Selasa, 02 September 2025

HUD AQIDATAKA BAB 5 SYIRIK BESAR. SOAL: 6 APAKAH ORANG MATI DAPAT MENDENGAR

 


BAB 5

SYIRIK BESAR.

SOAL: 6

APAKAH ORANG MATI DAPAT MENDENGAR

 

س  ٦- هَلْ يَسْمَعُ الأَمْوَاتُ الدُّعَاءَ .

Soal 6: Apakah orang yang telah mati dapat mendengar doa..?

ج ٦ - لَا يَسْمَعُوْنَ

Jawab: Tidak dapat mendengar.

قَالَ الله :

Allah ta’ala berfirman:

 { إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى } سورة النَّمْلِ :٨٠

"Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan or-ang-orang yang sudah mati itu mendengar." (Surat An-Naml ayat 80)

{ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ } سورة فَاطِر : ٢٢

"Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar."(Surat Fathir ayat 22)

 

-----000-----

Penjelasan:

1.   Perbedaan pendapat para ulama tentang masalah ini ada beberapa pendapat:

 

1)   Orang mati tidak bisa mendengar secara mutlak (sama sekali).

2)   Orang mati dapat mendengar secara mutlak.

3)   Orang mati hanya bisa mendengar pada sebagian keadaan saja, tidak secara mutlak.

Pendapat (1).

Ulama yang mengatakan bahwa orang mati tidak dapat mendengar secara mutlak adalah pendapat sebagian sahabat, di antaranya Aisyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, radhiyallahu’ahum. Ini juga merupakan pendapat jumhur ulama mazhab, dan ulama-ulama sekarang seperti Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, dan Syaikh al-Albani, dan Syaikh Jamil Zainu di sini.

Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala:

إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى.

"Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang sudah mati itu mendengar." (QS. An-Naml[27]: 80).

وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ .

"Dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar."(QS.Fathir[35]: 22).

فَإِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى.

“Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar” (QS. Ar-Ruum[30]: 52).

Dan dalil dari As-Sunnah, di antaranya hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ يُبَلِّغُونِي مِنْ أُمَّتِي السَّلَامَ

“Sesungguhnya Allah ta’ala memiliki Malaikat yang beterbangan di muka bumi untuk menyampaikan salam umatku kepadaku” (HR. an-Nasa’i  1282, Shahih Ibnu Hibban 9114, dishahihkan Syaikh al-Albani dalam al-Misykah 524).

Hadits ini menunjukkan bahwa beliau shallallahu’alaihi wa sallam tidak bisa mendengar salam kaum muslimin setelah beliau meninggal. Oleh karena itu Allah menyampaikan salam kaumnya melalui para malaikat.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: وَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَلِيبِ بَدْرٍ فَقَالَ: هَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا, ثُمَّ قَالَ: إِنَّهُمُ الآنَ يَسْمَعُونَ مَا أَقُولُ, فَذُكِرَ لِعَائِشَةَ, فَقَالَتْ: إِنَّمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهُمُ الآنَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّ الَّذِي كُنْتُ أَقُولُ لَهُمْ هُوَ الحَقُّ ثُمَّ قَرَأَتْ {إِنَّكَ لاَ تُسْمِعُ المَوْتَى} [النمل: 80] حَتَّى قَرَأَتْ الآيَةَ

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas sumur-sumur Badr (yang merupakan kuburan orang Quraisy), kemudian Beliau bersabda: “Bukankah kalian mendapati apa yang telah dijanjikan Rabb ternyata benar adanya?”. Kemudian Beliau bersabda lagi: “Sesungguhnya sekarang mereka mendengar apa yang aku katakan”. Hal ini dikabarkan kepada ‘Aisyah, lalu ia berkata: “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam hanyalah bersabda: “Sesungguhnya mereka sekarang mengetahui apa yang dulu aku katakan kepada mereka adalah benar”. Kemudian ‘Aisyah membaca ayat : “Sesungguhnya kamu tidak mampu menjadikan orang-orang mati mampu mendengar” (QS. An-Naml: 80), sampai akhir ayat (HR. al-Bukhari 3980).

Pendapat (2).

Mereka berpendapat orang yang telah mati dapat mendengar secara mutlak, memahami ayat dan hadits, mereka berpandangan, jika orang mati bisa mendengar berarti mereka mendengar selamanya.

Sebagian mereka juga berpendapat bahwa arwah-arwah tersebut dapat melihat keluarganya. (lihat kitab al-Kubur, Ibnu Abi Dunia).

Ibnu Katsir juga membawakan kisah-kisah yang banyak dari mimpi-mimpi  yang berasal dari kitab al-Kubur, (lihat tafsir Ibnu Katsir QS. Ar-Rum[30]:52)

Adapun Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani beliau mengatakan:

لَمْ أَرَ مَنْ صَرَّحَ بِأَنَّ الْمَيِّتَ يَسْمَعُ سَمَاعًا مُطْلَقًا كَمَا كَانَ شَأْنُهُ فِي حَيَاتِهِ وَلَا أَظُنُّ عَالِمًا يَقُولُ بِهِ.

“Saya tidak mengetahui ada ulama yang berpendapat bahwa orang mati bisa mendengar secara mutlak sebagaimana ketika ia masih hidup. Setahu saya tidak ada ulama yang berpendapat demikian.” (al-Ayatu al-Bayyinah, 3/773, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani).

Pendapat (3).

Ulama yang mengatakan bahwa orang mati hanya bisa mendengar pada sebagian keadaan saja sebagaimana yang Allah kehendaki, tidak secara mutlak. Di antara yang berpendapat demikian adalah sahabat Abdullah bin Umar, Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu Qutaibah, Ibnul Qayyim, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Mereka berdalil dengan firman Allah ta’ala:

إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَآءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا ٱسْتَجَابُوا لَكُمْ.

“Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan sekiranya mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.” (QS. Fathir[35]: 13-14).

Allah tidak mengingkari dengan firmannya,

وَلَوْ سَمِعُوا مَا ٱسْتَجَابُوا لَكُمْ .

“Dan andaikan mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.” (QS. Fathir[35]: 14).

Ayat ini menunjukkan adakalannya mereka tidak mendengar adakalanya mereka mendengar sesuai kehendak Allah.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan orang musyrik yang terbunuh di perang Badar, kemudian di masukkan ke dalam sumur Badar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا فَقِيلَ لَهُ: تَدْعُو أَمْوَاتًا فَقَالَ: مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لاَ يُجِيبُونَ.

“Apakah kalian telah mendapatkan apa yang dijanjikan Rabb kalian itu benar? kemudian di katakan kepada Rasulullah, apakah engkau mengajak bicara orang yang telah mati (ya Rasulullah), maka Rasulullah berkata, “Tidaklah kalian lebih mendengar apa yang aku katakan daripada mereka, akan tetapi mereka tidak mampu menjawab.“ (HR. Bukhari 1370, Ahmad 14064).

Dalil yang lain di antaranya adalah hadits Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ العَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ.

“Sesungguhnya seorang hamba apabila telah selesai dikuburkan, dan orang-orang mulai pergi dari kuburnya, maka ia akan mendengar suara hentakan sandal mereka. Setelah itu akan datang dua Malaikat“ (HR. Al-Bukhari 1374, Muslim 2870, Ahmad 12270, Abu Dawud 3231).

Hadis ini menyebutkan bahwa orang yang mati dapat mendengar suara sandal-sandal para pengantarnya. Ini menunjukkan bahwa ia tidak mendengar segala hal dan tidak bisa mendengar secara mutlak.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:

فَهَذِهِ النُّصُوصُ وَأَمْثَالُهَا تُبَيِّنُ أَنَّ الْمَيِّتَ يَسْمَعُ فِي الْجُمْلَةِ كَلَامَ الْحَيِّ وَلَا يَجِبُ أَنْ يَكُونَ السَّمْعُ لَهُ دَائِمًا بَلْ قَدْ يَسْمَعُ فِي حَالٍ دُونَ حَالٍ.

“Maka nash-nash (dalil) ini dan semisalnya menjelaskan bahwa orang mati pada dasarnya dapat mendengar ucapan orang yang hidup. Namun, tidak mesti pendengarannya itu berlangsung terus-menerus, akan tetapi bisa jadi ia mendengar dalam suatu keadaan dan tidak mendengar dalam keadaan yang lain.” (Majmu’ Al-Fatawa, 24/364).

2.    Orang Mati Mendapatkan Manfaat Dari Orang Yang Masih Hidup.

Orang beriman dapat memberikan manfaat kepada saudaranya yang beriman lainnya, meskipun mereka sudah meninggal, hal ini sebagaimana yang ditulis Syaikh al-Albani di dalam kitabnya “Ahkamu al-Janaiz”, adapun yang dapat memberikan manfaat orang yang sudah meninggal di antaranya:

1)  Menyolatkan.

Dalam riwayat lain dari Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ.

“Tidaklah seorang muslim meninggal lalu dishalatkan jenazahnya oleh 40 orang lelaki yang tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, melainkan Allah akan memberi syafaat mereka bagi si mayit.”
(HR. Muslim 948).

Tidak boleh menyolatkan orang kafir.

Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ.

“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. At-Taubah [9]:84).

2)  Mendoakan.

Allah melarang orang beriman mendoakan orang kafir.

Allah ta’ala berfirman:

اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ.

(Sama saja) engkau (Nabi Muhammad) memohonkan ampunan bagi mereka atau tidak memohonkan ampunan bagi mereka. Walaupun engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Demikian itu karena mereka kufur kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah tidak akan memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS. At-Taubah [9]:80).

اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي.

"Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku, namun aku tidak diizinkan melakukannya. (HR. Muslim 976, Ahmad 988, Ibnu Majah 1572).

Adapun orang yang beriman mereka diperintahkan mendoakan saudaranya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah didatangi malaikat jibril dan diperintahkan agar mendoakan kepada penghuni kubur Baqi:

 

إِنَّ رَبَّكَ يَأْمُرُكَ أَنْ تَأْتِيَ أَهْلَ الْبَقِيعِ فَتَسْتَغْفِرَ لَهُمْ.

“Tuhanmu memerintahkanmu agar mendatangi ahli kubur baqi’ agar engkau memintakan ampunan buat mereka.” (HR. Muslim 974).

Termasuk dalam hal ini anak yang shalih sangat memberi manfaat bagi orang tuannya.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.

"Apabila manusia itu meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan kepadanya." (HR. Muslim 1631, Tirmidzi 1376).

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ, وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ.

“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.” (HR. Abu Daud 3528, Baihaqi 15743, Ibnu Majah 2290, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam shahih Ibnu Majah 2137).

Tidak boleh disamakan antara mengirim pahala dengan menghadiahkan pahala kepada penghuni kubur, karena mendoakan dengan mengirimkan pahala itu berbeda, adapun mengirim pahala bisa berupa pahala bacaan Al Qur’an seperti yang dilakukan Sebagian kaum Muslimin, disebut “khususan ila ruhi fulan”

Allah ta’ala berfirman:

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى.

“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm[53]: 39).

Yaitu sebagaimana tidak dibebankan kepadanya dosa orang lain, maka demikian pula dia tidak memperoleh pahala kecuali dari apa yang diupayakan oleh dirinya sendiri, adapun anak merupakan usaha dari orang tua.

Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa bacaan Al-Qur'an yang dihadiahkan kepada mayat tidak dapat sampai karena bukan termasuk amal perbuatannya dan tidak pula dari hasil upayanya. (Tafsir Ibnu Katsir, QS, An-Najm [53]:39).

3)  Membayarkan hutangnya.

Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلًا قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيِيَ ثُمَّ قُتِلَ ثُمَّ أُحْيِيَ ثُمَّ قُتِلَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يُقْضَى دَيْنُهُ .

Demi yang jiwaku ada ditangan-Nya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi dua kali, dan dia masih punya hutang, maka dia tidak akan masuk surga sampai hutangnya itu dilunasi.  (HR. Nasai 4684, Baihaqi 10693 di hasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib 1804)

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ.

Jiwa seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai hutang itu dilunaskannya.” (HR. Abu Dawud 2512, Tirmidzi 1078 di Shahihkan Syaikh al-Albani di dalam al-Miskah 2915).

4)  Menunaikan wasiatnya.

Apabila orang tua berwasiat yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah hendaknya ditunaikan. Allah ta’ala berfirman:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ . فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ.

“Diwajibkan atasmu, apabila seorang di antara kamu mendapatkan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. Barangsiapa mengubahnya (wasiat itu), setelah mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah[2]:180-181).

Dan dari ‘Abdillah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ.

“Seorang muslim tidak layak memiliki sesuatu yang harus ia wasiatkan, kemudian ia tidur dua malam, kecuali jika wasiat itu tertulis di sampingnya.” (HR. Bukhari 2738, Abu Dawud 2862).

Hendaknya seorang muslim menulis wasiatnya terlebih dalam perkara yang sifatnya wajib untuk di tunaikan seperti hutang dan lain-lain. Begitupula orang yang menunaikan wasiat tersebut tidak boleh mengganti wasiat trsebut sesuai kehendaknya.

5)   Menggantikan puasanya.

Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah radiyallahu ‘anha:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ.

“Barang siapa meninggal masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya menggantikan puasanya.” (HR. Bukhari 1952, Muslim 1147, Ibnu Hibban 3569)

6)  Membayarkan nadzarnya.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ.

“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan:

اقْضِهِ عَنْهَا.

“Tunaikanlah nadzar ibumu.” ( HR. Bukhari 2761, Abu Dawud 3307).

7)  Menziarahi kuburnya dan mengucapakan salam.

Disyariatkan berziarah kubur dan mengucapkan salam kepada penghuni kubur.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Dari Buraidah Ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا.

“Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah” (HR. Muslim 1977).

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ.

"Keselamatan kepada penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin, kami InsyaAllah akan menyusul kalian semua. Aku memohon keselamatan kepada Allah untuk kami dan dan kalian semua." (HR. Muslim 975).

3.   Berjumpanya ruh orang beriman yang masih hidup dan yang sudah mati.

Perjumpaan ruh orang yang masih hidup dengan orang yang telah mati bisa terjadi ketika tidur.

Allah ta’ala berfirman:

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ.

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) ruh (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia menahan ruh (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan ruh yang lain sampai waktu yang ditetapkan...” (QS. Az-Zumar [39]: 42).

Ibnu Katsir berkata: “Sebagian ulama dahulu mengatakan bahwa arwah orang-orang yang mati dicabut bila mereka mati, begitu pula arwah orang-orang yang hidup dicabut bila mereka tidur, lalu mereka saling kenal menurut apa yang telah dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

{فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ}

maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya. (Az-Zumar [39]: 42).

Yakni arwah orang yang telah mati dan melepaskan arwah orang yang hidup sampai waktu yang ditentukan. As-Saddi mengatakan sampai tiba saat ajalnya.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa Allah menahan jiwa orang yang telah mati dan melepaskan jiwa orang yang hidup, dan tidak pernah terjadi kekeliruan dalam hal ini. (Tafsir Ibnu Katsir [39]:42).

Ibn ‘Abbas dan selainnya dari kalangan mufassir berkata:

إِنَّ أَرْوَاحَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ تَلْتَقِي فِي الْمَنَامِ فَتَتَعَارَفُ مَا شَاءَ اللَّهُ مِنْهَا فَإِذَا أَرَادَ جَمِيعُهَا الرُّجُوعَ إِلَى الْأَجْسَادِ أَمْسَكَ اللَّهُ أَرْوَاحَ الْأَمْوَاتِ عِنْدَهُ وَأَرْسَلَ أَرْوَاحَ الْأَحْيَاءِ إِلَى أَجْسَادِهَا.

Sesungguhnya ruh orang-orang yang hidup dan yang mati bertemu dalam mimpi, lalu saling mengenal sesuai dengan kehendak Allah. Jika semuanya hendak kembali ke jasad, maka Allah menahan ruh-ruh orang yang telah mati di sisi-Nya, dan mengembalikan ruh-ruh orang yang masih hidup ke jasad mereka. (Tafsir al-Qurtubi, QS. Az-Zumar[39]:42).

Sebuah kisah nyata yang dialami salah seorang sahabat

Kejadian ini pernah dialami sahabat yang dijamin masuk surga karena kerendahan hatinya yaitu sahabat Tsabit bin Qois radhiyallahu ‘anhu. Peristiwa ini terjadi ketika perang Yamamah, sahabat menyerang nabi palsu Musailamah Al-Kadzab di zaman Abu Bakr. Dalam peperangan itu, Tsabit termasuk sahabat yang mati syahid. Ketika itu, Tsabit memakai baju besi yang bernilai harganya.

Sampai akhirnya lewatlah seseorang dan menemukan jasad Tsabit. Orang ini mengambil baju besi Tsabit dan membawanya pulang. Setelah peristiwa ini, ada salah seorang mukmin bermimpi, dia didatangi Tsabin bin Qois. Tsabit berpesan kepada si Mukmin dalam mimpi itu:

“Saya wasiatkan kepada kamu, dan jangan kamu katakan, ‘Ini hanya mimpi biasa yang tak nyata’ kemudian kamu tidak mempedulikannya. Ketika saya mati, ada seseorang yang melewati jenazahku dan mengambil baju besiku. Tinggalnya di paling pojok sana. Di kemahnya ada kuda yang dia gunakan membantu kegiatannya. Dia meletakkan wadah di atas baju besiku, dan diatasnya ada pelana. Datangi Khalid bin Walid, minta beliau untuk menugaskan orang agar mengambil baju besiku. Dan jika kamu bertemu Khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Abu Bakr), sampaikan bahwa saya punya tanggungan utang sekian dan punya piutang macet sekian. Sementara budakku fulan, statusnya merdeka. Sekali lagi jangan kamu katakan, ‘Ini hanya mimpi biasa kemudian kamu tidak mempedulikannya.”

Setelah bangun, orang inipun menemui Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu dan menyampaikan kisah mimpinya bertemu Tsabit. Sang panglima, Khalid bin Walid mengutus beberapa orang untuk mengambil baju besi itu, dia memperhatikan kemah yang paling ujung, ternyata ada seekor kuda yang disiapkan. Mereka melihat isi kemah, ternyata tidak ada orangnya. Merekapun masuk, dan langsung menggeser pelana. Ternyata di bawahnya ada wadah. Kemudian mereka mengangkat wadah itu, ketemulah baju besi itu. Merekapun membawa baju besi itu menghadap Khalid bin Walid.

Setelah sampai Madinah, orang itu penyampaikan mimpinya kepada Khalifah Abu Bakr As-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, dan beliau membolehkan untuk melaksanakan wasiat Tsabit tersebut. Para sahabat mengatakan, “Kami tidak pernah mengetahui ada seorangpun yang wasiatnya dilaksanakan, padahal baru disampaikan setelah orangnya meninggal, selain wasiat Tsabit bin Qais. (HR. Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwah 2638 dan Bushiri dalam Al-Ittihaf 3010, Al-Jumu‘ al-Bahiyyah tentang Akidah Salafiyah yang disebutkan oleh al-‘Allamah asy-Syinqiṭi dalam tafsirnya Aḍwa’ al-Bayan 2596, Abu al-Mundzir Mahmud bin Muhammad bin Mustafa bin ‘Abd al-Lathif al-Minyawi).

4.   Orang meninggal tidak akan dapat Kembali lagi.

Allah mengingkari permintaan orang mati untuk dikembalikan ke dunia

حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ . لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ.

(Demikianlah Keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, Dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku bisa berbuat amal yang saleh yang telah aku tinggalkan. sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah Perkataan yang dia ucapkan saja. dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan. (QS. Al-Mukminun[23]: 99 – 100).

Dalam sebuah riwayat, seorang tabiin bernama Masruq pernah bertanya kepada sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, tentang tafsir firman Allah:

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ.

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. Ali Imran[3]: 169).

Ibnu Mas’ud menjawab, “Saya pernah tanyakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau menjawab,

أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمُ اطِّلَاعَةً فَقَالَ: هَلْ تَشْتَهُونَ شَيْئًا قَالُوا: أَيُّ شَيْءٍ نَشْتَهِي وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوا قَالُوا: يَا رَبِّ نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِي أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِي سَبِيلِكَ مَرَّةً أُخْرَى فَلَمَّا رَأَى أَنَّهُ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا.

“Ruh-ruh mereka di perut burung hijau. Burung ini memiliki sarang yang tergantung di bawah ‘Arsy. Mereka bisa terbang kemanapun di surga yang mereka inginkan. Kemudian mereka kembali ke sarangnya. Kemudian Allah memperhatikan mereka, dan berfirman: ‘Apakah kalian menginginkan sesuatu?’ Mereka menjawab: ‘Apa lagi yang kami inginkan, sementara kami bisa terbang di surga ke manapun yang kami inginkan.’ Namun Allah selalu menanyai mereka 3 kali. Sehingga ketika mereka merasa akan selalu ditanya, mereka meminta: ‘Ya Allah, kami ingin Engkau mengembalikan ruh kami di jasad kami, sehingga kami bisa berperang di jalan-Mu untuk kedua kalinya.’ Ketika Allah melihat mereka sudah tidak membutuhkan apapun lagi, mereka ditinggalkan.” (HR. Muslim 1887, Abu Dawud 2520).

5.   Ulama sepakat bahwa orang yang telah mati tak dapat mengabulkan doa.

Allah ta’ala berfirman:

وَلَوْ سَمِعُوا مَا ٱسْتَجَابُوا لَكُمْ .

“Dan andaikan mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.” (QS. Fathir[35]: 14).

Para penghuni kubur mereka ada dua kemungkinan, bisa jadi mereka mendapatkan nikat kubur atau adzab kubur. Mereka justru mengharapkan kebaikan dari saudara-saudaranya dan anak-anak mereka bukan malah dimintai.

Demikianlah semoga bermanfaat.

 

-----000-----

 

Sragen 25-09-2025

Abu Ibrahim, Junaedi.

 

HUD AQIDATAKA BAB 5 SYIRIK BESAR. SOAL: 6 APAKAH ORANG MATI DAPAT MENDENGAR

  BAB 5 SYIRIK BESAR. SOAL: 6 APAKAH ORANG MATI DAPAT MENDENGAR   س   ٦ - هَلْ يَسْمَعُ الأَمْوَاتُ الدُّعَاءَ . Soal 6: Apakah ...