Rabu, 15 Oktober 2025

MACAM-MACAM BENTUK KESYIRIKAN

MACAM-MACAM KESYIRIKAN.

 

Syirik dalam berdoa.

Allah ta’ala berfirman:


{
فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ}

maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).(Al-Ankabut: 65)

Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu:

{وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ}

Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. (Al-Isra: 67)

Muhammad ibnu Ishaq telah menuturkan dari Ikrimah ibnu Abu Jahal yang telah menceritakan bahwa ketika Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam) beroleh kemenangan atas kota Mekah, Ikrimah melarikan diri dari Mekah. Dan ketika ia menempuh jalan laut menaiki perahu untuk pergi ke negeri Habsyah, di tengah perjalanan perahunya oleng karena ombak yang besar. Maka para penumpangnya berseru, "Hai kaum, murnikanlah doa kalian hanya kepada Tuhan kalian (Allah), karena sesungguhnya tiada yang dapat menyelamatkan kita dari bencana ini selain Dia." Ikrimah berkata, "Demi Allah, bilamana tiada yang dapat menyelamatkan dari bencana di laut selain Dia, maka sesungguhnya tiada pula yang dapat menyelamatkan dari bencana di daratan kecuali hanya Dia. Ya Allah, aku berjanji kepadaMu seandainya aku selamat dari bencana ini, sungguh aku akan pergi dan benar-benar aku akan meletakkan tanganku pada tangan Muhammad (masuk Islam), dan aku pasti menjumpainya seorang yang pengasih lagi penyayang," dan memang apa yang diharapkannya itu benar-benar ia jumpai pada diri Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam).

--------

Syirik niat dan tujuan.

Mujahid dan lain-lainnya mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang suka riya.

Qatadah mengatakan, "Barang siapa yang dunia merupakan niat, dambaan, dan buruannya, maka Allah membalas kebaikannya di dunia ini. Dan bila ia datang ke akhirat, maka ia tidak lagi memiliki pahala amal kebaikan yang akan diberikan kepadanya. Adapun orang mukmin, maka amal kebaikannya dibalas di dunia ini, dan kelak di akhirat dia mendapat pahala dari amalnya itu." Dalam hadis yang marfu’ telah disebutkan hal yang semisal dengan ini.

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16) }

Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.

 

Allah (Subhanahu wa Ta'ala) telah berfirman:

{مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا كُلا نُمِدُّ هَؤُلاءِ وَهَؤُلاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا انْظُرْ كَيْفَ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَلَلآخِرَةُ أَكْبَرُ دَرَجَاتٍ وَأَكْبَرُ تَفْضِيلا}

Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan bagiannya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahanam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibatasi dengan baik Kepada masing-masing golongan —baik golongan ini maupun golongan itu— Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatannya dan lebih besar keutamaannya. (Al-Isra: 18-21)

 

Syirik ketaatan.

Firman Allah (Subhanahu wa Ta'ala).:

{اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ}

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam. (At-Taubah: 31)

Imam Ahmad, Imam Tirmidzi, dan Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Addi ibnu Hatim r.a. yang menceritakan:

أَنَّهُ لَمَّا بَلَغَتْهُ دَعْوَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فرَّ إِلَى الشَّامِ، وَكَانَ قَدْ تَنَصَّرَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَأُسِرَتْ أُخْتُهُ وَجَمَاعَةٌ مِنْ قَوْمِهِ، ثمَّ منَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُخْتِهِ وَأَعْطَاهَا، فَرَجَعَتْ إِلَى أَخِيهَا، ورَغَّبته فِي الْإِسْلَامِ وَفِي الْقُدُومِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَدِمَ عَدِيّ الْمَدِينَةَ، وَكَانَ رَئِيسًا فِي قَوْمِهِ طَيِّئٍ، وَأَبُوهُ حَاتِمٌ الطَّائِيُّ الْمَشْهُورُ بِالْكَرَمِ، فتحدَّث النَّاسُ بِقُدُومِهِ، فَدَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِ عَدِيّ صَلِيبٌ مِنْ فِضَّةٍ، فَقَرَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: {اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ} قَالَ: فَقُلْتُ: إِنَّهُمْ لَمْ يَعْبُدُوهُمْ. فَقَالَ: "بَلَى، إِنَّهُمْ حَرَّمُوا عَلَيْهِمُ الْحَلَالَ، وَأَحَلُّوا لَهُمُ الْحَرَامَ، فَاتَّبَعُوهُمْ، فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَّاهُمْ". وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا عَدِيُّ، مَا تَقُولُ؟ أيُفرّك أَنْ يُقَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ؟ فَهَلْ تَعْلَمُ شَيْئًا أَكْبَرَ مِنَ اللَّهِ؟ مَا يُفرك؟ أَيُفِرُّكَ أَنْ يُقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ فَهَلْ تَعْلَمُ مِنْ إِلَهٍ إِلَّا اللَّهُ"؟ ثُمَّ دَعَاهُ إِلَى الْإِسْلَامِ فَأَسْلَمَ، وَشَهِدَ شَهَادَةَ الْحَقِّ، قَالَ: فَلَقَدْ رأيتُ وَجْهَهُ اسْتَبْشَرَ ثُمَّ قَالَ: "إِنَّ الْيَهُودَ مَغْضُوبٌ عَلَيْهِمْ، وَالنَّصَارَى ضَالُّونَ"

bahwa ketika sampai kepadanya dakwah dari Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam)., ia lari ke negeri Syam. Sejak zaman Jahiliah ia telah masuk agama Nasrani, kemudian saudara perempuannya ditahan bersama sejumlah orang dari kaumnya. Lalu Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam) menganugerahkan kebebasan kepada saudara perempuan Addi ibnu Hatim dan memberinya hadiah. Saudara perempuan Addi ibnu Hatim kembali kepada saudara lelakinya dan menganjurkannya untuk masuk Islam dan menghadap kepada Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam) Akhirnya Addi datang ke Madinah. Dia adalah pemimpin kaumnya, yaitu kabilah Tayyi'; dan ayahnya (yaitu Hatim At-Tai') terkenal dengan kedermawanannya. Maka orang-orang Madinah ramai membicarakan kedatangan Addi ibnu Hatim. Addi masuk menemui Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam)., sedangkan pada leher Addi tergantung salib yang terbuat dari perak. Saat itu Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam) sedang membacakan firman-Nya: Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. (At-Taubah: 31) Addi melanjutkan kisahnya, bahwa ia menjawab, "Sesungguhnya mereka tidak menyembahnya." Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam) bersabda: Tidak, sesungguhnya mereka mengharamkan hal yang halal bagi para pengikutnya dan menghalalkan hal yang haram bagi mereka, lalu mereka mengikutinya; yang demikian itulah ibadah mereka kepada orang-orang alim dan rahib-rahib mereka. Kemudian Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam) bersabda, "Hai Addi, bagaimanakah pendapatmu. Apakah membahayakan bila dikatakan Allah Mahabesar? Apakah kamu mengetahui sesuatu yang lebih besar daripada Allah bila Allah menimpakan bahaya kepadamu? Apakah membahayakanmu bila dikatakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah? Apakah kamu mengetahui ada Tuhan selain Allah?" Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam) mengajaknya masuk Islam. Akhirnya Addi masuk Islam dan mengucapkan syahadat yang benar. Addi melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu ia melihat wajah Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam) bersinar ceria, lalu bersabda: Sesungguhnya orang-orang Yahudi itu dimurkai dan orang-orang Nasrani itu orang-orang yang sesat.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Huzaifah ibnul Yaman, Abdullah ibnu Abbas, dan lain-lainnya sehubungan dengan tafsir firman-Nya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah. (At-Taubah: 31) Bahwa sesungguhnya mereka mengikuti ulama dan rahibnya dalam semua yang dihalalkan dan yang diharamkan oleh mereka.

As-Saddi mengatakan, "Mereka meminta saran dari orang-orang alim mereka, sedangkan Kitabullah mereka lemparkan di belakang punggungnya."

Karena itulah Allah (Subhanahu wa Ta'ala) berfirman:

{وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا}

padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa. (At-Taubah: 31)

Maksudnya, Tuhan yang apabila mengharamkan sesuatu, maka jadilah sesuatu itu diharamkan, apa yang dihalalkan-Nya menjadi halal, apa yang disyariatkan-Nya (diperintahkan-Nya) harus diikuti, dan apa yang telah diputuskan-Nya harus dilaksanakan.

{لَا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ}

Tidak ada Tuhan selain Dia, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (At-Taubah: 31)

Yakni Mahatinggi, Mahasuci, dan Mahabersih Allah dari sekutu-sekutu, tandingan-tandingan, pembantu-pembantu, serta lawan-lawan dan anak. Tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia.

 

 ----------

 

SYIRIK KETAATAN

Firman Allah (Subhanahu wa Ta'ala).:

{وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ}

Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. (Al-Baqarah: 165)

Demikian itu karena mereka cinta kepada Allah, makrifat kepada-Nya, mengagungkan-Nya, serta mengesakan-Nya; dan mereka sama sekali tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, melainkan hanya menyembah-Nya semata dan bertawakal kepada-Nya serta kembali kepada-Nya dalam semua urusan mereka.

Kemudian Allah (Subhanahu wa Ta'ala) mengancam orang-orang yang mempersekutukan diri-Nya, yang berbuat aniaya terhadap diri mereka sendiri. Untuk itu Allah (Subhanahu wa Ta'ala) berfirman:

{وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا}

Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya. (Al-Baqarah: 165)

Sebagian Mufassirin mengatakan bahwa makna ayat ini ialah, "Seandainya mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri siksaan tersebut, niscaya mereka mengetahui saat itu bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya."Dengan kata lain, hanya Dia sematalah yang berhak menghukumi, tiada sekutu baginya; dan bahwa segala sesuatu itu berada di bawah keperkasaan-Nya, kekuatan-Nya, dan kekuasaan-Nya. dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya. (Al-Baqarah: 165)

Seperti yang diungkapkan oleh ayat lain, yaitu firman-Nya:

{فَيَوْمَئِذٍ لَا يُعَذِّبُ عَذَابَهُ أَحَدٌ وَلا يُوثِقُ وَثَاقَهُ أَحَدٌ}

Maka pada hari itu tiada seorang pun yang menyiksa seperti siksa-Nya dan tiada seorang pun yang mengikat seperti ikatan-Nya. (Al-Fajr: 25-26)

------000-----

 

Sragen16-10-2025.

Junaedi Abdullah.

 

 


Kamis, 09 Oktober 2025

KEMULIAAN ILMU DAN KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU

 



KEMULIAAN ILMU DAN KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU. 

Ilmu dan petunjuk agama memiliki keutamaan yang sangat banyak, adapun diantara keutamaan ilmu agama yaitu:

1.   Ilmu merupakan cahaya yang akan menerangi dan menjadikan petunjuk.

Allah ta’ala berfirman:

اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ.

“Allah (pemberi) cahaya (pada) langit dan bumi.” (QS. An-Nur[24]:35).

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.” (QS. An-Nur[24]: 35), Yakni Pemberi petunjuk kepada penduduk langit dan bumi. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. An-Nur[24]:35).

Ilmu adalah cahaya bagi hati, sebagaimana cahaya bagi mata, dimana mata tak akan dapat melihat apabila tidak ada cahaya.

Hal ini sebagaimana yang dipahami oleh al Waki’, Al-Waki’ (guru imam Syafi’i) memberi nasehat kepada imam syafi’i :

شَكَوْتُ إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي
فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ
وَنُورُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي

Aku mengadu kepada Waki‘ tentang buruknya hafalanku,
maka beliau menasihatiku agar meninggalkan maksiat,
dan beliau memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat. (Diwan Imam Asy-Syafi’i 262-263, Ad-Daa’ wa Ad Dawaa’ 60).

2.   Ilmu petunjuk agama sebagaimana air hujan.

Allah ta’ala berfirman:

أَنزلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا.

“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya.” (QS. Ar-Ra'd[13]: 17)

Masing-masing lembah dipenuhi oleh air hujan itu sesuai dengan ukuran luasnya; ada yang luas, maka memuat banyak air; dan ada yang kecil, maka air yang dimuatnya sesuai dengan ukuran luas lahannya. Hal ini mengisyaratkan dan menggambarkan tentang hati manusia dan perbedaan-perbedaannya. Di antaranya ada yang dapat memuat ilmu yang banyak, di antaranya ada pula yang tidak dapat memuat ilmu yang banyak, melainkan sedikit, karena hatinya sempit. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Ar-Ra’d [13]:17).

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالعِلْمِ كَمَثَلِ الغَيْثِ الكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ المَاءَ فَأَنْبَتَتِ الكَلَأَ وَالعُشْبَ الكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ المَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ, فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا, وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ, لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلَأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ .

“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku dengannya, adalah seperti hujan lebat yang turun ke bumi.
Di antara tanah itu ada yang baik yang dapat menyerap air, lalu menumbuhkan rumput dan tanaman yang banyak.
Sebagian lagi adalah tanah yang keras,  yang dapat menampung air maka manusia pun bisa memanfaatkannya: mereka minum, memberi minum (hewan), dan menyiram tanaman. Namun, sebagian tanah lainnya adalah tanah datar gersang  tidak menahan air dan tidak menumbuhkan tanaman.

Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan mendapatkan manfaat dari apa yang aku bawa, maka ia belajar dan mengajarkannya.
Dan perumpamaan orang yang tidak memperhatikannya dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.” (HR. Bukhari 79, Muslim 2282, Ahmad 19573)

Keutamaan Menuntut Ilmu.

1.   Allah meninggikan derajat orang yang berilmu.

Allah ta’ala berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.

“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang orang yang di beri ilmu dengan beberapa derajat.” ( QS Al-Mujadilah[58]:11)

Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

فَضْلُ العَالِمِ عَلىَ العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلىَ سَائِرِ الكَوَاكِبِ.

 “Keutamaan orang yang berilmu (yang mengamalkan ilmunya) atas orang yang ahli ibadah adalah seperti utamanya bulan di malam purnama atas semua bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Dawud 3641, Ibnu Majah 223 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Al-Miskah 212)

2.   Ilmu merupakan warisan yang paling mulia dari para nabi.

Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.

“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya, sungguh ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Tirmidzi 2682, Abu Dawud 3641, Ibnu Majah 223, di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahih wa Dhai’f Sunan Tirmidzi bab 2682, juz 6, hal 182).

3.   Ilmu menjadikan istiqamah dan memberikan kesabaran.

Ilmu akan menguatkan hati seseorang, mengokohkan pendirian, menyabarkan hati, dan menyingkap sesuatu yang samar.

Allah ta’ala berfirman:

قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ.


“Katakanlah: Ruhul Qudus (Jibril) menurunkannya (Al-Qur’an) dari Tuhanmu dengan kebenaran untuk meneguhkan hati orang-orang yang beriman, serta menjadi petunjuk dan kabar gembira bagi kaum Muslimin.” (QS. An-Nahl [16]:102).

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ.

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Rabb kami adalah Allah,” kemudian mereka meneguhkan pendirian (istiqamah), maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS.Fushshilat [41]:30).

Disebutkan di dalam tafsir Ibnu Katsir, firman Allah ta’ala:

 

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا.

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan kami ialah Allah, " kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka. (QS. Fushshilat[41]: 30).

Yakni mereka ikhlas dalam beramal hanya karena Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu dengan menaati apa yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. kepada mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Fusilat [41]:30).

Oleh karena itu memahami kalimat syahadat dengan benar akan diberi pertolongan dengan istiqamah di dunia dan di akhirat.

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ.

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat.” (QS. Ibrahim [14]:27).

Qotadah As Sadusi mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia adalah dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan dan amalan shalih. Sedangkan di akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur.”  (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Ibrahim [14]:27).

4.   Ilmu akan menjaga pemiliknya.

Ilmu akan menjaga seseorang, dimana dengan ilmu seseorang akan dapat memahami hakekat sesuatu dengan sebenarnya.

Oleh karena itu pangkal kesesatan dan kerusakan dimuka bumi ini tidak lain adalah kejahilan.

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ .

“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar[39:9).

5.   Ilmu akan menjadikan takut kepada Allah.

Allah ta’ala berfirman:

اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤا.

“Hanya saja yang takut kepada Allah dari sekian hamba-Nya adalah ulama.” (QS. Fatir[35]:28).

Imam Ahmad berkata:

أصلُ العلمِ الخشيةُ اللّٰهَ

“Asal (hakikat) ilmu adalah rasa takut kepada Allah.” (Hilyah Thalibil Ilmi, Bakar bin Abdullah Abu Zaid hal 11)

Kewajiban Menuntut Ilmu.

 

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dishahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah  224)

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.

“ Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan memberikan kefaqihan (pemahaman) agama baginya. “ (HR. Bukhari 71, 3116, Muslim 1037)

Begitu pula sebaliknya, berpalingnya seorang hamba -semoga Allah melindungi kita dari hal itu- dari ilmu dan kebenciannya terhadap majelis ilmu serta sempit dadanya dari majelis ilmu maka ini ini bukanlah merupakan tanda kebaikan dan tanda taufik dari Allah kepada dirinya. Jika seorang hamba melihat dirinya asing dari majelis ilmu dan berusaha meninggalkannya serta tidak memiliki keinginan untuk mendapatkannya maka ini bukanlah tanda-tanda taufik dan bukan pula ciri Allah menghendaki kebaikan bagi hamba tersebut.

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ.

“Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Ahmad 8316, Tirmidzi 2646, Ibnu Majah 223, di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah 225). 

Kisah-kisah isfiratif:

Umar radiayallahu ‘anhu bergantian dengan tetangganya untuk menuntut ilmu.

كُنْتُ أَنَا وَجَارٌ لِي مِنَ الأَنْصَارِ فِي بَنِي أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ وَهِيَ مِنْ عَوَالِي الْمَدِينَةِ وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَإِذَا نَزَلْتُ جِئْتُهُ بِخَبَرِ ذَلِكَ اليَوْمِ مِنَ الوَحْيِ وَغَيْرِهِ, وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ.

“Aku bersama tetanggaku seorang Anshar dari Bani Umayyah bin Zaid yang tinggal di dekat Madinah, kami saling bergantian hadir di sisi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, satu hari dia yang hadir dan satu hari yang lain aku yang hadir. Apabila aku hadir, maka aku mendatanginya dengan membawa kabar/ilmu dari wahyu yang disampaikan pada hari itu, dan apabila dia yang hadir, maka dia melakukan hal yang semisal itu.”  (HR. Bukhari 89)

Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata,

بَلَغَنِي حَدِيثٌ عَنْ رَجُلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِفَاشْتَرَيْتُ بَعِيرًا ثُمَّ شَدَدْتُ عليه  رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا حَتَّى قَدِمْتُ عَلَيْهِ الشَّامَ فَإِذَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أُنَيْسٍ فَقُلْتُ لِلْبَوَّابِ: قُلْ لَهُ جَابِرٌ عَلَى الْبَابِ. فَقَالَ: ابْنُ عَبْدِ اللهِ قُلْتُ: نَعَمْ. فَخَرَجَ يَطَأُ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَنِي وَاعْتَنَقْتُهُ  فَقُلْتُ: حَدِيثًا بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ فِي الْقِصَاصِ فَخَشِيتُ أَنْ تَمُوتَ أَوْ أَمُوتَ قَبْلَ أَنْ أَسْمَعَهُ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ: يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْقَالَ الْعِبَادُ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا. قَالَ: قُلْنَا: وَمَا بُهْمًا قَالَ: لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍيَسْمَعُهُ مِنْ قُرْبٍ: أَنَا الْمَلِكُ أَنَا الدَّيَّانُ وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَنْ يَدْخُلَ النَّارَ وَلَهُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عِنْدَهُ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ حَتَّى اللَّطْمَةُ. قَالَ: قُلْنَا: كَيْفَ وَإِنَّا إِنَّمَا نَأْتِي اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا قَالَ: بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ.

“Telah sampai kepadaku sebuah hadits dari seseorang yang langsung mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .”

Jabir berkata, “Aku pun bersegera membeli seekor unta. Aku persiapkan bekal perjalananku dan aku tempuh perjalanan satu bulan untuk menemuinya, hingga sampailah aku ke Syam. Ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Unais.”

Aku berkata kepada penjaga pintu rumahnya, “Sampaikan kepada tuanmu bahwa Jabir sedang menunggu di pintu.”

Penjaga itu masuk dan menyampaikan pesan itu kepada Abdullah bin Unais. Abdullah bertanya, “Jabir bin Abdillah?”

Aku menjawab, “Ya, benar!”

(Begitu tahu kedatanganku), Abdullah bin Unais bergegas keluar, lalu dia merangkulku dan aku pun merangkulnya.”

Aku berkata kepadanya, “Telah sampai kepadaku sebuah hadits, dikabarkan bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qishash (pembalasan atas kezaliman di hari kiamat). Saya khawatir engkau meninggal terlebih dahulu atau aku yang lebih dahulu meninggal sementara aku belum sempat mendengarnya.”

Abdullah bin Unais berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seluruh manusia atau hamba nanti akan dikumpulkan di hari kiamat dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan, dan buhma.’

Kami bertanya, ‘Apa itu buhma?’ Beliau menjawab, ‘Tidak membawa apa pun.

Kemudian Allah ‘azza wa jalla menyeru mereka dengan suara yang semua mendengar, ‘Aku adalah al-Malik (Maharaja)! Aku adalah ad-Dayyan (Yang Maha Membalas amalan hamba)! Tidaklah pantas bagi siapa pun dari kalangan penghuni neraka untuk masuk ke dalam neraka sementara masih ada hak penghuni surga pada dirinya hingga Aku mengqishashnya (yakni diselesaikan hak penghuni surga itu darinya). Tidak pantas pula bagi siapa pun dari kalangan penghuni surga untuk masuk ke dalam surga sementara masih ada hak penghuni neraka pada dirinya hingga Ku-selesaikan hak penghuni neraka itu darinya, meskipun hanya sebuah tamparan.”

Kami bertanya, “Bagaimana caranya menunaikan hak mereka sedangkan kita menemui Allah ta’ala dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan, dan tidak memiliki apa pun?”

Nabi menjawab, “Diselesaikan dengan kebaikan dan kejelekan yang kita miliki.” (HR. Ahmad 16042, Bukhari al-Adabbul Mufrad 570)

 Atha’ bin Abi Rabah. 97 H.

Beliau membagi waktunya menjadi tiga:

1)   Untuk majikannya.

2)   Untuk bermunajad kepada Allah ta’ala.

3)   Untuk menuntut ilmu.

Di tengah perjalanan sa'i antara Shafa dan Marwah, kedua pemuda itu mendengar seruan para penyeru "Wahai kaum muslimin..tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha' bin Abi Rabah..jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih."

Sulaiman berkata kepada putranya: "Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat yang kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha' bin Abi Rabah, orang yang berhak berfatwa di masjid Al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak." Kemudian beliau melanjutkan: "Wahai anakku..carilah ilmu..karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi terhormat...para budak bisa melampaui derajat para raja.."

Muhammad bin Suuqah menceritakan kepada jama'ah yang me ngunjungi beliau: "Maukah aku ceritakan kepada kalian sesuatu yang mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kalian sebagaimana kami telah mendapatkan manfaat karenanya?" Mereka berkata: "Mau." Beliau berkata: "Suatu hari Atha' bin Abi Rabah menasihatiku, "Wahai putra saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita (yakni para shahabat-pent) tidak menyukai banyak bicara." Lalu aku katakan: "Apa yang dianggap banyak bicara menurut mereka?" beliau menjawab: "Mereka menganggap bahwa setiap ucapan termasuk berlebih-lebihan melainkan dalam rangka membaca Al-Kitab dan memahaminya, atau membaca hadits Rasulullah yang diriwayatkan dan harus diketahui, atau memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, atau berbicara tentang ilmu yang dengannya menjadi sarana taqarrub kepada Allah Ta'ala, atau engkau membicarakan tentang kebutuhan dan pekerjaan yang memang harus dibicarakan. "Lalu beliau memperhatikan raut wajahku seraya berkata: "Apakah kalian mengingkari firman Allah Ta'ala:

 وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَفِظِينَ . كراما كتبِينَ.

"Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu)." (QS. Al-Infithar [82]: 10-12).

Dan bahwa masing-masing dari kalian disertai oleh dua malaikat:

إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَّانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ فَعِيدٌ . مَّا يَلْفِظُ من قول إلا لديهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ .

"(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaaf: 17-18).

Kemudian beliau berkata: "Tidakkah salah seorang di antara kita merasa malu manakala dibukakan lembaran catatan amal yang diker- jakan sepanjang siang, lalu dia mendapatkan di dalamnya sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan urusan agama maupun kepentingan dunianya?" (Sumber: Mereka adalah Tabi’in, Syaikh Abdurhman Ra’fat Basa)

Demikian semoga bermanfaat.

------000-----

 

Sragen 09-10-2025

Abu Ibrahim Junaedi Abdullah

MACAM-MACAM BENTUK KESYIRIKAN

MACAM-MACAM KESYIRIKAN.   Syirik dalam berdoa. Allah ta’ala berfirman: { فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ } maka t...