TAHAPAN PERTAMA PERJUANGAN DA'WAH
Tahapan Da'wah Sirriyyah (Secara Rahasia)
Selama Tiga Tahun
Sebagaimana diketahui, kota Mekkah merupakan
pusat agama bagi bangsa Arab. Di sana terdapat para pengabdi Ka'bah dan
pengurus berhala serta patung-patung yang dianggap suci oleh seluruh bangsa
Arab. Sehingga untuk mencapai tujuan, yaitu melakukan perubahan di kota Mekkah,
akan lebih sulit dan sukar jika dibandingkan apabila hal tersebut jauh darinya.
Karenanya, da'wah membutuhkan tekad baja yang tak mudah tergoyahkan oleh
beruntunnya musibah dan bencana yang menimpa. Maka, adalah bijaksana dalam
menghadapi hal itu, memulai da'wah secara sirri (sembunyi-sembunyi) agar
penduduk Mekkah tidak dikagetkan dengan hal yang (bisa saja) memancing emosi
mereka.
GELOMBANG PERTAMA
Merupakan hal yang wajar bila yang
pertama-tama dilakukan oleh Rasulullah adalah menawarkan Islam kepada
orang-orang yang dekat hubungannya dengan beliau, keluarga serta
sahabat-sahabat karib beliau. Mereka semua dida'wahi oleh beliau untuk memeluk
Islam. Beliau juga, menda'wahi setiap orang yang memiliki sifat baik dari
mereka yang beliau kenal dan mereka yang sudah mengenal beliau. Beliau mengenal
mereka sebagai orang-orang yang mencintai Allah dan kebaikan, sedang mereka
yang mengenal beliau sebagai sosok yang selalu menjunjung tinggi nilai
kejujuran dan keshalihan. Hasilnya, banyak di antara mereka-yang tidak sedikit
pun digerayangi oleh keraguan terhadap keagungan, kebesaran jiwa Rasulullah
serta kebenaran berita yang dibawanya- merespons dengan baik da'wah beliau.
Mereka ini dalam sejarah Islam dikenal sebagai as-sábiqun al-awwallûn
(orang-orang yang paling dahulu dan pertama masuk Islam). Di barisan depan
terdaftar istri Nabi Ummul Mukminin, Khadijah binti Khuwailid; disusul maula
(mantan budak) beliau, Zaid bin Haritsah bin Syarahil al-Kalbiy (Dia sebelumnya
pernah ditawan dan dijadikan budak, lalu dibeli oleh Khadijah dan dihibahkannya
kepada Rasulullah Suatu ketika, ayah dan pamannya mengun- junginya untuk
membawanya pulang kepada kaum dan keluarga besarnya, namun dia lebih memilih
Rasulullah ketimbang keduanya. Beliau pun mengangkatnya sebagai anak sesuai
dengan norma-norma yang berlaku di kalangan bangsa Arab. Karena itu, dia sering
disebut sebagai Zaid bin Muhammad. Hingga akhirnya Islam datang dan menghapus
tradisi tersebut. Dia meninggal sebagai syahid pada perang Mu'tah, di mana saat
itu berstatus sebagai panglima laskar, yaitu pada bulan Jumadal Ula th. 8 H. (
Untuk mengetahui julukan beliau ini, lihat Shahih al-Bukhariy, tentang Manaqib
Abu Ubaidah bin al-Jarrah, 1/530.)
Keponakan beliau, 'Ali bin Abi Thalib yang
ketika itu masih kanak-kanak dan hidup di bawah asuhan beliau serta sahabat
karib beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq. Mereka semua memeluk Islam pada permulaan
da'wah.
Kemudian, Abu Bakar dengan sangat giat
mengajak orang-orang kepada agama Islam. Beliau merupakan sosok laki-laki yang
lembut, disenangi, luwes dan berbudi luhur serta suka berbuat baik. Para tokoh
kaumnya selalu mengunjunginya dan sudah tidak asing dengan kepribadiannya
karena keintelekan, kesuksesan dalam berbisnis dan pergaulannya yang luwes.
Beliau terus berda'wah kepada orang-orang dari kaumnya yang dia percayai dan
selalu berinteraksi dan bermajlis dengannya. Berkat hal itu, maka masuk
Islamlah 'Utsman bin 'Affan al-Umawiy, az-Zubair bin al-'Awwam al-Asadiy,
Abdurrahman bin 'Auf az-Zuhriy, Sa'd bin Abi Waqqash az-Zuhriy dan Thalhah bin
'Ubaidillah at-Taîmiy. Kedelapan orang inilah yang terlebih dahulu masuk Islam
serta merupakan gelombang pertama dan garda Islam.
Di antara orang-orang pertama lainnya yang
masuk Islam adalah Bilal bin Rabah al-Habasyiy, kemudian diikuti oleh amin
(kepercayaan) umat ini, Abu 'Ubaidah, nama beliau adalah 'Amir bin al-Jarrah,
beliau berasal dari suku Bani al-Harits bin Fihr. Selanjutnya menyusul
keduanya, Abu Salamah bin 'Abdul Asad, al-Arqam bin Abil Arqam (keduanya
berasal dari suku Makhzum), 'Utsman bin Mazh'un dan kedua saudaranya; Qudamah
dan 'Abdullah-, 'Ubaidah bin al-Harits bin al-Muththalib bin 'Abdu Manaf, Sa'id
bin Zaid al-'Adawiy dan istrinya; Fathimah binti al-Khaththab al-'Adawiyyah
-saudara perempuan Umar bin al-Khaththab-, Khabbab bin al-Aratt, 'Abdullah bin
Mas'ud al-Huzaly serta banyak lagi selain mereka. Mereka itulah yang dinamakan
as-sabiqûnal awwalûn. Mereka terdiri dari semua marga Quraisy yang ada, bahkan
Ibnu Hisyam menjumlahkannya lebih dari 40 orang. (Lihat, Sirah Ibnu Hisyam,
Op.cit., 1/245-262).
Namun, dalam penyebutan sebagian dari
nama-nama tersebut masih perlu diteliti kembali.
Ibnu Ishaq berkata, "...Kemudian banyak
orang yang masuk Islam secara berbondong-bondong, baik laki-laki maupun wanita
sampai akhirnya tersiarlah gaung "Islam" di seantero Mekkah dan mulai
banyak menjadi bahan perbincangan orang.
Mereka semua masuk Islam secara
sembunyi-sembunyi. Dan cara yang sama pun dilakukan oleh Rasulullah dalam
pertemuan dan pengarahan agama yang beliau berikan, karena da'wah ketika itu
masih bersifat individu dan sembunyi-sembunyi. Sementara wah-yu sudah turun
secara berkesinambungan dan memuncak setelah turunnya permulaan surat
al-Muddatstsir. Ayat-ayat dan penggalan-penggalan surat yang turun pada fase
ini merupakan ayat-ayat pendek; yang berakhiran indah dan kokoh, berintonasi
menyejukkan dan memikat, tertata bersama suasana yang begitu lembut dan halus.
Ayat-ayat tersebut berbicara tentang memperbaiki penyucian diri (tazkiyatun
nufûs), mencela pengotorannya dengan gemerlap duniawi serta melukiskan surga
dan neraka dengan begitu jelas, seakan-akan terlihat di depan mata. Di samping,
menggiring kaum Mukminin ke dalam suasana yang lain dari kondisi komunitas
sosial kala itu.
PERINTAH SHALAT
Termasuk wahyu pertama yang turun adalah
perintah mendirikan shalat. Ibnu Hajar berkata, "Sebelum Isra' terjadi,
beliau berdasarkan riwayat yang qath'iy (pasti) pernah melakukan shalat,
demikian pula para sahabat beliau. Akan tetapi yang diperselisihkan, apakah ada
shalat lain yang telah diwajibkan sebelum (diwajibkan-nya) shalat lima waktu
ataukah tidak? Ada pendapat yang mengatakan bahwa yang telah diwajibkan itu
adalah shalat sebelum terbit dan terbenamnya matahari." Demikian penuturan
Ibnu Hajar.
Al-Harits bin Usamah meriwayatkan dari jalur
Ibnu Lahi'ah secara maushûl (Disambungkan setelah sanad-sanadnya mu'allaq
[terputus di bagian tertentu).
dari Zaid bin Haritsah bahwasanya pada awal
datangnya wahyu, Rasulullah didatangi oleh malaikat Jibril, lantas mengajarkan
beliau tata cara berwudhu. Maka tatkala selesai melaku-kannya, beliau mengambil
seciduk air, lalu memercikkannya ke kemaluan beliau.
Dalam hal ini, Ibnu Majah juga telah
meriwayatkan hadits yang semakna dengan itu, demikian pula riwayat semisalnya
dari al-Bara' bin 'Azib dan Ibnu 'Abbas serta hadits Ibnu 'Abbas sendiri. Hal
tersebut merupakan kewajiban pertama. (Lihat, Mukhtashar Siratur Rasul Op.cit.
h 88).
Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa bila waktu
shalat telah masuk, Nabi dan para sahabat pergi ke lereng-lereng perbukitan dan
menjalankan shalat di sana secara sembunyi-sembunyi jauh dari pandangan kaum
mereka. Abu Thalib pernah sekali waktu melihat Nabi dan 'Ali melakukan shalat,
lantas menegur keduanya naman manakala dia mengetahui bahwa hal tersebut adalah
sesuatu yang serius, dia memerintahkan keduanya untuk berketetapan hati
(tsabat).
KAUM QURAISY MENDENGAR PERIHAL DA'WAH SECARA
GLOBAL
Meskipun da'wah pada tahapan ini dilakukan
secara sembunyi-sembunyi dan bersifat individu, namun akhirnya, perihal
beritanya sampai juga ke telinga kaum Quraisy. Hanya saja, mereka belum
mempermasalahkannya karena Rasulullah tidak pernah menying-gung agama mereka
ataupun tuhan-tuhan mereka.
Tiga tahun pun berlalu sementara da'wah masih
berjalan secara sembunyi-sembunyi dan individu. Dalam tempo waktu ini,
terben-tuklah suatu kelompok kaum Mukminin yang dibangun atas pondasi ukhuwwah
(persaudaraan) dan ta'awun (solidaritas) serta penyampaian risalah dan
pemantapan posisinya. Kemudian turunlah wahyu yang menugaskan Rasulullah agar
menyampaikan da'wah kepada ka-umnya secara terang-terangan (Jahriyyah) dan
menentang kebatilan mereka serta menyerang berhala-berhala mereka.
TAHAPAN KEDUA BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN
Perintah Pertama Untuk Menampakkan Dakwah
Sehubungan dengan hal ini, ayat pertama yang
turun adalah:
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
"Dan berilah peringatan kepada keluargamu
yang terdekat." (asy-Syu'ara'[26]: 214).
Terdapat alur cerita sebelumnya yang
menyinggung kisah Musa dari permulaan kenabiannya hingga hijrahnya bersama Bani
Israil, lolosnya mereka dari kejaran Fir'aun dan kaumnya serta tenggelamnya
fir'aun bersama kaumnya. Kisah ini mengandung semua tahapan yang dilalui oleh
Musa dalam dakwahnya terhadap Fir'aun dan kaumnya agar menyembah Allah.
Seakan-akan rincian ini semata-mata dipaparkan
seiring dengan perintah kepada Rasulullah untuk berdakwah kepada Allah secara
terang-terangan, agar di hadapan beliau dan para sahabatnya terdapat contoh
atas pendustaan dan penindasan yang akan mereka alami nantinya manakala mereka
melakukan dakwah tersebut secara terang-terangan. Demikian pula, agar mereka
mengetahui resiko dari hal itu semenjak awal memulai dakwah mereka tersebut.
Selain itu, surat tersebut (asy-Syu'arâ`) juga
berbicara mengenai nasib yang dialami oleh para pendusta para Rasul, di
antaranya sebagaimana yang dialami oleh kaum nabi Nuh, kaum 'Ad dan Tsamud,
kaum Nabi Ibrahim, kaum Nabi Luth serta kaum Nabi Syu'aib di samping yang
berkaitan dengan perihal Fir'aun dan kaumnya. Hal itu semua dimaksudkan agar
mereka yang akan melakukan pendustaan menyadari apa yang akan terjadi terhadap
mereka dan siksaan Allah yang akan mereka alami bila terus melakukan
pendustaan. Sebaliknya, agar kaum Mukminin menge-tahui bahwa kesudahan yang
baik dari itu semua akan berpihak kepada mereka bukan kepada para pendusta
tersebut.
BERDAKWAH DI KALANGAN KAUM KERABAT
Setelah turunnya ayat tersebut, Rasululullah
mengundang para kerabat terdekatnya, Bani Hasyim. Mereka pun datang memenuhi
undangan itu disertai oleh beberapa orang dari Bani al-Muththalib bin 'Abdi
Manaf. Mereka semua berjumlah sekitar 45 orang laki-laki. Namun tatkala
Rasulullah akan berbicara, tiba-tiba Abu Lahab memotongnya seraya berkata,
"Mereka itu adalah paman-pamanmu dan para sepupumu. Bicaralah dan
tinggalkanlah menganut agama baru. Ketahuilah! Bahwa kaummu tidak akan mampu
melawan seluruh bangsa Arab. Aku adalah orang yang paling pantas mence-gahmu.
Cukuplah bagimu suku-suku dari pihak bapakmu. Bagi mereka, jika engkau
bersikeras melakukan apa yang engkau lakukan sekarang, adalah lebih mudah
ketimbang bila seluruh marga Quraisy bersama-sama bangsa Arab bergerak
memusuhimu. Aku tidak pernah melihat ada orang yang membawa kepada suku-suku
dari pihak bapaknya sesuatu yang lebih jelek dari apa yang telah engkau bawa
ini." Rasulullah hanya diam dan tidak berbicara pada pertemuan itu.
Sekali waktu, beliau mengundang mereka lagi,
lantas berbicara, "Alhamdulillah, aku memuji-Nya, meminta pertolongan,
beriman serta bertawakkal kepada-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang haq)
melainkan Allah semata Yang tiada sekutu bagi-Nya."
Selanjutnya beliau berkata, "Sesungguhnya
seorang pemimpin tidak mungkin membohongi keluarganya sendiri. Demi Allah yang
tiada Tuhan (yang haq) selain-Nya! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah yang
datang kepada kalian secara khusus, dan kepada manusia secara umum. Demi Allah!
Sungguh kalian akan mati sebagaimana kalian tidur dan kalian akan dibangkitkan
sebagaimana kalian bangun dari tidur. Sungguh kalian akan dihisab (dimintal
pertanggungjawaban) terhadap apa yang kalian lakukan. Sesungguhnya yang ada hanya
surga yang abadi atau neraka yang kekal."
Kemudian Abu Thalib berkomentar,
"Alangkah senangnya kami membantumu, menerima nasehatmu, dan sangat
membenarkan kata-katamu. Mereka, yang merupakan suku-suku dari pihak bapakmu
telah berkumpul. Sesungguhnya aku hanyalah salah seorang dari mereka, namun aku
adalah orang yang paling cepat merespek apa yang engkau inginkan. Oleh karena
itu, teruskan apa yang telah di-perintahkan kepadamu. Demi Allah! Aku akan
senantiasa melindungi dan membelamu, hanya saja diriku tidak memberikan cukup
kebera-nian kepadaku untuk berpisah dengan agama Abdul Muththalib."
Ketika itu, berkata Abu Lahab, "Demi
Allah! Ini benar-benar merupakan aib yang besar. Ayo cegahlah dia sebelum orang
lain yang turun tangan mencegahnya!"
Abu Thalib menjawab, "Demi Allah! Sungguh
selama kami masih hidup, kami akan membelanya." ( Lihat al-Kamil, karya
Ibnu al-Atsir, 1/584,585).
DI ATAS BUKIT SHAFA
Setelah Nabi merasa yakin dengan janji
pamannya, Abu Thalib, yang akan melindunginya dalam tugasnya menyampaikan wahyu
Rabbnya, beliau suatu hari berdiri di atas bukit Shafa seraya berteriak,
"Ya shabahah! (seruan untuk menarik perhatian orang agar berkumpul di
waktu pagi dan biasa digunakan untuk perang)." Lalu berkumpullah suku-suku
Quraisy. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak mereka untuk bertauhid (kepada
Allah), beriman kepada risalah yang dibawanya dan Hari Akhir.
Imam al-Bukhari telah meriwayatkan satu sisi
dari kisah ini, yaitu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, dia berkata,
"Tatkala turun ayat وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَDan berilah peringatan kepada keluargamu yang
terdekat [asy-Syu'ara': 214]), Nabi ﷺ
naik ke atas bukit Shafa, lalu menyeru, 'Wahai Bani Fihr! Wahai Bani 'Adiy!
Seruan ini diarahkan kepada marga-marga Quraisy. Kemudian tak berapa lama,
mereka pun berkumpul. Karena begitu pentingnya panggilan itu, seseorang yang
tidak bisa keluar memenuhinya, mengirimkan utusan untuk melihat apa gerangan
yang terjadi?. Maka, tak terkecuali Abu Lahab dan kaum Quraisy-pun berkumpul
juga. Kemudian beliau berbicara, 'Bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku
beritahukan bahwa ada segerombolan pasukan kuda di lembah sana yang ingin
menyerang kalian, apakah kalian akan memper-cayaiku?.'
Mereka menjawab, 'Ya! Kami tidak pernah tahu
dari dirimu selain kejujuran.'
Beliau berkata, 'Sesungguhnya aku adalah
pemberi peringatan kepada kalian akan adzab yang amat pedih.
Abu Lahab menanggapi, 'Celakalah engkau
sepanjang hari ini! Apakah hanya untuk ini engkau kumpulkan kami?."
Maka ketika itu turunlah ayat:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ.
"Binasalah kedua tangan Abu
Lahab..." (al-Masad: 1)." (1/114. 1 Lihat Shahih al-Bukhariy,
11/702,734. Riwayat tersebut juga dikeluarkan di Shahih Muslim),
Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan satu sisi
yang lain dari kisah tersebut, yaitu riwayat dari Abu Hurairah, dia berkata,
"Tatkala ayat والذر عشيرتك الأفرين turun Rasulullah mendakwahi mereka, sesekali bersifat umum, dan
sesekali yang lain bersifat khusus. Beliau berkata, 'Wahai kaum Quraisy!
Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Bani Ka'b! Selamatkanlah diri
kalian dari api neraka. Wahai Fathimah binti Muhammad! Selamatkanlah dirimu
dari api neraka. Demi Allah! sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatupun (untuk
menyelamatkan kalian) dari adzab Allah, hanya saja kalian memiliki ikatan
kerabat (denganku) yang senantiasa akan aku sambung."( Lihat Shahih
Muslim, Ibid, Shahih al-Bukhariy, 1/385, II/702; Misykätul Mashabih, 11/460).
Teriakan yang keras ini merupakan bentuk dari
esensi telah penyampaian dakwah yang optimal, di mana Rasulullah menjelaskan
kepada orang-orang yang memiliki hubungan terdekat dengannya bahwa membenarkan
risalah yang dibawanya tersebut adalah bentuk efektifitas semua hubungan antara
dirinya dan mereka. Demikian pula, bahwa fanatisme kekerabatan yang dibudayakan
oleh orang-orang Arab akan meleleh di dalam panasnya peringatan yang datang
dari Allah tersebut.
Menyampaikan Al-Haq Secara Terang-Terangan Dan
Sikap Kaum musyrikin Terhadapnya
Teriakan lantang yang dipekikkan oleh
Rasulullah tersebut masih terasa gaungnya di seluruh penjuru Mekkah. Puncaknya
saat turunnya firman Allah Ta'ala,
فَأَصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ
عَنِ الْمُشْرِكِينَ
"Maka sampaikanlah olehmu secara
terang-terangan segala apa yang dipe-rintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari
orang-orang yang musyrik." (al-Hijr: 94). Lalu Rasulullah 'melakukan
dakwah Islam secara terang-terangan di tempat-tempat berkumpul dan bertemunya
kaum musyrikin. Beliau membacakan Kitabullah kepada mereka dan menyampaikan
ajakan yang selalu disampaikan oleh para rasul ter-dahulu kepada kaum mereka,
"Wahai kaumku! Sembahlah Allah. kalian tidak memiliki Tuhan selain-Nya'.
Beliau juga, mulai memamerkan praktek ibadahnya kepada Allah di depan mata
mereka; melaku-kannya di halaman Ka'bah pada siang hari secara terang-terangan dan
disaksikan khalayak ramai.
Dakwah yang beliau lakukan tersebut semakin
mendapatkan sambutan sehingga banyak orang yang masuk ke dalam Agama Allah satu
per-satu. Namun kemudian antara mereka (yang sudah memeluk Islam) dan keluarga
mereka yang belum memeluk Islam terjadi gap; saling membenci dan saling
menjauhi. Melihat hal ini, kaum Quraisy merasa gerah dan pemandangan semacam
ini amat menyakitkan mereka.
Sidang Majlis Membahas Upaya Menghalangi
Jemaah Haji Agar Tidak Mendengarkan Dakwah (Rasulullah )
Sepanjang hari-hari tersebut, ada hal lain
yang membuat kaum Quraisy gundah gulana, yaitu hanya berselang beberapa hari
atau bulan saja dakwah jahriyyah tersebut berlangsung hingga (tak terasa)
mendekati musim haji. Dalam hal ini, kaum Quraisy mengetahui bahwa delegasi
Arab akan datang ke negeri mereka. Oleh karena itu, mereka melihat perlunya
merangkai satu pernyataan yang nantinya (secara sepakat) mereka sampaikan
kepada delegasi tersebut perihal Muhammad agar dakwah yang disiarkannya tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap jiwa-jiwa delegasi Arab tersebut.
Maka berkumpullah mereka di rumah al-Walid bin al-Mughirah untuk membicarakan
satu pernyataan yang tepat dan disepakati bersama tersebut. Lalu al-Walid
berkata, "Bersepakatlah mengenai perihalnya (Muhammad) dalam satu pendapat
dan janganlah berselisih sehingga membuat sebagian kalian mendustakan pendapat
sebagian yang lain dan sebagian lagi mementahkan pendapat sebagian yang
lain!."
Mereka berkata kepadanya, "Katakan kepada
kami pendapatmu yang akan kami jadikan acuan!."
Lalu dia berkata, "Justru kalian yang
harus mengemukakan pendapat kalian dan aku sebagai pendengar."
Mereka berkata, "(Kita katakan) dia
adalah seorang dukun."
Al-Walid menjawab, "Tidak! Demi Allah dia
bukanlah seorang dukun. Kita telah menyaksikan bagaimana (praktek) para dukun,
sedangkan yang dikatakannya bukan seperti komat-kamit ataupun sajak
(mantera-mantera) para dukun."
Mereka berkata lagi, "Kita katakan saja,
dia orang gila."
Dia menjawab, "Tidak! Demi Allah! dia
bukan orang gila. Kita telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya
sedangkan yang dikatakannya bukan dalam kategori tertekan, kerasukan ataupun
was-was sebagaimana kondisi kegilaan tersebut."
Mereka berkata lagi, "Kalau begitu kita
katakan saja, dia adalah seorang penyair'."
Dia menjawab, "Dia bukan seorang penyair.
Kita telah mengenal semua bentuk sya'ir; rajaz, hazaj, qaridh, maqbüdh dan
mabsüth-nya. (Rajaz, hajaz, qaridh, maqbudh dan mabsuth adalah beberapa jenis
syair Arab). Sedangkan yang dikatakannya bukanlah sya'ir."
Mereka berkata lagi, "Kalau begitu, dia
adalah tukang sihir."
Dia menjawab, "Dia bukanlah seorang
tukang sihir, Kita telah menyaksikan para tukang sihir dan macam-macam sihir
mereka, sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan penyihir)
ataupun 'uqad (buhul-buhul) mereka."
Mereka kemudian berkata, "Kalau begitu,
apa yang harus kita katakan?."
Dia menjawab, "Demi Allah! sesungguhnya
ucapan yang dikatakannya itu amatlah manis dan indah. Akarnya ibarat tandan
anggur dan cabangnya ibarat pohon yang rindang. Tidaklah kalian menuduh
kepadanya salah satu dari hal tersebut melainkan akan diketahui kebathilannya.
Sesungguhnya, pendapat yang lebih dekat mengenai dirinya adalah dia seorang
tukang sihir yang membawa suatu ucapan berupa sihir, yang mampu memisahkan
antara seseorang dengan bapaknya, saudara, istri dan keluarganya. Mereka semua
menjadi terpisah darinya lantaran hal itu."(Lihat Ibnu Hisyam, Op.cit.,
1/271).
Sebagian riwayat menyebutkan, bahwa tatkala
al-Walid menolak semua pendapat yang mereka kemukakan kepadanya, mereka berkata
kepadanya: "Kemukakan kepada kami pendapatmu yang tidak ada
celanya!."
Lalu dia berkata kepada mereka, "Beri aku
kesempatan barang sejenak untuk memikirkan hal itu!."
Lantas al-Walid berfikir dan menguras
fikirannya hingga dia dapat menyampaikan kepada mereka pendapatnya tersebut
sebagai-mana yang disinggung diatas.
Dan mengenai al-Walid ini, Allah Ta'ala
menurunkan enam belas ayat yang merupakan bagian dari surat
al-Muddatstsir-yaitu dari ayat 11 hingga ayat 26-. Di antara ayat-ayat tersebut
terdapat gambaran bagaimana dia berfikir keras sebagaimana dalam firman-Nya
(artinya), "Sesungguhnya dia telah memikirkan dan menetapkan (apa yang
ditetapkannya), maka celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan, kemudian
celakalah dia! Bagaimanakah dia menetapkan, kemudian dia memikirkan, sesudah
itu dia bermasam muka dan merengut, kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan
menyombongkan diri, lalu dia berkata, "(al-Qur'an) ini tidak lain hanyalah
sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu), ini tidak lain hanyalah
perkataan manusia."
Setelah majlis menyepakati keputusan tersebut,
mereka mulai menerapkannya dengan cara duduk-duduk di jalan-jalan yang dilalui
orang hingga delegasi Arab datang pada musim haji. Setiap ada orang yang lewat,
mereka peringatkan dan mereka singgung dihadapannya perihal Rasulullah.
Sedangkan yang dilakukan oleh Rasululllah
manakala sudah datang musim haji adalah membuntuti jema'ah-jema'ah yang datang
hingga sampai ke tempat-tempat mereka (berkemah), di pasar 'Ukazh, Majinnah dan
Dzul Majaz. Beliau mengajak mereka untuk menyembah Allah, sedangkan Abu Lahab
selalu membuntuti di belakang beliau memotong setiap ajakan beliau dengan
berbalik mengatakan kepada mereka, "Jangan kalian patuhi dia karena dia
adalah seorang pembawa agama baru lagi Pendusta."2
Kenyataannya, justru dari musim itu perihal
Rasulullah menjadi pusat perhatian delegasi Arab sehingga namanya menjadi buah
bibir orang di seantero negri Arab.
-----000-----
Disadur dari sirah nabawiyah Syaikh Syafiyurrahman
al-Mubarak Furi.
Oleh Junaedi Abdullah.