عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رضى
الله عنه – قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ،
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ
Dari
Umar bin Khathabz berkata : “Saya mendengar Rosulullah` bersabda :
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya
setiap orang itu tergantung terhadap apa yang dia niatkan, maka barang siapa
yang hijrahnya untuk Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu untuk Allah dan Rasul
Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia maka dia akan
mendapatkannya atau hijrahnya untuk seorang wanita maka dia akan menikahinya,
maka hijrahnya itu tergantung pada apa yang dia hijrah untuknya.”
(HR.
Bukhori 1, Muslim 1907)
Definisi niat.
Niat secara bahasa artinya adalah : “al qashdu yaitu maksud” dan “al iraadah kehendak-” jadi maknanya
adalah “keyakinan dalam hati untuk melakukan satu amalan dengan sunguh-sunguh
tanpa adanya keraguan.” [1]
Ada pula ulama yang mendefinisikan yang lain
yaitu : “seseorang memaksudkan dengan amalnya itu untuk mendekatkan diri
pada Allah, mencari ridha dan pahalaNya.”[2]
Allahu ‘alam yang kedua ini seakan-akan
menunjukan definisi secara istilah.
Sebagaimana misal hadis berikut:
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ
قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ
Rosulullah ` bersabda,” Sesungguhnya Allah mengharamkan
atas neraka terhadap orang yang mengucapkan kalimat la ila ha illallah dengan
ucapanya itu dia mengharapkan wajah Allah.”
[3]
Hadit yang menyebutkan ,“ Yuridu biha wajh Allah, yang di maksudkan adalah,
“ Dia niatkan semata-mata ( iklas)karena Allah.”
Ringkasan fiqih yang terkandung dalam
hadist:
1. Kata
kata إِنَّمَا sebagai “Al
hashru” (pembatas)
Al
hashru, menurut Ibnu Daqiiqil ‘Ied v adalah: “menetapkan hukum apa yang di sebutkan dan menolak apa yang
tidak di sebutkan.”
Oleh
karena itu pembatas ini ada 2 yaitu:
1)
Pengecualian secara
mutlak. Seperti firman Allah
l
إِنَّمَا
يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا
تَعْلَمُونَ
Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh
kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui.
QS.2.169
2)
Pengecualian secara terbatas(mahsushatan). Seperti
firman Allahl
إِنَّمَا
أَنْتَ مُنْذِرٌ
Sesungguhnya engkau tidak lain hanyalah pemberi peringatan. QS.13 Ar Ra’d:7
إِنَّمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
Sesungguhnya kehidupan dunia
hanyalah permainan dan sendau gurau. QS.47 Muhammad:36
Jika ditinjau dari sisi
pengaruhnya. Karena dunia bisa juga sebagai lahan untuk kebaikan bagi akhirat. Secara mutlak atau terbatas dilihat konteks
kalimat tersebut.
2.
Hadist ini
merupakan tolak ukur amalan hati. Adapun
tolak ukur amalan lahiriyah terkandung
pada hadist Rasulullah`:
مَنْ
عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa
mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contoh dari kami amalan tersebut
tertolak[4]
3. Niat terletak di dalam hati, bukan di lisan sebagaimana seseorang
puasa tidak dianggap batal puasanya jika tidak menyengaja (lupa), kebalikanya
jika hatinya menyengaja makan meskipun tidak di ketahui orang lain, tetap akan
membatalkan puasanya.
Sebagaimana yang di katakana Ibnu Taimiyah v, ” Tempat
niat di dalam hati bukan di lisan dengan kesepakatan para ulama pada semua
ibadah, seperti bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak,
berjihad, dan lain-lainnya. Seandainya
lisan mengucapkan, tetapi menyelisihi apa yang dia niatkan dalam hatinya, yang
dianggap adalah apa yang ada di dalam hatinya. Beliauv juga mengatakan, “Seandainya lisanya mengucapkan niat akan
tetapi niat tersebut tidak sampai dalam hatinya, tidaklah orang tersebut
mendapat balasan dengan kesepakatan para ulama”.[5]
4.
Baiknya amal
seseorang tergantung dari niatnya. amal seseorang akan di terima Allah jika dia
niatkan(maksudkan) semata-mata mengharapkan wajah Allah. Begitu pula amalan seseorang menjadi rusak
jika dia maksudkan tidak mengharap wajah Allah. “Barangsiapa yang mengamalkan
satu amalan yang tidak ada contoh dari kami maka amalan tersebut ditolak.”[6]
5. Niat
yang membedakan ibadah satu dengan yang lainnya, misalnya seseorang shalat
qiyamul lail, kemudian di akhiri dengan witir maka hendaknya dia niatkan dalam
hatinya untuk witir.
6. Perkara
yang yang mubah bisa menjadi ibadah lantaran niat.
Sebagaimana apa yang di butuhkan
manusia seperti makan, minum, tidur, dll, semua bisa menjadi ibadah jika dia
niatkan agar badanya kuat dan mampu menjalankan perintah Allah.
7. Seseorang
akan mendapatkan pahala lantaran niatnya meskipun belum melakukan amal.
Sebagaimana hadist Rasulullah`:
كُنَّا
مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاةٍ فَقَالَ إِنَّ
بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالًا مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا
إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمْ الْمَرَضُ
فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ إِلَّا شَرِكُوكُمْ فِي الْأَجْرِ
Kami bersama nabi ` dalam satu peperangan kemudian
Beliau bersabda, “ sesungguhnya di Madinah ada para laki-laki tidaklah kalian
mengarungi perjalanan tidak pula melewati lembah kecuali merka bersama kalian,
sakit telah menahan mereka.” dalam hadis
waki’lafad yang lain lain “kecuali mereka bersekutu dengan kalian di dalam
pahala.”[7]
8. Niat
yang ikhlas akan membesarkan pahalanya disisi Allahl.
9. Adapun
lintasan fikiran manusia belum di hitung dosa selama belum di niatkan untuk melakukanya.
10. Tidak
menjadikan perkara sesuatu berubah hakekatnya hanya lantaran niat. Sebagaimana seseorang mencuri meskipun dia
niatkan untuk menghidupi anak istrinya, atau melakukan bid’ah walaupun dia
niatkan ibadah, semua ini tetap atas ke haramanya.
11. Al
hijrah secara lugah, “At tarku yaitu meninggalkan.”
Adapun secara syar’i, “ Tarku ma naha Allahu ‘anhu yaitu
meninggalkan apa yang di larang Allah darinya.”[8]
Mohon maaf belum bisa menyertakankan semua dalilnya karena
keterbatasan waktu.
Semoga bermanfaat amin
Di susun oleh: Abu ibrahim
[1] Al Al Mugni ,
Ibnu Qudamah, Bab “Ma’na niat” 1/24
[2]
Al Fiqhu ‘ala almadzhahib al Arba’ah ‘Abdurahman Al Jaziri.
[3 ] Mutafaqun ‘alaih
[4]
Mutafaqun ‘alaih
[5]
Ibnu Taimiyah didalam kitab “ Majmu’ Ar-Risalah Al Kubra, 1/243
[6]
HR. Bukhari (2697) Muslim (1718)
[7]
HR. Bukhari Fathul Bari (6/46-47) Muslim(1911)
[8]
Fatul bari 1/1 Ibnu Hajar ‘As Qolani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar