Selasa, 12 Maret 2024

MENGAPA RUKYATUL HILAL BERBEDA-BEDA.

 


 

Kenapa kita harus mengikuti negri kita masing-masing.

Hadits berikut ini semoga bisa menjadi jawaban bagi orang-orang yang menghendaki dalil, dan merindukan kebenaran.

Telah menceritakan kepadaku Muhammad (yakni Ibnu abi Harmalah) dari Kuraib dia berkata:

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ، قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ، فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا، وَاسْتَهَلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ، فَرَأَيْنَا الْهِلالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ، فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ، فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا، وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ، فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكَمِّلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ: أَوَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ: «لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

“Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam (dalam satu keperluan). Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, kemudian aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku bulan (hilal) Ramadhan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadhan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku ia menyebutkan tentang hilal, ia bertanya: “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan) ?.”

Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at.”

Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?”

Jawabku : “Ya,  Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka berpuasa dan Mu’awiyah juga berpuasa.”

Ia berkata : “Tetapi kami melihatnya (di Madinah) pada malam Sabtu, maka kami akan terus berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal).“ Aku bertanya : “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (apa yang di lihat penduduk Syam) dan puasanya Mu’awiyah ?

Jawabnya : “Tidak ! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami.” ( HR. Muslim 1087, Ahmad 2789, Tirmidzi 693, Baihaqi 8205, Darukuthni 2211).

Hadits ini tidak diragukan lagi keshahihannya oleh pakar hadits.

 

Imam Muslim membuat Bab.

باب بيان أن لكل بلد رؤيتهم وأنهم إذا رأوا الهلال ببلد لا يثبت حكمه لما بعد عنهم.

Berkata penulis rahimahullah ta’ala, Bab “Penjelasan setiap negri mereka memiliki rukyah, apa bila mereka melihat hilal pada satu negri, tidak berlaku hukumnya bagi negri yang jauh dari mereka,”

Maksudnya negri yang jauh dari mereka tidak diwajibkan dengan mengikuti rukyahnya.”

يقول الإمام النووي رحمه الله: (حديث كريب وابن عباس ظاهر الدلالة للترجمة، يعني: أن لكل بلد رؤيتهم، وأنهم إذا رأوا الهلال ببلد لا يثبت حكمه لما بعد عنهم) وأنا أؤكد على قوله: (لما بعد عنهم)؛ لأن المذهب الراجح الذي يترجح لدينا: هو أن أهل بلد إذا رأوا الهلال لا يثبت حكمه لمن اختلفوا معهم في الليل والنهار.

قال: (والصحيح عند أصحابنا -أي: عند الشافعية- أن الرؤية لا تعم الناس) يعني: المذهب الراجح عند الشافعية أن الرؤية لا تعم الناس، بل تختص بمن قرب.

Berkata imam Nawawi rahimahullah, “ Hadits Kuraib dan Ibnu Abbas ini, Nampak dalil penjelasannya, yaitu, bahwasanya setiap negri mereka memiliki rukyah, bahwasanya apa bila mereka melihat hilal pada satu negri tidak mengharuskan negri lain mengikuti hukumnya bila jauh dari mereka.”

Abul Asybal Hasan Az-zhuhairi (pensyarah hadits ini) berkata:

Aku menguatkan perkataanya, “ negri yang jauh dari mereka” karena pendapat yang kuat yang kami pegangi bahwasanya penduduk negri apabila mereka telah melihat hilal, tidak berlaku hukumnya bila telah berbeda siang dan malamnya.”

Beliau berkata, “yang benar menurut sahabat-sahabat kami, (menurut pengikut imam Syafi’i), bahwa rukyah tidak untuk seluruh manusia.

Maksudnya  pendapat yang rajih menurut pengikut imam Syafi’i bahwasanya rukyah tidak untuk manusia seluruhnya secara umum, akan tetapi khusus bagi yang dekat.” (Syarah Imam Muslim, Abul Asybal Hasan Az-zhuhair).

Diantara penjelasan yang bisa kita ambil dari hadits ini:

1.   Perkataan Ibnu Abbas, “Tetapi kami melihatnya pada malam sabtu.” Maksudnya, penduduk Madinah melihat hilal Ramadhan pada malam Sabtu, sehari sesudah penduduk Syam yang melihatnya pada malam Jum’at.

Maka Ibnu Abbas berkata, “Senantiasa kami akan berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari”, maksudnya : Kami terus berpuasa, jika hilal tertutup awan dan tidak terlihat oleh kami hilal Syawwal, sehingga kami sempurnakan bilangan Ramadhan menjadi tiga puluh hari, hal ini sebagaimana diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَصُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ ثَلَاثِينَ.

“Apabila kamu melihat hilal (Ramadhan) maka puasalah, dan apabila kamu melihat hilal (yang mendai masuknya bulan Syawwal) maka berbukalah, tetapi jika awan menutup kalian, maka berpuasalah tiga puluh hari.” (HR. Muslim 1080, Ahmad 10451).

2.   Perkatan Kuraib “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (apa yang di lihat penduduk Syam) dan puasanya Mu’awiyah ? pertanyaan Kuraib ini sebagaimana pertanyaan umat saat ini, apakah tidak cukup dengan Rukyahnya (melihat hilalnya) salah satu negri yang sudah melihat hilal, atau Saudi yang sudah melihat hilal.

 

3.   Ibnu Abbas menjawab: “Tidak ! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami.”

Ini menunjukkan Sunnah ini datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun orang yang meninggalkan rukyah dan tidak menerima perbedaan mathla’ mereka menuduh Ibnu Abbas ini berdusta dan mengalihkannya dengan anggapan ijtiad beliau, tentu pendapat seperti ini tidak benar, karena beliau adalah ulama umat ini.

Adapun pendapat imam As-Syaukani (rahimahullah) di dalam Nailul Autar, itu ijtihad beliau, yang mengatakan, Ibnu Abbas telah berijtiad, telah dijelaskan para ulama bahwa itu tidak benar.

 

Dari jarak Indonesia dengan Arab Saudi tentu lebih bisa dimaklumi adanya perbedaan, yang perlu diketahui bahwa permulaan tangal atau hari dimulai dari matahari terbenam, sehingga Indonesia waktunya lebih dulu dari Saudi dengan selisih hampir 5 jam, seandainya kita samakan harinya justru kita telah mendahului mereka. Oleh karena mengikuti mereka yaitu berada dibelakang waktu mereka. Allahu ‘alam bis shawab.

 

 

-----000-----

 

 

 

Sragen 13-03-2023

Junaedi Abdullah.

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUHASABATUN NAFS.

KOREKSI DIRI DAN ISTIQAMAH SETELAH RAMADHAN. Apakah kita yakin bahwa amal kita pasti diterima..?, kita hanya bisa berharap semoga Allah mene...