Sabtu, 27 Juli 2024

AQIDAH YANG BENAR TERHADAP PEMIMPIN KAUM MUSLIMIN.

 



AQIDAH YANG BENAR APA YANG DIWAJIBKAN KEPADA PENGUASA.

المعتقد الصحيح فيما يجب لولاة الأمرِ مِنَ الْمُسلمين

Aqidah yang benar di dalam kewajiban kepada pemimpin kaum muslimin.

Penjelasan:

Pertama: Pengertian pemimpin kaum muslimin.

Waliyul amr artinya pemegang otoritas (pemilik kekuasaan).

Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wata’ala secara khusus menyinggung dan memerintahkan ketaatan kepada waliyyul amri sebagai wujud dari pemimpin, setelah taat kepada-Nya, dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ.

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’[4]: 59).

 قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: الأُمَرَاءُ.

Abu Hurairah berkata, “(yang dimaksudkan adalah) Penguasa.” (Tafsir At-Tabari QS. An-Nisa’[4]:59).

Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah “Pendapat yang paling benar tentang (siapakah waliyyul amri), mereka adalah para umara dan pemimpin, karena sahihnya berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar taat kepada para imam dan pemimpin dalam urusan yang dituntut ketaatan di dalamnya dan bermaslahat bagi kaum muslimin.” (Tafsir ath-Thabari).

 Imam Ahmad berkata:

الْحَدِيثُ الَّذِي وَرَدَ فِي نُزُولِ هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهَا فِي الْأُمَرَاءِ.

“Hadits yang menjadikan sebab ayat ini turun yang dimaksud adalah pemimpin.” (Syu’abul Iman juz 9 hal 458). (Syarhu Sunnah lil Baghawi juz 10 hal 40).

Imam an-Nawawi rahimahumallah “Para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud waliyyul amri ialah yang Allah Subhanahu wata’ala wajibkan untuk diberikan ketaatan kepadanya, yaitu para pemimpin dan umara (penguasa). Inilah pernyataan jumhur salaf dan khalaf (ulama dulu maupun masa belakangan) dari kalangan ahli tafsir, fuqaha, dan selainnya. Ada yang mengatakan waliyyul amri adalah ulama, ada juga yang menyebutkan ulama dan umara. Adapun yang mengatakan waliyyul amri adalah para sahabat secara khusus, dia telah salah.” (Syarah Shahih Muslim).

Hal ini sebagaimana ditunjukkan hadits-hadits yang sangat banyak diantaranya apa yang diriwayatkan sahabat Abu Bakrah, beliau berkata:

لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ، قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً .

“Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu) menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ” Suatu kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita.” (HR. Bukhari 4425).

١٠ وَيَعْتَقِدُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ : بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَوْجَبْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ طَاعَةَ وَلَاةِ أَمْرِهِمْ فِي غَيْرِ مَعْصِيَةِ اللَّهِ. وَيَعْتَقِدُونَ مَعْنَى قَوْلِهِ فِي حَدِيثِ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اسْمَعْ وَأَطِعْ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ، وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ، وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ، وَإِنْ أَكَلُوا مَالَكَ، وَضَرَبُوا ظَهْرَكَ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَعْصِيَةٌ. أَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ بِإِسْنَادٍ حَسَنِ، وَأَصْلُهُ فِي الصَّحِيحَيْنِ.

10. Ahlu Sunnah wal jama’ah meyakini bahwasanya Allah ta’ala mewajibkan terhadap orang-orang beriman taat kepada pemimpin merekadi dalam perkara yang tidak bermaksiat kepada Allah ta’ala.

Mereka meyakini apa yang diriwayatkan di dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari apa yang di riwayatkan sahabat ‘Ubadah bin Shamith radhiyallahu ‘anhu:

“Dengarkan dan ta’ati  baik di dalam kesulitan maupun kemudahanmu, di dalam semangatmu maupun di saat kamu tidak menyukai, meskipun mereka mementingkan dirinya atasmu, mereka memakan hartamu dan memukul punggungmu, (hendaknya tetap taati) kecuali memerintahkan untuk maksiat.” ( HR. Ibnu HIbban di dalam shahihnya dengan sanad yang hasan, dan asalnya juga ada pada Shahihain).

Penjelasan.

Keterangan hadits

Hadits di atas (HR. Ibnu HIbban 4562, juga disebutkan di dalam al-Musnad li Ibni Abi ‘Ashim 1026, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam As-Shahihah 3418).

Dalam riwayat Bukhari Muslim, yang dimaksudkan Syaikh diatas sebagai berikut:

Dari sahabat ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah kepada kami dan kami pun berbaiat kepada beliau. Maka Nabi mengatakan di antara baiat (janji) yang beliau minta dari kami:

أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

Nabi meminta kepada kami untuk mendengar dan taat (kepada penguasa), baik kami di saat bersemangat atau kami tidak suka mengerjakannya, baik kami dalam kondisi sulit atau dalam kondisi mudah (lapang), juga meskipun penguasa tersebut mementingkan diri sendiri (menindas rakyatnya), dan supaya kami tidak merebut kekuasaan dari pemegangnya, kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata, dan kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala bahwa itu adalah kekafiran.” (HR. Bukhari 7056, Muslim 1709).


Kedua: kewajiban mentaati pemimpin.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Ra-sul-Nya, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ [4]:59).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا.

“Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin seorang budak Habasyah.” (HR. Ahmad 17144, Abu Daud 4607 Tirmidzi 2676. Dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam al-Irwa’ 2455).

مَنْ أَطَاعَنِى فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِى فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِى وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِى.

“Barangsiapa menaatiku, maka ia berarti menaati Allah. Barangsiapa yang  tidak mentaatiku berarti ia tidak menaati Allah. Barangsiapa yang taat pada pemimpin berarti ia menaatiku. Barangsiapa yang tidak menaati pemimpin berarti ia tidak menaatiku.” (HR. Bukhari 2957, Muslim1835).

Mentaati pemerintah atau penguasa baik dalam keadaan merupakan ibadah.

ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَلاَ يُزَكِّيهِمْ، وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لاَ يُبَايِعُهُ إِلَّا لِدُنْيَا، فَإِنْ أَعْطَاهُ مِنْهَا رَضِيَ، وَإِنْ لَمْ يُعْطِهِ مِنْهَا سَخِطَ

“Ada tiga jenis orang yang Allah Ta’ala tidak akan melihat mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka disediakan siksa yang pedih.” “Seorang yang membaiat imam (penguasa, pemerintah) dan dia tidak membaiatnya kecuali karena kepentingan-kepentingan duniawi. Kalau dia diberikan dunia, dia ridha (senang) kepadanya. Dan apabila tidak, dia marah-marah.“ (HR. Bukhari 2358, 7212, Muslim 108).

 

تَحْرِيمُ الْخُرُوجِ عَلَى الْوُلاةِ:

وَيَعْتَقِدُونَ تَحْرِيمَ الْخُرُوجِ عَلَى وَلَاةِ الْأَمْرِ وَإِنْ جَارُوا وَظَلَمُوا، مَا لَمْ يَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَهُمْ فِيهِ مِنَ اللَّهِ بُرْهَانٌ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ : خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ! أَفَلَا تُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ ؟ فَقَالَ : لَا ، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وَلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ، وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةِ.

وَفِي لَفْظِ : أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالِ، فَرَاهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَلْيَكْرَهُ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ ، أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.

 

Ketiga: Haramnya keluar ketaatan dari pemerintah.

(Ahlu Sunnah) meyakini haramnya keluar ketaatan dari penguasa (pemerintah), meskipun mereka fasik, dzalim, selama mereka tidak menampakkan kekufuran yang nyata pada mereka, yang padanya bukti jelas dari Allah ta’ala.

Dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka pun mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Dikatakan, “Apakah kami boleh mengangkat pedang (memberontak) terhadap mereka?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, selama mereka menegakkan salat di tengah kalian, apa bila kalian meliat sesuatu yang kalian tidak sukainya bencilah amalannya akan tetapi jangan kalian melepas ketaatan padanya. ” (HR. Muslim 1855, Musnad ad-Darimi 2839, Musnad al-Bazar 2752, Musnad Ishaq Ibnu Rahawaih 1895).

Dalam riwayat yang lain.

“Barang siapa berwali kepada seorang wali (pemimpin) kemudian dia melihat sesuatu berupa ma’siat kepada Allah hendaknya dia membenci maksiatnya terhadap Allah dan janganlah dirinya melepas ketaatan.” (HR. Muslim 1855).

Keterangan

Hendaknya bersabar ketika melihat sesuatu yang tidak disukai pada pemimpinnya dan larangan dari melepas ketaatan secara mutlaq.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. telah bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً.

Barang siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu hal yang tidak disukainya, hendaklah ia bersabar. Karena sesungguhnya tidak sekali-kali seseorang memisahkan diri dari jamaah sejauh sejengkal, lalu ia mati, melainkan ia mati dalam keadaan mati Jahiliah. (HR. Bukhari 7054, Muslim 1849).

 

Kewajiban tetap taat pada penguasa, meskipun penguasa atau pemerintahan dzalim.

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ.

“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak menggunakan petunjuk dengan petunjukku dan tidak pula melaksanakan sunnahku, Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia.“ (HR. Muslim 1847, Baihaqi Sunan Kubra 16617).

 

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata:

“Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang (bawahan) nyata, yang mana kalian mempunyai bukti dari Allah.” yaitu dengan tiga syarat:

pertama: Jika kalian melihat, maka hendaknya dengan ilmu, bukan sekedar prasangka, maka tidak boleh menentang para imam.

Kedua: Bahwa hal itu betul-betul kekafiran, bukan kefasikan, betapapun fasiqnya penguasa, tidak boleh memberontak terhadap mereka; seperti andaikan mereka meminum minuman keras, berzina, menzalimi orang, maka tidak boleh memberontak terhadap mereka, tetapi jika kita melihat kekafiran yang nyata, dengan jelas dan nyata.

Ketiga: Kekafiran yang nyata: maknanya adalah kekafiran yang nyata, yang jelas kekafiran, adapun apa yang memungkinkan ditakwil tidak boleh keluar pada ketaatan mereka, seandainya mereka melakukan yang kita memandang hal itu kekufuran akan tetapi hal itu masih bisa dibawa pada bukan kekufuran maka tidak boleh menentang mereka dan hendaknya kita berwali kepada mereka.

Namun jika telah jelas, seperti: Jika salah satu penguasa berkata kepada rakyatnya: Anggur itu dihalalkan (diperbolehkan). Minumlah sesukamu, dan sodomi diperbolehkan, maka lakukanlah hubungan intim dengan siapa pun yang kamu inginkan, dan zina di halalkan (diperbolehkan), berzina dengan siapa pun yang kamu inginkan. Ini adalah kekufuran yang nyata tanpa adanya kesamara, wajib bagi rakyat untuk melengserkanya, dengan berbagai cara meskipun dengan kekerasan . Karena ini adalah kekufuran yang nyata. (Syarah Riyadhus Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin juz 2 hal 422).

Ketaatan yang dibolehkan adalah dalam perkara yang makruf.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي المَعْرُوفِ.

“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari 7257, Muslim 1840).

Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ .

“Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka tidak boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” (HR. Bukhari 7144, Muslim 1839).

عُقُوبَاتُ الْخَارِجِ عَلَيْهِمْ:

وَالْخَارِجُ مِنَ الْجَمَاعَةِ الْحَقَ بِهِ الشَّارِعُ عُقُوبَاتٍ غَلِيظَةٌ فِي الدُّنْيَا  وَالْآخِرَةِ تَتَنَاسَبُ مَعَ عِظَمِ جَرِيمَتِهِ :

 مِنْ ذَلِكَ أَنَّ مَنْ مَاتَ وَهُوَ خَارِجٌ عَنِ الطَّاعَةِ، مُفَارِقٌ لِلْجَمَاعَةِ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّة.

وَمَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَإِنَّهُ لَا يُسْأَلُ عَنْهُ، كِنَايَةً عَنْ عَظِيمٍ ذَنْبِهِ.

وَمَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَلَا حُجَّةَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

وَمَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَهُ يَرْتَكِضُ.

وَمَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ حَلَّ دَمُهُ.

Keempat: Hukuman orang yang melepaskan ketaatan atas mereka.

Keluar dari jama’ah terdapat hukuman padanya dari syari’at dengan hukuman yang keras, baik di dunia maupun di akhirat, sesuai dengan dosa yang telah diperbuat.

1.   Diantara hal itu barang siapa meninggal sementara dia keluar dari ketaatan maka matinya seperti mati jahiliyyah.

2.   Barang siapa yang melepaskan (keluar) dari jama’ah maka sesungguhnya dia tidak akan ditanya, (ini merupakan) gambaran besarnya dosa tersebut.

3.   Barang siapa meninggal dalam keadaan melepas ketaatan kepada pemimpin (penguasa, pemerintah) maka tidak ada hujah di sisi Allah ta’ala nanti pada hari kiamat.

4.   Barang siapa meninggal dalam keadaan melepas ketaatan kepada pemimpin (penguasa, pemerintah) maka setan akan bersegera padanya.

5. Barang siapa meninggal dalam keadaan melepas ketaatan kepada pemimpin (penguasa, pemerintah) halal darahnya.

Keterangan.

 

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً.

“Barang siapa melepasa ketaatan (kepada pemimpin, penguasa), maka kelak ia akan menghadap kepada Allah tanpa ada yang membelanya. Dan barang siapa yang meninggal dunia, sedangkan pada pundaknya tidak ada suatu baiat pun, maka ia mati dalam keadaan mati Jahiliah.” (HR. Muslim 1851, as-Sunan Kubra Baihaqi 16612).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala menjelaskan:

فَقَدْ ذَكَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبُغَاةَ الْخَارِجِينَ عَنْ طَاعَةِ السُّلْطَانِ وَعَنْ جَمَاعَةِ الْمُسْلِمِينَ وَذَكَرَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إذَا مَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً؛ فَإِنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَكُونُوا يَجْعَلُونَ عَلَيْهِمْ أَئِمَّةً؛ بَلْ كُلُّ طَائِفَةٍ تُغَالِبُ الْأُخْرَى.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan orang yang melepas ketaatan terhadap penguasa (pemerintah) yang sah dan keluar dari jamaah kaum muslimin. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan jika mereka mati, mereka mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah. Karena orang-orang jahiliyyah tidaklah menjadikan satu orang pemimpin di tengah-tengah mereka yang mengatur kehidupan mereka. Akan tetapi, satu kabilah (suku) akan memerangi suku yang lainnya.” (Majmu’ Al-Fataawa, 28/487)

Imam Ath Thabari berkata, yang benar, makna Al Jama’ah dalam hadits-hadits perintah berpegang pada Al Jama’ah adalah orang-orang yang berada dalam ketaatan, mereka berkumpul dalam kepemimpinan. Barangsiapa yang mengingkari baiat terhadap pemimpinnya maka ia telah keluar dari Al Jama’ah.” (Fathul Baari, 13/37).

Setan akan bersegera padanya sebagaimana hadits Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ ثَلاثَةٍ فِي قَرْيةٍ ، وَلاَ بَدْوٍ ، لا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلاَةُ إلاَّ قَد اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِم الشَّيْطَانُ . فَعَلَيْكُمْ بِالجَمَاعَةِ ، فَإنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ مِنَ الغَنَمِ القَاصِيَة) رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ

“Tidaklah terdapat tiga orang di satu desa atau kampung yang tidak ditegakkan shalat di sana kecuali mereka telah dikalahkan oleh setan. Maka haruslah bagi kalian untuk berjamaah, sebab serigala hanya akan memakan domba yang jauh dari kawannya.” (HR.  Abu Daud 547, An-Nasa’i 847, Ahmad 21710, di hasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahih Abu Dawud 556).

Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آخِرِ الزَّمَانِ، أَحْدَاثُ الأَسْنَانِ، سُفَهَاءُ الأَحْلاَمِ، يَقُولُونَ مِنْ خَيْرِ قَوْلِ البَرِيَّةِ، لاَ يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ، كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ، فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ، فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ.

“Akan keluar satu kaum di akhir zaman, (mereka) adalah orang-orang yang masih muda, akal mereka bodoh, mereka berkata dengan sebaik-baiknya perkataan manusia, keimanan mereka tidak melewati kerongkongan, mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang keluar dari busurnya, di mana saja kalian menjumpai mereka, maka (perangilah) bunuhlah, karena sesungguhnya dalam memerangi mereka terdapat pahala di hari Kiamat bagi siapa saja yang membunuh mereka.” (HR. Bukhari 6930).



الدُّعَاءُ لِوُلاةِ الْأَمْرِ:

وَيَعْتَقِدُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ: أَنَّ الدُّعَاءَ لِوَلِيِّ الْأَمْرِ بِالصَّلَاحِ وَالْمُعَافَاةِ مِمَّا يُحْمَدُ وَيَتَأَكَّدُ، وَهُوَ عَلَامَةُ الرَّجُلِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ، كَمَا قَالَ الْإِمَامُ الْبَرْبَهَارِيُّ فِي كِتَابِ السُّنَّةِ :

إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَدْعُو عَلَى السُّلْطَانِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ هَوَى، وَإِذَا سَمِعْتَ الرَّجُلَ يَدْعُو لِلسُّلْطَانِ بِالصَّلَاحِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ سُنَّةٍ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.

يَقُولُ الْفُضَيْلُ بْنُ عِيَاضٍ لَوْ كَانَ لِي دَعْوَةٌ، مَا جَعَلْتُهَا إِلَّا فِي السُّلْطَانِ، فَأُمِرْنَا أَنْ نَدْعُوَ لَهُمْ بِالصَّلَاحِ، وَلَمْ نُؤْمَرُ أَنْ نَدْعُوَ عَلَيْهِمْ، وَإِنْ جَارُوا وَظَلَمُوا؛ لِأَنَّ جَوْرَهُمْ وَظُلْمَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَعَلَى الْمُسْلِمِينَ، وَصَلَاحَهُمْ لِأَنْفُسِهِمْ وَلِلْمُسْلِمِينَ. اهـ.

Mendoakan untuk pemimpin:

Ahlussunnah wal jamaah meyakini bahwa berdoa untuk penguasa agar diberi kebaikan dan keselamatan. Termasuk perkara yang terpuji dan ditekankan.

Ini merupakan tanda seorang Ahlu Sunnah sebagaimana yang di katakana Imam al-Barbari dalam kitabnya “as-Sunnah”

“Jika engkau melihat seseorang mendoakan keburukan kepada pemimpin keburukan ketahuilah bahwasanya dia adalah seorang pengikut hawa nafsu, jika engkau melihat seseorang berdoa kebaikan untuk penguasa ketahuilah bahwa dia seorang Ahlu Sunnah.

Fudhail bin Iyadh berkata:

Seandainya aku punya doa mustajab, aku akan gunakan untuk mendoakan penguasa.” “Kita diperintahkan untuk mendoakan kebaikan kepada mereka dan tidak diperintahkan mendoakan keburukan kepada mereka meskipun mereka pendosa dan dzalim, karena dosa mereka dan dzalim mereka untuk mereka sendiri dan pada orang muslim, sedangkan kebaikan mereka untuk mereka sendiri dan kaum muslimin.”

وَقَالَ الإِمَامُ الصَّابُونِيُّ فِي عَقِيدَةِ السَّلَفِ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ:

وَيَرَوْنَ الدُّعَاءَ لَهُمْ بِالْإِصْلَاحِ وَالتَّوْفِيقَ وَالصَّلَاحِ. اهـ.

النَّهْيُ عَنِ سَبِّ الْوُلاةِ: وَيَرَوْنَ أَنَّ سَبَّهُمْ مِمَّا نُهِيَ عَنْهُ شَرْعًا بِاتِّفَاقِ أَكَابِرٍ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ

يَقُولُ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «نَهَانَا كُبَرَاؤُنَا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ قَالَ: «لَا تَسُبُّوا أَمَرَاءَكُمْ وَلَا تَغُشُوهُمْ، وَلَا تُبْغِضُوهُمْ، وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاصْبِرُوا، فَإِنَّ الْأَمْرَ قَرِيبٌ». رَوَاهُ ابْنُ أَبِي عَاصِمٍ فِي السُّنَّةِ وَغَيْرِهِ.

*

Berkata imam As-Shabuni di dalam aqidah salaf ashabul hadits:

Mereka (para sahabat) mendoakan kepada pemimpin untuk kebaikan dan keselamatan.

Larangan mencela pemimpin, dan mereka memandang mencela pemimpin merupakan perkara yang terlarang dengan kesepakatan pembesar para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Berkata Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “ Kami para pembesar para sahabat Rasulullah dilarang mencela( para pemimpin).

“Janganlah kalian mencela para pemimpin kalian jangan menipu, jangan pula membenci mereka, bertakwalah dan bersabarlah karena sesungguhnya perkaranya dekat (sebentar). (HR. Abu ‘Ashim fi Sunnah wa goirihi).

 

Semoga bermanfaat

 

-----000-----

 

Sumber: المعتقل الصحيح الواجب على كل مسلم اعتقاده

Dr. Abdul Karim bin Barjas Al ‘abdul Karim

 

Sragen 27-07-2024

Diterjemahkan dan diberi keterangan oleh:

Abu Ibrahim Junaedi Abdullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEMAHAMI AL WALA’ WAL BARA’

MEMAHAMI AL WALA’ WAL BARA’   Al wala’ wal bara’ merupakan salah satu sendi yang penting di dalam ajaran islam, kosekwensi seseorang ter...