Kamis, 12 Januari 2023

KEUTAMAAN ILMU.

 


 

Ilmu adalah cahaya bagi hati, sebagaimana cahaya bagi mata, dimana mata tak akan dapat melihat apabila tidak ada cahaya.

Ilmu akan menguatkan hati seseorang, mengokohkan pendirian, menyabarkan hati, dan menyingkap sesuatu yang samar.

Ilmu akan menjaga seseorang, dimana dengan ilmu seseorang akan dapat memahami hakekat sesuatu dengan sebenarnya.

Oleh karena itu pangkal kesesatan dan kerusakan dimuka bumi ini tidak lain adalah kejahilan.

Allah ta’ala banyak memuji ilmu dan orang-orang berilmu di dalam Al-Qur’an.

Allah ta’ala berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.

“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang orang yang di beri ilmu dengan beberapa derajat.” ( QS Al-Mujadilah[58]:11)

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ.

“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar[39:9).

اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤا.

“Hanya saja yang takut kepada Allah dari sekian hamba-Nya adalah ulama.” (QS. Fatir[35]:28).

 

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dishahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah  224)

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.

“ Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan memberikan kefaqihan (pemahaman) agama baginya. “ (HR. Bukhari 71, 3116, Muslim 1037)


Begitu pula sebaliknya, berpalingnya seorang hamba -semoga Allah melindungi kita dari hal itu- dari ilmu dan kebenciannya terhadap majelis ilmu serta sempit dadanya dari majelis ilmu maka ini ini bukanlah merupakan tanda kebaikan dan tanda taufik dari Allah kepada dirinya. Jika seorang hamba melihat dirinya asing dari majelis ilmu dan berusaha meninggalkannya serta tidak memiliki keinginan untuk mendapatkannya maka ini bukanlah tanda-tanda taufik dan bukan pula ciri Allah menghendaki kebaikan bagi hamba tersebut.

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ.

“Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Ahmad 8316, Tirmidzi 2646, Ibnu Majah 223, di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah 225). 

Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

فَضْلُ العَالِمِ عَلىَ العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلىَ سَائِرِ الكَوَاكِبِ.

 “Keutamaan orang yang berilmu (yang mengamalkan ilmunya) atas orang yang ahli ibadah adalah seperti utamanya bulan di malam purnama atas semua bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Dawud 3641, Ibnu Majah 223 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Al-Miskah 212)

Kisah-kisah isfiratif:

Umar radiayallahu ‘anhu bergantian dengan tetangganya untuk menuntut ilmu.

كُنْتُ أَنَا وَجَارٌ لِي مِنَ الأَنْصَارِ فِي بَنِي أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ وَهِيَ مِنْ عَوَالِي الْمَدِينَةِ وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا، فَإِذَا نَزَلْتُ جِئْتُهُ بِخَبَرِ ذَلِكَ اليَوْمِ مِنَ الوَحْيِ وَغَيْرِهِ، وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ.

“Aku bersama tetanggaku seorang Anshar dari Bani Umayyah bin Zaid yang tinggal di dekat Madinah, kami saling bergantian hadir di sisi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, satu hari dia yang hadir dan satu hari yang lain aku yang hadir. Apabila aku hadir, maka aku mendatanginya dengan membawa kabar/ilmu dari wahyu yang disampaikan pada hari itu, dan apabila dia yang hadir, maka dia melakukan hal yang semisal itu.”  (HR. Bukhari 89)

Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata,

بَلَغَنِي حَدِيثٌ عَنْ رَجُلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِفَاشْتَرَيْتُ بَعِيرًا ثُمَّ شَدَدْتُ عليه  رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا حَتَّى قَدِمْتُ عَلَيْهِ الشَّامَ، فَإِذَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أُنَيْسٍ فَقُلْتُ لِلْبَوَّابِ: قُلْ لَهُ جَابِرٌ عَلَى الْبَابِ. فَقَالَ: ابْنُ عَبْدِ اللهِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. فَخَرَجَ يَطَأُ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَنِي وَاعْتَنَقْتُهُ  فَقُلْتُ: حَدِيثًا بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ فِي الْقِصَاصِ فَخَشِيتُ أَنْ تَمُوتَ أَوْ أَمُوتَ قَبْلَ أَنْ أَسْمَعَهُ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ: يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْقَالَ الْعِبَادُ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا. قَالَ: قُلْنَا: وَمَا بُهْمًا؟ قَالَ: لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ، ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍيَسْمَعُهُ مِنْ قُرْبٍ: أَنَا الْمَلِكُ أَنَا الدَّيَّانُ وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَنْ يَدْخُلَ النَّارَ وَلَهُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عِنْدَهُ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ حَتَّى اللَّطْمَةُ. قَالَ: قُلْنَا: كَيْفَ وَإِنَّا إِنَّمَا نَأْتِي اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا؟ قَالَ: بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ.

“Telah sampai kepadaku sebuah hadits dari seseorang yang langsung mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .”

Jabir berkata, “Aku pun bersegera membeli seekor unta. Aku persiapkan bekal perjalananku dan aku tempuh perjalanan satu bulan untuk menemuinya, hingga sampailah aku ke Syam. Ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Unais.”

Aku berkata kepada penjaga pintu rumahnya, “Sampaikan kepada tuanmu bahwa Jabir sedang menunggu di pintu.”

Penjaga itu masuk dan menyampaikan pesan itu kepada Abdullah bin Unais. Abdullah bertanya, “Jabir bin Abdillah?”

Aku menjawab, “Ya, benar!”

(Begitu tahu kedatanganku), Abdullah bin Unais bergegas keluar, lalu dia merangkulku dan aku pun merangkulnya.”

Aku berkata kepadanya, “Telah sampai kepadaku sebuah hadits, dikabarkan bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qishash (pembalasan atas kezaliman di hari kiamat). Saya khawatir engkau meninggal terlebih dahulu atau aku yang lebih dahulu meninggal sementara aku belum sempat mendengarnya.”

Abdullah bin Unais berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seluruh manusia atau hamba nanti akan dikumpulkan di hari kiamat dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan, dan buhma.’

Kami bertanya, ‘Apa itu buhma?’ Beliau menjawab, ‘Tidak membawa apa pun.

Kemudian Allah ‘azza wa jalla menyeru mereka dengan suara yang semua mendengar, ‘Aku adalah al-Malik (Maharaja)! Aku adalah ad-Dayyan (Yang Maha Membalas amalan hamba)! Tidaklah pantas bagi siapa pun dari kalangan penghuni neraka untuk masuk ke dalam neraka sementara masih ada hak penghuni surga pada dirinya hingga Aku mengqishashnya (yakni diselesaikan hak penghuni surga itu darinya). Tidak pantas pula bagi siapa pun dari kalangan penghuni surga untuk masuk ke dalam surga sementara masih ada hak penghuni neraka pada dirinya hingga Ku-selesaikan hak penghuni neraka itu darinya, meskipun hanya sebuah tamparan.”

Kami bertanya, “Bagaimana caranya menunaikan hak mereka sedangkan kita menemui Allah ta’ala dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan, dan tidak memiliki apa pun?”

Nabi menjawab, “Diselesaikan dengan kebaikan dan kejelekan yang kita miliki.” (HR. Ahmad 16042, Bukhari al-Adabbul Mufrad 570)

 Atha’ bin Abi Rabah. 97 H.

Beliau membagi waktunya menjadi tiga:

1)   Untuk majikannya.

2)   Untuk bermunajad kepada Allah ta’ala.

3)   Untuk menuntut ilmu.

Di tengah perjalanan sa'i antara Shafa dan Marwah, kedua pemuda itu mendengar seruan para penyeru "Wahai kaum muslimin..tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha' bin Abi Rabah..jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih."

Sulaiman berkata kepada putranya: "Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat yang kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha' bin Abi Rabah, orang yang berhak berfatwa di masjid Al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak." Kemudian beliau melanjutkan: "Wahai anakku..carilah ilmu..karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi terhormat...para budak bisa melampaui derajat para raja.."

Muhammad bin Suuqah menceritakan kepada jama'ah yang me ngunjungi beliau: "Maukah aku ceritakan kepada kalian sesuatu yang mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kalian sebagaimana kami telah mendapatkan manfaat karenanya?" Mereka berkata: "Mau." Beliau berkata: "Suatu hari Atha' bin Abi Rabah menasihatiku, "Wahai putra saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita (yakni para shahabat-pent) tidak menyukai banyak bicara." Lalu aku katakan: "Apa yang dianggap banyak bicara menurut mereka?" beliau menjawab: "Mereka menganggap bahwa setiap ucapan termasuk berlebih-lebihan melainkan dalam rangka membaca Al-Kitab dan memahaminya, atau membaca hadits Rasulullah yang diriwayatkan dan harus diketahui, atau memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, atau berbicara tentang ilmu yang dengannya menjadi sarana taqarrub kepada Allah Ta'ala, atau engkau membicarakan tentang kebutuhan dan pekerjaan yang memang harus dibicarakan. "Lalu beliau memperhatikan raut wajahku seraya berkata: "Apakah kalian mengingkari firman Allah Ta'ala:

 

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَفِظِينَ . كراما كتبِينَ.

"Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu)." (QS. Al-Infithar [82]: 10-12).

Dan bahwa masing-masing dari kalian disertai oleh dua malaikat:

إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَّانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ فَعِيدٌ . مَّا يَلْفِظُ من قول إلا لديهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ .

"(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaaf: 17-18).

Kemudian beliau berkata: "Tidakkah salah seorang di antara kita merasa malu manakala dibukakan lembaran catatan amal yang diker- jakan sepanjang siang, lalu dia mendapatkan di dalamnya sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan urusan agama maupun kepentingan dunianya?"

Sumber: Mereka adalah Tabi’in, Syaikh Abdurhman Ra’fat Basa

Peran ilmu.

Begitu besar.

Tiga orang yang diseret keneraka akibat tidak ikhlas.

Abu Thalib masuk neraka karena Jahil.

Pendeta yang berfatwa keliru tentang pembunuh 99 orang.

Demikian semoga bermanfaat.

 

Sragen 12-01-2023.

Junaedi Abdullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MUHASABATUN NAFS.

KOREKSI DIRI DAN ISTIQAMAH SETELAH RAMADHAN. Apakah kita yakin bahwa amal kita pasti diterima..?, kita hanya bisa berharap semoga Allah mene...