Senin, 15 Juli 2024

KEUTAMAAN BULAN MUHARRAM (‘ASYURA)

 




Bulan Muharram memiliki sejarah dan keutamaan yang besar, hanya saja masih banyak kaum muslimin yang belum mengetahuinya.

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memotifasi kita melakukan puasa pada bulan Muharram sebagaimana sabdanya:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ، بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ، وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ، بَعْدَ الْفَرِيضَةِ، صَلَاةُ اللَّيْلِ .

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim 1163, Ahmad 8534).

Semoga ulasan ini bermanfaat.  

1.   Sejarah puasa ‘Asyura 10 Muharram.

Hari ‘Asyura menyimpan sejarah yang agung, dimana nabi Musa telah diselamatkan dan dimenangkan atas musuhnya Fir’aun oleh Allah ta’ala.

Dengan kejadian tersebut sampai-sampai Ahlul Kitab mengenang dan berpuasa di dalamnya sebagaimana nanti kita sebutkan haditsnya.

2.   Sejarah permulaan penanggalan islam.

Dahulu khalifah Amirul Mu’minin ‘Umar Ibnul Khatab memberikan surat kepada para gubernurnya apa yang diterima Abu Musa Al-Asy‘ari radhiyahullahu’anhu, sebagai gubernur Basrah kala itu.

Beliau menulis surat kepada ‘Umar Ibnul Khatab, beliau berkata:

إِنَّهُ يَأْتِينَا مِنْكَ كُتُبٌ لَيْسَ لَهَا تَارِيخٌ

“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal.”

فَجَمَعَ عُمَرُ النَّاسَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ أَرِّخْ بِالْمَبْعَثِ وَبَعْضُهُمْ أَرِّخْ بِالْهِجْرَةِ

Maka Umarpun mengumpulkan manusia, ada beberapa sahabat yang mengusulkan kala itu, berkata sebagian diantara mereka, “Mulailah penanggalan dengan diutusnya Nabi,” ada juga yang mengusulkan,  “Mulailah penanggalan dengan hijrahnya Nabi, Umar pun menyetujui hal itu.

فَقَالَ عُمَرُ الْهِجْرَةُ فَرَّقَتْ بَيْنَ الْحَقِّ وَالْبَاطِلِ فَأَرِّخُوا بِهَا.

Maka Umar berkata, “ Hijrah merupakan pemisah antara kebenaran dan kebatilan. Jadikanlah sebagai permulaan penanggalan.” (Fathul Bari juz 7 hal 268).

3.   Tahapan puasa Asyura.

Pertama: Puasa Asyura telah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak di Makkah, Rasulullah tidak memerintahkan hal itu karena orang-orang telah melakukannya, hal ini diceritakan umul mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.

“Di zaman jahiliyah dahulu, orang Quraisy biasa melakukan puasa ’Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam juga melakukan puasa tersebut. Tatkala tiba di Madinah, beliau melakukan puasa tersebut dan memerintahkan yang lain untuk melakukannya. Namun tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa ’Asyura. Barangsiapa yang mau, silakan berpuasa. Barangsiapa yang mau, silakan meninggalkannya (boleh puasa boleh tidak).” (HR. Bukhari 2002, 3831, Muslim 1125).

 

Kedua: Ketika sampai di Madinah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapati Ahlul Kitab melakukan puasa ‘Asyura dan memuliakan hari tersebut. Lalu beliau pun ikut berpuasa ketika itu. Beliaupun memerintahkan pada para sahabat untuk ikut berpuasa. Sampai-sampai para sahabat memerintah anak-anak kecil untuk turut berpuasa.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma, beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ. فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ. فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.

“Ketika tiba di Madinah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendapati orang-orang Yahudi melakukan puasa ’Asyura. Kemudian Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertanya, ”Hari yang kalian bepuasa ini adalah hari apa?” Orang-orang Yahudi tersebut menjawab, ”Ini adalah hari yang sangat mulia. Ini adalah hari di mana Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya. Ketika itu pula Fir’aun dan kaumnya ditenggelamkan. Musa berpuasa pada hari ini dalam rangka bersyukur, maka kami pun mengikuti beliau berpuasa pada hari ini”. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam lantas berkata, ”Kita seharusnya lebih berhak dan lebih utama mengikuti Musa daripada kalian.”. Lalu setelah itu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.” (HR. Muslim 1130, Abu Dawud 2747).

Jika ada seseorang berkata bahwa Nabi juga mengikuti orang Yahudi sehingga sebagian kaum muslimin ibadah mereka juga mengikuti tidak masalh, kita jawab, perlu diketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan puasa Asyura semenjak di Makkah, demikian pula Rasulullah mendapatkan bimbingan wahyu dari Allah ta’ala sementara orang islam yang mengikuti Yahudi dan Nasrani mereka hanya mengikuti hawa nafsu, bahkan telah jelas larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu.

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ.

“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob pasti kalian akan mengikutinya.” Kami berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud orang Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim 2669, Ahmad 8340).

Ada beberapa penjelasan ulama apakah sebelum puasa Ramadhan puasa Asyura itu wajib, sebagian ada yang menyebutkan wajib, sebagian ada yang menyebutkan sunnah muakkadah.

Yang jelas setelah datang puasa Ramadhan, puasa ‘Asyura tidaklah diwajibkan lagi dan hukumnya sunnah. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi -rahimahullah-. (Lihat Al Minhaj Syarh Muslim, 8: 4)

Ketiga: Setelah diperintahkan puasa Ramadhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lagi menekankan, siapa yang ingin peasa dipersilahkan dan siapa yang tidak berpuasa tidak mengapa sebagaimana hadits umul mukminin Aisyah radhiayallahu ‘anha.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، وَأَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَهُ، وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ، فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ اللهِ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ .

“Sesungguhnya orang-orang Jahiliyah biasa melakukan puasa pada hari ’Asyura. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pun melakukan puasa tersebut sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, begitu pula kaum muslimin saat itu. Tatkala Ramadhan diwajibkan, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan: Sesungguhnya hari Asyura adalah hari di antara hari-hari Allah. Barangsiapa yang ingin berpuasa, silakan berpuasa. Barangsiapa meninggalkannya juga silakan.”(HR. Muslim 1126, Ahmad 6292).

Keempat: Keinginan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengiringi puasa Asyura dengan puasa tasu’a, hal ini untuk menyelisihi yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata:

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ, قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

 

 bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” kemudian beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah meninggal dunia.” (HR. Muslim 1134, Abu Dawud 2445).

Oleh karena itu sebagian ulama ada yang memakruhkan apabila berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram saja. Hal ini sebagaimana fatwa Syaikh bin Baz rahimahullah, adapun Syaikh Muhammad bin Shalih al’Utsaimin membolehkan hal itu namun lebih baik mengiringi dengan puasa tanggal 9 Muharram. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/42).

4.   Tatacara puasa Asyura.

Puasa Asyura ada tiga tingkatan:

1)   Puasa sebelum dan sesudahnya yaitu tanggal 9-10-11 inilah yang paling sempurna.

Terlebih Jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian. Beliau mempraktekkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al Mughni, 3/174. Diambil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 52).

2)   Berpuasa pada tanggal 9 dan 10, ini yang paling banyak ditunjukkan dalam hadits.

3)   Berpuasa pada tanggal 10 saja. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata “ Puasa hari Asyura menghapus dosa-dosa setahun, tidak mengapa puasa pada hari ini saja. (Al Akbar al-Ilmiyyah min al Ikhtiyaraat al-Fikhiyah, Ala Uddin ‘Adi bin Muhammad al-Ba’li hal 64).

Demikianlah semoga bermanfaat, Aamiin

 

 

-----000-----

 

Sragen 15-07-2024

Junaedi Abdullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MEMAHAMI AL WALA’ WAL BARA’

MEMAHAMI AL WALA’ WAL BARA’   Al wala’ wal bara’ merupakan salah satu sendi yang penting di dalam ajaran islam, kosekwensi seseorang ter...