AGAMA ADALAH NASEHAT
عن أبي رقية تميم بن أوس الداري رضي الله عنه, أن النبي صلى الله عليه وسلم
قال: «الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ» قلنا:
لمن؟ قال: لله, ولكتابه, ولرسوله, لأئمة المسلمين وعامتهم. رواه مسلم
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus
ad-Daary radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasihat.” Kami pun bertanya, “Hak siapa
(nasihat itu)?” Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah,
kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin, dan rakyatnya (kaum muslimin).” (HR.
Muslim)
Derajat hadits
Shahih, diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam kitab Shahih-nya, hadits no. 55 dan no. 95.
Biografi singkat perawi hadits
Perawi hadits ini, Abu Ruqayyah
Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu adalah
salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
berasal dari negeri Palestina, tepatnya di kota Bait al-Lakhm (Betlehem).
Meninggal pada tahun 40 H. Beliau termasuk sahabat yang sedikit riwayat
haditsnya, di dalam kutub as sittah (Kutub as-Sittah
adalah enam buku inti yang menghimpun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, buku-buku itu adalah: Shahih
al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai
dan Sunan Ibn Majah) beliau hanya memiliki sembilan hadits saja, di dalam
shahih muslim hanya ada satu hadits saja yang beliau riwayatkan, yaitu hadits
yang akan kita bahas kali ini, yang mana dia merupakan hadits yang paling
masyhur di antara hadits-hadits yang beliau riwayatkan. (Lihat: Siyar A’lam an-Nubala, II/442-448)
Kedudukan hadits
Hadits ini merupakan salah satu
hadits yang sangat agung kedudukannya, karena dia mencakup seluruh ajaran agama
Islam, entah itu yang berkaitan dengan hak-hak Allah, hak-hak rasul-Nya maupun
hak-hak umat manusia pada umumnya. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah,
oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal. 54)
Penjelasan hadits
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama itu nasihat.”
Kata ad-dien dalam
bahasa Arab mempunyai dua makna:
Pertama: Pembalasan, contohnya firman
Allah Ta’ala, مَالِكِ يَوْمِ الدِّيـن Artinya: “Yang menguasai hari
pembalasan.” (QS. Al-Fatihah [1]: 4)
Kedua: Agama, contohnya firman
Allah Ta’ala, وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً Artinya: “Dan telah Ku-ridhai Islam itu
jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)
Adapun dalam hadits kita ini,
yang dimaksud dengan kata ad-dien adalah:
agama (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin, hal. 135-136)
Kata an-nashihah berasal
dari kata an nush-hu yang secara etimologi mengandung dua makna:
1) Bersih dari kotoran-kotoran
dan bebas dari para sekutu.
2) Merapatnya dua sesuatu
sehingga tidak saling berjauhan.
Adapun definisi an-nashihah secara terminologi dalam hadits ini
adalah: Mengharapkan kebaikan orang yang dinasihati, definisi ini berkaitan
dengan nasihat yang ditujukan kepada pemimpin umat Islam dan rakyatnya. Adapun
jika nasihat itu diarahkan kepada Allah, kitab-Nya dan Rasul-Nya, maka yang
dimaksud adalah merapatnya hubungan seorang hamba dengan tiga hal tersebut di
atas, di mana dia menunaikan hak-hak mereka dengan baik.
Dalam memahami sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “agama
itu nasihat”, para ulama berbeda pendapat; ada yang mengatakan bahwa
semua ajaran agama Islam tanpa terkecuali adalah nasihat. Sebagian ulama yang
lain menjelaskan maksud dari hadits ini adalah bahwa sebagian besar ajaran
agama Islam terdiri dari nasihat, menurut mereka hal ini senada dengan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الدعاء
هو العبادة
“Doa adalah ibadah.” [HR. Abu Dawud (II/109 no.
1479), at-Tirmidzi (V/456 no. 3372) dan Ibnu Majah (V/354 no. 3828),
At-Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih, Ibnu
Hajar dalam Fath al Bari, (I/49) berkata, sanadnya jayyid (bagus),
Al-Albani berkata: shahih.]
Juga semisal dengan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الحج
عرفة
“Haji adalah Arafah.” [HR. At-Tirmidzi (III/228 no.
889), an-Nasai (V/256), Ibnu Majah (IV/477 no. 3015), Ahmad (IV/309), dan Ibn
Khuzaimah (IV/257). Al-Albani berkata: shahih.]
Bukan berarti bahwa ibadah dalam
agama Islam itu hanya berbentuk doa saja, juga bukan berarti bahwa ritual
ibadah haji hanya wukuf di Arafah saja, yang dimaksud dari kedua hadits adalah:
menerangkan betapa pentingnya kedudukan dua macam ibadah tersebut.
Akan tetapi jika kita amati
dengan seksama hal-hal yang memiliki hak untuk mendapatkan nasihat -yang
disebutkan dalam hadits ini- akan kita dapati bahwa betul-betul ajaran agama
Islam semuanya adalah nasihat, tanpa terkecuali. Entah itu yang berkenaan dengan
akidah, ibadah, maupun muamalah. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah,
oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal. 54-55)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sengaja tidak langsung menjelaskan dari awal
siapa saja yang berhak mendapatkan nasihat ini, agar para sahabat sendiri yang
bertanya untuk siapakah nasihat itu. Tujuan metode ini -yakni metode
melemparkan suatu masalah secara global kemudian setelah itu diperincikan-,
adalah agar ilmu tersebut membekas lebih dalam. Hal itu dikarenakan tatkala
seseorang mengungkapkan suatu hal secara global, para pendengar akan
mengharap-harap perincian hal tersebut, kemudian datanglah perincian itu di
saat kondisi jiwa berharap serta menanti-nantikannya, sehingga membekaslah ilmu
itu lebih dalam di dalam jiwa. Hal ini berbeda jika perincian suatu ilmu sudah
disampaikan kepada pendengar sejak awal pembicaraan. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah,
oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 136)
قلنا: لِمَـنْ؟
Kami (para sahabat) bertanya,
“Hak siapa nasihat itu, wahai Rasulullah?”
Huruf lam dalam perkataan para sahabat لِمنْ fungsinya adalah untuk istihqaq (menerangkan milik atau hak), yang berarti:
nasihat ini haknya siapa, wahai Rasulullah? (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah,
oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal. 55)
قال: لله, ولكتابه, ولرسوله, لأئمة
المسلمين وعامتهم
Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah
kaum muslimin, dan rakyatnya (kaum muslimin).”
Dalam jawaban beliau ini
diterangkan bahwa yang berhak untuk mendapatkan nasihat ada lima:
Pertama: Nasihat untuk Allah Ta’ala
Nasihat untuk Allah Ta’ala artinya: menunaikan hak-hak Allah baik itu hak
yang wajib maupun yang sunnah. (Ibid, lihat pula: Ta’dzim
Qadr ash-Shalah, karya Muhammad bin Nashr al-Marwazy, II/691-692)
Hak-hak Allah yang wajib mencakup
antara lain:
1.Beriman terhadap rububiyah Allah Ta’ala, yang berarti:
meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Rabb segala sesuatu, satu-satunya
pencipta, Yang memberi rezeki, Yang menghidupkan dan mematikan, Yang
mendatangkan manfaat dan melindungi dari marabahaya, Yang mengabulkan doa, Yang
Maha memiliki dan menguasai segala sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Nya. (Taisir al- ‘Aziz al-Hamid, oleh Sulaiman bin Abdullah bin
Muhammad bin Abdul Wahab, hal 26) Allah Ta’ala berfirman,
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ
“Segala puji bagi Allah Rabb
semesta alam.” (QS. Al-Fatihah: 1)
2. Beriman terhadap uluhiyah Allah Ta’ala, yang berarti:
mengesakan Allah Ta’ala dalam segala macam bentuk
ibadah (Al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, karya Dr. Shalih
al-Fauzan, hal. 30). Jadi kita harus mengikhlaskan semua ibadah kita, mulai
dari shalat, doa, kurban, sampai al-khauf (rasa
takut), al-mahabbah (cinta), dan ibadah-ibadah yang lainnya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin
dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
3. Beriman terhadap asmaa’ (nama-nama) dan shifaat (sifat-sifat)
Allah Ta’ala. Maksudnya adalah: Mengesakan Allah Ta’ala dalam nama-nama-Nya yang mulia serta
sifat-sifat-Nya yang agung, yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan al-Hadits,
sembari mengimani makna dan hukum-hukumnya, tanpa mengotorinya dengan tahrif (mengubah), ta’thil (menafikan), takyif (berusaha mencari-cari caranya), atau tamtsil (meyakini bahwa sifat-sifat Allah seperti
sifat-sifat para makhluk). Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuraa: 11)
(Lihat: Mu’taqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhidil Asma’ wash Shifat,
karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi, hal. 31)
4. Melaksanakan
kewajiban-kewajiban yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-larangan yang
diharamkan-Nya. Ini adalah salah satu tanda rasa cinta seorang hamba kepada
Rabbnya. (Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah,
karya Dr. Bandar al-‘Abdaly, hal. 37) Allah berfirman,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ
اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ * قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ
تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah, “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah,
“Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran: 31-32)
Hal-hal yang wajib contohnya:
mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, berdakwah
kepada agama Allah dan lain-lain. Contoh larangan-larangan: syirik, berzina,
bermain judi, dan lain sebagainya.
5. Tidak rela melihat
larangan-Nya dilanggar, serta merasa bahagia jika melihat para hamba-Nya taat
dalam menjalankan perintah-Nya. (Ta’zhim Qadr ash-Sholah,
II/692)
Kedua: Nasihat untuk Kitab-Nya
(al-Qur’an)
Nasihat untuk al-Qur’an maksudnya
adalah: menjalankan hak-hak al-Qur’an, baik itu hak-hak yang wajib maupun yang
sunnah hukumnya.
Adapun hak-hak al-Qur’an yang
wajib antara lain:
1. Meyakini bahwasanya al-Qur’an
itu betul-betul kalam (perkataan) Allah Ta’ala, baik itu
huruf-hurufnya maupun makna yang terkandung di dalamnya. Allah Ta’ala benar-benar berfirman dengannya, lantas
malaikat Jibril menyampaikannya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, agar dibacakan kepada umatnya Kita harus mengagungkan
dan mencintainya karena dia adalah kalamullah yang di
dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, Allah berfirman,
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي
لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
“Sesungguhnya al-Qur’an ini
memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (QS. Al-Israa: 9)
2. Beriman bahwasanya al-Qur’an
adalah sebaik-baik perkataan, juga hukum-hukum yang terkandung di dalamnya
adalah sebaik-baik hukum, tidak ada yang setara dengannya. Allah Ta’ala berfirman,
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ
الْحَدِيثِ كِتَاباً
“Allah telah menurunkan perkataan
yang paling baik (yaitu) al-Qur’an.” QS. Az-Zumar: 43)
3. Menjalankan perintah-perintah
Allah yang Dia wajibkan di dalamnya, serta menjauhi larangan-larangan yang Dia
haramkan atas umat-Nya di dalamnya.
4. Meyakini kebenaran
berita-berita yang disebutkan di dalamnya, tanpa dicemari dengan keraguan
sedikit pun. Jika Allah Ta’ala telah
memberitakan di dalamnya tentang adanya kehidupan sesudah dunia yang fana ini,
kita pun harus mempercayainya, tanpa berusaha untuk memustahilkannya dengan
otak kita yang terbatas. Sebagaimana yang diperbuat oleh para ahli filsafat
dari dulu sampai sekarang, yang terlalu mendewakan akal mereka yang lemah.
Allah Ta’ala menceritakan perkataan nenek moyang mereka,
إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا
الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
“Hidup hanyalah kehidupan kita di
dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan.” (QS Al-An’am: 29)
5. Melindungi al-Qur’an dari ulah
orang-orang yang menafsirkannya semaunya sendiri, serta membantah dan
mengungkap kebatilan mereka.
(Lihat: Shiyanah Shahih Muslim, karya Ibnu ash-Sholah, hal. 224,
dan Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin, hal. 136)
Sedangkan hak-hak al-Qur’an yang
sunnah hukumnya, contohnya:
1. Memperbanyak dalam membaca,
menghafalkan dan menghayatinya. Ini adalah salah satu bentuk merapatnya
hubungan seorang hamba dengan kitab Rabbnya. (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu
Syaikh, hal. 56). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan
keutamaan membaca al-Qur’an dalam sabdanya,
اقرؤوا القرآن فإنه يأتي يوم
القيامة شفيعا لأصحابه
“Bacalah al-Qur’an, sesungguhnya
dia akan menjadi syafa’at di hari kiamat bagi orang-orang yang membacanya.” (HR. Muslim, I/553 no. 804)
Dan masih banyak hadits-hadits
nabawi lainnya yang menceritakan keutamaan membaca kitabullah yang agung ini.
Menilik besarnya keutamaan membaca al-Qur’an para salaf sangat memperhatikan
hal itu, sebagai contoh: Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu senantiasa
mengkhatamkan al-Qur’an setiap delapan hari sekali, Tamim ad-Daary radhiyallahu ‘anhu seminggu sekali, dan al-Aswad bin
Yazid enam hari sekali. (Lihat: Fadhail al-Qur’an, karya
Ibnu Katsir, hal. 250-251)
2. Tentunya seorang muslim yang
menginginkan kebaikan di dunia dan di akheratnya tidak mencukupkan diri dengan
hanya membaca dan menghafal al-Qur’an saja, akan tetapi dia juga berusaha
semampunya untuk memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Sebab hal
itu akan melapangkan hatinya, mendatangkan rasa bahagia dan ketenangan jiwa,
serta membantu agar bisa mengamalkannya. Di antara faktor yang amat membantu
seorang muslim dalam memahami kitabullah, adalah kembali kepada kitab-kitab
tafsir di saat dia menemukan kesulitan. Tafsir Ibnu Katsir dan tafsir as-Sa’dy,
merupakan salah satu pilihan terbaik seorang muslim yang ingin menghayati isi
al-Qur’an. (Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah,
hal. 38)
Ibnul Qayim dengan sangat piawai
berpetuah, “Seandainya orang-orang tahu apa yang akan mereka petik jika mereka
membaca al-Qur’an dengan tadabbur (perenungan),
niscaya dia akan menyibukkan diri dengannya dan tidak mempedulikan urusan
lainnya. Di saat melewati suatu ayat, yang kebetulan dia sangat membutuhkannya
untuk mengobati sebuah penyakit yang bercokol di hatinya, dia akan
mengulang-ulanginya meskipun sampai seratus kali atau bahkan semalam suntuk.
Membaca al-Qur’an dengan penghayatan dan pemahaman lebih baik daripada
mengkhatamkan al-Qur’an tanpa merenungi dan memahami maknanya. Sebab tadabbur itu akan lebih bermanfaat untuk hati, lebih
menambah keimanan, serta seorang hamba bisa lebih merasakan manisnya
al-Qur’an.” (Miftah Daar as-Sa’adah, karya Ibnul Qayyim, I/553)
3. Mengajarkan al-Qur’an terhadap
kaum muslimin dan memasyarakatkannya. (Lihat: Ta’dzim Qadr ash-Shalah, II/693;
dan Qawa’id wa Fawa’id min al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Nadzim
Muhammad Sulthan, hal. 93) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghasung,
خيركم من تعلم القرآن وعلمه
“Orang yang paling baik di antara
kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Ketiga: Nasihat untuk
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
Nasihat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang
diterangkan oleh Imam al-Qurthuby tatkala beliau menafsirkan ayat: إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ “Jika mereka menunaikan
nasihat untuk Allah dan Rasul-Nya.” (QS. At-Taubah: 91)
Beliau berkata, “Nasihat untuk
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti: mempercayai
kenabiannya, senantiasa menaatinya di setiap perintah dan larangannya,
mencintai siapa yang mencintainya serta memusuhi siapa yang memusuhinya,
menghormatinya, mencintainya dan mencintai keluarganya, mengagungkannya serta
mengagungkan sunah-sunahnya dengan cara menghidupkannya tatkala dia padam,
mencari dan berusaha memahaminya, melindungi, menyebarkan dan mengajak umat
manusia untuk kembali kepadanya, serta berusaha untuk berakhlak dengan akhlak
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.” (Tafsir al-Qurthuby, VIII/210)
Jadi, nasihat untuk
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup berbagai hal,
antara lain:
1. Meyakini bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar utusan
Allah Ta’ala, dan beliau adalah Rasul yang jujur dan terpercaya,
tidak berdusta maupun didustakan. Juga beriman bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi yang paling
akhir yang merupakan penutup para nabi. Setiap ada yang mengaku-aku sebagai
nabi sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
dusta, palsu dan batil. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 137, Ad-Durar
as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 38, Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu
Syaikh, hal. 56)
2. Menaati perintahnya dan
menjauhi larangan. Allah menegaskan,
وما آتاكم الرسول فخذوه وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah dia; dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
3. Membenarkan berita-berita yang
beliau sampaikan, baik itu berupa berita-berita yang telah terjadi maupun yang
belum terjadi, karena hal itu adalah wahyu yang bersumber dari Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman di
dalam al-Qur’an,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى.
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya
itu, menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu
yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
4. Beribadah kepada Allah dengan
tata cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
tanpa ditambah-tambahi ataupun dikurangi. Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُول
الله أسوة حسنةِ
“Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Juga Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan,
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barang siapa yang melakukan
suatu amalan yang tidak sesuai dengan petunjukku, maka amalan itu akan
ditolak.” (HR.
Muslim, III/1344 no. 1718)
5. Meyakini bahwa apa yang
berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setingkat
dengan apa yang datang dari Allah Ta’ala dari segi
keharusan untuk mengamalkannya, karena apa yang disebutkan di dalam as-Sunnah,
serupa dengan apa yang disebutkan di dalam al-Qur’an. (Syarh
al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin,
hal. 138) Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ
أَطَاعَ اللَّهَ
“Barang siapa yang menaati Rasul
itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (QS. An-Nisa: 80)
6. Membela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau masih
hidup, dan membela ajarannya setelah beliau wafat. Dengan cara menghapal,
memahami dan mengamalkan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menghidupkan sunnahnya serta menyebarkannya di kalangan masyarakat.
7. Mendahulukan cinta kepadanya
dari cinta kepada selainnya. Suatu hari Umar bin Khattab shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Demi Allah
wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau benar-benar lebih aku cintai dari segala
sesuatu kecuali dari diriku sendiri!” Nabi pun menyahut, “Tidak demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai dari dirimu
sendiri!” Maka Umar berkata, “Adapun sekarang demi Allah engkau
betul-betul lebih aku cintai dari diriku sendiri!” Nabi pun bersabda, “Sekarang baru (engkau benar-benar mencintaiku).” (HR.
Bukhari no. 6632)
Akan tetapi, jangan sampai
dipahami bahwa cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
membawa kita untuk bersikap ghuluw (berlebih-lebihan),
sehingga mengangkat kedudukan beliau melebihi kedudukan yang Allah Ta’ala karuniakan kepada Nabi-Nya. Sebagaimana halnya
perbuatan sebagian orang yang mengarahkan ibadah-ibadah yang seharusnya
dipersembahkan untuk Allah Ta’ala, dia persembahkan
untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Contohnya: ber-istighatsah dan memohon kepadanya, meyakini bahwa
beliau mengetahui semua perkara-perkara yang ghaib, dan lain sebagainya.
Jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memperingatkan umatnya agar tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrim ini,
لا تطروني كما أطرت النصارى ابن
مريم, إنما أنا عبده, فقولوا: عبد الله ورسوله
“Janganlah kalian terlalu
berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana orang-orang Nashrani terlalu
berlebih-lebihan dalam memuji (Isa) bin Maryam; sesungguhnya aku hanyalah
hamba-Nya, maka ucapkanlah (bahwa aku): hamba Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari no. 3445)
8. Termasuk tanda mencintai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah mencintai orang-orang
yang dicintainya. Mereka antara lain: keluarga dan keturunannya (ahlul bait),
para sahabatnya (Asy-Syifa bita’rifi Huquq al-Mushthafa, karya al-Qadli
‘Iyadl, II/573; Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, III/407;
untuk pembahasan lebih luas silahkan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi fi
Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah
at-Tamimi, I/344-358), serta setiap orang yang mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga masih dalam kerangka
mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah
kewajiban untuk memusuhi setiap orang yang memusuhinya serta menjauhi orang
yang menyelisihi sunnahnya dan berbuat bid’ah. (Asy-Syifa bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, II/575, untuk
pembahasan lebih lanjut silakan lihat: Huquq an-Nabi ‘Ala Ummatihi,
I/359-361)
Keempat: Nasihat
untuk pemerintah kaum muslimin
Kata أَئِـمَّة (para pemimpin) jika di-ithlaq-kan (digeneralisir/ tidak dibatasi), maksudnya adalah
pemimpin dalam urusan pemerintahan (pemerintah), dan bukan pemimpin dalam ilmu
agama (ulama), karena demikianlah istilah yang telah berlaku. (Pembahasan
nasihat untuk pemerintah kaum muslimin dapat melihat dalam kitab Mu’amalah al-Hukkam
fi Dhaui al-Kitab wa as-Sunnah, karya
Syaikh Dr. Abdussalam bin Barjas)
Beda dengan kata waliyyul amr, yang sesungguhnya pada asalnya
berarti pemimpin tertinggi kaum muslimin; sebab waliyyul amr pada zaman khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar,
Utsman, dan Ali radhiyallahu
‘anhum) dan di zaman Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, mereka memadukan antara kepiawaian dalam mengurusi
perkara duniawi dengan pemahaman yang mumpuni terhadap agama. Adapun sesudah
zaman mereka, para ulama telah menjelaskan: bahwa waliyyul amr terdiri dari dua unsur; ulama dan umara
(pemerintah) masing-masing menangani hal-hal yang menjadi keahliannya.
Pemerintah menangani perkara-perkara duniawi kaum muslimin, sedangkan para
ulama, mereka menangani perkara agama umat manusia. Demikianlah ceritanya
bagaimana istilah waliyyul
amr kemudian dipakai untuk
ulama dan pemerintah, hal itu dikarenakan tampuk pemerintahan di zaman bani
Umayah dan bani Abbas dan era sesudah mereka, banyak dipegang oleh para raja
yang bukan ulama. (Syarh
al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh,
hal. 58)
Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bentuk nasihat kepada pemerintah,
“Membantu mereka dalam mengemban amanat yang dibebankan kepadanya, mengingatkan
mereka tatkala mereka lalai, menutupi kekurangan mereka tatkala keliru,
menyatukan kalimat di bawah kepemimpinan mereka, mendekatkan hati yang menjauh
dari mereka, dan merupakan nasihat yang paling agung bagi pemerintah melindungi
mereka dengan baik dari kezaliman.” (Fath al-Bary, I/138)
Jadi, nasihat untuk pemerintah kaum muslimin berarti: menunaikan hak-hak
mereka yang telah diterangkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam (Syarh al-Arba’in
an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh,
hal. 56), dan itu mencakup berbagai hal, antara lain (Lihat: Syarh al-Arba’in
an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin, hal. 140-143):
1. Meyakini kepemimpinan dan kepemerintahan mereka, barang siapa yang tidak
berkeyakinan demikian berarti dia belum dianggap menasihati pemerintah, karena
orang yang tidak meyakini bahwa mereka adalah pemerintah, tidak mungkin dia
akan mentaati perintah dan menjauhi larangan mereka. Maka kita harus meyakini
kepemimpinan pemerintah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من
مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
“Barang siapa yang mati dalam
keadaan tidak membai’at (pemerintah) mati sebagaimana matinya orang jahiliyah.” (HR. Muslim, III/1478 no. 1851).
Barang siapa yang berkuasa atas kaum muslimin, walaupun dengan cara
penaklukan (pemberontakan), dia tetap dianggap pemimpin, entah dia berasal dari
suku Quraisy maupun tidak.
2. Menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka di kalangan para rakyat, karena hal
tersebut akan menumbuhkan rasa cinta mereka terhadap pemerintah. Jika telah
mencintai pemerintah, niscaya mereka akan mudah untuk taat terhadap peraturan.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang diperbuat oleh sebagian orang
yang mempunyai hobi untuk menyebarkan aib-aib pemerintah dan menutup-nutupi
atau pura-pura lupa akan kebaikan mereka, ini betul-betul perbuatan zalim dan
ketidakadilan.
3. Menaati pemerintah baik dalam hal-hal yang diperintahkan maupun yang
dilarang, kecuali jika hal tersebut merupakan maksiat kepada Allah, sebab kita
tidak boleh menaati makhluk dalam hal yang dilarang oleh Khaliq. Perlu
diketahui bahwa menaati pemerintah adalah merupakan suatu bentuk ibadah, dan
bukan hanya sekedar untuk kepentingan politik. Dalilnya, Allah Ta’ala telah memerintahkan hal itu,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amr di antara kalian.” (QS. An-Nisa: 59)
Allah Ta’ala menjadikan hal itu dalam daftar
perintah-perintahnya, segala yang diperintahkan Allah Ta’ala adalah ibadah.
Perlu diingat bahwa bukan merupakan syarat ditaatinya pemerintah, sucinya
mereka dari noda-noda maksiyat. Akan tetapi taatilah mereka meskipun mereka
sendiri terjerumus ke dalam maksiyat, sebab kita diperintahkan untuk taat
kepada mereka meskipun mereka sendiri berbuat maksiyat. Taatilah mereka dalam
hal-hal yang tidak bertentangan dengan agama kita, adapun jika memerintahkan
hal-hal yang terlarang dalam agama, maka tidak perlu kita taati dalam hal itu
saja.
4. Berusaha menutupi aib-aib mereka semampunya. Bukan termasuk nasihat jika
kita membeberkan aib-aib mereka, karena itu hanya akan menjadikan hati rakyat
dipenuhi dengan rasa benci, dengki dan jengkel terhadap pemerintah. Jika hati
telah dipenuhi dengan penyakit-penyakit tersebut di atas, akibatnya yang akan
muncul adalah sikap durhaka. Bahkan mungkin pemberontakan terhadap pemerintah,
yang mana hal itu akan menimbulkan kerusakan dan keburukan yang Allah Maha
Mengetahuinya.
5. Nasihat tersebut harus disampaikan dengan lemah lembut dan kata-kata
yang sopan, karena rata-rata tipe pemerintah merasa berat untuk menerima
nasihat, kecuali jika disampaikan dengan penuh kelembutan. Sampai orang biasa
pun kebanyakan mereka susah menerima nasihat, kecuali jika disampaikan dengan
cara yang baik. Sebab jika nasihat itu disampaikan dengan kata-kata yang kasar,
niscaya akan menyebabkan ditolaknya nasihat, padahal kita menginginkan kebaikan
dari mereka. Di dalam wasiat Allah Ta’ala kepada nabi Musa dan Harun ‘alaihimassalam tatkala akan mendatangi raja Fir’aun yang lalim,
terdapat suri teladan yang bagus sekali untuk kita semua,
فَقُولا
لَهُ قَوْلاً لَيِّناً لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau
takut.” (QS. Thaha: 44)
6. Nasihat itu harus disampaikan kepada mereka secara sembunyi-sembunyi dan
tidak di depan umum; karena pada asalnya yang namanya nasihat -baik itu untuk
pemerintah maupun yang lainnya- harus disampaikan dengan sembunyi-sembunyi.
Beda halnya dengan al-inkar (pengingkaran) yang disebutkan dalam hadits Abi
Sa’id al-Khudry,
من
رآى منكم منكراً فليغيره بيده
“Barang siapa yang melihat
kemungkaran, hendaklah ia mengingkarinya dengan tangannya.” (HR. Muslim no. 49 dan 78), yang pada asalnya
pengingkaran itu dilakukan di depan umum. Adapun nasihat, maka pada asalnya
disampaikan secara sembunyi-sembunyi. Maksud dari menyampaikan nasihat kepada
pemerintah secara sembunyi-sembunyi adalah: penyampaian nasihat itu tidak
diketahui kecuali oleh orang yang menyampaikannya, serta dia tidak berusaha
menyebarluaskan kepada orang lain bahwa ia telah melakukan ini dan itu; sebab
justru hal itu mungkin akan merusak maksud dari nasihat tersebut, bahkan mungkin
malah menyebabkan si pemerintah enggan menerimanya, karena sudah terlanjur
tersebar bahwa sang pemerintah telah dinasihati, dan lain sebagainya. Etika
seperti ini telah diterangkan sejak empat belas abad yang lalu oleh panutan
kita shallallahu
‘alaihi wa sallam,
من
أراد أن ينصح لذي سلطان فلا يبده علانية, ولكن يأخذ بيده, فإن قبل منه فذاك, وإلا
كان قد أدى الذي عليه
“Barang siapa yang ingin
menyampaikan nasihat kepada penguasa, hendaknya jangan menyampaikannya di depan
umum, akan tetapi genggamlah tangannya dan menyendirilah dengannya. Jika ia mau
menerima nasihat tersebut, maka itulah (yang diharapkan); jika tidak, maka
sesungguhnya ia telah melaksanakan kewajibannya.” (HR. Ahmad, III/403 dan Ibnu Abi ‘Ashim, II/737 no. 1130, 1131.
Al-Haitsami dalam Majma’
az-Zawaid berkata, “Rijal-nya (para perawinya) tsiqat (terpercaya), dan sanad-nya muttashil (bersambung).” al-Albani
berkata, “Shahih.”)
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berusaha untuk menerapkan petuah beliau. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya, “Bolehkah aku mengingkari
(kesalahan) pemerintah di depan umum?” Beliau menjawab, “Jangan! Akan tetapi
sampaikanlah secara sembunyi-sembunyi” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, XV/75; al-Baihaqy dalam Syu’ab al-Iman, XIII/273; dan lain-lain, dishahihkan oleh Syaikh Dr.
Abdussalam bin Barjas dalam Mu’amalah al-Hukkam fi Dhaui
al-Kitab wa as-Sunnah, hal. 131)
Di dalam Shahih
Bukhari diceritakan, “Suatu saat
Usamah bin Zaid radhiyallahu
‘anhuma pernah didatangi oleh sekelompok
orang, lantas mereka berkata, “Nasihatilah Utsman!, tidakkah engkau melihat
kondisi kita saat ini?”. Beliaupun menjawab, “Adapun aku, demi Allah, tidak
ingin membuka pintu fitnah, sesungguhnya aku telah menasihatinya secara
sembunyi-sembunyi.” (HR. Bukhari no. 7098 dan Muslim, IV/2290)
Dalil-dalil tersebut di atas menunjukkan bahwa nasihat kepada pemerintah
harus disampaikan secara sembunyi-sembunyi. Jika ada yang berkata, “Mustahil
bisa masuk ke kantor presiden dan menyampaikan nasihat secara sembunyi-sembunyi
kepadanya?” Kita katakan, “Tulislah surat kepadanya, atau sampaikan nasihat
tersebut lewat orang dekatnya. Kalau tidak bisa juga, Allah Ta’ala telah berfirman,
لا
يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْساً إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang
kecuali dengan kesanggupannya.” (QS.
Al-Baqarah: 286) Jangan malah lantas menempuh jalan-jalan yang tidak
disyari’atkan di dalam agama kita!! (Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal. 57-58; untuk
pembahasan lebih luas silahkan lihat: Mu’amalah al-Hukkam fi Dhaui
al-Kitab wa as-Sunnah, hal. 103-132)
Jangan dipahami dari perkataan kita: menutupi aib, bahwa kita mendiamkan
aib tersebut, akan tetapi kita berusaha untuk menasihati mereka secara langsung
jika memungkinkan, atau dengan perantara orang-orang yang dekat dengan mereka,
entah itu ulama ataupun orang yang memiliki kedudukan. Dan ini hukumnya fardhu kifayah, jika sebagian ulama atau yang semisal mereka telah
melakukannya, maka kewajiban tersebut akan jatuh dari umat yang lain.
Kemudian perlu diketahui bersama, bahwa menasihati pemerintah ada etikanya
tersendiri, antara lain:
1. Tidak melakukan kudeta atau pemberontakan terhadap pemerintah, walaupun
mereka kolusi, korupsi, nepotisme, atau berbuat maksiat lainnya. Imam an-Nawawi
menjelaskan, “Adapun memberontak dan memerangi pemerintah, maka hal itu
termasuk perbuatan yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin, meskipun pemerintah
tersebut fasik dan zalim. Banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan hal
tersebut. Ahlus sunnah telah berijma’ bahwa kekuasaan pemerintah tidak dicabut
dari mereka (hanya) dengan kefasikan mereka.” (Syarh Shahih Muslim, XI-XII/432, hadits no. 432)
2. Jika penguasa berbuat kekufuran, maka: a) perbuatan kekufuran itu
benar-benar nyata dan tampak dari si penguasa, bukan hanya berdasarkan kabar
burung; b) ada dalil yang jelas bahwa perbuatan itu betul-betul perbuatan
kufur, dan bukan termasuk perkara yang diperselisihkan kekufurannya oleh para
ulama; c) menegakkan hujjah (menerangkan dalil-dalil kekufuran perbuatan yang
penguasa kerjakan, sampai dia betul-betul mengerti bahwa yang dia perbuat
adalah kekufuran, hingga tidak tersisa sama sekali syubhat-syubhat di kepala dia).
3. Rakyat yang berkudeta harus memiliki kekuatan dan kemampuan yang memadai
untuk menggulingkan penguasa yang ada, serta menggantinya dengan seorang
muslim. (Lihat: Fath
al-Bary, XIII/9)
4. Kudeta tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada
kerusakan tetap berkuasanya penguasa yang kafir tersebut. Entah kerusakan itu
berbentuk melayangnya nyawa orang-orang yang tidak berdosa, pelecehan terhadap
kehormatan wanita, ataupun kerusakan-kerusakan lainnya. “Barangkali tidak
pernah dikenal dalam sejarah, setiap terjadi kudeta, melainkan selalu
menimbulkan kerusakan yang lebih parah daripada kerusakan yang dimaksudkan
untuk dihilangkan.” (Minhaj
as-Sunnah, karya Ibnu Taimiyah,
III/391; Syarh Syaikh Ibrahim ar-Ruhaily terhadap Riyadhush
Shalihin, dalam bentuk kaset)
Banyak orang mengira bahwa larangan untuk kudeta itu semata-mata hanya
untuk maslahat pemerintah saja. Tentunya ini suatu anggapan yang keliru.
Sebenarnya yang pertama kali akan merasakan faedah dari larangan berontak
adalah rakyat sendiri. Betapa banyak kekacauan dan huru-hara yang ditimbulkan
akibat kudeta, belum lagi jatuhnya ribuan korban jiwa yang tidak berdosa.
Tentunya masih segar dalam ingatan kita, situasi carut marut yang pernah
dialami tanah air kita, tatkala sebagian orang ‘mengumandangkan lagu reformasi’,
beberapa tahun yang silam. Saat itu rakyat hidup dalam ketakutan yang mencekam,
situasi ekonomi, sosial dan politik tidak menentu dan masih banyak
kerugian-kerugian lain yang kita alami saat itu. Jadi sebenarnya Islam melarang
kudeta atau pemberontakan adalah demi maslahat rakyat, pemerintah dan negeri
secara keseluruhan, bukan semata-mata untuk kepentingan sebagian pihak.
Barangkali bisa dikatakan bahwa tujuan larangan ini antara lain -sebagaimana
dalam istilah Jawa-, dalam rangka mewujudkan negara yang gemah ripah loh
jinawi toto tentrem kerto raharjo (makmur, serba banyak, subur, tertata, tentram, bahagia dan
sejahtera).
Senada dengan perkataan Imam Nawawi, penjelasan al-Hafidz Ibnu Hajar
al-Asqalani, tatkala menukil perkataan Ibnu Baththal, “Di dalam hadits ini
(Maksudnya hadits no. 7054 yang berbunyi, “Barang siapa yang melihat dari
pemerintahnya sesuatu yang ia benci, hendaklah bersabar. Karena barang siapa
yang memisahkan dari jama’ah kaum muslimin satu jengkal saja kemudian ia mati,
niscaya ia mati sebagaimana matinya orang jahiliyah”) terdapat dalil tentang dilarangnya memberontak
kepada penguasa meskipun mereka bertindak lalim. Para fuqaha’ (ahli fiqih) telah berijma’ tentang wajibnya menaati as-sulthan
al-mutaghallib (penguasa yang berhasil
merebut kekuasaan pemerintah sebelumnya) juga wajibnya jihad bersama mereka.
Taat kepada mereka lebih baik daripada melakukan kudeta; karena dengan itu
jatuhnya korban jiwa dapat terhindari, serta rakyat akan hidup aman dan
tenteram. Para fuqaha dalam hal ini berdalilkan dengan hadits ini dan
hadits-hadits lain yang semisal, mereka sama sekali tidak memberikan dispensasi
dalam masalah ini kecuali jika penguasa melakukan kekufuran yang nyata.” (Fath al-Bary, XIII/9)
Di antara hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan prinsip ini,
من
ولي عليه والٍ فرآه يأتي شيئاً من معصية الله, فليكره ما يأتي من معصية الله, فلا
ينـزعن يداً من طاعة
“Barang siapa yang dipimpin oleh
seorang penguasa, kemudian ia melihatnya berbuat maksiat, hendaknya membenci
perbuatan maksiat tersebut, tapi janganlah hal itu menyebabkan dia tidak
menaatinya)” (HR. Muslim no. 1855)
Juga tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya bagaimana menyikapi pemerintah yang
tidak menunaikan hak-hak rakyatnya, Beliau menjawab,
أدوا
الحق الذي عليكم, وسلوا الله الذي لكم
“Tunaikanlah kewajiban kalian,
dan mintalah hak kalian kepada Allah.” (HR. Bukhari no. 7054 dan Muslim no. 1843)
Adakah penjelasan yang lebih jelas dari dua mutiara nabawi tersebut di
atas?
Kemudian, di akhir keterangan Ibnu Baththal tersebut di atas, telah
disinggung kapan bolehnya kudeta terhadap pemerintah, yakni di saat mereka
melakukan perbuatan kufur yang nyata. Hal itu berlandaskan hadits shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang diriwayatkan oleh
‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu
‘anhu,
بايعنا
رسول الله على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا
ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفراً بَواحاً عندكم من الله فيه برهان
“Kami telah berbai’at kepada
Rasulullah untuk selalu mendengar dan mentaati (pemerintah), baik itu di saat
kami semangat maupun di saat kami tidak suka, baik di saat kita dalam keadaan
susah maupun senang, ataupun di saat mereka bernepotisme. Juga tidak memberontak
kepada pemerintah, kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata di dalam
diri mereka, berlandaskan dalil yang meyakinkan (bahwa perbuatan itu adalah
perbuatan kufur).”
(Bai’at adalah: perjanjian antara umat dengan nabi atau penguasa untuk
selalu mendengar dan ta’at. Syarh Syaikh Ibrahim ar-Ruhaily terhadap Riyadhush
Shalihin, dalam bentuk kaset)
Di dalam hadits ini dan hadits-hadits lain terdapat patokan-patokan yang
jelas kapan seorang rakyat boleh berkudeta.
5. Mendoakan kebaikan untuk
mereka. Imam Ahmad bin Hanbal
berkata, “Seandainya aku hanya memiliki satu doa saja yang dikabulkan oleh
Allah ta’ala, niscaya akan kutujukan kepada pemerintah.” (Hilyah al-Auliya’, karya Abu Nu’aim, VIII/91)
Kami rasa perlu juga disebutkan di makalah ini, bentuk nasihat terhadap
ulama, karena sebagian kitab-kitab yang menjelaskan kitab al-Arbain
an-Nawawiyah ini juga menerangkan di
dalamnya bentuk nasihat terhadap ulama. Sebelum lebih lanjut memasuki
pembahasan ini, perlu diterangkan siapa sebenarnya ulama yang dimaksud dalam
pembahasan kita ini? Mereka adalah para ulama yang Rabbani, yaitu yang mewarisi
ilmu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ibadahnya, akhlaknya, serta
metode dakwahnya. (Syarh
al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin, hal. 138)
Adapun nasihat
untuk ulama tersebut di atas, adalah
berupa:
Pertama: Mencintai mereka, karena jika kita tidak
mencintai seseorang, tidak mungkin kita akan meneladaninya.
Kedua: Membantu mereka dalam menerangkan al-haq, dengan
cara menyebarluaskan buku-buku mereka dengan berbagai macam media yang
memungkinkan.
Ketiga: Berusaha untuk membela kehormatan mereka. Jika
ada seseorang yang menisbatkan suatu perkara yang buruk kepada mereka, maka
sikap kita adalah:
1) Tatsabbut (klarifikasi/memastikan) kebenaran penisbatan
perkara tersebut kepadanya. Betapa banyak hal-hal yang dinisbatkan kepada
seorang alim, padahalnya sebenarnya hal itu adalah dusta. Jika hal itu benar,
maka kita akan memasuki langkah selanjutnya, yaitu:
2) Meneliti dengan cermat apakah hal itu merupakan sesuatu yang perlu
dikritik?. Karena betapa banyak perkara yang pada awalnya kita kira salah,
setelah lebih kita dalami ternyata hal itu adalah haq.
3) Jika ternyata hal itu bukan termasuk perkara yang perlu dikritik, maka
kewajiban kita selanjutnya adalah: membela mereka dan menyebarluaskan kenyataan
yang benar di antara umat, serta kita terangkan kepada mereka bahwa ‘alim ini
berada di atas kebenaran, meskipun menyelisihi apa yang diperbuat oleh
kebanyakan orang.
4) Jika setelah kita perdalam ternyata hal itu termasuk yang perlu
dikritik, dan benar penisbatannya kepada ‘alim itu, maka kewajiban kita adalah:
berusaha menghubunginya dengan penuh adab dan penghormatan, sambil berkata,
“Kami mendengar ini dan itu tentang antum, maka kami ingin mengetahui duduk
sisi perkara tersebut, karena antum lebih ‘alim dari kami.” Jika dia
menerangkan permasalahan tersebut, maka kita berhak untuk berdiskusi dengannya,
tentunya dengan adab dan penuh penghormatan, sesuai dengan kedudukannya, dan
sesuai dengan hal yang pantas untuknya. Hal ini amat bertolak belakang dengan
yang diperbuat oleh sebagian orang, tatkala mereka mendatangi seorang ‘alim
yang menyelisihi pendapatnya, mereka datang dengan kasar dan keras, malah
barangkali memukul wajah sang ‘alim sembari berkata, “Mengapa kamu buat
perkataan yang baru ini?!” “Mengapa kamu mengatakan pendapat yang mungkar ini?”
“Apakah kamu tidak takut kepada Allah?!” Kemudian setelah mencermati duduk
perkaranya, ternyata justru perkataan sang ‘alim tersebut yang sesuai dengan
hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan merekalah yang
menyelisihinya. Kebanyakan kasus ini terjadi disebabkan kekaguman mereka
terhadap diri mereka sendiri, dan perasaan bahwa merekalah yang ahlus sunnah,
merekalah yang berada di atas manhaj salaf. Padahal kenyataannya mereka adalah orang
yang paling jauh dari jalan salaf dan sunnah. Orang jika mengagumi dirinya
sendiri -semoga Allah melindungi kita dari penyakit ini- dia akan memandang
orang lain bagaikan seekor semut kecil. Hati-hatilah dari perkara ini!
Keempat: Jika kita melihat suatu kesalahan dalam diri seorang
ulama, janganlah kita mendiamkannya dengan alasan bahwa beliau lebih tahu
permasalahan dari kita. Akan tetapi diskusikanlah perkara tersebut dengan penuh
adab dan penghormatan. Karena terkadang seorang manusia tidak mengetahui suatu
hukum, jika diperingatkan oleh orang lain yang notabene berada di bawahnya
dalam tingkatan ilmu, dia akan tersadar. Perhatikanlah, ini merupakan salah
satu bentuk nasihat terhadap ulama.
Kelima: Memberikan informasi kepada para ulama tentang
permasalahan seputar mendakwahi umat, yang bisa membawa kebaikan. Jika kita
melihat seorang ulama amat bersemangat dalam berdakwah, selalu menasihati umat
di segala waktu dan tempat, sehingga masyarakat merasa jenuh dan berkata,
“Ulama itu telah memberatkan kita”, maka merupakan salah satu bentuk realisasi
nasihat terhadap ulama, kita beritahukan kepadanya, “Hendaklah berbicara sesuai
dengan situasi dan kondisi”. Dan ini sama sekali tidak termasuk usaha untuk menghalangi
penyebarluasan ilmu, bahkan ini salah satu usaha untuk melestarikan ilmu,
karena jika masyarakat merasa jenuh, akibatnya mereka akan bosan terhadap ulama
dan ceramah-ceramahnya. Oleh karena itu kita dapatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak terlalu memperbanyak
nasihat-nasihatnya kepada para sahabat, karena ditakutkan akan membuat mereka
merasa bosan (HR. Bukhari, no. 68). Padahal untaian kata-kata beliau dicintai
oleh mereka. Seyogyanya dalam bersikap dengan masyarakat, kita bagaikan seorang
penggembala; memilih hal-hal yang bermanfaat dan berguna bagi mereka.
Kelima: Nasihat untuk
kaum muslimin
Imam an-Nawawy menguraikan penjelasan tentang nasihat untuk kaum muslimin
dengan perkataannya, “Memberikan petunjuk kepada mereka terhadap hal-hal yang
membawa kebaikan dalam perkara duniawi dan ukhrawi. Tidak menyakiti mereka.
Mengajari hal-hal agama yang belum mereka ketahui. Membantu mereka dengan
perkataan dan perbuatan. Menutupi aurat dan kekurangan mereka. Melindungi
mereka dari marabahaya, serta berusaha mendatangkan manfaat. Menyuruh mereka
terhadap kebaikan dan mencegah dari kemungkaran dengan lemah lembut dan penuh
keikhlasan. Menaruh belas kasihan kepada mereka. Menghormati yang tua dan
menyayangi yang muda. Menyampaikan nasihat yang baik kepada mereka, juga tidak
iri atau menipu mereka. Senang mendatangkan kebaikan untuk mereka, sebagaimana
kita senang mendatangkannya untuk diri sendiri, juga membenci tertimpanya
mereka dengan keburukan, sebagaimana kita benci jika kita tertimpa keburukan.
Melindungi harta, kehormatan serta keadaan mereka yang lain dengan ucapan dan
perkataan kita. Menghasung mereka untuk berakhlak dengan hal-hal yang telah
kita sebutkan. Menggugah semangat mereka untuk melakukan ketaatan kepada Allah.
Sampai-sampai sebagian salaf rela mengorbankan kepentingan duniawinya, demi
tersampaikannya nasihat kepada kaum muslimin.” (Syarh Shahih Muslim, I/239)
Dan nasihat itu tidak terbatas hanya untuk umat Islam saja, akan tetapi
juga harus disampaikan kepada golongan non muslim. Panutan kita
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, selalu menasihati kaumnya yang
notabene orang-orang musyrik. Beliau mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki
untuk menyelamatkan mereka dari kegelapan syirik dan paganisme (pemujaan
terhadap berhala), hingga beliau menghadapi cobaan dan siksaan yang bertubi-tubi
tatkala meniti jalan tersebut. (Qawa’id wa Fawa’id, hal. 94)
Beberapa pelajaran yang dapat
dipetik dari hadits ini (Lihat: Syarh al-Arba’in, oleh Syaikh al-Utsaimin,
hal. 143-145):
1) Pentingnya menyampaikan nasihat dalam lima perkara tersebut di atas,
sebab Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjadikannya sebagai
agama.
2) Metode pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang amat bagus, tatkala memulainya dengan
sesuatu yang global, kemudian setelah itu menyampaikannya secara terperinci.
3) Semangat para sahabat dalam menuntut ilmu, mereka selalu menanyakan
setiap hal yang dibutuhkan umat.
4) Memulai segala sesuatu dari hal yang paling penting kemudian yang
penting. Ini ditunjukkan tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan menerangkan nasihat untuk Allah,
kemudian untuk al-Qur’an, untuk Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk pemerintah, ditutup dengan nasihat untuk kaum
muslimin. Al-Qur’an didahulukan atas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena al-Qur’an akan kekal; adapun Rasul, maka ia
meninggal. Dan itu tidak menutupi adanya kaitan yang amat erat antara nasihat
untuk Rasul dengan nasihat untuk al-Qur’an. Sebab barang siapa yang menunaikan
nasihat untuk al-Qur’an berarti ia telah menunaikannya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, demikian sebaliknya.
4) Hadits ini mengisyaratkan keharusan dipimpinnya suatu komunitas muslim
oleh seorang pemimpin.
[Selesai]
***
Purbalingga, Jumat 17 Jumadal Ula 1426
Penulis: Ustadz Abdullah
Zaen, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/264-agama-adalah-nasihat-3.html
Copyright © 2025 muslim.or.id