SUBHAT HISAB DAN JELASNYA PERINTAH RUKYAH
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang dipilih Allah
ta’ala, memiliki banyak keutamaan yang besar, menjadikan kegembiraan bagi kaum
muslimin, namun sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin dijaman kita ini,
tibanya bulan Ramadhan justru menjadi ajang perpecahan dan perselisihan
sehingga menjauhkan dari kegembiraan.
Padahal hukum masalah ini
telah diamalkan semenjak dahulu hingga sekarang, telah jelas dan terang
benderang sebagaimana terangnya siang hari.
Hal
ini sebagaimana kita ketahui, diantaranya:
1. Al-Qur’an
dan Sunnah telah menetapkan permulaan puasa.
Inilah pedoman utama seorang muslim.
Allah ta’ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ..
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS.
Al-Baqarah[2]:185).
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, ”Ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang
menyaksikan hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di
negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat,
maka dia harus mengerjakan puasa.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. [2]:185).
Di
dalam tafsir ini kita mengetahui bagaimana mereka tidak meninggalkan ru’yatul
hilal (melihat bulan).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ.
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena
melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula, apabila tidak nampak
oleh kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081).
Hadits ini menjelaskan bahwa untuk mengetahui masuknya bulan Ramadhan
dengan dua cara yaitu:
Pertama melihat hilal.
Kedua menggenapkan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari bila bulan
terhalangi.
Dengan demikian puasa dapat dilakukan bersama-sama, sebagaimana
disabdakan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam :
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى
يَوْمَ تُضَحُّونَ.
“Puasa itu ditetapkan tatkala
mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian
beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul
adha.” (HR. Tirmidzi 697 dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah
224).
Dalil yang memperkuat hal ini adalah hadits Ibnu
Umar. la berkata:
تَرَاءَى النَّاسُ
الْهِلَالَ، فَرَأَيْتُهُ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَصَامَ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ.
"Orang-orang mengamati hilal, ternyata aku
melihatnya, Maka aku sampaikan hal itu kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam, mendengar berita tersebut, beliau mulai berpuasa (keeseokan harinya)
dan memerintahkan semua orang untuk mengikutinya berpuasa." ( HR. Ibnu
Hibban 3447, Abu Dawud 2342, dishahihkan
Syaikh al-Albani di dalam Al-Irwa’ 908).
Orang yang memerintahkan hisab berdalil dengan firman Allah ta’ala:
هُوَ الَّذِي
جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا
عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَاخَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ
يُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ.
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS.Yunus[10]: 5).
Perlu diketahui :
1) Allah ta’ala
maha mengetahui apa yang sedang terjadi, apa yang belum terjadi, dan apa yang
akan terjadi seandainya hal itu terjadi, termasuk syari’at puasa ini Allah
telah tentukan sebagaimana yang tertera di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Allah ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ.
“Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS.
Al-Baqarah[2]:216).
2) Al-Qur’an
ayat satu dengan lainnya saling menguatkan dan selamanya tidak akan
bertabrakan.
Allah ta’ala berfirman:
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا
فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.”(QS. An-Nisa[4]:82).
Ibnu Katsir berkata: “Al-Qur’an tidak ada pertentangan hal itu
menunjukkan bahwa Al-Qur’an datangnya dari sisi Allah ta’ala.”(Tafsir Ibnu
Katsir, QS. An-Nisa[4]:82).
3) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam untusan Allah, tidak akan mungkin yang diutus
menyelisihi Allah yang telah mengutus.
Allah ta’ala berfirman:
وَلَوْ
تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ . لَأَخَذْنَا مِنْهُ
بِالْيَمِينِ . ثُمَّ لَقَطَعْنَا
مِنْهُ الْوَتِينَ.
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan
atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya.
Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” (QS.
Al-Haqah[69]:44-46).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
menyelisihi Allah ta’ala.
Dari sisni kita memahami bahwa memulai Ramadhan dengan hisab
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Islam tidak menolak kemajuan jaman, adapun menentukan hisab
dan pembuatan jadwal shalat yang benar sebagai alat bantu, bukan yang pokok
karena Al Qur’an
dan Sunnah merupakan sumber aqidah yang benar dan telah diterangkan secara
gamblang.
2. Para ulama
telah menjelaskan hal ini.
Seandainya kita buka
kitab-kitab para ulama, baik kitab fikih,
tafsir, para ulama telah menjelaskan bagaimana seharusnya kita di dalam
menetapkan masuknya bulan Ramadhan.
Seperti di dalam kitab Bulugul Maram, yang tulis
oleh al-Hafidh Ibnu Hajar al-‘Asqalani beserta syarah-syarahnya diantaranya
kitab Subulus Salam oleh Imam Ash-Shan’ani. Mulakhas Fikhiyah oleh Syaikh DR.
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Shahhih Fikih Sunnah oleh Abu Malik Kamal Ibnu
As-Syayid Salim, bahkan beliau berkata, “Mengetahui bulan(masuknya Ramadhan)
dengan ru’yah (melihat) bukan dengan hisab.”
Begitu pula kitab Al-Wajiz yang di tulis oleh
Syaikh ‘Abdul Azhim bin Badawi Al Khalafi, beliau juga berkata, “Wajibnya puasa
Ramadhan dengan melihat hilal.”
Mayoritas para ulama ahli fikih telah menjelaskan
hal ini.
3. Hendaknya
ikhlas di dalam menjalankan agama.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah[98]:5).
4. Jika
berselisih hendaknya dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Sebagai orang muslim jika kita
berselisih sudah seharusnya kita kembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنِّي
قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّتِي.
“Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara, kamu
tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Al-Hakim di dalam mustadraknya 319, Disahihkan oleh
Syaikh al-Albani di dalam Sahihul Jami’ 2937).
Di dalam berpegang dengan Al Qur’an dan Sunnah
sebagai bentuk realisasi dari keimanan mereka yang dapat menyelamatkan dari
berbagai kesesatan.
5. Wajib mematuhi
pemerintah dalam masalah ini.
Perintah Allah agar kita mentaati pemerintah disebutkan
di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ
وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ.
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS.
An-Nisaa [4]: 59)
Ibnu
Katsir rahmahullah berkata:
فَهَذِهِ أَوَامِرٌ بِطَاعَةِ الْعُلَمَاءِ وَالْأُمَرَاءِ.
“Ayat ini memerintahkan agar mentaati ulama’ dan
umara’ (pemimpin atau pemerintah). (Lihat tafsir Ibnu Katsir QS. Al Baqarah[2]: 59).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang
dimaksud dengan ulil amri adalah orang-orang yang Allah wajibkan untuk ditaati,
dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama
terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan yang lainnya.”
(Syarh Shahih Muslim, 12/222).
Oleh karena itu ulama juga telah memasukkan di
dalam kitab-kitab aqidah mereka, agar kita mengikuti pemerintah kita dalam hal
ini.
Seperti di dalam kitab, Aqidatu As-Salaf Ash-Habul
Hadits, oleh Imam Ash-Shabuni, beliau berkata, “Shalat jum’at, dua shalat id,
dan yang lainnya dari shalat shalat yang ada, hendaknya dilakukan di belakang
setiap imam (pemimpin) kaum muslim yang baik maupun yang buruk.” (Aqidatu As-Salaf Ash-Habul
Hadits)
Syaikh DR. Nashir ibnu ‘Abdul Karim Al-Aql di dalam
kiabnya, Mujmal Usul Ahli Sunnah Wal Jama’ah fil Aqidah. Beliau rahimahullah
berkata:
الصلاة
والحج والجهاد واجبة مع أئمة المسلمين وإن جاروا.
“Shalat (jama’ah, Jum’at, Id), haji, dan Jihad
wajib bersama dengan pemimpin kaum muslimin meskipun mereka sewenang-wenang
(dzalim).”( Mujmal Usul Ahli Sunnah Wal
Jama’ah fil Aqidah).
Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahmahullah berkata:
وَقَالَ الْحَسَنُ فِي الْأُمَرَاءِ هُمْ يَلُونَ مِنْ أُمُورِنَا خَمْسًا:
الجُمُعَةَ وَالْجَمَاعَةَ وَالْعِيدَ وَالنُّغُورَ وَالْحُدُودَ، وَاللَّهِ مَا
يَسْتَقِيمُ الدِّينُ إِلَّا كِيمْ، وَإِنْ جَارُوا وَظَلَمُوا.
"(Imam) Al-Hasan Al-Bashri
berkata tentang umara' (para pemimpin kaum muslimin): Mereka mengurusi lima
urusan kita: shalat jum'at, shalat jama'ah, shalat 'ied, menjaga perbatasan,
dan melaksanakan hudud. Demi Allah, agama tidak akan tegak kecuali dengan
mereka, walaupun mereka menyimpang dan zhalim." (Jami'ul Ulum wal Hikam,
2/117).
Organisasi itu banyak adapun pemerintah itu satu,
apabila setiap organisasi menentukan hari raya sendiri-sendiri tentu akan
semakin banyak perselisihan, sebaliknya bila semua organisasi mengikuti
pemerintah yang satu tentu akan bersatu, karena islam memiliki prinsip Jalbu
al-mashalih wa daf’u al-mafasid (mengambil manfaaat dan menolak mafsadat) terlebih
semua ini sesuai dengan Sunnah yang dapat memadamkan perselisihan, hal ini
sesuai dengan firman Allah ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ
إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ
إِخْوَانًا.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (QS.
Al-Imran [3]: 103).
Orang-orang yang mengedepankan hisab mereka lupa jika Allah itu maha mengetahui
apa yang akan terjadi meskipun belum terjadi, hendaknya mereka ingat bahwa ayat
yang dipakai untuk hisab itu telah ada semenjak dahulu, namun Allah dan
Rasul-Nya tetap memerintahkan dengan rukyah, oleh karena itu sangat
disayangkan orang-orang yang mengedepankan hisab seakan-akan hal itu adalah nas
(dalil) yang wajib diikuti, mereka meninggalkan syariat yang telah diamalkan
dari semenjak Rasulullahdan para sahabatnya sampai sekarang oleh para ulama.
Orang-orang yeng menentukan awal
Ramadhan dengan hisab mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan itu banyak
membingungkan umat, menjadikan bercerai-berai, mengantikan kebahagiaan menjadi
kesedihan, menghilangkan persatuan dan kesatuan dan menumbuhkan bermusuhan di
anatara umat, bahkan kita dapatkan sesama ahli hisabpun mereka berselisih.
Islam tidak mengingkari kemajuan
jaman, namun hal itu sebagai alat bantu semata bukan kemudian dikedepankan,
sebagaimana jadwal-jadwal shalat yang beredar.
6. Ancaman
keras bagi orang yang meninggalkan Sunnah.
Allah ta’ala berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ
أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
“Hendaknya takutlah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya bahwa
mereka akan ditimpa fitnah atau azab yang pedih.” (QS. An-Nur [24]: 63).
Dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau
berkata:
يُوْشِكُ أَنْ
تَنْزِلَ عَلَيكْم ْحِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ, أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ؟
“Hampir saja kalian akan dihujani batu dari langit. Aku katakan:
Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantah dengan mengatakan: Tapi
Abu Bakar dan Umar berkata demikian.” (HR. Ahmad 1/337 dan Al-Khatib dalam
Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/145 Ibnu Abdil Bar di dalam, Jami’u Bayanil ‘ilmi wa
fadzlihi 2/239).
Bagi saudara-saudaraku yang masih taklid dan
mendahulukan terhadap pemimpin, yayasan, organisasi, dan meninggalkan kitab
Allah dan Sunnah Rasulul-Nya hendak menyadari yang dilakukan itu dapat
menjadikan dosa jariah, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ.
“Dan barang siapa melakukan sunnah yang buruk dalam
islam maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang
melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka
sedikitpun”. (HR. Muslim 1016).
Wajib bagi kita mensikapi permasalahan ini
dengan ilmu bukan hawa nafsu.
7. Menjahui taklid
(fanatik) buta.
Berorganisasi pada asalnya adalah mubah (boleh)
akan tetapi apa bila fanatik dan menolak kebenaran karena berbeda dengan
organisasinya inilah yang terlarang karena dapat menjadikan seseorang fanatic
buta dan tersesat.
Allah ta’ala
berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ
إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
"Sesungguhnya
jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya
agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar
dan kami patuh.’ Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur [24]: 51).
قُلْ إِنْ
كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Katakanlah, "Jika kalian (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa
kalian," Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Imran [3]:
31).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي
فَقَدْ أَبَى.
“Setiap umatku akan masuk ke dalam surga kecuali yang enggan. Mereka para sahabat bertanya, “Siapa
yang enggan?” Beliau berkata, “Barangsiapa mentaatiku dia masuk ke dalam surga, dan barangsiapa
bermaksiat padaku maka dia telah enggan.” (HR. Bukhari 7280, Ahmad 8714).
Seorang
muslim tidak boleh meninggalkan Sunnah nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam dan
lebih memilih mengikuti madzhabnya, organisasinya, partainya ataupun yayasanya.
Ulama juga
mewasiatkan hal itu, mereka memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah
sallallahu’alaihi wa sallam.
Imam Syafi’i
Rahimahullah berkata:
أَجْمَعَ
الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ
يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ.
“Kaum muslimin sepakat bahwa
siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu
karena mengikuti pendapat siapa pun.”(I'lamul muwaqi'in 2:282).
مَنْ رَدَّ
حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا
هَلَكَةٍ.
“Barang siapa menolak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
maka dia berada di tepi kebinasaan.” (lihat
Sifat shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani).
Semoga saudara-saudaraku bisa memahami hal ini dan
kembali ruju’ serta turut serta andil dalam menyatukan umat ini. Aamiin.
-----000-----
Sragen 14-02-2025
Junaedi Abdullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar