Perlu diketahui bahwa pelaksanaan qurban adalah ibadah yang sifatnya tauqifiyah (yaitu mengikuti sesui petunjuk dalil), oleh karena itu siapapun yang terlibat di dalamnya hendaknya memperhatikan berikut:
1. Hendaknya ikhlas
karena Allah.
Allah ta’ala
berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ
لَهُ الدِّينَ.
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus,..” (QS.Al-Bayinah[98]:5)
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ
ما نَوَى
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap
orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan..” (HR. Bukhari 1 Muslim 1907).
Karena hakekatnya mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga telah mentaati Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah berfirman:
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ..
“Barangsiapa taat kepada Rasul sesungguhnya dia telah taat
kepada Allah.” (QS.An-Nisa[4]:80).
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا
وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ :
نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا.
“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk
mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan
jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin).
Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal.
Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami
sendiri.” (HR. Bukhari 1707, Muslim 1317).
Di dalam menjelaskan
hadits ini, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
وأن
لاَ يُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا لِأَنَّ عَطِيَّتَهُ عِوَضٌ عَنْ عَمَلِهِ
فَيَكُونُ فِي مَعْنَى بَيْعِ جُزْءٍ مِنْهَا وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ وَفِيهِ
جَوَازُ الِاسْتِئْجَارِ عَلَى النَّحْرِ وَنَحْوِهِ
“Tukang jagal (atau
siapapun yang berkecimpung dalam penyembelihan) tidak boleh diberi upah dari
hewan qurban, karena upah tersebut merupakan ganti dari pekerjaannya, maka yang
demikian sama halnya dengan menjual bagian dari hewan qurban tersebut, demikian
itu tidak boleh, dibolehkan memberi upah (berupa uang) kepada penyembelih atau semisalnya
(siapapun yang terlibat().” (Sharh Shahih Muslim, jilid 9, hal. 65,
Maktabah Islamiyah).
Juga tidak mengupah panitia dengan kulit, karena hal ini juga
dilarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا.
“(Ali Radhiallahu ‘anhu berkata…)
Dan kami memberikan sedekah dagingnya, dan kulitnya…” (HR. Bukhari 1707, Muslim
1317).
Berkata Ibnu
Daqiqil’id berkata:
وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْجُلُودَ تَجْرِي مَجْرَى اللَّحْمِ
فِي التَّصَدُّقِ؛ لِأَنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ مَا يُنْتَفَعُ بِهِ. فَحُكْمُهَا
حُكْمُهُ..
“Ini menunjukkan bahwasanya kulit berlaku sebagaimana diperlakukannya daging dalam mensedekahkan, hal ini karena termasuk apa yang dimanfaatkan dengannya, maka hukumnya sama dengan hukum daging tersebut.” ( Ihkam Al-Ihkami, Syahu ‘Umdatu Al-Ahkam Jus 2 hal 82).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ
أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Orang yang
menjual kulit hewan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR Al-Baihaqi
19233, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 6118).
Maksudnya, Orang yang berqurban tidak mendapatkan balasan apa
yang dijanjikan atas qurbannya, oleh karena itu menjual kulitnya hukumnya
haram. ( Ath-Taisir bi Syarhi Al-Jami’I Ash-Shagir Juz 2, Hal 407, Zainudin
Muhammad).
Oleh karena itu apabila shahibul qurban memang ingin memberi
upah kepada panitia, karena kurangnya personil agar upah jasa tersebut
disisihkan dari uang yang lain, bukan dari bagian daging yang diqurbankan.
Dalam kondisi ini, panitia kurban diperlakukan sama seperti
masyarakat umumnya yang juga berhak memperoleh bagian sedekah dari hewan kurban
tersebut.
Demikian pula mengambil sedikit dengan kerelaan shahibul
qurban atau yang diamanahi (panitia), untuk dimakan masyarakat, baik panitia
maupun bukan hal itu menurut sebagaian ulama dibolehkan. Dan masuk katagori
hadiah.
Fatwa lajnah daimah ketika ditanya tentang masyarakat
pedalaman yang mereka berqurban tidak dibagi-bagikan tetapi dimasak dan dimakan
bersama-sama.
Mereka menjawab, “Diperbolehkan mereka membagi-bagikannya di
kalangan mereka sebelum atau sesudah dimasak untuk dishadaqahkan.” (Lajnah
Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, Fatwa No. 3055 dengan sedikit diringkas).
Secara umum yang paling mudah dipahami perbedaan antara
hadiah atau sedekah dengan upah diantaranya:
1)
Hadiah tidak mengikat, baik waktu maupun jumlah,
sedangkan upah mengikat.
2)
Hadiah sifatnya kerelaan, upah sifatnya ketentuan yang
telah ditentukan.
3)
Hadiah tidak ada tuntutan baik dunia maupun akhirat
sedangkan upah bisa dituntut dunia akhirat.
4)
Hadiah bisa disebabkan tugas yang dilakukan atau tidak,
sedangkan upah sebagai ganti dari tugas yang dilakukan.
5)
Hadiah bisa berupa apa saja, bisa kaos seragam, jaket, uang dan laiinya, sedangkan upah sesuai
persetujuan kesepakatan.
Jika panitia menghendaki imbalan daging dan menolak diberi
uang maka ini menunjukkan upah. Demikianlah semoga bisa bermanfaat.
-----000-----
Sragen
27-05-2-24
Junaedi
Abdullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar