilaturrahmi, meringankan beban orang lain, memberi orang lain sesuatu yang tidak mereka dapatkan kecuali pada dirimu, gemar menjamu tamu dan engkau membantu orang lain dalam musibah-musibah.” (HR. Bukhari 3, Muslim160).

Demikianlah akhlaq yang mulia memiliki keutamaan yang sangat banyak, dan masih banyak lagi keutamaan akhlaq lainnya.

 

 

 

-----000-----

 

 

 

BAB 4

PILAR-PILAR AKHLAQ.

 

Ibnu Rajab al-Hambali di dalam kitabnya, Jamiul ‘ulum wal hikam menukil dari Muhammad bin Abi Zaid salah satu imam madzhab Malikiyah di masanya, beliau berkata: adab-adab kebaikan terhimpun dan bersumber dari 4 hadits, yaitu: “ Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya berkata baik atau diam,” hadits “ Salah satu pertanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat,” hadits, “Jangan engkau marah,” dan hadits, “ Seorang muslim mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan tersebut bagi dirinya sendiri.” (Jami’ul ‘ulum wal hikam hadits ke 12, Ibnu Rajab al-Hambali). Jadilah hadits-hadits ini seakan-akan merupakan pilar-pilar akhlaq bagi seorang muslim.

1.   Menjaga lisan.

Dimana lisan akan meninggikan derajat seseorang di surga atau akan menjerumuskannya kedalam neraka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت.

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari, 6018, Muslim, 47).

Maksudnya adalah menjaga dan menahan lisan dari suatu pembicaraan, kecuali jika di dalamnya mengandung faedah dan kebaikan. Sabda Nabi : “… maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” Di dalamnya mengandung ajakan agar seorang Muslim berpikir terlebih dahulu sebelum mengucapkan sesuatu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ.

“Sesungguhnya seorang hamba berkata dengan satu kalimat dengan kalimat itu menjerumuskan dirinya kedalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhari 6477, Muslim 2988).

Muadz bin Jabal mengatakan, "Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu 'Alaihi Wasallam pada perang Tabuk, beliau bersabda:

أَلَا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الْأَمْرِ وَعَمُودِهِ وَذُرْوَةِ سَنَامِهِ؟ " فَقُلْتُ: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: " رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ " ثُمَّ قَالَ: " أَلَا أُخْبِرُكَ بِمِلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ " فَقُلْتُ لَهُ: بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ. فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ، فَقَالَ: " كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا " فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: " ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ، أَوْ قَالَ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ، إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟

Apakah mau aku beritahukan kepadamu pokok segala urusan, tiangnya dan puncaknya..? Aku menjawab, "Tentu saja mau wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Adapun pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, sedangkan puncaknya adalah jihad." kemudian beliau berkata, “Maukah engkau aku jelaskan mengenai hal yang menjaga itu semua?” Aku menjawab, “Mau, wahai Rasulullah.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang lidahnya kemudian bersabda, “Jagalah ini.” Aku berkata, “Wahai Nabiyullah, apakah kita akan disiksa karena apa yang kita katakan?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ibumu kehilanganmu, wahai Mu’adz! bukanlah manusia terjungkir di neraka di atas wajah mereka -atau beliau bersabda: di atas hidung mereka-  melainkan dengan sebab lisan mereka.” (HR. Ahmad 36/345, Tirmidzi 2616, Nasai 11330, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 5136).

Dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الجَنَّةَ

“Barangsiapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga” (HR. Bukhari 6474).

 

Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata, “ Barang siapa berkata sesuatu yang tidak bermanfaat sulit baginya untuk berkata jujur.” (Jami’ul ‘Ulum wal hikam, Ibnu Rajab al-Hambali, hadits ke 12).

Barangsiapa yang tidak mampu menjaga lisannya, berarti dia bukan termasuk orang yang berakhlak dengan baik.

 

2.   Meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat.

Allah ta’ala berfirman:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18-19).

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi 2317 Ibnu Majah 3976. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Abu Hurairah berkata, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ: فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، وَكُلُّ سَيِّئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِمِثْلِهَا.

 

"Apabila seorang dari kalian baik keislamannya, maka dari setiap ke- baikan yang dilakukannya akan ditulis baginya sepuluh (kebaikan) semisalnya hingga tujuh ratus kali lipat, dan setiap satu kejelekan yang dikerjakan akan ditulis satu kejelekan saja yang serupa dengannya hingga ia menemui Allah.” (HR. Bukhari 42, Muslim 129, Ahmad 8217).

Hasan al-Basri berkata, “ Diantara ciri berpalingnya Allah dari seorang hamba Dia membuatnya sibuk dengan hal-hal yang tidak bermanfaat.” (Jami’ul ‘Ulum wal hikam, Ibnu Rajab al-Hambali, hadits ke 12).

 

3.   Tenang dan mampu menahan diri, terutama disaat marah.

Untuk memiliki akhlaq yang baik seseorang harus mampu mengendalikan dirinya, oleh karena itu Rasulullah memberi nasehat demikian itu.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu  bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَوْصِنِيْ ، قَالَ : لَا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : لَا تَغْضَبْ.

“Berilah aku wasiat” Beliau menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau jangan marah!”


لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ.

“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, sungguh orang yang kuat adalah yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (Bukhari 6114, Muslim 2609).

Dari Sahl bin Mu’adz bin Anas Al-Juhaniy, dari ayahnya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

 مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يُنَفِّذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ فِي أَيِّ الحُورِ شَاءَ.

 “Barangsiapa menahan kemarahan, sedangkan dia mampu melampiaskannya, niscaya pada hari kiamat Allah ‘Azza Wa Jalla akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, sehingga Allah memberinya hak memilih di antara bidadari sorga yang dia kehendaki.” (HR. Tirmidzi, 2021, Abu Dawud 4777, Ibnu Majah 4186, Ahmad 15619, Dihasankan oleh Tirmidzi dalam As-Sunan, syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ 6522 dan Shahih At-Targhib 2753).

Ketika seseorang sedang marah, maka hendaknya dia tidak berbicara atau berbuat apapun. Karena jika hal itu dilakukan,  seringkali ucapan dan perbuatannya akan mengeluarkan seseorang itu dari akhlak yang baik.

Oleh karena itu, disebutkan dalam sebuah ucapan terkait jeleknya marah adalah:

الغَضَبُ أَوَّلُهُ جُنُوْنٌ وَأٰخِرُهُ نَدَمٌ.

“Marah itu awalnya perbuatan kegilaan dan pada akhirnya adalah sebuah penyesalan.”

Hal itu terjadi karena saat marah ucapan dan tindakan yang dilakukan umumnya di luar kontrol. Maka bagi seseorang yang sedang marah, hendaknya memiliki pola dan metode untuk mencegahnya. Semisal yang disarankan Nabi dalam haditsnya, yaitu jika marah dalam keadaan berdiri, maka hendaknya duduk. Jika marahnya dalam posisi duduk, jika masih marah hendaknya berbaring, jika masih marah hendaknya berwudhu. Dan dalam riwayat lain ketika sedang marah, hendaknya diam.

 

4.   Selamatnya hati.

Hendaknya seseorang yang memiliki akhlaq baik mendasari kecintaan kepada sesama, hendaknya menjauhkan diri dari sifat hasad, iri, dengki, dendam dan juga kebencian tanpa alasan yang dibenarkan syari’at.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه.

“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari 13, Muslim 45).

Hadits ini dijadikan sandaran oleh para ulama dalam bab akhlak, yaitu hendaknya hati seseorang itu selamat dari sifat-sifat yang tidak terpuji, baik berupa hasad, iri, dengki, dan berbagai macam penyakit hati yang lain.

Tidak jarang berbagai macam penyakit muncul pada badan hal itu bermula dari hati yang kotornya yaitu hasad, iri dan dengki tersebut.

Begitu pula seorang muslim hendaknya tidak berburuk sangka kepada saudaranya sesama muslim.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (QS. Al-Hujurat[49]: 12).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا.

“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Bukhari 5143, Muslim 2563).

Inilah hukum asal prasangka buruk terhadap sesama Muslim, yaitu terlarang. Karena kehormatan seorang Muslim pada asalnya terjaga dan mulia.

Orang yang penuh dengan  prasangka dan kecurigaan adalah orang yang tidak memiliki adab dan akhlak yang baik. Karena kecurigaan akan mendorong perbuatan yang tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain, sikap seperti ini telah mengeluarkan seseorang untuk memiliki keistimewaan adab dan akhlaq yang baik.

Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ.

“Maka sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian, kehormatan kalian haram atas sesama kalian.” ( HR. Bukhari 105, 1679).

Demikianlah pilar-pilar akhlaq ini hendaknya dimiliki setiap kaum muslimin.

 

 

 

-----000-----

 

BAB 5

TIGA AKHLAQ PENTING SAAT BERSAMA MANUSIA.

 

Hasan Al-Basri mengatakan, akhlaq yang baik terkumpul dalam tiga ungkapan berikut, Kafful adza (menahan gangguan kepada orang lain), badzlun nada (memberikan manfaat kepada orang lain), Thalaqatul wajhi (wajah yang berseri-seri). (Begitupula disebutkan Syaikh Muhammad Bin Shalih al-Utsaimin di dalam kitab Syahu Riyadhus Shalihin bab Husnul Khuluq).

Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1.   Kafful adza (menahan diri dari mengganggu), yaitu dengan tidak mengganggu orang lain baik melalui ucapan maupun perbuatannya.

Mengganggu orang lain dengan lisannya, baik dengan cibiran, cacian, makian, hinaan dan umpatan, hal ini bila dilakukan tanpa alasan termasuk perbuatan dosa dan merupakan bentuk-bentuk gangguan kepada orang lain.

Allah ta’ala berfirman:

وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ.

“Dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl [16]:90).

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا.

"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat dengan perkataan atau perbuatan tanpa ada kesalahan yang mereka lakukan, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (QS. Al-Ahzab: 58),

قَوْلٌ مَعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا.

“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti.” (QS. Al-Baqarah [2]:263).

Kemudian Allah ta’ala berfirman:

قَوْلٌ مَعْرُوفٌ

“Perkataan yang baik.” (QS. Al-Baqarah[2]: 263).

Yang dimaksud ialah kalimat yang baik dan doa buat orang muslim.

وَمَغْفِرَةٌ

“Dan pemberian maaf.” (QS. Al-Baqarah[2]: 263).

Yakni memaafkan dan mengampuni perbuatan aniaya yang ditujukan terhadap dirinya, baik berupa ucapan maupun perbuatan.

خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُها أَذىً

lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Baqarah: 263).

Dari Abdullah bin 'Amru dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ.

Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” ( HR. Bukhari 10, 6468, Muslim 41).

وَإ ِمَاطَتُكَ الْـحَجَرَ وَالشَّوْكَةَ وَالْعَظْمَ عَنِ الطَّرِيْقِ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فِـيْ دَلْوِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ.

“Engkau menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan adalah sedekah, engkau menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi 1956, Shahih Ibnu Hibban 474, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 572).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ.

 

“Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan La ilaha illallah, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan, malu itu termasuk bagian dari iman.” (HR. Bukhari 9, Muslim 35, Ahmad 9361, Abu Dawud 4676).

 

2.   Badzlu nada (memberikan manfaat dan kebaikan yang dimiliki), yaitu memberikan apa yang dimilikinya berupa harta atau ilmu, kedudukan dan kebaikan lainnya.

Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ.

Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (QS. Al-Baqarah[2]:274).

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَفَقَةُ الرَّجُلِ عَلَـىٰ أَهْلِهِ صَدَقَةٌ.

“Nafkah seorang suami kepada keluarganya (istrinya) adalah sedekah.” (QS. Bukhari 4006, Tirmidzi 1965).

أَنَّ امْرَأَةً بَغِيًّا رَأَتْ كَلْبًا فِى يَوْمٍ حَارٍّ يُطِيفُ بِبِئْرٍ قَدْ أَدْلَعَ لِسَانَهُ مِنَ الْعَطَشِ فَنَزَعَتْ لَهُ بِمُوقِهَا فَغُفِرَ لَهَا.

“Ada seorang wanita pezina melihat seekor anjing di hari yang panas terik. Anjing itu menngelilingi sumur tersebut sambil menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu wanita itu melepas sepatunya (lalu menimba air dengannya). Ia pun diampuni karena amalannya tersebut.” (HR. Ahmad 10583, Muslim 2245).

خَيْرُ الناسِ أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ.

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Thabrani al-Mu’jam al-Awasath 6/52, Dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam shahihul jami’ 3289, Ash-Shahihah 427).

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, Dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ

“Semua kebaikan itu adalah sedekah.” (HR. Bukhari 6021, Muslim 1005).

 

3.   Thalaqatul wajhi (muka berseri-seri, ramah), dengan cara menampakkan wajah berseri apabila berjumpa dengan sesama. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/457).

Allah ta’ala berfirman:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ.

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf[7]:199).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

“Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kau berada, dan hendaknya setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Al-Misykah 16).

تَبَسُّمُكَ فِـيْ وَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ.

“Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah…”(HR. Tirmidzi 1956, Shahih Ibnu Hibban 474, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 572).

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ.

“Janganlah engkau menganggap remeh perbuatan baik sedikit pun, meskipun engkau berjumpa saudaramu dengan wajah berseri-seri” (HR. Muslim 2626, Ahmad 20635).

 

 

 

-----000-----

 

 

 

BAB 6.

IKHLAS.

 

Dasar-dasar akhlaq yang baik diantaranya yaitu:

1.     Ikhlas dan Ittiba’.

Ikhlas merupakan sumber kebaikan di dunia dan di akhirat, dimana seseorang tidak beramal kecuali karena Allah semata demiikian pula hendaknya ittiba’ yaitu mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, karena dengan berpatokan ikhlas dan ittiba’ ini menjadikan seseorang terbimbing.

Allah ta’ala berfirman:

ومَا أُمِرُوْا إِلاَّلِيَعْبُدُاللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنَفَاءَ.

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…”(QS. Al-Bayyinah[98] : 5).

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ.

“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar [39]:2).

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.

“Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya." (QS. Alkahfi [18]:110).

Yakni dengan mengerjakan amal yang semata-mata hanya karena Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Demikianlah syarat utama dari amal yang diterima oleh Allah ta’ala, yaitu harus ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan syariat yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Kahfi [17]:110).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

  إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.

“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya.” (HR Bukhari 1, 6689, Muslim 1907).

Allah tidak melihat harta dan rupa tetapi melihat amal dan akhlaq kita.

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلاَ صُوَرِكُـمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta-harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian.”(Muslim 2564).

Banyak orang berkata, “Meskipun saya tidak shalat, tidak memakai jilbab yang penting hati kita baik dan tidak mengganggu orang lain.” Maka kita katakan, “ orang seperti ini baik menurut pandangan manusia tapi menurut Allah tidak demikian, karena Allah melihat hati kita dan amal perbuatan kita, seseorang yang tidak taat kepada Allah tidak dianggap baik oleh Allah ta’ala, hendaknya baik menurut manusia juga baik menurut Allah, yaitu mentaati apa yang diperintahkan Allah ta’ala.”

Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidaklah aku mengobati suatu penyakit yang lebih sulit daripada masalah niatku. Karena ia sering berbolak-balik.” (lihat Hilyah thalabul ilmi syaikh Bakar bin Abdullah Abu Zaid).

Yusuf bin Al Husain Ar-Razi rahimahullah mengatakan, ”Sesuatu yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas. Betapa sering aku berusaha mengenyahkan riya’ dari dalam hatiku, namun sepertinya ia kembali muncul dengan warna yang lain.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 25).

Diriwayatkan dari Mutharrif bin Abdullah rahimahullah bahwa dia mengatakan, ”Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Sedangkan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 17)

Dari Ibnul Mubarak rahimahullah, dia mengatakan, ”Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar gara-gara niat. Dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 17).

Sahl bin Abdullah rahimahullah mengatakan, ”Tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi jiwa daripada keikhlasan, karena di dalamnya hawa nafsu tidak ambil bagian sama sekali.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 25).

 

 

-----000----

 

BAB 7.

JUJUR.

 

Sifat Jujur.

Jujur maknanya selaras antara lahir dan batin seseorang dengan berita yang diberitakan atau perbuatan yang ditampakan.

Sifat jujur merupakan salah satu karakter mulia yang amat dianjurkan di dalam agama islam.

Kebenaran dan kejujuran tutur kata adalah indikasi kewibawaan, ke muliaan jiwa, kebersihan hati, ketinggian motivasi, kekuatan akal, sehingga menjadikan manusia cinta kepada dirinya.

Sebaliknya siapapun orangnya tidak akan suka jika dirinya didustai ataupun dikhianati.

Orang yang mengabaikan kejujuran, memiliki kedangkalan fikir, mencidrai dirinya, ilmunya, keluarganya, dan orang lain, dia memiliki kepribadian yang buruk.

Orang yang tidak jujur secara tidak langsung telah meremehkan dan merendahkan orang lain, dan siapapun tidak akan ridha jika diremehkan maupun direndahkan.

Oleh karena itu agama ini benar-benar melarang dusta dan menganjurkan agar berhias dengan kejujuran, memperingatkan bahayanya dusta dan akibat yang akan diterima kelak di akhirat.

Allah Azza wa Jalla berfiman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًايُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar.” (QS.Al-Ahzab[33] : 70-71).

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ.

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah[9]:119).

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ صِدِّيقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا .

“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, sedangkan kebaikan akan membawa kedalam surga, tidaklah seseorang selalu jujur hingga dicatat seorang yang jujur, sesungguhnya dusta membawa kepada kefajiran, sesungguhnya kefajiran akan membawa kedalam neraka, tidaklah seseorang berkata dusta hingga di catat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Bukhari 6094, Muslim 2607).

Bentuk-bentuk kejujuran yang harus selalu dipegang:

1)  Jujur dalam niat. Agar Ikhlas di dalam beramal kepada Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ.

“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar [39]:2).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ.

Aku tidaklah butuh adanya tandingan-tandingan. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal dalam keadaan menyekutukan Aku dengan selain Aku, maka Aku akan meninggalkan dia dan perbuatan syiriknya itu.’” (HR. Muslim 2985, Ibnu Majah 4202).

Imam Nawawi di dalam syarah Muslim mengatakan, “ Maknanya Aku (Allah ta’ala) tidak membutuhkan sekutu, barang siapa beramal untukku namun juga untuk selainku Aku tidak akan menerimanya aku tinggalkan padanya, yang di maksud, batallah amal orang-orang yang riya, dan tidak mendapatkan pahala maupun balasan.”

 

2)  Jujur dalam berkata. Selalu menjaga lisannya untuk tidak berdusta.

Allah ta’ala menyebutkan bagaimana orang munafiq mereka suka berdusta:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ . يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ.

“Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah [2]:8-9).

 

Ayat ini menunjukan orang munafiq selalu menghiasi ucapan mereka dengan dusta.

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam bersabda:

آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.

“Tanda orang munafik itu tiga apabila ia berkata dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya mengkhianati” (HR. Bukhari 33, 2682, Muslim 59).

Syaikh Shalih Al-Fauzan mengatakan, “Orang-orang munafik itu akan terus ada sepanjang masa. Apalagi tatkala kekuatan Islam nampak dan mereka benar-benar tidak bisa mengalahkannya. Saat itulah mereka memeluk Islam dengan tujuan memasang makar buat Islam dan orang-orang Islam dalam hati mereka.” (Kitab At-Tauhid hlm. 20).

Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra[17]: 36).

Qatadah menjelaskan ayat di atas, “Janganlah kamu katakan ‘Aku melihat’ padahal kamu tidak melihat, jangan pula katakan ‘Aku mendengar’ sedang kamu tidak mendengar, dan jangan katakan ‘Aku tahu’ sedang kamu tidak mengetahui, karena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban atas semua hal tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Isra’[17]:36).

 

3)  Jujur dalam perbuatan. Selaras antara hati dan perbuatannya.

Allah ta’ala berfirman:

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ.

“Apabila mereka menjumpai orang-orang mukmin, mereka berkata, ‘Kami telah beriman.’ Namun jika mereka menyendiri beserta dedengkot-dedengkotnya, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami di pihak kalian. Hanya saja kami hendak mengolok-olok kaum mukmin.” (QS: Al-Baqarah [2]: 14).

Demikian pula orang yang memerintahkan kebaikan sementara mereka hati mereka mengingkari, mereka termasuk keumuman firman Allah ta’ala:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ.

“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?” (QS.Al-Baqarah [2]:44).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ.

Wahai orang-orang beriman! Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan? (iu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan (QS. As-Saff [61]: 2-3).

Tingkatan hal ini:

Pertama: Orang yang paling baik adalah mereka yang memerintahkan dan menjalankan apa yang diperintahkan, melarang sesuatu dan meninggalkan apa yang dilarang tersebut.

Kedua: Orang yang memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan, namun mereka tidak menjalankan, sedang dirinya melakukan apa yang dilarang tersebut.

Ketiga: Orang yang tidak mau menyuruh kebaikan dan tidak menjalankan tidak pula melarang keburukan tersebut.

Keempat: Orang yang melarang kebaikan dan memerintahkan keburukan, orang seperti ini yang paling buruk.

 

4)  Jujur dalam berpakaian dan penampilan. Apa yang dipakai sesuai kenyataannya.

Seorang muslim hendaknya berpakaian sopan, menutup auratnya, tidak berlebihan dan tidak menghnakan dirinya, begitu pula tidak boleh menipu orang lain, berapa banyak seseorang memakai pakaian untuk mengelabuhi manusia seperti halnya:

Memakai pakaian seragam tertentu sedang dirinya bukan bagiannya, hal itu terkadang dimaksudkan untuk mengelabuhi manusia.

Banyak orang kaya memakai baju pengemis, dan menjadikan ngemis sebagai profesi untuk memperkaya diri dengan mengemis tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.

Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya” (HR. Bukhari 1474, Muslim 1040 ).

Ada juga orang yang tidak mampu tapi berpenampilan seperti milyader.

Mereka rela berpakaian mewah, berpenampilan seksi berkilauan perhiasan, mereka hanya ingin berpenampilan wah, tapi kenyataanya semua serba pinjam, semua serba setoran, mereka hanya ingin agar orang-orang kagum pada dirinya, agar orang lain takjub, iri, di mana sebenarnya orang seperti ini telah mendustai dirinya sendiri.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang hal ini. Beliau bersabda:

الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُورٍ.

“Orang yang (berpura-pura) berpenampilan dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya bagaikan orang yang memakai dua pakaian palsu (kedustaan).” (HR. Bukhari 5219, Muslim 2130).

Abu U’baid berkata, “ Orang yang menghiasi dirinya dengan kebatilan.” (Syarah Shahih Bukhari li Ibni Bathal).

Ada juga orang yang ingin terlihat tinggi namun badan pas-pasan, dia pun memakai sandal dengan hak yang tinggi atau jinjit, semua itu dilarang di dalam agama sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hadits dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِى إِسْرَائِيلَ كَانَتْ قَصِيرَةً فَاتَّخَذَتْ لَهَا نَعْلَيْنِ مِنْ خَشَبٍ فَكَانَتْ تَمْشِي بَيْنَ امْرَأَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ تَطَاوَلُ بِهِمَا.

“Ada seorang wanita Bani Israel yang bertubuh pendek memakai sandal dari kayu. Kemudian berjalan diantara dua wanita yang tinggi agar terlihat tinggi dengan sandal itu. (HR. Ibnu Hibban 5592, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam As-Shahihah 486).

Begitu pula memakai konde (menyambung rambut) wig, dan oprasi plastic agar hidungnya mancung dan lain sebagainya, semua ini dilarang di dalam agama, karena ini adalah penipuan (tazwir), dimana menampakkan kondisi yang tidak sesuai kenyataan aslinya.

Telah datang seorang wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau mengingkari hal itu..

جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ لِي ابْنَةً عُرَيِّسًا أَصَابَتْهَا حَصْبَةٌ فَتَمَرَّقَ شَعْرُهَا أَفَأَصِلُهُ، فَقَالَ: لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ.

Datang seorang wanita ke Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya anak putri yang akan menikah, dia kena penyakit campak sehingga rambutnya rontok, saya hendak menyambung rambutnya.” Nabi bersabda, “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.” (HR. Bukhari 5934, Muslim 2122, Ahmad 55905, Ibnu Majah 1988).

Wanita yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah di atas, sangat membutuhkan untuk bisa menutupi aib putrinya dengan menyambung rambutnya. Meskipun demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melarangnya, demikian pula menyambung bulu mata, diantara keburukannya yaitu:

.

1.   Menyerupai wanita kafir (tasyabbuh), karena kebiasaan ini berasal dari mereka dan telah menjadi ciri khas mereka.

2.   Merubah ciptaan Allah ta’ala.

3.   Sebagian ahli menyebut bahwa bulu mata palsu membahayakan kelopak mata dan mengakibatkan bulu mata yang asli jadi rontok.

4.   Pencitraan, tampil menipu dengan kecantikan yang tidak dimiliki dan senang dipuji dengan hal tersebut.

5.   Alat kecantikan ini pada umumnya dipakai di Indonesia untuk di luar rumah, bukan untuk berhias di depan suami. Dan hukum diberikan untuk kondisi yang ghalib dan jamak terjadi.

 

5)  Jujur dalam janji. Menepati jani.

Hendaknya seorang muslim menepati janjinya, hal ini akan mendatangkan kecintaan Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ.

“Sebenarnya barangsiapa menepati janji dan bertakwa, maka sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali-Imran[3]:76).

Sebagaimana hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ.

“Tanda orang munafik itu tiga apabila ia berucap berdusta, jika membuat janji berdusta, dan jika dipercayai mengkhianati” (HR. Bukhari 33, 2682, Muslim 59).

Dewasa ini banyak orang-orang muslim yang mereka tidak menepati janji mereka, baik ketika hendak memenuhi undangan, membayar hutang, memberi hadiah ataupun janji lainnya, tentu sifat seperti ini menyerupai sifat-sifat orang munafiq.

Banyak  orang yang dikecewakan telah menolong dengan memberikan pinjaman kemudian mengingkari janjinya bahkan mengkhianati bahkan berbuat dhalim kepada orang lain, akhirnya jarang sekali orang yang mau meminjami dan suburlah tempat-tempat riba, hal ini juga yang paling cepat dalam memutuskan persaudaraan, persahabatan, dan hilangnya  kepercayaan orang lain.

 

6)  Jujur dalam pandangan. Tidak berkhianat dan menjaga pandangannya.

Hendaknya seorang muslim menjaga pandangannya, tidak boleh berkhianat, baik dalam keadaan sendiri maupun saat bersama, karena Allah mengetahui pandangan yang jujur maupun yang berkhianat, hal ini sebagaimana seseorang yang suka mencuri-curi pandangan, baik saat berjalan di kerumunan, ataupun ketika  Ikhtilath (bercampunya) antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya dan mengumbar pandangannya.

Allah ta’ala berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ . وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا.

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.”  (QS. An-Nur[24]:30-31).

Allah ta’ala berfirman:

يَعْلَمُ خَاۤىِٕنَةَ الْاَعْيُنِ وَمَا تُخْفِى الصُّدُوْرُ.

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi di dalam dada. (QS. Gafir[40]: 19).

Ibnu Katsir mengatakan, “Ayat ini merupakan peringatan bagi manusia agar selalu merasa di bawah pengawasan Allah, sehingga mereka merasa malu dari Allah dengan malu yang sebenar-benarnya, dan bertakwa kepada-Nya dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan merasa berada dalam pengawasan-Nya dengan perasaan seseorang yang mengetahui bahwa Dia melihatnya. Karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui pandangan mata yang khianat, sekalipun pada lahiriahnya menampakkan pandangan yang jujur.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir QS Al-Mu’min atau Gafir[40]:19).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا.

“Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, lidah zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, dan kaki zinanya adalah melangkah.“  (HR. Muslim 2657, Ahmad 8932).

7)  Jujur dalam berdagang. Selaras apa yang disampaikan dengan barangnya.

Hendaknya seorang muslim berdagang dengan sikap jujur, hal ini akan menjadikan halal dan berkah di dalam jual beli mereka, bukan hanya itu, pelanggan akan senang kepadanya, karena mereka akan merasa aman dan tidak akan tertipu, karena pelanggan akan melihat integritas kita di dalam pelayanan karena berdagang merupakan salah satu cara untuk mendapatkan rezki yang halal.

Allah ta’ala berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا.

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]:275).

اَلْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا، بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا، وَإنْ كَتَمَا وَكَذَبَا، مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا.

“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama mereka belum berpisah maka jika keduanya jujur dan saling terbuka niscaya akad mereka diberkahi, dan jika keduanya berdusta dan saling menutupi dicabut keberkahan dari akad yang mereka lakukan.” (HR. Bukhari 2079, 2082, Muslim 1532).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berdagang dengan curang, diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Syibel, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ التُّجَّارَ هُمُ الْفُجَّارُ  قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ؟ قَالَ: بَلَى وَلَكِنَّهُمْ يُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ وَيَحْلِفُونَ فَيَأْثَمُونَ .

Para pedagang adalah tukang maksiat.” Diantara para sahabat ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah menghalalkan jual-beli?”. Rasulullah menjawab: “Ya, namun mereka sering berdusta dalam berkata, juga sering bersumpah namun sumpahnya palsu”. (HR. Ahmad 15530, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 1594).


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى.

Barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (HR. Muslim 102).

Diantara kecurangan para pedagang:

Mengurangi timbangan, mengurangi meteran, mengurangi kwalitas tanpa persetujuan, menambahkan campuran yang tidak selayaknya, seperti gabah dituangi air, katul dituangi padas, seperti susu dicampur dengan air, membuat madu palsu kemudian dikatakan asli, murni, menampakkan yang baik dan menutupi yang buruk seperti penjual mobil, motor, kain, beras, jagung, buah dan lain-lain, semua ini telah berdusta di dalam berdagang, hukumnya haram dan menjauhkan keberkahan.

وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ .

“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar-Rahman[55]:9).

Begitupula bersumpah palsu, diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ، مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ

“Sumpah itu melariskan barang dagangan, namun menghilangkan keberkahan.” (HR. Bukhari 2087, Muslim 1606).

Dengan sumpah palsu ataupun dusta dapat melariskan dagangan, tapi menjauhkan keberkahan, hendaknya seorang muslim bukan hanya mencari banyaknya laba yang di dapat tapi juga mencari berkahnya.

 

8)  Jujur dalam berkasih sayang kepada sesama muslim. Cinta karena Allah benci karena Allah, tidak saling menjerumuskan.

Seorang muslim seperti satu bangunan, saling menguatkan satu dengan yang lain, oleh karena itu hendaknya berbuat baik dalam setiap keadaan, Allah dan Rasul-Nya melarang keras menelantarkan atau merendahkan.

Hendaknya mencintai mereka dengan tulus karena Allah ta’ala, sebab orang-orang yang berkasih sayang hanya karena dunia semata kelak akan menyesal.

Allah ta’ala berfirman:

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ.

Orang-orang yang berkasih sayang karena dunia, pada hari kiamat nanti sebagian mereka akan menjadi musuh untuk yang lain kecuali orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf[43]: 67).

Yakni semua sahabat dan teman yang didasari bukan karena Allah, kelak di hari kiamat berbalik menjadi permusuhan. Kecuali apa yang berdasarkan karena Allah subhanahu wa ta’ala. (Tafsir Ibnu Katsir QS. Az-Zuhruf [43]: 67).

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ.

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (Al-Fath [48]: 29).

وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا.

“Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.” (QS. Al-Baqarah[2]:231).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

المُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا, وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

 “Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.” Dan beliau menjalin jemarinya sebagian kesebagian yang lain.” (HR. Bukhari 2446, 6026, Muslim 2585).

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ شَيْءٌ، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.

“Perumpamaan kaum Mukminin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim 2586, Ahmad 18373).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَجِدُ أَحَدٌ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ حَتَّى يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَحَتَّى أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ، وَحَتَّى يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا.

“Seseorang tidak akan pernah mendapatkan manisnya iman sehingga ia mencintai seseorang, tidak mencintainya kecuali karena Allah, sehingga ia dilemparkan ke dalam api lebih ia sukai daripada kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan darinya dan sehingga Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selainnya.” (HR. Bukhari 6041).

Hendaknya seorang muslim saling mencintai saudaranya karena Allah ta’ala, seandainya saudaranya berbalik fasiq ataupun murtad (wal iyadzubillah) berpisah juga karena Allah, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ.

“Dua orang yang saling mencintai karena Allah, bekumpul karena Allah, benci pun karena Allah.” (HR. Bukhari 660, Muslim 1031).

أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ.

“Sekuat-kuatnya tali iman adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Thabrani 11537, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash- Shahihah 998).

Tidak boleh seorang muslim mencela dan memusuhi bahkan menjerumuskan saudarannya baik laki-laki maupun perempuan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ..

“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian haram atas kalian…” (HR. Ahmad 18966, Muslim 1218, Abu Dawud 1905).

Adapun dusta yang diijinkan oleh syari’at yaitu:

1.   Seorang suami mendustai istrinya dalam hal cinta, makanan, ataupun pujian yang tidak sesuai, hal itu dibolehkan syari’at.

2.   Ataupun berdusta untuk mendamaikan dua orang yang berselisih.

3.   Mengatur siasat perang, semua itu di bolehkan di dalam agama.

 

9)  Jujur dalam memberi. Agar memberi karena Allah ta’ala.

 

Bukan karena mengharapkan imbalan lebih banyak, minta dukungan, ingin disebut dermawan atau tendensi yang lainnya.

وَآتِ ذَا الْقُرْبَىٰ حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا.

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS. Al-Isra’ [17]:26).

Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ.

“Siapa yang cintanya karena Allah, bencinya karena Allah, memberinya karena Allah dan tidak memberi pun karena Allah, maka sungguh telah sempurna keimanannya.” (HR. Abu Dawud 4681 Thabrani 7613 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 380).

10)                    Jujur dalam kemampuan. Sesuai kemampuan yang dimiliki.

Seorang muslim hendaknya jujur dalam kemampunnya, kita bisa membayangkan bagaimana seandainya seseorang tidak memiliki kemampuan reparasi kemudian dia melakukan hal itu tentu akan semakin merusaknya, demikian pula tidak mampu menyopir dia bilang mampu tentu akan membahayakan nyawa orang lain, oleh karena itu seorang muslim tidak boleh untuk bersikap sok tahu, padahal dia tidak tahu, sok bisa padahal tidak bisa, sok kuat padahal lemah, dan lain-lain sehingga hal ini bisa membahayakan orang lain baik hartanya maupun nyawanya seperti orang-orang yang melakukan malpraktik.

Perkara seperti ini mencakup urusan dunia maupun urusan akhirat.

Allah ta’ala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ.

"Maka bertakwalah kepada Allah semampumu." (QS. At-Tagabun[64]: 16). 

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا  .

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(QS. Al-Baqarah[2]: 286).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ، وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ.

“Apa saja yang aku larang terhadap kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian. Sesungguhnya apa yang membinasakan umat sebelum kalian hanyalah karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi Nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari 92, Muslim 1337).

Diantara perkara-perkara yang menyelisihi kejujuran yaitu:

Pertama: kemusyrikan, orang musyrik, mereka menampakkan beribadah kepada Allah akan tetapi kenyataanya mereka beribadah kepada selain Allah.

Kedua: Kemunafikan, orang munafik tidak dikatakan jujur karena antara hati dan perbuatannya berlainan.

Ketiga: Pelaku bid’ah, mereka seakan-akan mengikuti tuntunan dan sunnah Rasulullah akan tetapi kenyataanya mereka membuat ajaran seendiri kemudian di atas namakan Rasulullah, mereka berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ .

Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.” (HR. Muslim 1718).

Keempat: Orang yang berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

”Sesungguhnya berdusta atas namaku itu tidak sama dengan berdusta atas nama orang lain. Barangsiapa yang dengan sengaja berdusta atas namaku, maka persiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari 1291, Muslim 4).


seorang mukmin benar keimananya kepada Allah dan Rasul-Nya.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلاَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.“ (Al Hujurat[49]:15).

 

 

-----000-----

 

 

Kisah teladan orang-orang yang jujur.

Allah ta’ala perintahkan agar kita mengisahkan:

فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ.

"Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir." (QS. Al-A'raf: 176).

 

 

Kisah kejujuran anak penjual susu.

 

Ketika Umar bin Khattab radhiallahu anhu pada masa kekuasannya melarang mencampur laban (susu) dengan air, suatu malam dia mengelilingi kota Madinah. Kemudian dia bersandar di sebuah dinding untuk beristirahat. Ternyata seorang wanita sedang berpesan kepada puterinya untuk mencampur laban dengan air. Maka sang puteri tersebut berkata, “Bagaimana aku mencampurnya sedangkan Amirul Mukminin melarang hal tersebut.” Lalu wanita tersebut berkata, “Amirul Mukminin tidak mengetahuinya.” Maka sang anak menjawab, “Jika Umar tidak mengetahuinya, maka Tuhannya Umar mengetahuinya. Aku tidak akan melaksanakannya selama hal tersebut telah dilarang.”

 

Ucapan sang anak perempuan tersebut sangat berkesan di hati Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu. Maka di pagi harinya dia memanggil puteranya bernama Ashim, lalu dia ceritakan kejadiannya dan dia beritahu tempatnya, kemudian dia berkata, “Pergilah wahai anakku, nikahilah anak tersebut.” Maka akhirnya Ashim menikahi puteri tersebut, dan dari perkawinan tersebut, lahirlah Abdu Aziz bin Marwan bin Hakam, kamudian darinya lahir Umar bin Abdul Aziz.  (Disalin dari islamqa).

 

 

-----000-----

 

 

Kisah Kejujuran pembeli tanah dan Sekantong Emas.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, seseorang membeli tanah dari orang lain. Ternyata si pembeli bahwa di tanahnya terdapat sekantong emas.

Pembeli berkata kepada si penjual: “Ambillah emasmu dari aku, sesungguhnya aku hanya membeli tanahmu dan tidak membeli emasmu.”

Penjual: “Sesungguhnya yang aku jual adalah tanah dan apa yang terdapat di dalamnya.”

Akhirnya keduanya meminta ketetapan hukum seorang hakim.

Hakim: “Apakah kalian memiliki anak?”

Salah seorangnya berkata, "Saya punya anak laki-laki." Yang satunya berkata, "Saya punya anak perempuan."

Maka hakim berkata, "Nikahkan anak laki-laki tersebut dengan anak perempuan tersebut, lalu berikan itu semua kepada mereka berdua." Maka keduanya bersadaqah. (HR. Bukhari 3472, Muslim 1721, disebutkan pula di islamqa).

 

-----000-----

 

 

Kisah peminjam yang Jujur.

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau menyebutkan bahwa seseorng dari Bani Israil meminta pinjaman kepada salah seorang dari Bani Israil sebanyak seribu dinar. Lalu orang itu berkata, "Hadirkan beberapa orang saksi yang menyaksikan ini." Maka dia berkata, "Cukuplah Allah sebagai saksi." Lalu dia berkata, "Hadirkan orang yang dapat memberikan jaminan." Dia berkata, "Cukuplah Allah sebagai jaminan." Maka dia berkata, "Engkau benar." Dia ridha dengan jaminan Allah, menunjukkan keimanan orang yang memberi hutang dan keyakinannya terhadap Allah Azza wa Jalla. 

Lalu dia memberinya seribu dinar untuk jangka waktu tertentu. Kemudian sang peminjam berlayar untuk suatu keperluan. Kemudian saat hendak kembali, dia mencari perahu yang dapat mengantarnya pulang untuk melunasi hutang pada waktunya. Namun dia tidak mendapatkan perahu. Maka dia mengambil sebatang perahu, lalu melobanginya, kemudian dia memasukkan uang seribu dinar dan sehelai surat kepada pemberi hutang. Kemudian lobang kayu tersebut dia tutup. Lalu dia pergi ke pantai dan berkata, "Ya Allah, sungguh Engkau tahu bahwa aku meminjam dari si fulan sebanyak seribu dinar. Dia telah memintaku untuk menghadirkan penjamin, lalu aku katakan 'Cukuplah Allah sebagai penjamin, lalu dia ridha Engkau (sebagai penjamin)."

Kemudian dia meminta saksi kepadaku, maka aku katakan kepadanya, "Cukuplah Allah sebagai saksi." Lalu dia ridha dengan hal itu. Kini aku tidak mendapatkan kapal yang mengantarkan aku kepadanya, sehingga aku tidak mampu (melunasi hutang) kepadanya. Maka aku titipkan kepada Engkau uang ini.

Lalu dia lemparkan kayu berisi uang tersebut hingga dia terapung di tengah lautan.

Dia melemparkannya dengan keyakinan dan tawakal kepada Allah serta hatinya tenang bahwa dirinya telah menitipkan sesuatu kepada Dzat yang tidak akan menyia-nyiakan titipannya.

Kemudian orang itu kembali mencari-cari kapal yang dapat membawanya keluar dari negeri tersebut. Sementara itu orang yang memberinya hutang pergi (ke pantai) untuk melihat-lihat apakah ada kapal yang datang membawa orang yang meminjam hartanya. Ternyata dia kemudian mendapatkan sebongkah kayu yang di dalamnya terdapat uang tersebut. Lalu dia mengambilnya dan dibawa ke keluarganya untuk dijadikan kayu bakar. Ketika dia hendak memotong kayu tersebut dengan gergaji, ternyata dia dapatkan uang tersebut dan suratnya

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Kemudian orang yang meminjam tadi datang dengan membawa uang seribu dinar, lalu dia berkata, 'Demi Allah, sebelum ini aku tidak mendapatkan kapal yang dapat mengantarkan aku untuk membayar hutangmu." Lalu si pemberi hutang berkata, "Apakah engkau telah mengirim sesuatu untukku." Dia berkata, "Aku sudah kabarkan bahwa aku tidak mendapatkan kapal untuk mengantarkan aku kepadamu." Maka orang itu berkata, "Sesungguhnya Allah telah mengirimkan uang tersebut yang terdapat di dalam kayu yang engkau kirim. Bawalah kembali uangmu yang seribu dinar tersebut."

Maksudnya adalah bahwa ketika orang yang berhutang dapat kembali ke negerinya, dia segera mendatangi orang yang memberinya hutang dan membawa uang sebanyak seribu dinar yang lain. Karena dia khawatir, uang yang dikirim melalui kayu tidak sampai kepadanya. Maka ketika bertemu dia langsung meminta maaf dan menjelaskan keterlambatannya dalam melunasi hutangnya tepat waktu. Maka orang yang memberi hutang tersebut mengabarkan bahwa Allah Azza wa Jalla yang dijadikan orang tersebut sebagai saksi dan penjaminnya telah melunaskan hutang untuknya pada waktunya yang tepat.

( HR. Bukhari 2291, juga disebutkan di dalam Islamqa).

 

-----000-----

 

BAB 8.

AMANAH

 

Kemuliaan sifat amanah.

Amanah berarti dapat dipercaya dan bertanggung jawab terhadap tugas yang di embankan sesuai dengan maksud dan tujuannya, hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala:

وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ.

“Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.” (QS. Al-Mukminun [23]:8).

Allah ta’ala juga berfirman:

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.

"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh." (QS. Al-Ahzab[33]: 72).

Maksudnya amanah yaitu apa yang diwajibkan oleh Allah kepada manusia, bila manusia taat akan diberi pahala, bila dia maksiat akan diberi adzab. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Ahzab [33]:72).

Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam juga bersabda:

فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ .

"Apabila sifat Amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat". Orang itu bertanya, "Bagaimana hilangnya amanah itu?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat". (HR. Bukhari 59).

Oleh karena itu para ulama banyak yang mengatakan bahwa ayat dan hadits di atas maknanya luas dimana seseorang harus menunaikan semua amanahnya. 

Diantara bentuk amanah yang harus ditunaikan yaitu:

1)  Amanah terhadap Allah ta’ala. Antara lain yang menyangkut hak-hak Allah ta’ala atas hamba-hamba-Nya, seperti agar mentauhidkan Allah ta’ala, salat, zakat, puasa, kafarat, semua jenis nazar, serta perintah dan larangannya, maupun hak-hak Rasul-Nya.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.

”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kalian mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal [8]: 27).

Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan, Allah melarang kalian berbuat khianat terhadap Allah dan Rasul-Nya, janganlah kalian berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang munafik. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Anfal [8]:27).

2)  Amanah terhadap sesama makhluk. Agar berbuat baik kepada mereka.

Allah ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا.

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisa’ [4]:36).

 

3)  Amanah pada jabatannya. Hendaknya tidak menyalahgunakan jabatan, memonopoli maupun memanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau golongannya.

Hal ini berlaku seperti kepala negara, kepala daerah, demikian pula jabatan umum seperti seorang hakim.

Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil. Dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah[2]: 188).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ، إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ.

        “Tiada seorang hamba yang diberi amanah rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan hamba itu tidak akan mencium baunya surga.” (HR. Bukhari 7150).

Dari Ma’qil Bin Yasar Radhiyallahu anhu berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً, يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ, وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ ,إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ

      “Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga atasnya. (HR. Bukhari 7150, Muslim 142).

4)  Amanah pada jasanya atau tenaganya. Tidak berlaku curang, culas dan menipu.

Hendaknya seorang muslim bersikap amanah, hal ini apa bila seseorang bekerja ditempat orang lain, baik menjual jasa berupa tenaga, menjadi pegawai negri, karyawan swasta, perbengkelan bahkan menjadi ART ataupun kuli sekalipun, maka hendaknya memegang amanah.

Amanah yang harus diperhatikan:

Pertama: waktu bekerja, jam berapa wajib hadir dari yang telah disepakati.

Kedua: waktu pulang, hendaknya sesuai kesepakatan.

Ketiga: penggunaan fasilitas dan perawatannya.

Keempat: penjagaan barang atau dagangannya atau lainnya.

Kelima: saat bekerja itu sendiri, hendaknya focus dan tidak hanya asal hadir.

Keenam: amanah dalam menjual jasa, seorang muslim yang menjual jasa seperti perbengkelan, reparasi dan lainnya hendaknya amanah dan tidak menipu para pelanggan, semisal ada kerusakan sedikit dibilang banyak, tidak rusak dikatakan rusak, mengganti onderdil bekas dibilang baru, menuntut upah yang tidak sesuai dengan waktu dan tenaga yang dikeluarkan.

Demikian pula menjual jasa ahli maupun birokrasi, jangan sampai mendapatkan pesanan barang atau disuruh mencarikan barang justru dia main mata dengan pemilik barang, padahal dirinya telah mendapatkan upah, demikian pula penjualan property atau barang, hendaknya yang amanah, janganlah ketika mendapatkan penawaran tinggi dikatakan rendah, tidak disampaikan sesuai perjanjian, tidak mau mempertemukan kepada pemiliknya bahkan disampaikan secara dusta.

Sebaliknya pemilik property jangan sampai khianat dan tidak amanah, menggunting dalam lipatan, memangkas jalan-jalannya dan meninggalkan orang yang mencarikan pembeli.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا.

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” ( QS. Al-Ahzab [33]:70).

Oraqng-orang yang diberi amanah mencarikan barang, hewan, atau tanah mereka telah mendapatkan upah, namun mereka mencari keuntungan dengan bermain mata pada pemilik barang, semua ini menjauhkan dari keberkahan dan mengundang kemurkaan Allah ta’ala.

5)  Amanah terhadap hartanya. tidak boleh seseorang membelanjakan hartanya pada kemaksiatan karena ini merupakan bentuk tabdir (pemborosan).

Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا . إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا.

“Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros." "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra’[17]:26-27).

Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa istilah tab'zir berarti membelanjakan harta bukan pada jalan yang benar.

Mujahid mengatakan, "Seandainya seseorang membelanjakan semua hartanya dalam kebenaran, dia bukanlah termasuk orang yang boros. Dan seandai­nya seseorang membelanjakan satu mud bukan pada jalan yang benar, dia termasuk seorang pemboros."

Qatadah mengatakan bahwa tab'zir ialah membelanjakan harta di jalan maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, pada jalan yang tidak benar, serta untuk kerusakan. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Isra’ [17]:26-27).      

وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا.

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula kikir), dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian.” (QS. Al-Furqan[25]:67).

Kelak orang-orang yang memiliki harta akan ditanya tentang harta tersebut.

وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ.

“Tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya.” (HR. Tirmidzi 2417, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahih sunan Tirmidzi 1969).

Termasuk melakukan perkara yang terlarang yaitu orang laki-laki yang memakai pakaian sutra dan emas, sedangkan hal itu dibolehkan bagi wanita, adapun menggunakan piring dari emas terlarang sebagaimana hadits di bawah ini.

Dari Hudzaifah bin Yaman, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَلْبَسُوا الحَرِيرَ وَلاَ الدِّيبَاجَ، وَلاَ تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالفِضَّةِ، وَلاَ تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَنَا فِي الآخِرَةِ.

“Janganlah kalian mengenakan sutra halus dan sutra kasar, dan janganlah kalian minum dengan menggunakan bejana emas dan perak, janganlah kalian makan dengan piring emas dan perak, karena yang demikian itu bagi mereka di dunia dan bagi kalian di akhirat.” (HR. Bukhari 5426, Muslim 2067).”

6)  Amanah pada anggota badannya. Tidak boleh seseorang membiarkan anggota badannya maupun indranya melakukan kemaksiatan.

Allah ta’ala berfirman kepada para laki-laki:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ . وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا.

“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.”  (QS. An-Nur[24]:30-31).

Allah ta’ala berfirman:

يَعْلَمُ خَاۤىِٕنَةَ الْاَعْيُنِ وَمَا تُخْفِى الصُّدُوْرُ.

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi di dalam dada. (QS. Gafir[40]: 19).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا.

“Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengarkan, lidah zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, dan kaki zinanya adalah melangkah.“  (HR. Muslim 2657, Ahmad 8932).

Dalam riwayat yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ حَظَّهُ مِنَ الزِّنَا، أَدْرَكَ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ، فَزِنَا العَيْنِ النَّظَرُ، وَزِنَا اللِّسَانِ المَنْطِقُ، وَالنَّفْسُ تَمَنَّى وَتَشْتَهِي، وَالفَرْجُ يُصَدِّقُ ذَلِكَ كُلَّهُ وَيُكَذِّبُهُ .

"Sesungguhnya Allah telah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, pasti mengenai hal itu apa yang tidak bisa dihindarkan. Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengarkan, zina lisan adalah mengucapkan, zina tangan adalah menyentuh, zina kaki adalah melangkah, dan zina hati adalah nafsu dan berharap. Sedangkan kemaluan, itulah yang membenarkan atau mendustakannya." (HR. Bukhari 6243, 6612,

 Di dalam hadits ini terdapat dalil tentang wajibnya mewaspadai terhadap perempuan terutama yang bukan mahram, baik suaranya, melihatnya, menyentuhnya, berjalan mendekatinya, keinginan hati untuk bersenang-senang dengannya, atau sekedar berangan-angan karena semua itu termasuk jenis-jenis zina, kita berlindung kepada Allah dari semua itu.

Berapa banyak orang yang asalnya hanya main-main saja, namun akhirnya dia terperangkap rayuan setan karena perzinaan takubahnya seperti pusaran yang bisa menyeret siapapun yang mendekatinya dan akhirnya tenggelam, inilah hikmahnya kenapa Allah melarang mendekati zina.

Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا.

Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra’[17]:32).

Semua anggota badan kita kelak akan dimintai pertanggung jawaban.

Allah ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ.

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Yasin[36]:65).

Termasuk dalam hal ini agar seseorang menjaga hatinya.

Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا.

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra’ [17]:36).

Ibnu Katsir berkata, “Seseorang hamba akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dilakukan oleh anggota-anggota tubuhnya itu pada hari kiamat, dan semua anggota tubuhnya akan ditanyai tentang apa yang dilakukan oleh pemilik­nya.” (LIhat tafsir Ibnu Katsir, QS, Al-Isra’[17]:36).

Allah mengancam orang-orang yang tidak menggunakan indranya untuk memahami ayat-ayat Allah, sebaliknya indra tersebut indra tersebut dipakai untuk bermaksiat kepada Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ.

“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. AL-A’raf [7]:179).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لَا تَحِلُّ لَهُ.

“Sesungguhnya andai kepala seseorang kalian ditusuk dengan jarum yang terbuat dari besi, itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR.Tabrani 486, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 226).

Demikianlah indra kita dituntut untuk amanah dan menggunakan pada keridhan Allah ta’ala.

7)  Amanah terhadap ilmunya. Hendaknya seseorang amanah dalam menuntut ilmu, mengamalkan dan menyampaikan ilmunya secara amanah.

Ilmu disini mencakup ilmu dunia maupun ilmu agama, hendaknya mengamalkan ilmunya, menggunakan ilmu tersebut sesuai dengan keridhaan Allah ta’ala, bukan semata-mata untuk mencari kekayaan dengan cara yang batil.

Seseorang memiliki ilmu dunia untuk mengelabuhi manusia, sehingga dengan hal itu dia mengumpulkan hartanya.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-NIsa’(4):29).

Orang yang menampakkan dirinya alim ditengah manusia, hkemudian atas nama investasi mereka mengumpulkan harta dari umat, setelah terkumpul mereka berkhianat dan berdusta, tentu hal ini akan mencoreng keindahan islam.

Demikian pula diantara para da’i mereka menganggap dirinya suci dan memiliki berkah sehingga melelang barang-barang yang di miliki dengan harga yang tinggi kepada orang-orang yang tidak paham agama, semua ini bentuk penipuan kepada umat.

Ada juga seorang da’i dimana mereka lupa bahwa ilmu adalah amanah, mereka memasang tarif untuk dirinya, dan groupnya, tentu ini jelas tidak amanah.

8)  Amanah terhadap titipan. Hendaknya disampaikan kepada yang berhaq menerimanya.

Allah ta’ala berfiman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا.

"Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya." (QS. An-Nisa’ [4]: 58).

Abul Aliyah mengatakan, “Amanat itu ialah semua hal yang mereka diperintahkan untuk melakukannya dan semua hal yang dilarang mereka mengerjakannya.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. An-Nisa [4]:58).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ.

"Tidak sempurna keimanan bagi orang yang tidak amanah, dan tidak sempurna agama seseorang bagi yang tidak memenuhi janji." (HR. Ahmad 12383, Tabrani di dalam Mu’jam 2292, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 7179, al- Misykah 35).

Sebuah kisah dari salah satu tiga orang yang diselamatkan Allah dari gua sebagaimana disebutkan dalam hadits:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ الثَّالِثُ اللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَاءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَهُمْ ( أَيْ : ثَمَنه) غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِي لَهُ وَذَهَبَ فَثَمَّرْتُ أَجْرَهُ حَتَّى كَثُرَتْ مِنْهُ الأَمْوَالُ فَجَاءَنِي بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي فَقُلْتُ لَهُ كُلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ مِنْ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ لا تَسْتَهْزِئُ بِي فَقُلْتُ إِنِّي لا أَسْتَهْزِئُ بِكَ فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ.

Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Yang ketiga berkata, ‘Ya Allah, dahulu aku menyewa beberapa orang pekerja, lalu aku berikan upah mereka masing-masing kecuali satu orang yang meninggalkannya begitu saja. Maka upahnya tersebut aku kembangkan hingga berkembang. Lalu (sekian lama kemudian) orang itu datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai fulan, berikan upahku.’ Maka aku katakan kepadanya, ‘Semua yang engkau lihat berupa onta, sapi, kambing dan budak adalah upahmu.” Maka orang itu berkata, ‘Wahai Abdullah, jangan meledek aku,’ Aku berkata, ‘Sungguh aku tidak meledekmu.” Lalu orang itu mengambil semua haknya tanpa menyisakan sedikitpun. “Ya Allah, jika aku lakukan semua itu karena berharap wajah-Mu, maka bebaskanlah aku dari apa yang aku alami ini.” Lalu batu itu bergerak sehingga akhirnya mereka dapat keluar meninggalkan tempat tersebut. (HR. Bukhari 2272).

Lihatlah betapa dia sangat amanah, uang itu dikembangkan sehingga menjadi banyak yang tentu hal ini akan menyenangkan hati orang yang memilikinya tersebut.

Hendaknya para pemilik jasa, baik itu titipan, reparasi, bengkel dan lainnya memberikan ketentuan yang jelas, sehingga setelah sekian lama tidak diambil barulah dia mengambil tindakan, jangan sampai hal ini menjadikan beban diakhirat kelak.

9)  Amanah terhadap rahasia. Tidak membocorkan rahasia siapapun.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا حَدَّثَ الرَّجُلُ الحَدِيثَ ثُمَّ التَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ.

“Jika seseorang menceritakan suatu peristiwa kemudian ia berpaling, maka cerita itu menjadi amanah.” (HR. Tirmidzi 1959, Abu Dawud 4868, Ahmad 14514. Dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 1089).

10)                    Amanah terhadap waktunya. Hendaknya dia gunakan waktu pada keridhaan Allah ta’ala.

Amanah terhadap waktu. Allah ta’ala berfirman:

وَالْعَصْرِ . إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ . إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.

Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang yang beriman dan beramal shalih, saling nasehat-menasehati di dalam kebenaran dan saling nasehat-menasihati di dalam kesabaran. (QS. Al-‘Ashr [103]:1-3).

Allah memuji orang-orang yang menunaikan amanahnya dengan baik di mana hal ini merupakan salah satu sifat diantara sifat-sifat penghuni surga.

Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِاَمٰنٰتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ.

"Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya." (QS. Al-Mu’minun [8]:23).

Dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Rasulullah telah bersabda:

أَذِّاْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ.

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu” (HR. Ahmad 15424, Abu Dawud 3534, Tirmidzi 1264, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 240).

Demikianlah hendaknya seseorang menjaga amanahnya, karena amanah diperintahkan di dalam agama ini, barang sisapa menyia-nyiakan dia akan berdosa.

 

 

-----000-----

 

 

Kisah-kisah orang-orang yang amanah.

 

Kisah amanahnya Umar Ibnul Khatab.

Sebuah kisah, Abdullah bin Umar juga bercerita. Suatu malam, Abdullah selaku anak datang mengetok rumah Umar. Ia ingin berbicara dengan ayahnya yang merupakan seorang pemimpin kaum muslimin. Mendengar ketokan pintu, Umar pun bertanya, “Siapa di luar,” tanya.

Abdullah pun menjawab. “Saya Abdullah bin Umar, anak mu,” katanya. Kemudian  Umar melanjutkan, “Ada keperluan apa, wahai Abdullah,”. “Aku ingin berbicara dengan mu ayah,” jawab Abdullah.

Umar pun mempersilahkan anaknya masuk  rumah. “Kamu ingin berbicara untuk kepentingan pribadi atau masalah negara atau masalah kaum muslimin,” tanya Umar. “Saya ingin mebicarakan masalah pribadi, ayah,” tutur Abdullah.

Mendengar itu, Umar meniup mematikan lampu yang ada di rumahnya. Abdullah heran, akan sikap Umar. “Kenapa kamu matikan wahai amirul mukminin,” tanya Abdulla heran. Umar pun menjelaskan, “Lampu ini merupakan fasilitas negara yang diberikan pada ku, bagaimana mungkin aku mempergunakannya untuk membicarakan kepentingan pribadi keluarga ku, “ tutur Umar. Jadilah keduanya berbicara dalam gelap malam. (Tarikh Khulafa, Imam Jalaludin as-Suyuti).

 

-----000-----

 

Kisah Mubarak seorang budak yang amanah

Dahulu kala ada seorang laki-laki yang bernama Mubarak, dia adalah seorang pembantu dari seorang saudagar penduduk Hamdzan dari Bani Hanzhalah di daerah Khurasan. Ia bekerja di perkebunan saudagar itu dalam jangka waktu yang lama.

Pada suatu hari, datanglah saudagar tersebut ke perkebunannya. Ia menyuruh Al-Mubarak mengambilkan buah delima yang manis dari kebunnya. Al-Mubarak pun bergegas mencari pohon delima dan memetik buahnya kemudian menyerahkan kepada tuannya.

Setelah tuannya membelah dan memakannya, ternyata rasanya kecut. Maka marahlah dia sambil berkata, “Aku minta yang rasanya manis, malah kamu berikan aku yang kecut. Ambilkan yang manis!”

Al-Mubarak pun pergi dan memetik delima dari pohon yang lain. Ketika tuannya tersebut membelah dan memakannya untuk kedua kalinya, ternyata rasanya sama kecut, maka tuannya sangat marah kepadanya dan memerintahkan Al-Mubarak untuk ketiga kalinya memetik buah delima tersebut, dan ternyata sang tuan masih mendapatkan rasa yang kecut.

Akhirnya tuannya bertanya: ”Apa kamu tidak bisa membedakan yang manis dan yang kecut?“  Al-Mubarak menjawab: “Tidak.” “Mengapa?” tanya tuannya. “Karena saya tidak pernah mencicipi sedikit pun buah tersebut sehingga saya tidak mengetahui rasanya,” jawab Al-Mubarak.

“Mengapa kamu tidak mencicipinya?” tanya tuannya dengan perasaan kesal bercampur heran.

“Karena tuan tidak pernah mengizinkan saya untuk memakannya.”

Tuannya terdiam dan merenungkan ucapan Al-Mubarak dan akhirnya dia menyadari kejujuran pembantunya itu. Maka menjadi mulialah al-Mubarak di mata tuannya sehingga sang tuan pun menikahkan beliau dengan putrinya. Dari perkawinan tersebut, lahirlah seorang anak laki-laki dari negeri Khurasan yang diberi nama Abdullah Ibnul Mubarak yang kelak menjadi salah seorang ulama besar dalam sejarah islam.

(Sumber: Siyar A’lam an-Nubala, Imam Adzahabi).

 

-----000-----

 

Kisah pengembala yang amanah.

Nafi berkata, “Aku pergi bersama Ibnu Umar ke beberapa daerah di pinggir kota. Ikut pula beberapa orang, lalu mereka membuka hidangan untuk makan. Kemudian seorang anak penggembala melewati mereka. Maka Ibnu Umar berkata kepadanya, “Ayo nak, mari makan.” Anak tersebut berkata, “Saya sedang puasa.” Lalu Ibnu Umar berkata, “Pada hari panas seperti ini sedangkan engkau sedang menggembala kambing di antara pegunungan, engkau berpuasa?” Sang anak menjawab, “Aku ingin memanfaatkan waktu yang senggang.”

 

Ibnu Umar terpesona dengan anak tersebut, lalu dia berkata, “Apakah engkau bersedia menjual seekor kambing dari gembalamu, lalu akan kami sembelih dan kamu akan kami berikan makan dengan dagingnya lalu kami akan berikan uangnya.”

Dia berkata, “Ini bukan milik saya, tapi milik tuan saya.”

Ibnu Umar berkata, “Bukankah engkau dapat mengatakan kepadanya bahwa seekor srigala telah memangsanya.”

 

Lalu sang anak tersebut pergi sambil mengangkat jarinya ke langit seraya berkata, “Di mana Allah?”

 

Maka Ibnu Umar selalu mengulang-ulang perkataan, “Si penggembala berkata, ‘Di mana Allah?’. Maka setelah tiba di Madinah, beliau mengirim utusan kepada tuan anak tersebut untuk membeli budak tersebut beserta gembalanya, lalu sang budak dimerdekakan dan hewan ternaknya diberikan kepadanya. Semoga Allah merahmatinya.”

(Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Jauzi rahimahullah dalam Kitab Sifatush-Shafwa, 2/188).

 

 

-----000-----

 

 

BAB 9.

SABAR.

 

Sifat sabar

Sifat sabar dibutuhkan oleh manusia di setiap keadaannya, di mana semua aktifitas tidaklah akan berjalan dengan baik apabila seseorang tidak memiliki kesabaran.

Pengertian sabar.

Sabar secara bahasa diambil dari kata al-habsu yang artinya menahan.

Adapun secara istilah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sabar adalah menahan nafsu di dalam ketaatan kepada Allah, menahannya dari perbuatan maksiat kepada Allah, serta menjaganya dari perasaan dan sikap marah dalam menghadapi takdir Allah.” (Syarhu Al-Ushulu Tsalatsah hal 22-23).

Ada kesabaran yang sifatnya ikhtiyari (dapat diusahakan).

Ada juga sabar yang sifatnya idhthirari (tidak dapat ditolak). (Tazkiyatun Nafs, DR. Ahmad Farid).

Sebagaimana apabila seseorang mendapatkan musibah atau perkara yang tidak disukai.

Sabar idhthirari dimiliki semua orang, karena semua orang akan menghadapi dinamika kehidupan yang mau tidak mau pasti akan merasakan pahit getirnya kehdupan.

 Sabar jenis pertama (ikhtiyari) lebih utama daripada sabar yang kedua (idhthirari), oleh karena itu kesabaran nabi Yusuf terhadap godaan Zulaiha lebih besar nilainya dari kesabaran ketika dibuang oleh saudara-saudaranya.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّهُ مَنْ يَتَّقِ وَيَصْبِرْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ.

“Sungguh, Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami. Sesungguhnya barangsiapa bertakwa dan bersabar, maka Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf [12]:90).

وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ.

“Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan.” (QS. Ali-‘Imran [3]:186).

Allah ta’ala berfirman:

أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا.

“Mereka itulah orang-orang yang dibalas dengan kedudukan-kedudukan tinggi (di surga) dengan sebab kesabaran mereka.” (QS. Al-Furqaan [25]: 75).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.

“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran [3] : 200).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ.

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Tidaklah hal itu terjadi kecuali pada seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka itu baik baginya. Apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka itu baik baginya.” (HR. Muslim 2999, shahih Ibnu Hibban 2896).

 

Bentuk-bentuk kesabaran:

1.   Sabar di dalam keta’atan. Maksudnya sabar di dalam berusaha menjalankan semua bentuk keta’atan, seperti menuntut ilmu, beramal, berdakwah bersabar dalam menanggung gangguan dakwah.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ.

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar“. (QS. Al-Baqarah[2]: 153).

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى.

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki

kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha [20]:132).

Diantara bentuk sabar dalam ketaatan yaitu:

1)  Sabar menuntut ilmu.

Allah memerintahkan dan memuji orang-orang yang menuntut ilmu.

Allah ta’ala berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ.

“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah.” (QS. Muhammad [47]:19).

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS.At-Taubah [9]: 122).

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.

“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang orang yang di beri ilmu dengan beberapa derajat.” ( QS Al-Mujadilah[58]:11).

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dishahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah  224)

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.

“ Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan memberikan kefaqihan (pemahaman) agama baginya.“ (HR. Bukhari 71, 3116, Muslim 1037).

وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ.

Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mempermudah baginya jalan menuju surga.” (H.R Muslim 2699, Ahmad 7427).

Yang dimaksud menempuh jalan untuk mencari ilmu, ada dua bentuk :

1)   Menempuh jalan secara hakiki, yaitu dengan berjalan menuju tempat majelis ilmu.

2)   Menempuh jalan secara maknawi, yaitu melakukan segala sesuatu untuk mendapatkan ilmu seperti medengarkan ceramah, menghafal, mempelajari, membaca buku yang bermanfaat, menulis, serta perbuatan lainnya, untuk mendapatkan ilmu tersebut.

Ali bin Abi Thalib berkata:

قِيْمَةُ الـمَرْءِ بِقَدْرِ مَا يُحْسِنُهُ.

”Nilai seseorang adalah dengan diukur keahliannya.” (Hilyah thalaibil ‘ilmi, Bakar Bin Abi Zaid).

مَنْ لَمْ يَكُنْ رُحَلَةً لَمْ يَكُنْ رُحْلَةً.

"Siapa yang tidak banyak melakukan perjalanan, tidak akan layak menjadi tujuan perjalanan." (Tadzkiratus sami wal mutakallim).

 

-----000-----

 

Kisah kesabaran dalam menuntut ilmu

Sebagaimana Syu’bah rahimahullah dia mengadakan perjalanan sebulan penuh dalam rangka mencari sebuah hadits yang beliau dengar melalui satu jalur yang belum pernah didapatkannya. 

 

Sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Telah sampai kepadaku dari seseorang dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah hadits yang dia dengar dari Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang aku belum pernah mendengarnya. Maka aku membeli seokar unta, aku pasang pelana diatasnya, lalu aku mengadakan perjalanan selama sebulan penuh hingga aku tiba di Syam. Maka sahabat yang aku maksudkan adalah Abdullah bin Unais Al-Anshari. Kemudian setelah sampai maka aku mengatakan kepada utusan Abdullah bin Unais, ‘Sampaikan bahwa Jabir ada di depan pintu rumah.’ Maka sang utusan tersebut kembali lagi menemui Jabir membawa pertanyaan Abdullah bin Unais. Dia bertanya, ‘Apakah engkau adalah seorang yang bernama Jabir bin Abdillah?’. Maka aku katakan, ‘Betul’. Kemudian utusan tersebut kembali menemui Abdullah bin Unais dan menyampaikan pesanku. Kemudian Abdullah bin Unais keluar menemuiku. Maka dia memelukku dan akupun memeluknya. Aku katakan kepada Abdullah bin Unais, ‘Ada sebuah hadits yang sampai ke telingaku bahwasannya engkau telah mendengar hadis tersebut dari Rasulullah tentang masalah tindakan kedzaliman yang aku belum pernah mendengar hadits tersebut dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku khawatir aku mati atau engkau mati terlebih dahulu sebelum aku sempat mendengarnya.’” (Ar-Rihlah fii Talabil Hadits karya Al-Khatib Al-Baghdadi hal. 110).

 

 

-----000-----

2)  Sabar mengamalkan ilmu.

Allah ta’ala berfirman:

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ.

“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS.Al-Baqarah[2]:25).

يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ.

(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (QS. Luqman[31]: 16).

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ.

“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar[39:9).

اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤا.

“Hanya saja yang takut kepada Allah dari sekian hamba-Nya adalah ulama.” (QS. Fatir[35]:28).

Bahayanya ilmu apabila tidak diamalkan.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ.

“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. “ (QS. Ash Shaf[61]:2-3)

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ.

“ Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan kewajiban dirimu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? “ ( QS. Al-Baqarah [2]: 44).


مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا ۚ بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ.

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepada mereka (kitab suci) Taurat, kemudian mereka tiada menunaikannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab besar lagi tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tiada memberi petunjuk bagi kaum yang zhalim.” (QS. Al-Jumu`ah [62]: 5).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ: أَيْ فُلاَنُ مَا شَأْنُكَ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ المُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ المُنْكَرِ وَآتِيهِ.

“Kelak akan didatangkan seorang laki-laki pada hari kiamat, lalu ia dilempar kedalam api neraka, lalu membuat ususnya keluar, lalu ia berputar-putar seperti keledai yang memutari penggilingan. Lalu penduduk neraka berkumpul mengerumuninya dan berkata: ‘Hai Fulan, ada apa dengan kamu? Bukankah kamu dahulu menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar?’ Maka orang ini berkata: ‘Iya, dahulu aku menyuruh kalian kepada yang ma’ruf tapi aku tidak melakukannya, aku melarang kalian dari perbuatan yang buruk tapi aku malah melakukannya.” (HR. Bhukari 3267, Ahmad 21784).

Malik bin Dinar berkata:

إِذَا تَعَلَّمَ الْعَبْدُ الْعِلْمَ لِيَعْمَلَ بِهِ كَسَرَهُ عِلْمُهُ وَإِذَا تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِغَيْرِ الْعَمَلِ بِهِ زَادَهُ فَخْرًا.

“Jika seorang hamba mempelajari suatu ilmu dengan tujuan untuk diamalkan, maka ilmu itu akan membuatnya semakin merunduk. Namun jika seseorang mempelajari ilmu bukan untuk diamalkan, maka itu hanya akan membuatnya semakin sombong (berbangga diri).” (Hilyah Auliya’ wa Thabaqatul Asfiya’ 2:372, Abu Nu’aim al-Ashbahani).

Wahb bin Munabbih berkata:

مَثَلُ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لَا يَعْمَلُ بِهِ كَمَثَلِ طَبِيبٍ مَعَهُ دَوَاءٌ لَا يَتَدَاوَى بِهِ.

“Permisalan orang yang memiliki ilmu lantas tidak diamalkan adalah seperti seorang dokter yang memiliki obat namun ia tidak berobat dengannya.” (Hilyah Auliya’ wa Thabaqatul Asfiya’ 4:71 Abu Nu’aim al-Ashbahani).

 

3)  Sabar di dalam berdakwah dan gangguan dakwah.

Berdakwah adalah amalan yang sanagat mulia, hendaknya menguatkan podasi dakwah dengan ilmu dan manhaj (Metode di dalam memahami agama) yang benar.

Allah ta’ala memuji para sahabat dimana salah satu sifat mereka adalah mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari yang mungkar.

Allah berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ.

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”(QS. Al-Imran [3]:110).

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. AL-Imran[3]:104).

Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata, amal ma’ruf nahi mungkar hendaknya memiliki tiga bekal:

1)   Berilmu.

2)   Bersikap lemah lembut.

3)   Bersabar. ( Al-Amru bil makruf wa nahyu ‘anil mungkar).

Syaikh Muhamaad bin Shalih al-Utsaimin berkata: “Menjadi seorang da’i hendaknya memenuhi beberapa syarat berikut ini:

Pertama: hendaknya ia mengilmui apa yang ia dakwahkan.

Kedua: hendaknya ia memahami kondisi orang-orang yang didakwahi.

Ketiga: hendaknya bersikap hikmah dalam dakwahnya.

Keempat: hendaknya da’i memiliki akhlak yang baik dalam perkataan, perbuatan, dan penampilan.  (Fatawa Nuurun ‘alad Darb, 2/24).

Bersabar dalam gangguan dakwah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mendapatkan gangguan yang berat di dalam dakwahnya hingga sebagiannya disebutkan Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ.

“Ketika mereka mendengar Al-Quran mereka berkata, ‘Dia (Muhammad) adalah benar-benar orang gila’.” (QS. Al-Qalam [68]: 51).

Al-Qur’an dianggap dongeng orang dulu.

وَقَالُوا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ .

Dan mereka berkata: “Dongengan-dongengan orang-orang dahulu..” (QS. Al-Furqon 25]: 5).

Mereka juga menyebut utusan Allah dengan tukang sihir.

Allah ta’ala berfirman:

وَقَالَ الْكَافِرُونَ هَذَا سَاحِرٌ كَذَّابٌ.

“Orang-orang kafir berkata, ‘Orang ini adalah penyihir yang banyak berdusta.”(QS Shad [38]: 4).

إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ .وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُونٍ.

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: "Laa ilaaha illallah" (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?" (QS. Ash-Shaffat [37]: 35-36).

Abu Thalib berkali-kali didatangi orang-orang musyrik Makkah agar menghentikan dakwah keponakannya, sampai ingin menukar Imarah bin Al-Walid dengan Nabi Muhammad agar bisa membunuhnya, hal itu menjadikan Abu Thalib marah dan tidak membiarkannya  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam gangguan mereka.

Rasulullah pernah berdakwah ke Tha’if, akan tetapi orang-orang Tha’if tidak mau menerima dakwah beliau bahkan beliau dilempari batu hingga berdarah-darah.

Demikianlah kesabaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam berdakwah, seharusnya diwarisi oleh setiap para da’i yang menyeru kepada Allah ta’ala. (Arrahiq al-Makhtum, Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfury).

 

 

-----000-----

 

 

Kisah orang yang disiksa karena mengamalkan ilmu.

 

Kisah tukang sihir, rahib dan seorang pemuda.

 

Peristiwa Ashhabul Ukhdud adalah sebuah kejadian yang besar dimana orang-orang beriman dibantai dan di sebuah parit-parit yang dinyalakan api di dalamnya, hal itu tidak lain karena keimanannya kepada Allah ta’ala. Allah mengabadikannya di dalam Alquran.

Allah ta’ala berfirman:

قُتِلَ أَصْحَابُ الْأُخْدُودِ . النَّارِ ذَاتِ الْوَقُودِ .

“Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar.” (QS. Al-Buruju[85]: 4-5).

 

Dari suhaib bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَانَ مَلِكٌ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، وَكَانَ لَهُ سَاحِرٌ، فَلَمَّا كَبِرَ، قَالَ لِلْمَلِكِ: إِنِّي قَدْ كَبِرْتُ، فَابْعَثْ إِلَيَّ غُلَامًا أُعَلِّمْهُ السِّحْرَ، فَبَعَثَ إِلَيْهِ غُلَامًا يُعَلِّمُهُ….

Raja dan tukang sihir.

“Dahulu ada seorang raja, dari orang-orang sebelum kalian. Dia memiliki seorang tukang sihir. Tatkala tukang sihir itu sudah tua, ia berkata kepada rajanya: “Sesungguhnya aku telah tua. Utuslah kepadaku seorang anak anak muda yang akan aku ajari sihir.” Maka sang raja pun mengutus seorang anak muda untuk diajari sihir.

Anak muda dan rahib.

Setiap kali anak muda tersebut datang menemui tukang sihir, di tengah perjalanan ia selalu melewati seorang rabib, ia pun duduk mendengarkan pembicaraan rahib tersebut, sehingga ia kagum kepadanya. Maka setiap kali ia datang ke tukang sihir, ia selalu duduk dan mendengarkan terlebih dahulu petuah rahib itu, kemudian baru ia datang ke tukang sihir sehingga tukang sihirpun memukulnya (disebabkan terlambat) ia mengadukan hal itu kepada rahib, rahib pun berpesan: “Kalau engkau takut kepada tukang sihir, katakanlah bahwa keluargamu telah menghalangimu, dan bila engkau takut kepada keluargamu, katakan juga bahwa tukang sihir itu telah mencegahmu.

Pemuda dan tanda-tanda karamahnya.

Maka tatkala berlangsung demikain, tiba-tiba ada seekor binatang yang besar melintang di tengah jalan sehingga menghalangi lalu-lalangnya manusia. Menghadapi peristiwa ini maka ia pun berkata: “Pada hari ini akan aku buktikan apakah tukang sihir itu lebih utama ataukah rahib itu.”

Ia pun mengambil sebuah batu kemudian mengatakan: “Ya Allah, apabila perkara rahib lebih engkau sukai daripada tukang sihir, maka bunuhlah binatang ini.” Kemudian ia lemparkan batu tersebut, sehingga matilah binatang besar tadi dan manusia pun bisa lewat kembali. Sesudah itu datanglah ia kepada rahib dan mengabarkan kejadian yang baru saja ia alami, kemudian sang rahib mengatakan:

“Wahai anakku, hari ini engkau lebih baik daripada aku, dan engkau telah sampai pada perkara yang engkau ketahui, sesungguhnya engkau akan mendapat ujian, dan bila engkau diuji, janganlah engkau tunjukkan tentang diriku.”

Allah beri kemampuan untuk menyembuhkan berbagai penyakit.

Dan kini ia dapat menyembuhkan penyakit buta, penyakit kusta, serta dapat mengobati manusia dari berbagai macam penyakit.

Hal ini terdengar oleh seorang teman duduk raja, sedangkan dia adalah seorang yang buta, kemudian ia membawa hadiah yang banyak seraya mengatakan: “Aku akan berikan hadiah ini kepadamu bila engkau bersedia menyembuhkan penyakitku.” Maka sang anak menjawab, “Sesungguhnya aku tidak bisa menyembuhkan siapapun, yang bisa menyembuhkan hanyalah Allah. Kalau engkau beriman kepada Allah maka aku akan berdoa kepada-Nya untuk kesembuhanmu.” Maka ia pun beriman kepada Allah dan Allah pun menyembuhkan penyakitnya. Kemudian datanglah dia menemui sang raja dan duduk sebagaimana biasanya, sang raja pun heran seraya mengatakan: “Siapakah yang telah mengembalikan pandanganmu?” maka ia menjawab: “Tuhanku.”  Sang raja melanjutkan: “Apakah engkau memiliki tuhan selain aku?” Jawabnya, “Ya, Dia adalah Tuhanku dan Tuhanmu.” Maka sang raja pun menyiksanya dan terus menyiksanya sampai ia akhirnya menunjukkan kepada anak tersebut. Didatangkanlah si anak itu, kemudian sang raja berujar: “Wahai anakku, sekarang engkau telah memiliki kepandaian sihir, sehingga bisa menyembuhkan orang yang buta dan juga bisa menyembuhkan penyakit kusta dan lain sebagainya.” Sang anak balik menjawab, “Sesungguhnya aku tidak bisa menyembuhkan siapapun, dan hanya Allah-lah yang bisa menyembuhkan.”

Siksaan raja kepada orang-orang yang beriman dan perintah agar kembali murtad.

Akhirnya sang raja pun menyiksanya dan terus menyiksanya sampai ia menunjukkan kepada rahib. Maka didatangkanlah si rahib, kemudian dikatakan kepadanya: “kembalilah dari agamamu!” Ia pun enggan. Maka sang raja meminta gergaji kemudian diletakkan di tengah kepalanya, dan dibelahlah tubuhnya sampai terbelah menjadi dua bagian. Kemudian didatangkan pula teman duduk sang raja tersebut, dan dikatakan kepadanya: “kembalilah dari agamamu!” Demikian pula, ia pun enggan, kemudian ditaruh gergaji itu di atas kepalanya, tubuhnya digergaji  dan terbelah menjadi dua bagian.

Perintah agar pemuda tersebut kembali (murtad) kepada agamanya dulu.

Selanjutnya didatangkanlah sang anak muda tersebut, dan dikatakan kepadanya: “kembalilah dari agamamu!” Ia pun menolak. Kemudian ia dilemparkan kepada sekelompok prajurit raja, dan dikatakan: “Pergilah kalian ke gunung ini dan gunung ini, mendakilah sampai di puncak gunung, apabila ia mau berhenti dari agamanya selamatkan dia, dan kalau tidak, maka lemparkan ia ke dasar jurang.”

Maka mereka pun pergi, kemudian naik, dan tatkala berada di atas gunung sang anak berdoa: “Ya Allah Jagalah diriku dari tipudaya mereka sebagaimana yang engkau kehendaki.” Tiba-tiba bergetarlah gunung tersebut dan semua prajurit raja jatuh berguguran ke bawah jurang, kemudian kembalilah sang anak menemui sang raja. Ia heran dan mengatakan: ‘Apa yang terjadi pada para sahabatmu?” Sang anak menjawab: “Sesungguhnya Allah telah menjagaku dari makar mereka.” Maka kembali sang raja melemparkannya ke sekelompok prajuritnya yang lain, kalai ini perintah sang raja: “Pergilah kalian dan bawalah anak muda ini ke sebuah perahu, apabila kalain telah ke tengah laut, maka apabila ia mau berhenti dari agamanya selamatkanlah ia, kalau ia tetap enggan, lemparkanlah ia ke tengah lautan!”

Maka mereka pun pergi, setelah sampai di tengah laut, maka anak muda itu kembali berdoa: “Ya Allah! Jagalah diriku dari tipudaya mereka sebagaimana yang engkau kehendaki.” Maka perahu itu pun terbalik, namun Allah tetap menyelematkannya dan tenggelamlah seluruh prajurit raja. Kembalilah anak muda tersebut menemui sang raja, ia pun terkejut seraya mengatakan: “Apa yang terjadi pada para sahabatmu?” anak muda ini menjawab, “Allah telah menjagaku dari makar mereka.”

Perintah anak muda kepada raja.

Kemudian ia berkata kepada sang raja, “Sesungguhnya engkau tidak akan pernah bisa membunuhku, kecuali bila engkau mau menuruti permintaanku.” Sang raja menjawab, “Apakah itu?  Anak muda ini mengatakan, “Kumpulkanlah seluruh manusia pada satu tempat, kemudian saliblah aku di sebuah pohon kurma, kemudian ambillah satu anak panah dari tempat anak panahku, letakkan anak panah itu di busurnya, kemudian katakanlah “Bismilah bi Rabbil ghulam (dengan nama Allah Tuhan anak muda ini).’ Kemudian lepaskanlah anak panah tersebut. Dengan begitu engkau bisa membunuhku.”

Pengorbanan anak muda untuk meninggikan nama Allah ta’ala.

Maka sang raja pun mengumpulkan manusia pada suatu padang yang luas. Dia menyalib anak tersebut pada sebuah batang kurma, kemudian mengambil sebuah anak panah dari tempat anak panahnya dan diletakkan di sebuah busur, kemudian mengatakan: “Bismillah Rabbin ghulam (Dengan menyebut nama Allah, Tuhan anak muda ini).” Kemudian panah itu dilepaskan, maka anak panah itu melesat tepat mengenai pelipis sang anak, setelah itu Ia meletakkan tangannya di pelipisnya kemudian meninggal.

Keimanan manusia terhada Allah.

Maka manusia seluruhnya mengucapkan, “Aamanna bi Rabbil ghulam (Kami beriman kepada Allah Rabb-nya anak muda tersebut).” Maka dikatakan kepada sang raja: “ Wahai sang raja, Tahukah engkau, perkara yang selama ini kau khawatirkan telah terjadi. Sungguh manusia seluruhnya telah beriman.” Maka sang raja memerintahkan untuk membuat sebuah parit di dekat pintu-intu jalan dan membuat lubang panjang. Lalu dinyalakanlah api kemudian ia berkata: “Barangsiapa yang tidak mau kembali dari agamanya, maka lemparkanlah ke dalam parit tersebut.” Atau sehingga dikatakan, “Lemparkanlah!!” maka mereka pun melemparkan seluruhnya. Sampai datang seorang wanita bersama bayinya, ia seorang wanita bersama bayinya, ia berputusasa, karena hal itu mengenainya, tiba-tiba sang bayi itu berkata, “Wahai ibuku.. bersabarlah, sesungguhnya engkau dalam kebenaran…!”

( Sumber: HR. Muslim 3005, Ibnu Hibban 873).

Demikianlah besarnya ujian orang-oraang terdahulu terhadap keimanan.

 

-----000-----

 

2.   Bersabar meninggalkan kemaksiatan. Dari dosa yang paling besar, kemudian dosa besar setelah itu dosa kecil.

Dosa besar seperti kesyirikan dimana dosa kesyirikan adalah dosa yang paling besar, setidaknya ada tiga hal yang bisa membinasakan seorang apabila terjerumus ke dalam kesyirikan dan meninggal dalam keadaan menyekutukan Allah.

1)  Tidak mendapatkan ampunan Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”(QS. An Nisaa [4]: 48, 116).

 

2)  Akan menghapuskan pahala ibadahnya.

 وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ.

“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar [39]: 65)

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ.

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang Telah mereka kerjakan.” (QS. Al An’am [6]: 88)

3)  Akan menjadikan kekal selamanya di dalam neraka.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ.

“Sungguh, orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke dalam neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk.” (QS. Al-Bayyinah [98]:6)

Hendaknya seorang muslim

 meninggalkan dosa-dosa besar, karena kemaksiatan adalah sebab utama binasanya seseorang, oleh karena itu hendaknya seorang hamba bertaubat dan meninggalkannya.

Allah ta’ala berfirman:

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا.

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa[4]:31).

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا.

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya.” (QS.At-Tahrim[66]:8).

فَأَمَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسَى أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُفْلِحِين.

“Maka adapun orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mudah-mudahan dia termasuk orang yang beruntung.” (QS Al-Qashas[28]: 67).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً.

“Demi Allah. Sungguh aku selalu beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari 6037)

يَآايُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّي أَتُوْبُ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ.

Hai sekalian manusia, taubatlah kalian kepada Allah dan mintalah ampun kepadaNya, karena sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali.”( HR. Ahmad 18294, Nasai di dalam As-Sunan Al-Kubra 10205, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash- Shahihah 1452).

يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِى أَغْفِرْ لَكُمْ.

“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa di waktu siang dan malam, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian.” (HR. Muslim 6737).

Barang siapa meninggalkan maksiat karena Allah ta’ala Allah ganti bagi orang tersebut dengan lebih baik.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاءَ اللهِ إِلَّا أَعْطَاكَ اللهُ خَيْرًا مِنْهُ.

Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena ketakwaan kepada Allah Ta’ala, kecuali Allah pasti akan memberikan sesuatu yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad 20738, Dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam KItab Hijab Mar’ah Muslimah hal 46).

Bahaya orang yang maksiat dan tidak segera bertaubat.

Hati orang yang bermaksiat akan tertitik hitam jika hal ini terus menerus akan menjadikan gelap dan akhirnya tertutup hatinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) .

“Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah “ar raan” yang disebutkan Allah di dalam firman-Nya, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (HR Tirmidzi 3334, Ibnu Majah 4244,  di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam As-Shahihul Jami’ 1670).

Ibnul Qayyim menyebutkan beberapa dampak maksiat yaitu:

Hati menjadi sulit menerima kebaikan.

Dapat menjadikan terhalang dari rezki.

Menjadikan hati hampa dan kosong dari kedekatan kepada Allah.

Menjadikan urusannya sulit.

Menjadikan hatinya gelap.

Menjadikan lemah hati dan badanya.

Menjadikan terasa asing diantara orang-orang yang shalih.

Menjadikan terhenti rutinitas amal kebaikannya.

Menjadikan hilang keberkahan umurnya.

Membawa pada kemaksiatan yang lain. (Ad-Dhaa’ wa Ad-Dawaa’ Ibnu Qayyim al-Zaujiyyah).

 

Betapapun besarnya dosa seseorang apa bila bertaubat dengan memenuhi syaratnya pasti Allah akan terima taubatnya.

Kisah orang yang membunuh 100 orang.

Allah maha pengampun dan maha luas rahmatnya, hal itu sebagaimana kisah orang yang membunuh 100 orang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا، فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ، فَأَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لَا، فَقَتَلَهُ، فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ مِائَةَ نَفْسٍ، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟ انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا، فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ، وَلَا تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ، فَإِنَّهَا أَرْضُ سَوْءٍ، فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ، فَاخْتَصَمَتْ فِيهِ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلَائِكَةُ الْعَذَابِ، فَقَالَتْ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا مُقْبِلًا بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ، وَقَالَتْ مَلَائِكَةُ الْعَذَابِ: إِنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ، فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُورَةِ آدَمِيٍّ، فَجَعَلُوهُ بَيْنَهُمْ، فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ الْأَرْضَيْنِ، فَإِلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ، فَقَاسُوهُ فَوَجَدُوهُ أَدْنَى إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي أَرَادَ، فَقَبَضَتْهُ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ "، قَالَ قَتَادَةُ: فَقَالَ الْحَسَنُ ذُكِرَ لَنَا، أَنَّهُ لَمَّا أَتَاهُ الْمَوْتُ نَأَى بِصَدْرِهِ.

“Dahulu pada masa sebelum kalian ada seseorang yang pernah membunuh 99 jiwa. Lalu ia bertanya tentang keberadaan orang-orang yang paling alim di muka bumi. Namun ia ditunjukan pada seorang rahib. Lantas ia pun mendatanginya dan berkata, ”Jika seseorang telah membunuh 99 jiwa, apakah taubatnya diterima?” Rahib pun menjawabnya, ”Orang seperti itu tidak diterima taubatnya.” Lalu orang tersebut membunuh rahib itu dan genaplah 100 jiwa yang telah dibunuh.

Kemudian ia bertanya penduduk negri orang yang paling alim di muka bumi. Ia pun ditunjukan kepada seorang ‘alim. Lantas ia bertanya kepada orang ‘alim tersebut, ”Jika seseorang telah membunuh 100 jiwa, apakah masih diterima taubatnya?” Orang alim itu pun menjawab, ”Ya masih diterima. Dan siapakah yang akan menghalangi antara dirinya dengan taubat? Tujulah negri itu, di sana terdapat sekelompok manusia yang menyembah Allah ta’ala, maka sembahlah Allah bersama mereka. Dan janganlah kamu kembali ke tempatmu karena tempat tersebut adalah tempat yang buruk.”

Laki-laki ini pun pergi, Ketika sampai di tengah perjalanan, maut pun menjemputnya. Akhirnya, terjadilah perselisihan antara malaikat rahmat dan malaikat adzab. Malaikat rahmat berkata, ”Orang ini datang dalam keadaan bertaubat dengan menghadapkan hatinya kepada Allah”. Namun malaikat adzab berkata, ”Orang ini belum pernah melakukan kebaikan sedikit pun”. Lalu datanglah malaikat lain dalam bentuk manusia, mereka pun sepakat untuk menjadikan malaikat ini sebagai pemutus perselisihan mereka. Malaikat ini berkata, ”Ukurlah jarak kedua tempat tersebut. Jika jaraknya dekat, maka ia yang berhak atas orang ini.” Lalu mereka pun mengukur jarak kedua tempat tersebut dan mereka dapatkan bahwa orang ini lebih dekat dengan tempat yang ia tuju. Akhirnya, ruhnya pun dicabut oleh malaikat rahmat.” Qatadah berkata, Hasan menyebutkan kepada kami,  ketika kematian mendatangi orang ini menjauhkan dadanya kepada tempat yang dituju. (HR. Muslim 2766, Ibnu Majah 2622, Ahmad 11154).

Demikian hendaknya segera bertaubat dan meninggalkan kemaksiatan.

 

3.   Bersabar di dalam menerima taqdir Allah ataupun musibah-Nya.

Hendaknya seseorang bersabar menerima taqdir dari Allah ta’ala dengan lapang dada, karena Allah memberikan yang terbaik untuk hambanya, Allah bermaksud meninggikan derajadnya, menghapuskan dosa-dosanya dan menghilangkan kesombongannya.

Allah ta’ala berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ . لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَل مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ.

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri malainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiaporang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadid ayat 22-23).

وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلا بِاللَّهِ.

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.” (QS An-Nahl [16]: 127).

 

Hal ini mengukuhkan perintah bersabar, sekaligus sebagai pemberitaan bahwa kesabaran itu tidak dapat diraih melainkan dengan ijin dan kehendak Allah serta pertolongan-Nya, berkat upaya dan kekuatan-Nya.

Adapun musibah itu yang mengenai hamba ada tiga, yaitu:

Pertama: Musibah berkaitan dengan harta, baik kesulitan mencarinya ataupun diuji dengan kemudahannya.

Hendaknya bersabar di dalam kesulitan untuk mendapatkan harta yang halal karena Allah memerintahkan kita untuk mencari rezki yang halal.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ.

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah[2]:168).

Banyak orang yang tidak sabar menghadapi sulitnya hidup akhirnya mereka mengambil jalan pintas, dengan bermaksiat kepada Allah ta’ala, dengan cara mencari pesugihan, berjudi, menipu, membegal, merampok, mencuri, korupsi, padahal ini adalah dosa besar.

Hendaknya kita menyadari sebenarnya Allah ta’ala telah menjamin rezki kita dan hendaknya hati kita tentram:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأرض إِلا عَلَى الله رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ.

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Al Lauh Al Mahfuz).” (QS. Hud[11]: 6).

Adanya berbagai kesedihan, kekurangan, semua itu adalah ladang pahala karena Allah menguji kesabaran kita.

Allah ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ.

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. AL-Baqarah[2]:155).

وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ.

“Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa“. (QS. Al-Baqarah[2]: 177).

Kedua: Bersabar di dalam membelanjakannya di jalan Allah ta’ala.

Dari Ibnu Mas’ud dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ, وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ؟ "

“Tidak akan bergeser tapak kaki seorang hamba pada hari Kiamat, sampai ia ditanya tentang lima perkara, Tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa dia gunakan, tentang hartanya darimana dia dapatkan dan kemana dia belanjakan, dan tentang ilmunya, apakah yang telah dia amalkan.“ (HR. Tirmidzi 2416, Baihaqi di dalam Syu’abul Iman 1647, Thabrani di dalam Mu’jamul Kabir 9772,  dihasankan  syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 946).

 

Ketiga: Bersabar terhadap musibah kehilangannya.

Hendaknya setiap orang menyadari bahwa harta adalah titipan dari Allah, Allahlah pemilik segala apa yang ada di langit dan dibumi.

Allah ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ.

“Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan.” (QS. AL-Imran [3]:109).

Orang yang beriman apabila ditimpa musibah hendaknya bersabar dan mengembalikan semua itu kepada Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ .

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). (QS. Al-Baqarah[2]:156).

اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ الصّٰلِحٰتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلًا.

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahf[18]: 46).

Kedua: Musibah mengenai badan.

Yaitu bersabar ketika sakit.

Hendaknya menjauhkan dari sikap mengeluh, putusasa dan menjauh dari Allah ta’ala, karena hakekatnya ujian dari Allah tidak lain untuk memberikan pahala yang besar bagi orang yang bersabar, mengangkat derajatnya, dan menjauhkan dari sifat sombong yang ada pada diri orang tersebut.

Sebagaimana ujian ini pernah diterima oleh nabi Allah Ayyub alaihi sallam.

Beliau dahulu adalah orang yang paling kaya, banyak harta yang melimpah, binatang ternak,  sapi, unta, kambing, dan keledai.

Beliau juga memiliki tanah yang luas membentang di daerah Huran.

Allah juga memberikan kepada beliau karunia berupa keluarga dan anak laki-laki dan perempuan.

Nabi Ayyub sangat terkenal sebagai orang yang baik, bertakwa, dan menyayangi orang miskin. Beliau juga biasa memberi makan orang miskin, menyantuni janda, anak yatim, kaum dhuafa dan ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di dalan). Beliau adalah orang yang rajin bersyukur atas nikmat Allah dengan menunaikan hak Allah. (Tafsir Al-Baghawi, 17: 176, juga disebutkan Ibnu Katsir di dalam tafsir QS. Al-Anbiya [21]: 83-84).

Maka Allah menguji nabi Ayyub dengan menimpakan bencana kepada semua miliknya itu, semuanya lenyap tiada tersisa. Kemudian cobaan ditimpakan pula kepada jasad atau tubuh nabi Ayyub sendiri.

Menurut suatu pendapat, penyakit yang menimpanya adalah penyakit lepra yang mengenai sekujur tubuhnya, sehingga tiada suatu bagian pun dari anggota tubuhnya yang selamat dari penyakit ini, kecuali hati dan lisannya yang selalu berzikir mengingat Allah subhanahu wa ta’ala. (Tafsir Ibnu Katsir di dalam tafsir QS. Al-Anbiya [21]: 83-84).

Allah ta’ala berfirman:

وَاذْكُرْ عَبْدَنَا أَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الشَّيْطَانُ بِنُصْبٍ وَعَذَابٍ.

Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya, "Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (QS. Shad[38]: 42).

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ.

Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya[21]:83).

As-Saddi mengatakan bahwa daging tubuh Ayyub berguguran rontok, sehingga tiada yang tersisa dari tubuhnya selain otot-otot dan tulang-tulangnya. Selama itu Ayyub dirawat oleh istrinya yang selalu mendatanginya dengan membawa abu. Setelah sakit Ayyub cukup lama, istrinya berkata kepadanya, "Hai Ayyub, sekiranya kamu berdoa kepada Tuhanmu untuk kesembuhanmu, tentu Dia akan melenyapkan penyakitmu ini." Ayyub menjawab, "Saya telah menjalani masa hidup selama tujuh puluh tahun dalam keadaan sehat. Masa itu sebentar, maka sudah sepantasnya bagiku bersabar demi karena Allah selama tujuh puluh tahun." Maka istrinya merasa terkejut dan mengeluh mendapat jawaban tersebut, lalu ia pergi. (Tafsir Ibnu Katsir di dalam tafsir QS. Al-Anbiya [21]: 83-84)

Ada beberapa pendapat ulama mengenai berapa lama nabi Ayyub diuji oleh Allah ta’ala, ada yang menyebutkan 7 tahun, 7 bulan, 7 hari. Ada juga yang menyebutkan 3 tahun.

Dalam hal ini telah jelas ada dari riwayat dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ أَيُّوبَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِثَ فِي بَلَائِهِ ثَمَانَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَرَفَضَهُ الْقَرِيبُ وَالْبَعِيدُ إِلَّا رَجُلَيْنِ مِنْ إِخْوَانِهِ..

"Sesungguhnya (nabi Allah) Ayub menjalani masa cobaan selama delapan belas tahun. Dirinya dijauhi oleh semua orang, baik keluarga dekat maupun jauh. Kecuali dua orang dari saudara laki-lakinya…”(HR. Ibnu Hibban 2898,  Bazar 4593, Hakim 4115 dalam Mstadraknya, dan dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 17).

Dari Anas Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْـجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا اِبْتَلاَهُمْ ، وَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ.

“Sungguh, besarnya pahala setimpal dengan besarnya cobaan; dan sungguh, Allah Tabaraka wa Ta’ala apabila mencintai suatu kaum, Allah menguji mereka (dengan cobaan). Barang siapa yang ridha maka baginya keridhaan dari Allah, sedang barang siapa yang marah maka baginya kemarahan dari Allah.” (HR. Tirmidzi 2396, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu Al-Jami’ 2110).

Kemudian Allah perintahkan agar nabi Ayyub menghentakkan kakinya ketanah, seketika muncullah mata air jernih dan sejuk, sebagaimana Allah firmankan:

ارْكُضْ بِرِجْلِكَ هَذَا مُغْتَسَلٌ بَارِدٌ وَشَرَابٌ.

(Allah berfirman), "Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” (QS. Shad[38]: 42).

Kemudian nabi Ayyub sembuh seperti semula, sampai-sampai istrinya tidak mengenalinya, kecuali setelah diberitahu.

Bukan hanya itu, harta benda dan anak-anaknya dikembalikan lagi oleh Allah ta’ala kepada beliau, bahkan dengan lebih banyak.

Allah ta’ala berfirman:

 وَوَهَبْنَا لَهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنَّا وَذِكْرَى لِأُولِي الْأَلْبَابِ. 

“Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad[38]:43).

Allah juga berfirman:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِنْ ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ.

“Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS. Al-Anbiya21]:84).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengungkapkan bahwa keluarga dan hartanya kemudian kembali. Allah karuniakan lagi pada Nabi Ayyub keluarga dan harta yang banyak. Itu semua disebabkan kesabaran dan keridhaan beliau ketika menghadapi musibah. Inilah balasan yang disegerakan di dunia sebelum balasan di akhirat kelak. (Tafsir As-Sa’di, QS. Al-Anbiya’ [21]:83-84).

 

-----000-----

 

Kisah kesabaran Urwah bin Zubair.

 

Urwah bin Zubair di undang oleh amirul mukminin di Damaskus, Beliau mengajak putra sulungnya, datanglah ketetapan dan kehendak Allah, anaknya melihat-lihat kuda pilihan, tiba-tiba saja seekor kuda menyepakkan kakinya hingga anaknya tewas.

Belum lagi bersih tangannya mengubur anaknya salah satu telapak kakinya terluka, betisnya tiba-tiba membengkak dan menjalar dengan cepat.

Amirul mukminin mendatangkan tabib dari seluruh negri dan memerintahkan mengobati dengan cara apapun, para tabib memutuskan untuk mengamputasi kakinya.

Beliau tidak mau meminum arak untuk menghilangkan rasa sakitnya saat di amputasi, atau di bius, beliau memilih untuk shalat di saat di amputasi kakinya.

setelah minyak didihkan dan di teteskan pada luka untuk menghentikan pendarahannya, beliaupun pingsan.

 

Disaat bersamaan dengan itu di rumah Khalifah datang serombongan Bani Abbas, salah seorang diantara mereka buta matanya.

 

Al-Walid menanyakan sebab kebutaanya, dia menjawb:

"Wahai Amirul mukminin, dulu tidak ada seorangpun di kalangan Bani Abbas yang lebih kaya dalam harta dan anak dibandingkan saya, saya tinggal bersama keluarga saya di suatu lembah di tengah kaum saya.

Mendadak muncullah air bah yang langsung menelan habis seluruh harta dan keluarga saya, yang tersisa bagi saya hanyalah seekor onta dan seorang bayi yang baru lahir.

Onta itu sangat liar dan dia lari dari saya, maka saya taruh bayi saya lalu saya kejar onta tersebut, belum jauh saya berlari saya mendengar jerit bayi tadi, setelah saya menoleh ternyata kepalanya telah berada di mulut srigala dia telah memangsanya, saya kembali tapi tak bisa berbuat apa-apa karena bayi itu telah di lahapnya, setelah itu srigala itu lari kencang.

Saya kembali mengejar onta saya, setelah dapat, onta itu menyepakkan kakinya sehingga wajah saya hancur dan kedua mata saya buta, demikianlah saya dapati diri saya kehilangan harta dan keluarga dalam semalam saja dan hidup tanpa penglihatan. Demikian kisah orang yang buta tersebut.

Amirul mukminin menyuruh membawa orang tadi kepada Urwah agar menceritakan untuk menghibur dirinya.

Ketika pulang ke Madinah beliau menjumpai keluarganya, Urwah berkata sebelum di tanya:

"Janganlah kalian risau dengan apa yang kalian lihat Allah memberiku empat orang anak (ada yang menyebut tujuh) kemudian Dia mengambil satu, maka masih tersisa tiga, puji syukur kepada-Nya, Aku diberi empat kekuatan lalu Allah mengambil satu, maka masih tersisa tiga. puji syukur kepada Allah, masih banyak yang di tinggalkan untukku.

 

(Mereka adalah Tabi'in, Syaikh DR. Abdurahman Ra'fat Basya).

 

 

-----000-----

 

 

Ketiga: Musibah mengenai agama.

Inilah musibah yang paling besar dan hendaknya setiap orang beriman takut akan hal ini, karena musibah ini akan membawa kesengsaraan di dunia dan di akhirat.

Allah ta’ala berfirman:

مَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.

"Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya," (QS. Al-Baqarah [2]: 217).

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ.

“Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya[21]: 35).

‘Abdullah ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Maksudnya, Kami akan menguji kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat, serta petunjuk dan kesesatan. (Tafsir ath-Thabari, 9/26, 24588).

“Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ  الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا

“Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga  maka masuklah dia ke dalam surga.” (HR. Bukhari 3208 Muslim 2643).

Banyak sekali orang-orang yang meninggal dalam keadaan su’ul hatimah.

Orang yang beriman hendaknya mewaspadai hal ini.

Diantara kisah-kisahnya sebagai berikut:

Dari Sahal bin Sa'd (dia menceritakan):

أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَعْظَمِ المُسْلِمِينَ غَنَاءً عَنِ المُسْلِمِينَ، فِي غَزْوَةٍ غَزَاهَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَظَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى الرَّجُلِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى هَذَا, فَاتَّبَعَهُ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ، وَهُوَ عَلَى تِلْكَ الحَالِ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَلَى المُشْرِكِينَ، حَتَّى جُرِحَ، فَاسْتَعْجَلَ المَوْتَ، فَجَعَلَ ذُبَابَةَ سَيْفِهِ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْ بَيْنِ كَتِفَيْهِ، فَأَقْبَلَ الرَّجُلُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْرِعًا، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ: وَمَا ذَاكَ, قَالَ: قُلْتَ لِفُلاَنٍ: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَلْيَنْظُرْ إِلَيْهِ, وَكَانَ مِنْ أَعْظَمِنَا غَنَاءً عَنِ المُسْلِمِينَ، فَعَرَفْتُ أَنَّهُ لاَ يَمُوتُ عَلَى ذَلِكَ، فَلَمَّا جُرِحَ اسْتَعْجَلَ المَوْتَ فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: إِنَّ العَبْدَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ، وَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الجَنَّةِ وَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالخَوَاتِيمِ.

“Bahwasanya ada seorang muslimin yang gagah berani dalam peperangan ikut serta bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memperhatikan orang itu kemudian berkata: "Barangsiapa ingin melihat lelaki penghuni neraka, silahkan lihat orang ini." Seorang laki-laki akhirnya mengikutinya, dan rupanya lelaki tersebut merupakan orang yang paling berani terhadap orang-orang musyrik. akhirnya lelaki tersebut terluka dan dia ingin segera mati sebelum waktunya, maka ia ambil pucuk pedangnya dan ia letakkan di dadanya kemudian ia hunjamkan hingga tembus diantara kedua lengannya. Orang yang mengikuti lelaki tersebut langsung menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata,  'Saya bersaksi bahwa engkau utusan Allah.' 'apa itu? ' Tanya Nabi. Orang tadi menjawab; 'anda berkata terhadap orang tersebut; 'siapa yang ingin melihat penghuni neraka, silahkan lihat orang ini, ' orang itu merupakan orang yang paling pemberani diantara kami, kaum muslimin. Lalu aku tahu, ternyata dia mati tidak diatas keislaman, sebab dikala ia mendapat luka, ia tak sabar menanti kematian, lalu bunuh diri.' Seketika itu pula Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh ada seorang hamba yang melakukan amalan-amalan penghuni neraka, namun berakhir menjadi penghuni surga, dan ada seorang hamba yang mengamalkan amalan-amalan penghuni surga, namun berakhir menjadi penghuni neraka, sungguh amalan itu ditentukan dengan penutupan."  (HR. Bukhari 6607, Ahmad, 22835, Thabrani dalam Al-Mu’jamul Al-Kabir 5799).

 

Kisah muadzin yang murtad.

Diceritakan bahwa di Mesir pernah ada seorang pria yang senantiasa ke masjid untuk mengumandangkan adzan dan iqomat sekaligus melaksanakan shalat. Dalam dirinya terdapat sinar ketaatan dan cahaya ibadah.

Pada suatu hari ia naik ke menara masjid untuk mengumandangkan adzan seperti biasanya. Di bawah menara tersebut terdapat rumah seorang Nasrani.

Entah mengapa ketika pria ini menengok ke dalam rumah tadi, tanpa sengaja ia melihat seorang gadis pemilik rumah. Dia terfitnah dengan kecantikanya. Ia pun turun menemuinya gadis tersebut dan meninggalkan adzan.

Sesampai di rumah tersebut, bertanyalah wanita nashrani itu, “Ada perlu apa? Apa yang kamu inginkan?

“Aku menginginkanmu.”

“Mengapa?”

“Karena kamu telah menawan akal pikiranku dan mengambil seluruh isi hatiku.”

“Aku tidak akan tertipu dengan rayuanmu.”

“Aku Ingin menikah denganmu.”

“Engkau muslim, sedangkan aku Nasrani, ayahku tidak akan menikahkanku denganmu,” sanggah wanita tadi.

“Kalau begitu aku akan pindah ke agama Nashrani.”

“Jika engkau melakukannya, maka aku akan menikah denganmu “ tegas wanita itu.

Maka si pria langsung memeluk aagama Nashrani demi menikahi gadis tersebut dan tingggal di rumahnya.

Masih pada hari yang sama, siang harinya pria tadi naik ke atap rumah untuk satu keperluan. Tiba tiba dia terjatuh dari atap rumah dan akhirnya meninggal. Ironisnya, dia belum sempat menggauli gadis tersebut padahal sudah mengorbankan agamanya.

Kisah ini bisa menjadi pelajaran bagi setiap muslim, agar kita berhati-hati menjaga imannya supaya tidak mudah terjebak oleh kemilaunya dunia, cantiknya wanita dan segala rayuan yang ada. Karena menjual agama demi kesenangan dunia adalah sebuah kerugian yang nyata dan penyesalan yang tiada tara.

Seorang muslim seharusnya menundukkan pandangan, karena fitnah setiap saat datang dan kita tidak tahu berawal dari mana kebinasaan itu muncul, sebagaimana kita juga tidak tahu kebaikan kecil atau kebaikan yang dianggap besar yang akan memasukkan kita kedalam surga.

(Ibnu Qaiyyim Al jauziah dalam kitabnya Ad-dha’ wa Ad-dhawa’).

 

 

-----000-----

 

 

Kisah Tragis seorang ahli Ibadah yang mati Su'ul Khatimah

Manshur bin Ammar mengisahkan, dulu kala aku punya seorang teman yang suka melampaui batas, lalu bertaubat. Aku melihat dia banyak beribadah dan shalat tahajjud. Suatu ketika aku putus komunikasi dengannya. Dan menurut kabar dari orang-orang, ia sedang sakit. Maka aku pergi ke rumahnya dan anak perempuannya datang menemuiku. Dia bertanya, “Siapa yang engkau ingin temui?” Aku menjawab, “Si fulan.” Maka ia mengizinkanku masuk dan akupun bergegas ke dalam rumah. Aku melihatnya sedang tebaring di atas ranjang yang terletak di tengah rumah. Mukanya terlihat kehitaman, kedua matanya tertutup dan kedua bibirnya bengkak dan menebal.

Aku berkata padanya dengan perasaan takut melihatnya, “Wahai saudaraku, perbanyaklah mengucap Laa Ilaaha Illallaah.” Ia membuka kedua matanya dan menatapku dengan penuh kemarahan, lalu ia tak sadarkan diri. Kembali kuulangi perkataanku kedua kalinya, wahai saudaraku perbanyaklah mengucap Laa Ilaaaha Illallaah.” Pada saat aku mengulanginya untuk ke tiga kalinya, lalu ia membuka matanya dan berkata, “Wahai Manshur, saudaraku, kalimat ini telah menjauh dariku.”

Aku bergumam, "Tiada daya dan tiada upaya melainkan dengan izin Allah, Dzat Mahatinggi dan Mahamulia."

Kemudian aku bertanya padanya, “wahai  saudaraku, di manakah shalat, puasa, tahajud dan shalat malammu?”

Ia menjawab, “Aku melakukan semua itu bukan untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala dan taubatku hanyalah taubat  palsu. Sebenarnya aku melakukan semua itu supaya aku dikenal dan disebut-sebut orang, aku melakukannya dengan maksud pamer kepada orang lain. Bila aku menyepi seorang diri, aku masuk ke dalam rumah dan memasang tirai-tirai, lalu aku minum khamer dan menantang Tuhan dengan kemaksiatan-kemaksiatan. Aku terus melakukan itu sampai beberapa masa. Kemudian aku ditimpa penyakit hingga hampir binasa. Saat itu juga aku suruh anak perempuanku, ‘ambilkanlah aku mushaf!’ dan aku berdoa, ‘Ya Allah, demi kebenaran Al-Qur’an yang agung, sembuhkanlah aku!’ Dan aku berjanji tidak akan kembali melakukan dosa untuk selamanya. Maka Allah membebaskanku dari penyakit.

Setelah sembuh, aku kembali kepada keadaan semula, hidup berpoya-poya dan berhura-hura. Syetan telah membuatku lupa dengan perjanjian yang telah kuikrarkan kepada Tuhanku. Aku terlena dalam keadaan itu sampai beberapa saat lamanya hingga aku menderita sakit hampir mati karenanya. Lalu aku perintahkan keluargaku membawaku ke tengah-tengah rumah seperti biasanya. Kemudian aku suruh mereka mengambilkan mushaf dan aku mulai membacanya. Lalu aku acungkan mushaf itu seraya berdoa, ‘Ya Allah, demi kehormaan kalam-Mu yang ada dalam mushaf ini, bebasknalah aku dari penyakitku!.’ Maka Allah mengabulkan permintaanku dan menyembuhkan penyakitku.

Kemudian aku kembali hidup bersenang-senang dan akupun jatuh sakit lagi. Lalu aku perintahkan keluargaku membawaku ke tengah-tengah rumah seperti yang engkau lihat sekarang ini. Kemudian aku menyuruh mereka mengambilkan mushaf untuk kubaca, tetapi mataku sudah tidak bisa melihat saru huruf-pun. Aku pun menyadari bahwa Allah sudah murka kepadaku. Lalu aku acungkan mushaf itu di atas kepalaku sembari memohon, ‘Ya Allah, demi kehormatan mushaf ini, bebaskalah aku dari penyakit ini, wahai penguasa bumi dan langit!’ Tiba-tiba aku mendengar seperti suara memanggil, ‘engkau bertaubat tatkala engkau sakit, dan engkau kembali kepada perbuatan dosa tatkala engkau sembuh. Betapa banyak Dia menyelamatkanmu dari kesusahan, dan betapa bayak Dia menyingkap bala’ cobaan tatkala engkau diuji. Tidaklah engkau takut dengan kematian? Dan engkau telah binasa di dalam kesalahan-kesalahan’.”

Manshur bin ‘Ammar berkata, “sungguh demi Allah aku keluar dari rumahnya dengan air mata tertumpah merenungkan ‘ibrah yang baru kulihat, dan belum sampai di pintu rumahku, sampailah kabar bahwa dia sudah meninggal.” 

(Sumber: Mi’ah Qishash wa Qishah fi Anis ash-Shalihin wa Samir al Muttaqin, Muhammad Amin al Jundi, Indonesia: 101 kisah teladan,  Mitra Pustaka Yogyakarta, Cet XI November 2006).

 

 

-----000-----

 

BAB 10.

ADIL.

 

Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya, yang merupakan lawan kata dari dzalim.

Adil merupakan sifat yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, dimana Allah sangat mencintai orang-orang yang berbuat adil.

Allah ta’ala berfirman:

 وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.

Dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]:8), semakna dengan ini (QS. Al-Hujrat [49]:9).

فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.

“Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujrat [49]:9).

Adapun sikap adil hendaknya dilakukan kepada diri sendiri, kepada keluarga, kerabat, dan manusia.

 

1.   Adil terhadap Allah.

Yaitu beribadah kepada-Nya tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya di dalam ibadah, karena Allah yang telah menciptakan dirinya, memberinya rezki, keturunan, kesehatan, kebutuhan jasmani dan juga rohaninya.

Hendaknya mengagung sifat-sifat-Nya, mentaati dan tidak bermaksiat kepada-Nya, senantiasa mengingat (berdzikir) tanpa melalaikannya serta bersyukur tanpa mengingkari nikmatNya.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ . الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ.

“Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian. Karena itu, janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]:21-22).

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ.

“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah[2]:29).

2.   Adil terhadap orang tuanya, dengan cara berbakti kepada kedua orang tua.

Hendaknya berbuat adil kepada kedua orang tuannya, di mana orang tua merupakan lantaran keberadaan dirinya, mengandungnya selama 9 bulan, mengasuhnya diwaktu kecil, membesarkannya dengan keringat dan air mata, membiayai kebutuhannya hingga dewasa.

Apabila seseorang melupakan hal ini tentu merupakan perbuatan yang dzalim dan tidak adil, oleh karena itu Allah selalu menyandingkan haq-Nya dengan haq orang tua.

Berbakti kepada kedua orang tua diantaranya dengan cara:

1)  Berbuat baik kepada keduannya.

Allah ta’ala berfirman:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا.

“Dan hendaklah kamu beribadah hanya kepada Allah dan janganlah mempersekutukan dengan sesuatu apapun juga dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapak,” (QS. An Nisaa’ [4]: 36).

2)  Tidak berkata kasar kepada keduannya.

Allah ta’ala berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS. Al Israa’ [17]: 23)

3)  Tidak boleh mentaatinya di dalam kemaksiatan.

Allah ta’ala berfirman:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا.

"Dan jika keduanya memaksamu mempersekutukan sesuatu dengan-Ku yang tidak ada pengetahuanmu tentang Aku maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” (QS. Lukman [31]: 15).

Asbaabun nuzul ayat ini berkaitan dengan Sa’ad bin Abi Waqas dan ibunya Hamnah. Yang meminta Sa’ad untuk kembali kepada agama jahiliyah namun beliau enggan. (Lihat tafsir Ibnu katsir QS. Luqman[31]15)

لاَ طَاعَةَ فَيٍ مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ

 

“Tiada kewajiban untuk taat (kepada seseorang) yang memerintahkan untuk durhaka kepada Allah Kewajiban taat hanya pada hal yang ma’ruf.” (HR. Bukhari 7257, Muslim 1840, Ahmad 724).

4)  Mendakwahi mereka.

Mendakwahi dengan cara yang baik kepada kedua orang tua apabila masih belum beriman atau di dalam kesesatan, sebagaimana hal itu dilakukan nabi Ibrahim alaihi sallam.

Allah ta’ala berfirman:

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا.

“Ingatlah ketika ia Berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun.” (QS. Maryam [19]: 42).

5)  Menjahui kemurkaannya.

Allah ta’ala berfirman:

رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ.

“Ridha Rabb tergantung ridha orang tua, dan murka Allah tergantung murka orang tua”. (HR. Tirmidzi 1899 dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah 516).

Dari Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَغِمَ اَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ اَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ اَنْفُ قِيْلَ: مَنْ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ اَدْرَكَ اَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِاَحَدُهُمَااَوْكِلَيْهِمَافَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ.

“Celaka, celaka, Dia celaka, Lalu beliau ditanya orang, Siapakah yang celaka, ya Rasulullah? Jawab Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, Siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut), atau salah satu dari keduanya, tetapi dia tidak memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Muslim 2551).

Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ.

“Ada tiga do’a yang mustajab, tidak ada keraguan tentang hal itu; do’a orang tua (untuk anaknya), do’a musafir, dan do’a orang terdzalimi.” (HR. Abu Daud dan Ahmad, dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam As-Shahihah 596).

6)  Memperhatikan kebutuhan orang tua.

Tempat tinggalnya, layak atau tidak, jika memang kita diberi kemampuan, merawat kesehatannya, keperluannya sehari-hari, adakah yang dimakan atau tidak.

Karena orang tua kita dulu orang yang paling sedih apabila kita sakit dan menderita, mereka rela tidak makan dan tidak tidur untuk kita.

7)  Menemaninya apabila dibutuhkan.

Barangkali ada hal-hal yang dibutuhkan dari tenaga kita, membersihkan pekarangan, memperbaiki genting, belanja atau yang lainnya, mungkin orang tua kita merasakan kesepian dan membutuhkan kedekatan kita, meskipun hanya sekedar bercengkrama, makan bersama, hingga Cuma sekedar ingin dekat dengan kita.

Ini semua masuk dalam firman Allah ta’ala:

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا.

“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” (QS. Lukman [31]: 15).

8)  Hendaknya ijin dalam perkara-perkara tertentu.  Seperti bepergian jauh, menggunakan barang-barang miliknya dan lain-lain.

Disebutkan di dalam sebuah atsar:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الجِهَادِ، فَقَالَ: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ.

“Seseorang datang, kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, meminta ijin untuk ikut berjihad, Maka beliau bersabda, “apakah kedua orang tuamu masih hidup..?, “ orang tersebut menjawab “ benar”, maka Rasulullah berkata, “ kepada keduanya berjihadlah.” (HR. Bukhari 3004, Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra 17827).

9)  Hendaknya tetap berbakti setelah tiada lagi.

Ditanyakan kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا.

“Wahai Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah masih ada cara berbakti kepada kedua orang tuaku setelah keduanya meninggal?” Beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya, dengan mendoakannya, memintakan ampun untuknya, melaksanakan janjinya (wasiat), menyambung silaturahmi yang tidak bisa disambung kecuali melalui jalan mereka berdua, dan memuliakan teman-temannya.” (HR Abu Dawud 5142 tetapi hadits ini didho’ifkan syaikh al-Albani).

10)                    Mendoakan kepada orang tua kita.

Hendaknya mendoakan orang karena Allah ta’ala mengajarkan demikian.

وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.                              

Katakanlah, “Ya Tuhanku kasihanilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka mengasihi aku di waktu kecil.” (QS. Al-Israa’[17]:24).

 

3.   Adil di dalam menghukumi antar manusia.

Yaitu dengan memberikan hak kepada masing-masing yang berhak dan barang-barang yang menjadi haknya.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ..

”Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian agar menunaikan amanah kepada ahlinya (yang berhak menerima), dan apabila kalian menghukum di antara manusia, hendaklah menghukum dengan adil.” (QS. An-Nisa[ 4]:58).

4.   Adil di antara para istrinya.

Yaitu dengan tidak melebihkan dalam hal makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian, dan giliran.

Hendaknya bijaksana dengan membedakan yang beda dan menyamakan yang sama, tidak mengutamakan salah seorang dari yang lainnya atau kepada sebagian atas sebagian yang lainnya.

Allah ta’ala berfirman:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا.

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa [4]:129).

Apabila tidak menghendaki hendaknya dicerai dengan cara yang baik.

Allah ta’ala berfirman:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ.

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (QS. Al-Baqarah [2]:231).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ.

“Barangsiapa memiliki dua isteri, kemudian ia lebih condong kepada salah satu dari keduanya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan pundaknya miring sebelah. ( HR. Ahmad 7936, Abu Dawud 2133, IBnu Majah 1969, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Al-Irwa’ 2017, shahih Abu Dawud 1851).

Bahkan tidak boleh dzalim kepada istri dengan meninggalkan tanpa menggaulinya.

Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Tatkala Salman berkunjung (ziarah) ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan mengenakan pakaian yang serba kusut. Salman pun bertanya padanya, “Mengapa keadaan kamu seperti itu?” Wanita itu menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak mempunyai hajat lagi pada keduniaan.”

Kemudian Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Setelah selesai Abu Darda’ berkata kepada Salman, “Makanlah, karena saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sebelum engkau turut makan.” Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat malam. Salman pun berkata padanya, “Tidurlah.” Abu Darda’ pun tidur kembali.

Ketika Abu Darda’ bangun hendak mengerjakan shalat malam, Salman lagi berkata padanya, “Tidurlah!” Hingga pada akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah.” Lalu mereka shalat bersama-sama. Setelah itu, Salman berkata kepadanya:

إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ سَلْمَانُ.

“Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.”

Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Beliau lantas bersabda, “Salman itu benar.” (HR. Bukhari 1968, Tirmidzi 2413).

5.   Adil terhadap anak-anaknya.

Tidak bisa dipungkiri orang tua terkadang menyayangi sebagian anaknya lebih dari sebagian yang lain. Dalam hal ini tidak masalah jika hal itu hanya sebatas perasaan sayang yang ada dalam hati, karena menyamaratakan semua anak dalam kasih sayang hati adalah sesuatu yang sulit, bahkan di luar kuasa manusia, hanya saja sebisa mungkin apa yang bisa diusahakan hendaknya berusaha untuk diusahakan, seperti mencium anak-anaknya kecuali yang masih kecil.

Adapun dalam masalah pemberian hendaknya memperhatikan bahwa pemberian orang tua kepada anak-anaknya ada beberapa macam, yaitu:

1)   Pemberian nafkah.

Orang tua memberikan kepada anak sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

2)   Pemberian hibah.

Dalam pemberian hibah islam memerintahkan bahwa orang tua harus berbuat adil, Jika salah satu diberi, yang lain juga hendaknya juga harus diberi bagian yang sama.

Disebutkan dalam sebuah atsar, dari sahabat an-Nu’man bin Basyir, beliau radhiyallahu anhu berkata:

تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ، فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: اتَّقُوا اللهَ، وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ»، فَرَجَعَ أَبِي، فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ.

“Bapakku bersedekah kepadaku dengan sebagian hartanya, berkata ibuku ‘Amrah binti Rawahah, “ Saya tidak ridha sampai engkau menjadikan saksi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ayahku berjalan menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar disaksikan beliau sedekah yang diberikan kepadaku, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ayahku,  “ apakah engkau engkau melakukan hal semacam ini kepada semua anakmu, “ ayahku berkata, “ tidak” kemudian Beliau berkata, “ bertakwalah kepada Allah dan berbuatlah adil kepada anak-anakmu.” Maka ayahku pulang dan membatalkan sedekahnya.” (HR. Muslim 1623, Ahmad 18363, Nasa’i 3682).

Dalam riwayat lain disebutkan:

اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلادِكُمْ فِي النُّحْلِ، كَمَا تُحِبُّونَ أَنْ يَعْدِلُوا بَيْنَكُمْ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ.

“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan berlemah lembut.” (HR. Shahih Ibnu Hibban 5104, Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 12003, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu Al-Jami’ 1046).

Imam Nawawi rahimahullah berkata:

أَنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يُسَوِّيَ بَيْنَ أَوْلَادِهِ فِي الْهِبَةِ وَيَهَبَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِثْلَ الْآخَرِ وَلَا يُفَضِّلَ وَيُسَوِّيَ بَيْنَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى.

“Hendaknya menyamakan diantara anak-anaknya di dalam pemberian, dan memberi setiap orang dari mereka seperti yang lain.” (Syarah Muslim, Imam Nawawi (Bab tidak disukai mengutamakan sebagian anak di dalam pemberian 1623).

3)   Pemberian warisan.

Allah ta’ala telah mengatur bahwa bagian seorang laki-laki sama dengan dua orang wanita.

Allah ta’ala berfirman:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ.

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...” (QS. An-Nisa[4]:11).

Demikianlah sikap orang tua, jika hal ini diabaikan maka akan menjadi kebencian antara anak dan orang tua bahkan sesama mereka.

 

4)  Adil kepada manusia baik dalam ucapan maupun bersaksi.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ.

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menja­di saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Maidah[5]:8).

وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى.

"Dan apabila kalian berkata, maka hendaklah kalian berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat kalian." (QS. Al-An'am[6]: 152).

Allah memerintah­kan berbuat adil dalam semua tindak-tanduk dan ucapan, baik terhadap kaum kerabat yang dekat maupun yang jauh. Allah selalu memerintahkan berbuat adil terhadap setiap orang di setiap waktu dan keadaan, agar keadilan tetap harus ditegakkan. (Tafsir Ibnu Katsir, QS Al-An’am[6]:152).

5)  Adil kepada diri sendiri.

Yaitu dengan mensyukuri karunia Allah yang berupa akal, anggota badan yang lengkap, sehat, kemudian dijaga haq-haqnya, jangan sampai memaksa pada sesuatu yang dapat merusaknya, baik akal maupun badannya.

Orang-orang yang berbuat maksiat hakekatnya menganiyaya dirinya sendiri karena hal itu dapat merusak dirinya, baik badan maupun pikirannya.

Satu misal orang yang berjudi, mereka merusak badan dan pikirannya, karena orang yang kalah akan meninggalkan sakit hati yang dalam dan menumbuhkan permusuhan.

Orang yang minum-minuman keras, dapat merusak organ tubuhnya.

Orang yang berzina dapat merusak keturunnanya dan kehormatannya.

Orang yang melakukan riba, akan merusak pikirannya sebab tekanan riba tersebut. Demikianlah seterusnya.

Oleh karena itu Allah melarang orang yang bunuh diri.

Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا.

“Janganlah kalian membunuh diri-diri kalaian, sesungguhnya Allah maha penyayang kepada kalian.”( QS. An-Nisa [4]:29).

Demikianpula orang yang beribadah harus tetap memberikan haknya bagi dirinya, sebagaimana nasehat Salman kepada Abu Darda”.

 إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ.

“Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.” (HR. Bukhari 1968, Tirmidzi 2413).

 

 

 

 

11)                    Bersabar dari gangguan manusia.

Bersabar ketika membaur bersama dengan manusia.

Didalam bergaul dengan manusia secara umum membutuhkan kesabaran, hal itu karena kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu, sehingga kebanyakan mereka berbuat jahil.

Abdullah bin Umar raḍiyallahu 'anhuma meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:

المؤمن الذي يخالط الناس، ويصبر على أذاهم خير من الذي لا يخالط الناس ولا يصبر على أذاهم.

"Orang Mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka, lebih baik dari orang Mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka." (HR. Ahmad 5022, Ibnu Majah 4032, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 939, Al- Misykah 5087).

Kesabaran bergaul dengan tidak boleh mengikuti mereka di dalam perbuatan kemaksiatan.

Demikianlah pentingnya mempelajari kesabaran.

 

-----000-----

 

Sragen 06-12-2024

Junaedi abdullah

 

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAB 10 HAK TETANGGA

  BAB 10 HAK TETANGGA Tetangga adalah orang yang dekat dengan kita, baik di depan, belakang, kanan ataupun kiri dari rumah kita menurut ...