Rabu, 20 Desember 2023

DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM.

DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM.

Dari jaman kejaman manusia adalah makhluk sosial, mereka saling bahu-membahu dan tolong-menolong, tidak terkecuali mereka juga membutuhkan kepemimpinan di dalam menggerakkan peradaban mereka dan mengatur urusan-urusan mereka.

1.   Asal-muasal demokrasi.

Demokrasi muncul pada tahun 507-508 sebelum Masehi, yang dipimpin oleh Cleisthenes di negara Athena.(Wikipedia).

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu 'Demos' dan 'Kratos' yang memiliki arti kekuasaan rakyat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya menentukan pilihannya, baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu dengan perantara wakilnya yang terpilih.

Demokrasi mengusung dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, sehingga hukum dan kedaulatan berada di tangan rakyat.

2.   Demokrasi dalam pandangan islam.

Demokrasi apabila diukur dengan kaca mata syari’at islam akan tampak kelemahannya:

1)   Demokrasi akan menyamaratakan jenis manusia, seorang alim akan sama dengan orang jahil, orang ta’at akan disamakan dengan orang fasik. Orang beriman kan didamakan dengan orang kafir, bahkan tidak sedikt orang yang gila pun diambil suaranya.

2)   Maka jelas orang-orang yang fasiq, kafir dan musyrik tentu lebih banyak dibanding yang alim ta’at dan beriman.

Belum lagi mereka dengan segala cara membeli suara-suara masyarakat dengan menyuap mereka, dan berusaha merebut kekuasaan dengan segala cara, ini akan memakmurkan suap menyuap pada sebuah masyarakat.

Dari Abdullah bin 'Amr, dia menceritakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي.

"Laknat Allah subhanahu wa ta’ala kepada pemberi suap dan penerima suap." (HR Ahmad).



Setelah yang buruk mendominasi (memenangkan) karena jumlahnya lebih banyak, suara orang-orang yang baik akan kalah dan tenggelam.

3)   Kemudian yang buruk ini akan menentukan arah hukum karena yang diambil adalah suara terbanyak.

Maka dengan demikian landasan hukumnya tidak merujuk kepada Allah ta’ala, tapi kepada rakyat dan para wakilnya. Patokannya membuat hukum tidak mengharuskan kesepakatan semua mereka, tapi suara terbanyak.

Kesepakatan mayoritas akan menjadi UU yang wajib dipegang masyarakat walaupun bertentangan dengan etika, fitrah, akal  dan agama.

Dengan system demokrasi inilah banyak sumber berbagai hukum yang tidak benar dibangun.

Membolehkan riba (bunga bank), mengijinkan lokalisasi pelacuran, bahkan mereka menghalalkan perkawinan sesama jenis, produk miras, hukum-hukum syari’at yang bertentangan dengan konstitusi harus di tinggalkan, dengan kata lain wajib menjunjung tinggi hukum yang di buat manusia tersebut dan memerangi siapapun yang bertentangan dengannya meskipun seseorang yang ta’at beragama.

Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam KitabNya, bahwa penetap hukum hanyalah Dia semata, Dialah sebaik-baik yang menetapkan hukum. Dilarang menyekutukannya dalam menetapkan hukum dan Dia mengabarkan bahwa tidak ada seorang pun yang lebih baik hukumnya dariNya.

Allah Ta’ala berfirman,

فَالْحُكْمُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِير.

“Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Ghofir[40]: 12).

Allah ta’ala berfirman,

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ.

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS.Yusuf [12]: 40.

Allah Ta’ala berfirman,

“Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya?.” SQ. At-Tin : 8.

وَلا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَداً.

“Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan". (QS. Al-Kahfi [18]: 26).

 أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ.

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?.” (QS. Al-Maidah[5]: 50).

Akan tetapi perlu diketahui bahwa berhukum dengan selain hukum Allah ada dua :

1.   Menghalalkan hukum selain hukum Allah dan meyakini bahwa syariat Islam tidak layak diterapkan selamanya.

2.   Meyakini bahwa syariat Islam layak diterapkan dan sudah sempurna. Akan tetapi keputusan terakhir bukan di tangannya dan bukan pula di bawah kuasa seseorang, perumpamaannya seperti seorang muslim yang melakukan maksiat tanpa menghalalkannya. Seperti orang yang minum khamar, ia meyakini bahwa perbuatan itu adalah maksiat, akan tetapi ia telah dikuasai syahwat. Keadaannya tentu berbeda dengan orang yang meyakini khamar halal tidak terlarang sekalipun ia tidak meminumnya, atau tidak meyakini wajibnya shalat lima waktu, orang seperti ini dihukumi kafir.

Kami tegaskan bahwa masalah pengkafiran orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah ada perinciannya. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir atas penguasa atau hakim yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak sehingga mengetahui keadaan dan kondisinya dalam masalah ini.

 

Persoalan kedua : Kendati ayat menyatakan :

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah[5] : 44).

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ.

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang DZOLIM” (QS. Al-Maidah[5] : 44).

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq” (QS. Al-Maidah[5] : 44).

{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ }  قَالَ: هِيَ بِهِ كُفرٌ -قَالَ ابْنُ طَاوُسٍ: وَلَيْسَ كَمَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ.

IbnuTawus mengatakan, yang dimaksud dengan kafir dalam ayat ini bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.

وَقَالَ الثَّوْرِيُّ، عَنِ ابْنِ جُرَيْج  عَنْ عَطَاءٍ أَنَّهُ قَالَ: كُفْرٌ دُونَ كُفْرٍ، وَظُلْمٌ دُونَ ظُلْمٍ، وَفِسْقٌ دُونَ فِسْقٍ. رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Ata yang telah mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan kafir ialah masih di bawah kekafiran (bukan kafir sungguhan), dan zalim ialah masih di bawah kezaliman, serta fasik ialah masih di bawah kefasikan. Demikian­lah menurut riwayat Ibnu Jarir.

 

وَقَالَ وَكِيع عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَكِّيِّ، عَنْ طَاوُسٍ: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} قَالَ: لَيْسَ بِكُفْرٍ يَنْقُلُ عَنِ الْمِلَّةِ.

Waki' telah meriwayatkan dari Sa'id Al-Makki, dari Tawus sehu­bungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44); Yang dimaksud dengan "kafir" dalam ayat ini bukan kafir yang mengeluarkan orang yang bersangkutan dari Islam.

 

وَقَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عبد الله بن يزيد المقري، حدثنا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حُجَير، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} قَالَ: لَيْسَ بِالْكُفْرِ الَّذِي يَذْهَبُونَ إِلَيْهِ.

 


Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Hisyam ibnu Hujair, dari Tawus, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang tidak memutuskan menurutapa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44); Makna yang dimaksud ialah bukan kufur seperti apa yang biasa kalian pahami (melainkan kufur kepada nikmat Allah). (Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Maidah [5]:44).

Namun apabila seseorang meyakini hukum tersebut lebih baik, sama dibandingkan hukum Allah maka orang tersebut bisa kafir.

 

 

-----000-----



Junaedi Abdullah. 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUHASABATUN NAFS.

KOREKSI DIRI DAN ISTIQAMAH SETELAH RAMADHAN. Apakah kita yakin bahwa amal kita pasti diterima..?, kita hanya bisa berharap semoga Allah mene...