BAB 6
HAK SUAMI
Keluarga merupakan gambaran kecil sebuah masyarakat, dimana
di dalamnya terdapat pemimpin dan anggotanya, keselamatan anggota rumah tangga
tersebut merupakan tanggung jawab seorang suami.
Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِم.
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS.
An-Nisaa’[4]: 34).
Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan hal itu:
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ.
“Seorang suami dalam keluarga
adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka...” (HR.
Bukhari 2554, Muslim 1829).
Bersarnya tanggung jawab suami mengharuskan agar istri
seoarang istri menunaikan hak-hak suaminya.
Adapun
hak-hak suami yang harus dipenuhi seorang istri diantaranya yaitu:
1. Suami sebagai pemimpin di dalam rumah
tangganya.
Selain
ayat diatas, juga berdasarkan penelitian, bahwasanya laki-laki memiliki otak
yang lebih besar dibandingkan wanita, demikian pula umumnya laki-laki memiliki otot-otot
yang kuat dan kasar, semua ini untuk menghadapi berbagai masalah, baik masalah
ekonomi, masalah keamanan dan lainnya, oleh karena itu tak seorangpun yang
menjadi utusan Allah dari kalangan wanita.
Allah
ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا
رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ.
“Dan tidaklah kami mengutus sebelummu kecuali seorang laki-laki yang kami beri
wahyu kepada mereka, tanyakanlah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak
tahu.” (QS. Al-Anbiya’[21]:7)
Sedangkan
wanita diciptakan memiliki takbiat lemah lembut dan mendahulukan perasaan.
Seandainya
kepemimpinan dipegang oleh wanita, selain menjadikan suaminya tertekan juga
menyelisihi nash-nash yang telah jelas, banyak diantara keluarga yang tidak
bisa menunaikan syariat di dalam rumah tangganya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ .
“Jika suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya,
maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari 59, Ahmad 8714).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberitahu
keburukan bila satu kaum dipimpin oleh seorang wanita, beliau bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ
وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada wanita.” (HR. Bukhari 4425, Tirmidzi 2262, Nasai 5388).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah berkata, “Dalil ini sifatnya umum, memiliki faedah yang umum,
siapapun yang menyerahkan kepemimpinannya kepada wanita, mereka tidak akan
beruntung. Karena yang bisa meluruskan adalah laki-laki.” (Syarah Riadhus
Shalihin 7373, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin).
2. Mentaati
suami di dalam perkara yang benar.
Taat kepada
suami merupakan perintah Allah yang agung, apalah jadinya seandainya para
anggota keluarga tidak mau mentaati tentu akan kesulitan untuk membimbing
mereka di dalam kebaikan.
Oleh
karena iitu Allah menunjukkan bahwa
derajat suami lebih tinggi dari seorang istri.
Allah
ta’ala berfirman:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ.
“Bagi para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. (QS. Al-Baqarah
[2]:228).
Keutamaan mentaati suami merupakan amalan yang
sangat besar sampai-sampai seorang istri bisa memilih pintu surga yang dia
sukai.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا صَلَّتِ
الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ
بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ.
“Apabila
seorang isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan,
menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga dari
pintu mana saja yang dikehendakinya.” (HR. Ahmad 1661, Ibnu Hibban 4163,
dishahihkan Syaikh al-Albani, di dalam Shahihul
Jami’ 660).
Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا
أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا.
“Seandainya aku dibolehkan seseorang bersujud kepada orang lain, maka aku
akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.” (HR.Tirmidzi 1159 Ibnu Majah 1853, di shahihkan Syaikh al-Albani di
dalam al-Irwaa’1998).
Ketaatan kepada suami hendaknya di sesuaikan dengan ta’biatnya
sebagai wanita, sebatas kemampuannya dan bukan dalam perkara maksiat.
Meskipun istri wajib taat kepada suami, namun
tidak diperkenankan mentaati di dalam kemaksiatan. Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam bersabda:
لَا
طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ.
“Tidak
ada ketaatan di dalam maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan hanyalah pada
perkara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari 7257 Muslim 1840).
Demikianlah pada asalnya seorang istri hendaknya taat kepada
suami, kecuali apa yang bukan maksiat kepada Allah ta’ala.
3.
Membantu keperluan di rumah suaminya.
Membantu keperluan rumah suami merupakan suatu amal
shalih yang dapat mendatangkan keridhaan suami, sehingga amalan ini merupakan
amalan yang sangat mulia, sebagian ulama menganggap hal ini merupakan kewajiban
diantara kewajiban-kewajiban seorang istri.
Semua itu masuk dalam keumuman firman Allah
ta’ala.
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ.
“Dan
sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa
bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.”
(QS. Al-Baqarah[2]:25).
Ibnu
Katsir berkata: “Mereka adalah orang-orang yang keimanan mereka dibuktikan
dengan amal-amal shalihnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Baqarah[2]:25).
Dari Al Hushain bin Mihshan bahwa bibinya pernah mendatangi
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk suatu keperluan. Setelah urusannya
selesai, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun bertanya kepadanya:
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ:
نَعَمْ، قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوهُ إِلَّا مَا عَجَزْتُ
عَنْهُ، قَالَ: فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ
وَنَارُكِ.
"Apakah kamu mempunyai suami?" ia
menjawab, "Ya." Beliau bertanya lagi: "Bagaimana engkau bersikap
kepadanya?" ia menjawab, "Saya tidak pernah mengabaikannya, kecuali
terhadap sesuatu yang memang aku tidak sanggup." Beliau bersabda:
"Perhatikanlah, sikapmu terhadapnya, sesungguhnya suamimu adalah lantaran
surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 19003, Tabrani di dalam Mu’jam al-Ausath 528, dishahihkan
syaikh al-Albani, di dalam ash-Shahihah 2612).
Diantara perkara yang membantu suaminya yaitu seperti
Memasak, mencuci, membersihkan rumah, menjaga dan mendidik anak-anaknya, dan
lain-lain, semua itu bentuk-bentuk amal shalih bila dilakukan dengan ridha dan
ikhlas karena Allah.
4.
Tidak menolak suami keetika mengajak tidur.
Seorang istri tidak boleh menolak ajakan suami
untuk berhubungan badan, apapun alasanya kecuali dirinya memiliki udzur yang
benar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ
امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ
حَتَّى تُصْبِحَ.
“Jika
seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, istri enggan memenuhinya,
maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari 5193 Muslim
1436).
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ
لا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا ,
وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
“Demi jiwa Muhammad yang ada di Tangan-Nya. Seorang istri
belum menunaikan hak Rabbnya, sebelum dia menunaikan hak suaminya. Seandainya
suami meminta pelayanan dirinya dalam kondisi dia di dapur, maka dia (tidak
diperkenankan) untuk menolaknya.” (HR. Ibnu Majah 1853, Ibnu Hibban 4171,
dishahihkan syaikh al-Albani, di dalam Shahih At-Targhib 1938).
Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita enggan
mendatangi ranjang jika tidak ada udzur. Termasuk haid bukanlah udzur karena
suami masih bisa bersenang-senang dengan istri.” (Syarh Shahih Muslim, imam
Nawawi 10: 7).
Sampai-sampai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang istri berpuasa ketika suaminya
ada di rumah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
لَا تَصُومُ
الْمَرْأَةُ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ.
“Janganlah
seorang wanita berpuasa sunnah sementara suaminya ada, kecuali atas seizin
suaminya.” (HR. Bukhari 5192, Ibnu Majah 1761, Tirmidzi
782, Ahmad 8188, Abu Dawud 2458).
Sebab keluarnya hadits di atas, seorang istri
mengadukan suaminya (Safwan) karena meminta untuk membatalkan puasa sunnah,
kemudian Rasulullah menanyakan alasan
kepada suaminya, Safwan beralasan karena dirinya masih muda setiap saat
membutuhkan istrinya, akhirya Rasulullah pun membenarkan, kemudian berkata
sebagaimana hadits di atas.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
وَفِى
بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ, قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى
أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ, أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ
أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ
لَهُ أَجْرٌ.
“Hubungan intim antara kalian adalah sedekah”.
Para sahabat lantas ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin
kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu malah mendapatkan pahala?” Beliau
menjawab, “Bukankah jika kalian bersetubuh pada wanita yang haram, kalian
mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika kalian bersetubuh dengan wanita yang
halal, kalian akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim 1006, Ahmad 21473).
Hubungan badan memiliki keutamaan yang besar,
selain meredam sahwat, menundukkan pandangan, mendapatkan keturunan juga
merupakan sedekah yang berpahala besar. Oleh karena itu tidak boleh seorang
istri menolak ajakan suaminya dengan alasan lagi tidak mut (selera) atau yang
lain, kecuali udzur yang dibenarkan.
Berapa banyak masalah keluarga timbul karena
seorang sitri menolak ajakan suaminya, sebaliknya berapa banyak masalah
keluarga itu selesai dengan melayani suami.
5.
Menjaga diri ketika suami tidak ada.
Allah ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ
اللَّهُ.
“Maka wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri di saat suaminya tidak ada oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). (QS. An-Nisa[4]:34).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Wanita yang
bagaimana yang paling baik?” Beliau menjawab:
الَّذِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا
تُخَالِفُهُ فِيمَا يَكْرَهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ.
“Jika dipandang (suami) ia
menyenangkan, jika diperintah ia taat, tidak menyelisihi suaminya dalam
perkara-perkara yang dibencinya, baik dalam dirinya maupun hartanya.” (HR.
Ahmad 7421, Nasai 3231 di shahihkan Syaikh al-Albani, As-Shahihah 1838).
Kecintaan
suami yaitu apa bila seorang istri menjaga dirinya dari berbagai fitnah dan
penghianatan terhadap suaminya.
Tidak menjalin hubungan dengan lelaki lain, baik
melaui isyarat tatapan mata, senyuman, atau sekedar menyimpan nomor
telepon, jika hal itu diketahui suami akan
menjadikannaya marah.
6.
Hendaknya minta izin bila keluar rumah.
Izin kepada suami merupakan bentuk ketaatan,
adab yang baik, dan menghormati haknya, meskipun berkunjung kepada orang tua,
saudara maupun sahabatnya.
Allah ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan hendaklah kalian tetap tinggal di rumah kalia..” (QS. Al-Ahzab[33]:
33).
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ
إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ.
“Apabila istri kalian
meminta izin kepada kalian untuk berangkat ke masjid malam hari, maka izinkanlah…”
(HR. Ahmad 4556, Bukhari 865, Muslim 442).
Ketika Aisyah sakit beliau
ingin pulang ke rumah bapaknya Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, beliau izin
kepada Nabi shallallahu ‘alaihiwa sallam:
أَتَأْذَنُ لِى أَنْ آتِىَ أَبَوَىَّ.
“Apakah engkau mengizinkan
aku untuk datang ke rumah bapakku?” (HR. Bukhari 4141, Muslim 2770).
An-Nawawi mengatakan:
وَاسْتُدِلَّ
بِهِ عَلَى أَنَّ الْمَرْأَةَ لَا تَخْرُجُ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إلَّا
بِإِذْنِهِ.
Hadits ini dijadikan dalil
bahwa wanita tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin
suaminya. (Nailul Authar, Asyaukani 3/156).
Begitu pula hendaknya
seorang istri meminta izin memasukkan seseorang dirumahnya.
Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِنَّ
لَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ، أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ…
“Hak kalian atas mereka adalah
mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk
menginjak permadani kalian” (HR. Muslim 1218).
لَا تَأْذَنِ
الْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita mengizinkan
seorangpun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada, melainkan
dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 4168, dishahihkan syaikh al-Albani, di
dalam al-Irwa’ 2004).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرَشَكُمْ مَنْ
تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِيْ بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ.
“Hak kalian
atas para isteri adalah agar mereka tidak memasukkan ke dalam kamar tidur
kalian orang yang tidak kalian sukai dan agar mereka tidak mengizinkan masuk ke
dalam rumah kalian bagi orang yang tidak kalian sukai.”(HR. Muslim 1218,
Tirmidzi 3087, Ibnu Majah 1851).
Banyak para istri keliru
dalam masalah ini, mereka seakan bebas memasukkan orang-orang yang tidak
disukai suaminya tanpa ada mahram.
Dari tukang servis, pengantar
paket, ojol, tetangga laki-laki, teman laki-laki, bahkan orang-orang yang dulu
pernah menjalin hubungan dengan dirinya, di mana seandainya suaminya tahu pasti
tidak rela.
Dari berbagai macam
pelanggaran tersebut bayak kasus penipuan, perampokan, perzinaan yang terjadi.
7.
Tidak menyakiti suami dan minta cerai tanpa
alasan yang dibenarkan.
Allah ta’ala memerintahkan agar berkata kepada
orang lain dengan perkataan yang baik, terlebih hal itu kepada orang yang
senantiasa berjuang untuk kebahagiaan dirinya dan anak-anaknya.
Allah ta’ala berfirman:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ
حُسْنًا..
“..Dan
ucapkanlah kepada manusia perkataan yang baik..” (QS. Al-Baqarah[2]:83).
Ucapan yang baik akan diangkat kelangit dan
mendapatkan pahala.
إِلَيْهِ يَصْعَدُ
الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
“Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang
saleh dinaikkan-Nya.“(QS. Fatir[35]:10).
Istri yang shalihah tidak meninggikan suaranya
dihadapan suaminya. Karena demikian itu bisa menyinggung perasaannya, terlebih
suaminya orang yang baik agamanya, sudah berbuat baik juga kepada diri dan
anak-anaknya.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لَا تُؤْذِي
امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ
الْعِينِ: لَا تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ؛ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ
يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا.
“Jika seorang istri
menyakiti suaminya di dunia maka istrinya di akhirat dari kalangan bidadari
berkata: “ Jaganlah enkau menyakitinya, semoga Allah mencelakakanmu sebab ia hanya
sementara berkumpul denganmu, sebentar lagi ia akan berpisah dan akan kembali
kepada kami.” (HR. Ahmad 22101, Tirmidzi 1174, dishahihkan syaikh al-Albani, di
dalam Shahihul Jami’ 7192).
Tidak boleh meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَالَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا
بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Siapa pun isteri yang
meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang benar, maka ia tidak akan mencium
aroma Surga.”(HR.Ahmad 22379, Ibnu Majah 2055, hakim dalam Mustadraknya 2809,
di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam al-Irwa 2035)
Bentuk-betuk menyakiti
suami seperti, berkata kasar, membantah, tidak menjawab jika dipanggil, selalu
menunda jika diperintah, bersikeras memaksakan kehendaknya tanpa melihat
kondisi ekonomi dan lain-lain.
8.
Berhias kepada suami.
Dewasa ini banyak para
istri yang tidak memperhatikan masalah ini, mereka justru berhias bukan untuk
suami, mereka hanya mau berhias ketika mau undangan, arisan, belanja, bekerja
dan menjumpai teman-temannya, namun ketika di rumah membiarkan dirinya tampak
semrawut, compang-camping alakadarnya, bau yang tidak karuan. Berhias ini
takbiat wanita, dan
diperintahkan di dalam islam. Allah ta’ala berfirman:
أَوَمَنْ يُنَشَّأُ فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي
الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ.
“Apakah patut orang yang
dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan
yang terang dalam pertengkaran.” (Az-Zukhruf[43]: 18)
Ahli tafsir menjelaskan,
Ayat ini menunjukkan bahwa wanita itu dihiasi dengan perhiasan, yang tidak
layak di nisbatkan menjadi anak-anak Allah sebagaimana anggapan orang kafir.
Hendaknya para wanita berhias
di depan suaminya, Karena merupakan salah satu sebab terbesar suami menundukkan
pandangannya, puas dengan istrinya, dan melampiaskan kasih sayangnya.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
tanya, “siapakah wanita yang baik ..” beliau menjawab:
الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ.
“Yang paling
menyenangkan jika dipandang suami..” (HR. Ahmad 7421, Nasai 3231 di shahihkan
Syaikh al-Albani, di dalam As-Shahihah 1838).
Wanita akan lebih
menyenangkan apa bila dia dilihat berdandan untuk suaminya. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi kesempatan para isrtri berdandan ketika suaminya
pulang.
إِذَا دَخَلَ
أَحَدُكُمْ لَيْلًا فَلَا يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوقًا حَتَّى تَسْتَحِدَّ
الْمُغِيبَةُ وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ.
“Apabila kalian pulang dari
bepergian di malam hari, maka janganlah engkau menemui istrimu hingga dia
sempat mencukur bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya yang kusut. ” (HR. Muslim
715, Bukhari 5246, Ahamd 14184).
9.
Memperhatikan penampilan suami.
Suami merupakan orang yang
bertanggung jawab kelangsungan keluarga, suami sering berinteraksi dengan
masyarakat, terkadang di bidang jasa, pendidik, dan tidak sedikit di dalam
pelayanan, hendaknya istri memperhatikan suami, baik kebersihannya, kerapiannya
dan penampilan secara umum.
Hendaknya istri
memperhatikan pakaianya, banyak orang yang menilai istri dari apa yang dipakai
suaminya.
Allah Ta‘ala berfirman:
يَا
بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak
Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid.” (QS.
Al-A‘raaf [7]: 31).
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata:
وَيَسْتَحِبُّونَ
لِلْوَاحِدِ الْمُطِيقِ عَلَى الثِّيَابِ أَنْ يَتَجَمَّلَ فِي صَلَاتِهِ مَا
اسْتَطَاعَ بِثِيَابِهِ وَطِيبِهِ وَسِوَاكِهِ.
“Sesungguhnya para ulama
menganjurkan bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk memperindah
pakaiannya sesuai dengan kemampuannya, baik itu berkaitan dengan pakaian,
wangi-wangian, dan juga siwak.” (At-Tamhiid, 6: 369,
al-Qurtubi).
Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ
يُحِبُّ الْجَمَالَ.
“Sesungguhnya
Allah Maha Indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim 91, Ibnu Majah 59,
Tirmidzi 2116).
Demikianlah seorang istri shalihah akan memperhatikan
penampilan suaminya.
10.
Hendaknya seorang istri qana’ah (puas terhadap
karunia Allah).
Penting
bagi seorang istri memiliki sifat qana’ah, yaitu merasa puas dengan karunia
Allah,
Perlu
diketahui setiap orang itu memiliki garis taqdir sendiri-sendiri sebagaimana
ajal yang menyertai tiap-tiap orang dengan berbeda-beda, sehingga tidak boleh
menyamakan atau membandingkan rezki yang diterima dengan rezki orang lain.
Allah
memiliki hikmah dalam memberikan rezki kepada setiap orang.
Allah ta’ala
berfirman:
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي
الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ
بَصِيرٌ.
“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada
hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia
menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha teliti terhadap
(keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat.” (QS. Ash-Syura[42]:27).
Berapapun pemberian Allah ketika seseorang tidak mampu bersyukur yang
ada hanyalah kurang dan terus kurang.
Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ
الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ.
“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang
sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad
4:278. Di hasankan Syaikh al-Albani di dalam ash-Shahihah 667).
لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ
أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ، وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ
“Sungguh, seandainya anak Adam memiliki satu lembah dari emas, niscaya ia sangat ingin mempunyai dua lembah (emas). Dan tidak akan ada yang memenuhi mulutnya kecuali tanah.” (HR. Bukhari 6439 Muslim 1048 dengan lafad Bukhari).
Dalam lafazh lain disebutkan, Az Zubair pernah berkata di Makkah di atas mimbar saat khutbah, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Seandainya manusia
diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia
diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi
isi perutnya selain tanah. Dan Allah Maha Menerima taubat siapa saja yang mau
bertaubat.” (HR. Bukhari 6438).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan
kita agar dapat bersyukur kepada Allah ta’ala supaya kita melihat orang di bawah kita.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ
هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ
أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ.
“Lihatlah
kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di
atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat
Allah yang telah diberikan kepadamu." (HR Bukhari 6490, Muslim 296).
Allah
mengancam para wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya dengan neraka.
Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا
النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ: يَكْفُرْنَ العَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ
الإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ
شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ.
“Diperlihatkan kepadaku neraka dan aku dapati kebanyakan
penghuninya adalah para wanita yang ingkar. Rasul ‘alaihish shalatu wassalam
ditanya: “Apakah mereka ingkar kepada Allah..? Nabi bersabda: “Mereka ingkar
kepada suaminya dan ingkar kepada kebaikan suaminya. Seandainya engkau berbuat
baik kepada salah seorang mereka selama satu tahun, kemuadia wanita tersebut
melihat satu kejelekan darimu, maka ia akan berkata: “Aku tak pernah melihat
engkau berbuat baik sedikitpun.” (HR. Bukhari 1052 Muslim 907).
Demikianlah hak-hak
seorang suami agar dipahami dan diamalkan oleh setiap istri agar dirinya
mendapatkan keridhaan suami sehingga membawa keridhaan Allah ta’ala.
-----000-----
Sragen
05-12-2023.
Junaedi
Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar