Selasa, 30 September 2025

SIFAT WANITA PENGHUNI NERAKA 2.

SIFAT WANITA PENGHUNI NERAKA.

1.      Bersikap sombong.

Menolak kebenaran dan meremehkan suami.

Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:


لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.

"Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi. Ada seseorang yang bertanya, 'Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?' Beliau menjawab, 'Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." (HR. Muslim 91, Tirmidzi 1999, Ibnu Majah 59).

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.” (HR. Tirmidzi 1159, Ibnu Hibban 1291, di shahihkan syaikh al- Albani di dalam Al-Irwaa’ ul ghaliil 1998)

2.     Tidak perduli suami ridha atau marah.

Wanita yang tidak memiliki perhatian terhadap suami, apakah suami ridha atau murka dengan sikap masa bodoh, wanita seperti ini diancam neraka.

Rasulullah memberi nasehat kepada seorang wanita.

فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

“Perhatikanlah bagaimana hubunganmu dengannya karena suamimu (merupakan) Surgamu dan Nerakamu.”

Meskipun dia shalat, maka shalatnya tidak mendapatkan apa-apa.


ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ.

“Ada tiga kelompok yang shalatnya tidak terangkat walau hanya sejengkal di atas kepalanya (tidak diterima oleh Allah). Orang yang mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya, istri yang tidur sementara suaminya sedang marah kepadanya, dan dua saudara yang saling mendiamkan (memutuskan hubungan).” (HR. Ibnu Majah I/311, no 971 dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Misyakatul Mashabih 1128).

3.     Tidak bersyukur kepada suami.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ  قَالَ: يَكْفُرْنَ العَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ.

“Diperlihatkan kepadaku neraka dan aku dapati kebanyakan penghuninya adalah para wanita yang ingkar. Rasul ‘alaihish shalatu wassalam ditanya: “Apakah mereka ingkar kepada Allah ? Nabi bersabda: “Mereka ingkar kepada suaminya dan ingkar kepada kebaikan suaminya. Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang mereka (istri-istrimu) selama satu tahun, kemuadian wanita tersebut melihat satu kejelekan darimu, maka ia akan berkata: “Aku tak pernah melihat engkau berbuat baik sedikitpun.” (HR. Bukhari 1052 Muslim 907)

4.     Tidak mau mengalah dan meminta maaf kepada suami.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:


أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ فِي الْجَنَّةِ؟قُلْنَا بَلَى يَا رَسُوْلَ الله كُلُّ وَدُوْدٍ وَلُوْدٍ، إِذَا غَضِبَتْ أَوْ أُسِيْءَ إِلَيْهَا أَوْ غَضِبَ زَوْجُهَا، قَالَتْ: هَذِهِ يَدِيْ فِي يَدِكَ، لاَ أَكْتَحِلُ بِغَمْضٍ حَتَّى تَرْضَى.

“Maukah kalian aku beritahu tentang istri-istri kalian di dalam surga?” Mereka menjawab: “Tentu saja wahai Rasulullaah!” Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Wanita yang penyayang lagi subur. Apabila ia marah, atau diperlakukan buruk atau suaminya marah kepadanya, ia berkata: “Ini tanganku di atas tanganmu, mataku tidak akan bisa terpejam hingga engkau ridha.” HR. Ath Thabarani dalam Al Ausath dan Ash Shaghir. Ash Shahihah 3380.

5 Melawan dengan suami.

Allah ta’ala berfirman:

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ.

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka. QS An Nisaa[4]:34.

Dari Mu’adz bin Jabal, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:

 لا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا، إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الحُورِ العِينِ: لاَ تُؤْذِيهِ، قَاتَلَكِ اللَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya, semoga Allah membinasakanmu. Dia (suami) hanyalah tamu di sisimu, hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami.” [HR. At-Tirmidzi 1174,  Ibnu Majah,  2014. Hadits ini dihukumi sebagai hadits shahih oleh Syaikh al-Albani.

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ

Wanita mana saja yang meninggal dunia lantas suaminya ridha padanya, maka ia akan masuk surga.(HR. Tirmidzi 1161, Ibnu Majah 1854. Abu Isa Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib.

Hukum kebalikan dari hadits di atas apabila suami tidak ridha dia istri terancam dengan neraka. Wal iyadzubillah.

Semoga bermanfaat.

Abu ibrahim Junaedi Abdullah  

Senin, 29 September 2025

BAB 4 MACAM-MACAM SYIRIK BESAR. SOAL: 8 MEMINTA TOLONG KEPADA SELAIN ALLAH

 


BAB 4

MACAM-MACAM SYIRIK BESAR.

SOAL: 8

MEMINTA TOLONG KEPADA SELAIN ALLAH

 

س ٨ - هَلْ تَجُوْزُ الاسْتِعَانَةُ بِغَيْرِ اللَّهِ.

Soal: Apakah boleh kita meminta pertolongan kepada selain Alloh?

ج - لا تَجُوزُ .

Jawab: tidak boleh, kita tidak boleh meminta pertolongan kepada selain Allah.

والدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ }

Dalilnya firman Allah ta’ala: "Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan." (Surat Al-Fatihah ayat 4).

وَقَوْلُ ﷺ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

)إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ الله وَ إِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ(

“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. (HR. Tirmidzi 2516, Ahmad 2763, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahih Abu Dawud 86).

 

Penjelasan:

1.   Isti’anah, istighatsah, isti’adzah merupakan perkara ibadah.

Dengan demikian tidak boleh memberikan ibadah kepada selain Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَۙ.

Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya (shalat) itu benar-benar berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,

وَمَن يَدْعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَـٰهًا ءَاخَرَ لَا بُرْهَـٰنَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِندَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ ٱلْكَـٰفِرُونَ .

“Dan barang siapa berdoa kepada sesembahan lain di samping Allah, padahal tidak ada dalil baginya, maka sesungguhnya perhitungannya ada di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (QS. al-Mu’minun[23]: 117).

مَنْ نَزَلَتْ بِهِ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِالنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ وَمَنْ نَزَلَتْ بِهِ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا بِاللهِ فَيُوشِكُ اللهُ لَهُ بِرِزْقٍ عَاجِلٍ أَوْ آجِلٍ.

Barang siapa ditimpa kesusahan lalu ia mengadukannya kepada manusia, maka kesusahannya tidak akan tertutupi. Namun barang siapa mengadukannya kepada Allah, niscaya Allah akan segera memberinya rezeki, cepat atau lambat. (HR. Tirmidzi 2326, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam as-Shahihah 2787).

2.   Pengertian dari isti’anah

Isti’anah ialah meminta tolong atau bantuan dalam suatu perkara.

Isti’anah tidak diperbolehkan dalam perkara hanya Allah saja yang mampu.

Allah ta’ala berfirman:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ .

Dalilnya firman Allah ta’ala: "Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan." (QS Al-Fatihah [1]:4).

Diperbolehkan isti’anah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan perantara amal shaleh dan perkara-perkara yang dicintai oleh Allah. Isti’anah jenis ini disyariatkan berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Artinya: ” Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS.Al-Baqarah[2]:153).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ الله وَ إِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ.

“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. (HR. Tirmidzi 2516, Ahmad 2763, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahih Abu Dawud 86).

3.   Pengertian istighatsah.

Istighatsah ialah meminta pertolongan dalam keadaan genting.

Allah ta’ala berfirman:

إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُرْدِفِينَ.

“(ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut”. (QS.Al-Anfaal [8]:9)

فَاسْتَغَاثَهُ الَّذِيْ مِنْ شِيْعَتِهٖ عَلَى الَّذِيْ مِنْ عَدُوِّهٖ ۙفَوَكَزَهٗ مُوْسٰى فَقَضٰى عَلَيْهِۖ قَالَ هٰذَا مِنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ عَدُوٌّ مُّضِلٌّ مُّبِيْنٌ.

“Orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya untuk (mengalahkan) orang yang dari golongan musuhnya. Musa lalu memukulnya dan (tanpa sengaja) membunuhnya. Dia berkata, “Ini termasuk perbuatan setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang jelas-jelas menyesatkan.” (Al-Qasas[28]:15).

4.   Pengertian Istiadzah.

Isti’adzah adalah meminta perlindungan dan penjagaan dari perkara yang tidak disukai.

Allah ta’ala berfirman:

وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٞ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ.

Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Fushshilat[41]: 36).

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ  .إِنَّهُ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ . إِنَّمَا سُلْطَانُهُ عَلَى الَّذِينَ يَتَوَلَّوْنَهُ وَالَّذِينَ هُمْ بِهِ مُشْرِكُونَ

“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya syaitan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. (QS. An Nahl [16]: 98 – 99).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa ketika kita singgah di suatu tempat.

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ.

Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa-apa yang Dia ciptakan.( HR. Muslim 2708, Abu Dawud 3898, 3437).

Rasulullah juga mengajarkan doa perlindungan kepada anak.

أُعِيْذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ, مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ, وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ

“Aku memohon perlindungan untukmu dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari semua godaan setan dan binatang pengganggu, dan dari pandangan mata buruk.” (HR. Bukhari 3371, Tirmidzi 2060, Abu Dawud 4737).

5.   Hendaknya berusaha dan memohon pertolongan kepada Allah.

Manusia tercipta dalam keadaan lemah, oleh karena itu hendaknya tidak hanya mengandalkan kemampuannya semata tetapi diiringi dengan memohon pertolongan kepada Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا.

“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah..” (QS. An-Nisa[4]:28)

وَأَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ, وَأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ, وَأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.

“Sesungguhnya kemenangan itu bersama kesabaran, kelapangan itu bersama kesusahan, dan sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (HR. Ahmad 2803, Thabrani 11243 dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam as- Shahihah 2383).

6.   Larangan dan hukuman memohon dan tawakal kepada selain Allah.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَّتَّقِ اللّٰهَ يَجْعَلْ لَّهٗ مَخْرَجًا ۙ وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ .

“Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya . Dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga. Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. At-Thalaq[65]:2-3).

Sebaliknya jika seseorang tidak mau memohon kepada Allah bahkan bertawakal kepada selainnya maka Allah serahkan orang tersebut kepadanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ.

Barangsiapa bergantung (tawakal atau menyandarkan diri) kepada sesuatu, maka dia akan diserahkan kepadanya. (HR. Ahmad   18786, Tirmidzi 2072, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Ghayah al-maram 297).

Demikianlah semoga bermanfaat.

 

-----000-----

 

Sragen 22-09-2025.

Abu Ibrahim Junaedi Abdullah.

Sabtu, 27 September 2025

MANHAJ (CARA BERAGAMA)YANG BENAR YAITU MENGIKUTI RASULULLAH DAN PARA SAHABAT.

 



MANHAJ YANG BENAR
(Metode Memahami Agama Islam Yang Benar)

 

Islam adalah agama yang benar, senantiasa mencocoki sepanjang masa, selama memahami agama ini dengan pemahaman yang benar.

Adapun manhaj (metode di dalam memahami agama) Islam yang benar yaitu:

1.   Meyakini Agama Islam Telah Sempurna.

Agama islam adalah agama yang telah sempurna, di mana di dalamnya telah diajarkan bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta’ala, bermuamalah sesama manusia, menjahui apa yang terlarang dan membahayakan manusia baik di dunia dan akhirat, begitu pula mengajarkan berbagai macam hal dari apa yang menjadi hajad hidup manusia, Allah ta’ala telah menjelaskan kesempurnaan agama islam ini di dalam firman-Nya:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا.

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (QS. Al-Maidah [5]: 3).

Dari Thariq bin Syihab, ia berkata, “Ada seorang Yahudi yang datang kepada ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya kalian membaca sebuah ayat dalam kitab kalian. Jika ayat tersebut diturunkan kepada kami (orang-orang Yahudi), niscaya kami akan menjadikan hari itu (hari turunnya ayat itu) sebagai hari raya.” ‘Umar  radhiyallahu 'anhu bertanya,  “Ayat yang mana?”. Orang Yahudi itu berkata, “Yaitu firman-Nya”:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا.

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (QS. Al-Maidah[5]: 3).

Maka ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya aku telah mengetahui hari dan tempat ketika ayat itu turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayat itu diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di ‘Arafah pada hari Jum’at.” (Tafsir Ibnu Katsir (QS. Al Maidah[5]: 3).

Ini menunjukkan bahwasanya orang Yahudi mereka memahami hal ini, sungguh mengherankan banyak kaum muslimin yang tidak memahami hal ini (tentang kesempurnaan Islam).

Allah ta’ala berfirman:

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.

“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu sebagai kalimat yang benar dan adil.” (Al-An'am [6]: 115).

Firman Allah: “wa tammat kalimatu Rabbika shidqaw wa ‘adlan.” “Telah sempurna kalimat dari Rabbmu, sebagai kalimat yang benar dan adil.” Qatadah berkata: “Yaitu benar dalam firman-Nya, dan adil dalam putusan Nya.”

Laa mubaddila likalimaatihi “Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya.”) “Maksudnya, tidak ada seorang pun yang dapat menolak putusan Allah Ta’ala, di dunia maupun di akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir (QS. Al-An’am [6]: 115).

Adapun dari hadits, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ.

“Aku tinggalkan kalian dalam keadaan terang-benderang, siangnya seperti malamnya. Tidak ada yang berpaling dari keadaan tersebut kecuali ia pasti celaka.” (HR. Ahmad no. 17142 Ibnu Majah no. 43, ath-Thabrani no. 619 dan disahihkan Syaikh al-Albani di Shahihul Jami’ no. 4369).

Dari Abu Dzar radiyallahu’anhu berkata:

تَرَكْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ إِلَّا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا قَالَ: فَقَالَ: صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.

“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat meninggalkan kami dan tidaklah ada burung yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan kepada kami ilmunya.” Dia berkata, Rasulullah sallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak tersisa suatu (amalan) pun yang dapat mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka, kecuali sudah dijelaskan semuanya kepada kalian.” (HR. Ahmad no. 21439, ath-Thabrani dalam al Mu’jamul Kabir no. 1647, disahihkan Syaikh al-AlBani di dalam ash-Shahihah no. 1803).

Dari Salman Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

قِيلَ لَهُ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ: فَقَالَ: أَجَلْ.

“Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami, ‘Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air besar!’ Maka, Salman radhiyallahu anhu menjawab, ‘Ya’. ” (HR. Muslim no. 262, at-Tirmidzi no. 16).

Dari ayat dan hadis tersebut telah kita maklumi, Islam adalah agama yang sempurna, mengajarkan segala sesuatu yang akan membawa kebaikan dunia dan akhirat sehingga tidak memerlukan tambahan dalam perkara-perkara agama ini, sebagaimana tangan seseorang sempurna dengan lima jari, seandainya ada enam jari tidaklah hal itu menjadikannya baik melainkan cacat. Oleh karena itu Allah ta’ala telah mewahyukan kepada Rasul-Nya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan kepada kita, adapun kewajiban kita hanyalah menerima, mengimani dan mengamalkannya, tanpa menambahi dan menguranginnya.

2.   Wajibnya Berpegang Teguh Dengan Al Qur’an Dan Sunnah.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ  فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ  ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.  

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa [4]: 59).

Menurut Mujahid rahimahullah dan juga lainnya, beliau mengatakan: “Segala sesuatu yang diperselisihkan di antara manusia menyangkut masalah pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, hendaknya perselisihan mengenai hal itu dikembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. An-Nisa[4]:59).

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ.

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah..” (QS.An-Nisa[4]:64).

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS.An-Nisa[4]:65).

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur [24]: 51).

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ.

“Barang siapa mentaati Rasul (Muhammad) sesungguhnya dia telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisa[4]:80).

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

”Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab[33]:71).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ.

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya sampai kalian bertemu denganku di telaga.” (HR. al-Hakim di dalam mustadraknya no. 319, Disahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Sahihu al-Jami’ no. 2937).

Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, tidak mau taat kepada Allah dan rasul-Nya, akan menemui kehinaan di dunia dan kelak di akhirat.

وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّحُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ.

“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan.” (QS. An-Nisa [4]:14)

إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ فِي الْأَذَلِّينَ.

“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 20)

إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ.

“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan, sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan.”(QS. Al-Mujadilah[58]: ayat 5).

3.   Keutamaan Para Sahabat.

Sesungguhnya Allah ta’ala menjadikan para sahabat adalah manusia-manusia yang terbaik yang menemani Rasul-Nya, dan sebagai manusia yang akan diikuti generasi setelahnya.

Kita bisa membaca bagaimana sejarah mencatat manusia-manusia yang sangat mulia ini.

Di antara penggalan kisah tersebut:

1)  Ketabahan Para Sahabat Di Dalam Mempertahankan Aqidah.

Ketika Rasulullah mendakwahkan Islam secara terang-terangan sebagian mereka orang-orang yang lemah menerima seruan Islam sehingga mereka menghadapi berbagai cobaan dan siksaan dari orang-orang kafir, ada yang dicambuk, diseret di padang pasir, direndam di dalam air, ditindih batu dan bahkan ditombak hingga meninggal dunia. (Shahabiah, beliau adalah wanita pertama yang syahid Sumayyah binti Khayyaṭ). Para sahabat tak berdaya menghadapai kekejaman orang-orang kafir sehingga siksaan mereka membekas di tubuh-tubuh mereka.

2)  Berhijrah Menyelamatkan Agamanya.

Beratnya tekanan orang-orang kafir tersebut membawa mereka rela meninggalkan kampung halaman yang mereka cintai dan berjalan menyusuri lembah, menyebrang lautan hingga menempuh ribuan kilo meter dengan kendaraan yang sederhana menuju negri Habasyah (Ethiopia).Semua dilakukan karena untuk menyelamatkan aqidahnya.

Hijrah pertama tahun ke-5 dari kenabian menuju ke Habasyah. Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita. Kemudian hijrah kedua terdiri dari 83 muhajirin dan 19 muhajirah (kaum wanita). (ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, terbitan Darul Haq). Begitu pula Suhaib ar-Rumy, rela memberikan hartanya ketika orang-orang musyrik menghadang saat hijrahnya.

Allah ta’ala berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ.

Di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari rida Allah. Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba(-Nya).” (QS. Al-Baqarah[2]:207).

Para sahabat  rela meninggalkan harta dan kampung halamannya untuk menyelamatkan agama yang diyakini kebenarannya tersebut.

3)  Kecintaan Para Sahabat Kepada Rasulullah.

Para sahabat sangat mencintai Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya seperti  kisah Abu Bakar Shidiq saat hijrah dan singgah di Gua Tsur.

Allah ta’ala menyebutkan hal itu:

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا.

"Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), maka sungguh Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah) sedang dia salah satu dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika dia berkata kepada sahabatnya: 'Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita'." (QS. At-Taubah[9]: 40).

Kecintaan Umar bin Khatab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Dari ‘Abdullah bin Hisyam berkata, Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memegang tangan Umar bin Khaṭṭab, lalu ‘Umar berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي, فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ, فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي, فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْآنَ يَا عُمَرُ.

“Wahai Rasulullah, engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku sendiri.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak begitu (wahai Umar), demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah sempurna imanmu sampai aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Umar berkata: “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sekarang (sempurnalah imanmu), wahai ‘Umar.” (HR. al-Bukhari No. 6632, Ahmad No. 22503, ath-Tabrani No. 317)

Begitu pula Utsman bin Afwan, beliau menikahi dua putri Rasululah yaitu Ruqayyah dan Ummu Kultsum.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu juga demikian, beliau mencintai dan dicintai Allah dan Rasul-Nya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَأُعْطِيَنَّ هَذِهِ الرَّايَةَ رَجُلًا يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ, قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: مَا أَحْبَبْتُ الْإِمَارَةَ إِلَّا يَوْمَئِذٍ, قَالَ فَتَسَاوَرْتُ لَهَا رَجَاءَ أَنْ أُدْعَى لَهَا, قَالَ فَدَعَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهَا.

"Sungguh, aku akan memberikan panji ini kepada seorang lelaki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memberi kemenangan melalui tangannya." Umar bin Khaṭṭab raḍiyallahu 'anhu berkata, "Tidak pernah aku menginginkan sebuah kepemimpinan kecuali pada hari itu. Sehingga aku pun menampakkan wajahku dengan harapan agar aku dipanggil untuk menerima panji itu." Ternyata Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memanggil Ali bin Abi Talib. (HR. al-Bukhari 4210, Muslim 2405).

Mus’ab bin Umair, Khubaib bin Adi dan semua para sahabat.

4)  Keberanian Para Sahabat.

Keberanian para sahabat dapat dilihat kisahnya pada perang Badar yang diawali dengan perang tanding.

Seorang laki-laki sombong dari Bani Makhzum bernama al-Aswad bin ‘Abdul Asad. Ia dikenal keras kepala, bengis, dan pembenci Islam. Saat itu, dengan penuh kesombongan ia bersumpah:

“Aku bersumpah kepada Allah, aku akan meminum air telaga (sumur) kaum Muslimin itu, atau aku akan merusaknya, atau aku akan mati di sekitarnya!”

Sebelum ia sampai, Hamzah menebasnya dan akhirnya terbunuh di dekat telaga.

Kemudian tiga oang tokoh-tokoh Quraisy maju ke tengah gelanggang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bangkitlah wahai Hamzah!, Bangkitlah wahai ‘Ali!, Bangkitlah, wahai ‘Ubaidah bin al-Ḥarith!”

Hamzah bin ‘Abdul Muththalib  paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Ali bin Abi Ṭalib sepupu dan menantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ubaidah bin al-Ḥarith.

Pertarungan sengitpun terjadi, Hamzah melawan Syaibah, tidak lama Hamzah menebas Syaibah hingga tewas. Ali melawan al-Walid, Ali berhasil membunuh al-Walid dengan mudah, Ubaidah melawan ‘Utbah keduanya bertarung sengit, saling melukai. Kemudian Hamzah dan Ali menyongsong Utbah dan membunuhnya dan menggendong Ubaidah.

Juga kisah dua pemuda belia ketika terjadi perang Badar, mereka adalah Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhuma.

Abdurrahman bin 'Auf mengisahkan:

"Aku berada di dalam barisan pasukan saat perang Badar berkecamuk. Tiba-tiba di sebelah kanan dan kiriku ada dua anak muda yang masih belia. Seakan aku tidak percaya atas keberadaan mereka di situ. Lalu salah seorang di antara keduanya berkata secara rahasia kepadaku agar tidak diketahui oleh temannya, 'Wahai paman! Tunjukkan padaku, mana Abu Jahal!."

Lalu aku berkata, 'Wahai anak saudaraku! Apa yang akan kamu lakukan?' Dia menjawab, “Aku diberitahu bahwa dia mencaci-maki Rasulullah, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika aku melihatnya, maka dia tidak akan luput dari incaranku hingga ada yang mati terlebih dahulu di antara kami.”

keduannya membunuh Abu Jahal tersebut. (Diringkas dari Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, terbitan Darul Haq).

5)  Kedermawanan Para Sahabat.

Seperti kisah Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan saat kaum muslimin membutuhkan sumur, yang di waktu itu dimiliki oleh orang Yahudi, sehingga sahabat Utsman bin Affan  membeli  sumur Raumah milik Yahudi, Abu Bakar, Umar, Ustman, dan dan sahabat lainnya terutama menjelang perang tabuk dan masih banyak sekali kisah-kisah yang mengharukan tentang kedermawanan mereka.

6)  Kemuliaan Akhlak Para Sahabat

Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan hal ini dengan firman-Nya:

كَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِّنْكُمْ يَتْلُوْا عَلَيْكُمْ اٰيٰتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَۗ

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Nabi Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan hikmah (sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah[2]:151).

Setelah mereka mendapat pengajaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam     mereka memiliki akhlak yang sangat mulia.

Mereka dipersaudarakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang Muhajirin dengan orang-orang Anshar, diantaranya Allah sebutkan kisah mereka orang anshar di dalam (Surat Al Hasyr [59]: 9).

وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ .

“Mereka mengutamakan(saudaranya Muhajirin)  daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak. Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr [59]: 9).

Demikian pula kisah pada perang Yarmuk, al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan Suhail bin Amr, saat menjelang akhir kehidupan mereka, mereka lebih mementingkan saudaranya dari pada diri mereka sendiri, padahal mereka sangat membutuhkan.

7)  Sahabat Adalah Orang-Orang Yang Adil.

Keadilan para sahabat ini Allah sebutkan di dalam firman-Nya:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا.

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (para sahabat) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kalian.” (QS. Al-Baqarah[2]: 143).

Umat ini kelak akan menjadi saksi bagi umat yang lain sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يُدْعَى نُوحٌ يَوْمَ القِيَامَةِ فَيَقُولُ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ يَا رَبِّ فَيَقُولُ: هَلْ بَلَّغْتَ ,فَيَقُولُ: نَعَمْ, فَيُقَالُ لِأُمَّتِهِ: هَلْ بَلَّغَكُمْ ,فَيَقُولُونَ: مَا أَتَانَا مِنْ نَذِيرٍ, فَيَقُولُ: مَنْ يَشْهَدُ لَكَ, فَيَقُولُ: مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ, فَتَشْهَدُونَ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ: وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا, فَذَلِكَ قَوْلُهُ جَلَّ ذِكْرُهُ: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا, وَالوَسَطُ: العَدْلُ.

Pada hari kiamat nanti, Nabi Nuh dipanggil oleh Allah. Lalu Nabi Nuh menjawab: “Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah.” Allah bertanya: “Apakah engkau sudah menyampaikan risalah kepada kaummu?”
Nabi Nuh menjawab: “Sudah.”  Kemudian Allah bertanya kepada kaumnya: “Apakah Nuh sudah menyampaikan risalah kepada kalian?” Mereka menjawab: “Tidak, tidak ada yang memberi peringatan kepada kami.” Allah berkata kepada Nuh: “Siapa yang bisa menjadi saksi untukmu?” Nuh menjawab: “Muhammad dan umatnya.” Maka umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersaksi bahwa Nabi Nuh benar-benar sudah menyampaikan risalah. Inilah maksud firman Allah dalam Al-Qur’an:

"Agar kalian (umat Islam) menjadi saksi atas manusia, dan Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kalian." (QS. Al-Baqarah[2]: 143). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan: “Yang dimaksud umat pertengahan (wasath) itu adalah umat yang adil.” (HR. al-Bukhari no. 4487(.

Para sahabat dikenal manusia yang sangat adil, jujur, dan penyayang.

8)  Larangan Mencela Para Sahabat.

Larangan keras mencela para sahabat. Abu Sa’id Al Khudri radiyallahu’anhu berkata, Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ.

“Jangan kalian mencela para sahabatku, seandainya salah seorang kalian menginfakkan emas sebesar Uhud tidak akan dapat menyamai satu mud-nya mereka tidak juga setengahnya.” (HR. al-Bukhari  no. 3673, Muslim no. 2540).

9)  Pujian Allah kepada para sahabat.

Banyak sekali ayat yang memuji para sahabat di dalam Al Qur’an.

Allah ta’ala firman:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّه.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran [3] : 110).

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 137).

Berkata Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini dalam kitab tafsirnya , “Maka jika mereka beriman”, yaitu orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan selain mereka, “seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya”, wahai kaum mukminin, dengan keimanan kepada seluruh kitab Allah dan Rasul-Nya tanpa membedakan seorang pun dari mereka, “sungguh mereka telah mendapat petunjuk”, yakni mereka telah berada tepat di atas kebenaran dan mendapatkan petunjuk kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. Al Baqarah [2]: 137).

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا.

“Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath [48]: 18)

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ.

“Tidak akan masuk neraka orang-orang yang berbaiat di bawah pohon.” (HR. Abu Dawud no. 4653, at-Tirmidzi no. 3860, beliau berkata: hasan shahih. Syaikh al-Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ no. 7680).

Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian setelah mereka lagi.” (HR. al-Bukhari no. 2652, Muslim no. 2533. Dengan lafald dari al-Bukhari).

10)                    Perintah Mendoakan Para Sahabat.

Allah ta’ala mengajarkan kepada kita bagaimana kita bersikap dengan para sahabat.

Allah  ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَآءُوا مِنۢ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٞ

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka (para sahabat), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu beriman, dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’” (QS. Al-Ḥasyr [59]: 10).

Tidak diragukan lagi pujian di dalam ayat dan hadits di atas tidak lain adalah untuk para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang merupakan khitab (yang diajak bicara) dalam ayat tersebut, karena orang yang beriman di waktu itu belum ada yang lain selain para sahabat.

4.   Kewajiban Mengikuti Para Sahabat.

Setelah kita mengetahui keutamaan para sahabat, pujian Allah kepada mereka, maka kewajiban kita beragama sebagaimana cara beragamanya para sahabat tersebut, (inilah yang dikenal dengan manhaj), karena ini merupakan perintahkan Allah dan juga Rasul-Nya.

Allah ta’ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ.

“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka (dalam melaksanakan) kebaikan, Allah ridha kepada mereka; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah [9]: 100).

Ayat ini membagi generasi yang baik hanya menjadi dua generasi:

Generasi pertama yaitu dari generasi para sahabat, Muhajirin dan Anshar, yang mana hal ini tidak mungkin bisa kita capai.

Generasi kedua adalah orang-orang setelahnya yang mengikuti mereka para sahabat dengan sebaik-baiknya, kita memohon kepada Allah agar memasukkan kita termasuk pengikut Rasulullah dan para sahabat  dengan sebaik-baiknya sebagaimana ayat di atas.

Adapun dalil dari hadits yang mewajibkan mengikuti para sahabat sebagai berikut:

Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظًةً وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةً مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati menjadi bergetar dan mata kami menangis, maka kami berkata, “Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah wasiat kepada kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin al-mahdiyyin (yang lurus dan mendapatkan petunjuk). Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676. Disahihkan syaikh al-Albani dalam sahihul jami’ no. 2549).

5.   Jalan Kebenaran Hanya Satu.

Dari ibnu Mas’ud radiallahu ‘anhu beliau berkata:

خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ و عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ, وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah’, kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada setan yang mengajak kepada jalan itu,’  kemudian beliau membaca:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ.

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya” (QS. Al-An’am[6]:153) (HR. Ahmad no. 4142, Abu Dawud no. 241, dihasankan syaikh al-Albani di dalam Adh-Dhilal no. 16-17).

Dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ  قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ: الْجَمَاعَةُ.

“Orang-orang Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, satu (golongan) masuk Surga dan tujuh puluh di Neraka. Dan Nasrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, yang tujuh puluh satu golongan di Neraka dan yang satu di Surga. Dan demi Yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, ummatku benar-benar akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang satu di Surga, dan yang tujuh puluh dua golongan di Neraka,’ Ditanyakan kepada beliau, ‘Siapakah mereka (satu golongan yang masuk Surga itu) wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Al-Jama’ah’.” (HR. Ibnu majah No. 3992, Abu Dawud No. 4956, ath-Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 129, di hasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah No. 3992, di shahihkan di dalam as-Shahihah No. 1492).

Dalam riwayat yang lain Beliau ditanya:

قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.

“Siapakah yang selamat itu ya Rasulullah..?” Beliau menjawab, “Apa yang aku dan para sahabatku berjalan di atasnya” (HR. at-Tirmidzi No. 2641,  dihasankan Syaikh al-Albani di dalam ash-Shahihah No. 1348, al-Misykah No. 171).

Pada ayat dan hadits di atas merupakan dalil tentang wajibnya umat ini mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabatnya, begitu pula jalan kebenaran hanyalah satu.

6.   Ancaman Bagi Orang-Orang Yang Menyelisishi Para Sahabat.

Allah akan mengadzab orang-orang yang meninggalkan cara beragamanya para sahabat dengan Neraka.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.

“Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa [4]: 115).

Para sahabat Secara individu (person) bukanlah manusia yang maksum (bebas dari salah), akan tetapi apa yang telah ditaqrir (didiamkan dan disetujui) Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam terhadap sahabat merupakan dalil kebenaran yang harus diikuti, begitu pula apa yang telah menjadi kesepakatan para sahabat (ijma’ mereka) adalah merupakan kebenaran.

Dari sahabat Annas radhiyallahu‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ هَذِهِ الْأُمَّةَ عَلَى ضَلَالَةٍ أَبَدًا.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umat ini di atas kesesatan selamanya.” (HR. Ibnu Majah no. 3940, al-Hakim no. 201-202, at- Tirmidzi no. 2269 dan diShahihkan syaikh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 1848, al-Misykah no. 173).

Oleh karena itu ijtihad para sahabat, ada yang dibenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ada yang dilarang. Sehingga pandangan orang-orang tentang bolehnya seseorang membuat revisi, kreasi, inovasi, ataupun tatacara baru di dalam agama Islam dengan dalih para sahabat juga melakukannya, kemudian dibenarkan Rasulullah sallallahu ‘alaih wa sallam, pandangan seperti ini hendaknya di luruskan dan ditempatkan secara proporsional  agar kita bisa bersikap adil dalam menilai suatu perkara.

Anggapan ini didasari oleh beberapa kisah dari apa yang dilakukan para sahabat di antaranya:

 Bilal yang menjalankan shalat setelah wudhu, (HR. al-Bukhari no. 1149).

 Sahabat yang shalat dengan bacaan “wal hamdulillahi hamdan katsiran tayyiban mubarakan fiih” (HR. Muslim no. 600, Abu Dawud no. 774, Ibnu Hibban no. 845).

Sahabat yang shalat tidak pernah meninggalkan surat Al-Ikhlas. Ada yang mengatakan bernama Qatadah bin Nu’man. (HR. al-Bukhari no. 774, at-Tirmidzi no. 2901).

Sahabat yang meruqyah dengan membaca Al Fatihah. (HR. al-Bukhari no. 5736, Muslim no. 2201).

Sebagaimana Rasulullah mentaqrir (mendiamkan dan menyetujui) para sahabat, namun beliau  juga meluruskan dan bahkan melarang mereka yang keliru.

Oleh karena itu hendaknya seseorang berbuat adil, tidak mengikuti hawa nafsunya dengan hanya menukil dari apa yang didiamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa allam saja, tapi hendaknya juga menukil apa yang diluruskan dan bahkan dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kisah para sahabat yang diluruskan bahkan dilarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:

 Tiga sahabat yang mendatangi umul mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anh dan bertanya tentang ibadah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.(HR. al-Bukhari no. 5063, Muslim no. 1401).

 Larangan menyembelih Kurban sebelum shalat id. (HR. al-Bukhari no. 7400, Muslim no. 985).

 Larangan Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam menyerupai suatu kaum. (HR. Abu Dawud no. 4031 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Irwa’ul Gholil no. 2384).

 Nadzar yang terlarang seperti kesyirikan, menyakiti badan atau hal-hal yang sia-sia. (HR al-Bukhari no. 6700).

Larangan mengkhususkan puasa pada hari jum’at saja.

Dari abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ.

“Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali jika ia berpuasa pula pada hari sebelum atau sesudahnya.” (HR. al-Bukhari no. 1849, Muslim no. 1929).

Meminta dibuatkan sesembahan seperti Dzatu anwath, hal ini sebagaimana bani Israil meminta dibuatkan anak sapi, (QS. Al A’raf [7]: 138).

Ketika fatkhul Makkah banyak sahabat yang baru masuk islam, tidak selang beberapa lama kemudian orang-orang berangkat perang menuju Hunain, kemudian mereka melewati pohon milik orang kafir sehingga mereka meminta untuk dibuatkan Dzatu Anwath seperti mereka.

يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ. فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى .

“Ya Rasulullah, Buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath (tempat menggantungkan senjata) sebagaimana mereka (orang musyrik) memiliki Dzatu Anwath.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Subhanallah! ini sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Musa.” (Pohon yang dipakai menggantungkan pedang orang-orang musyrik).

Para sahabat adalah manusia pilihan yang hidup dinaungi oleh wahyu, dimana wahyu turun kepada mereka siang maupun malam yang akan membenarkan atau meluruskan mereka apabila keliru melalui Rasul-Nya.

Dari ayat dan hadits di atas jelas menunjukkan bahwa tidak ada yang dapat menjamin keselamatan agama seseorang menuju kepada Allah ta’ala kecuali mengikuti Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya radhiyallahu ‘ahum ajma’iin.

 


 -----000-----

 

 


LARANGAN TA’ASHUB
(Fanatisme kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

 

Dahulu, umat ini fanatik terhadap madzhab, mereka tidak mau menikahkan anaknya kecuali semadzhab dengan mereka, tidak mau shalat di belakang orang yang tidak semadzhab dengan mereka. Ternyata sisa-sisa keadaan seperti ini masih kita saksikan. Sebagian kaum muslimin tidak mau shalat di masjid selain kelompoknya, tidak mau memberi salam kepada selain kelompoknya. Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَمُرَّ الرَّجُلُ بِالْمَسْجِدِ لَا يُصَلِّي فِيهِ رَكْعَتَيْنِ, وَأَنْ لَا يُسَلِّمَ إِلَّا عَلَى مَنْ يَعْرِفُهُ .

“Di antara tanda-tanda (dekatnya) hari kiamat adalah seseorang melewati masjid yang tidak pernah dia shalat di sana dua rekaat, lalu dia hanya mengucapkan salam kepada orang yang dia kenali saja.” (HR. ath-Tabrani no. 9489, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 5896, lihat juga Fathul Bari 11: 25).

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Mengucapkan salam kepada orang yang tidak dikenal merupakan tanda ikhlas dalam beramal kepada Allah ta’ala, tanda tawadhu’ (rendahnya

 hati seseorang), dan menyebarkan salam merupakan syi’ar dari umat ini.” (Lihat Fathul Bari 11: 25)

Fenomena fanatik kelompok ini salah satu kebiasaan jahiliyah, yang mana Allah ta’ala telah melarang hal ini. Allah ta’ala menyebutkan di dalam Al-Qur’an :

وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ. مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ.

“Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rum [30]: 31)

Keadaan yang sangat memprihatinkan bagaimana kaum muslimin tercabik-cabik oleh musuh mereka baik dari dalam maupun dari luar, mereka dibuat saling bermusuhan satu sama lain. Satu golongan berpakaian warna ini dan segolongan lain berpakaian warna itu, seakan musuh yang harus diperangi, tidak lagi mendasari perbuatan yang dilakukan tersebut dari agama, padahal sikap fanatisme golongan ini muncul dari musuh-musuh islam, mereka sengaja menciptakan cara-cara yang selalu bertentangan dengan islam, mereka menghendaki kaum muslimin selalu bertengkar satu sama lain, mereka tidak sadar kalau mereka sedang diadu domba oleh musuh-musuh mereka, inilah kenyataan yang menimpa kaum Muslimin saat ini.

Padahal Allah ta’ala memerintahkan agar kaum muslimin bersatu di atas syari’at Islam.

Allah ta’ala berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang  yang bersaudara.” (QS. Al-Imran [3]: 103)

Untuk menghilangkan atau memperkecil perselisihan hendaknya kita kembali kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabat, menjauhkan fanatisme kepada selain Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, siapapun dia, betapapun memiliki pengikut yang banyak dan kedudukan yang tinggi, baik berupa organisasi, yayasan, golongan, atau terhadap individu, seperti kepada kyai, ustadz, habib, maupun kepada seorang guru, tanpa mengurangi sedikitpun rasa hormat kita kepada mereka, karena mereka turut andil di dalam menegakkan agama Allah, namun bagaimanapun juga kebenaran lebih kita cintai, dan kesalahan harus kita tinggalkan, tak seorangpun dari kita yang bisa lepas dari kesalahan.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ.

“Setiap anak Adam adalah bersalah dan sebaik-baiknya orang yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertaubat.” (HR. at-Tirmidzi no. 2499, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu Al-Jami’ no. 4515)

Hendaknya kita tidak membeda-bedakan suku, warna kulit maupun daerah, sebaliknya kita harus menerima dan mengikuti kebenaran dari mana saja datangnya, karena kebenaran itu lebih mahal dari emas, lebih mulia dari permata, selagi mencocoki Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya hendaknya kita terima, kita harus mendahulukan Rasulullah dibandingkan selain Beliau, karena Rasulullah terjaga dari kesalahan sedangkan yang lain tidak.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

“Dan tidaklah dia (Nabi Muhammad) berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm[53]: 3-4)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيكْم حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ, أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Hampir saja kalian akan dihujani batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantah dengan mengatakan: Tapi Abu Bakar dan Umar berkata demikian.” (Zadul ma’ad 2/195, Syarah Sunan Ibnu Majah 2/3, Syaikh Abdul ‘Aziz bin  Abdullah bin Abdurrahman ar-Rajihi).

Imam Ahmad rahimahullah berkata:

عَجِبْتُ لِقَوْمٍ عَرَفُوا الإِسْنَادَ وَصِحَّتَهُ وَيَذْهَبُوْنَ إِلَى رَأْيِ سُفْيَانَ, وَاَللَّهُ تَعَالَى يَقُوْلُ: فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ . أَتَدْرِي مَا الفِتْنَةُ الفِتْنَةُ الشِّرْكُ, لَعَلَّهُ إِذَا رَدَّ بَعْضَ قَوْلِهِ أَنْ يَقَعَ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ مِنَ الزَّيْغِ فَيَهْلَكَ.

“Sungguh aku heran pada satu kaum, mereka mengetahui sanat dan keshahihannya, akan tetapi mereka mengambil pendapat Sufyan! sedang Allah ta’ala berfirman: “Maka, hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur[24]:63), “Apakah kau tahu apa itu fitnah..? fitnah itu kesyirikan, bisa jadi seseorang menolak sebagian dari perkataan-Nya, terbetik didalam hatinya sesuatu berupa penyimpangan kemudian membinasakannya.” (Di keluarkan oleh Ibnu Batthah di dalam al-Ibanatul Kubra 97, Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin 63/253).

Para imam madzhab mereka juga melarang ta’ashub (fanatik) dengan dirinya, dan memerintahkan agar mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, di antara ucapan mereka sebagai berikut:

Imam Abu Hanifah rahimahullah beliau berkata:

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي. إِذَا قُلْتُ قَوْلاً يُخَالِفُ كِتَابَ الله تعالى وَخَبَرَ الرَّسولِ صلى الله عليه وسلم فَاتْرُكُوا قَولِي.

“Apabila hadits itu sahih, maka itulah madzhabku,” Beliau juga berkata, “Apabila aku berkata menyelisihi kitab Allah, dan Sunnah Rasulullah, maka tinggalkanlah ucapanku.” (Sifat shalat Nabi, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiah 1/63).

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أُخْطِىءُ وأُصِيبُ فانْظُرُوا في رَأْيِي فَكُلّ مَا وَافَقَ الكتابَ والسُّنَّةَ فخُذُوا بِهِ وكلّ مَا لَمْ يُوَافِقِ الكتابَ والسُّنَّةَ فَاتْرُكُوهُ.

“Sesungguhnya aku tidak lain adalah manusia, terkadang salah dan terkadang benar maka perhatikanlah pendapatku setiap apa yang mencocoki Al-Kitab dan Sunnah ambillah dan setiap apa yang tidak sesuai Al-kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah.” (Sifat shalat Nabi, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani).

Imam Syafi’i rahimahullah berkata:

إِذَا وَجَدْتُّمْ فِي كِتَابِي خِلَافَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوا مَا قُلْتُ.

“Apabila kalian menjumpai di dalam kitabku menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ucapkanlah Sunnah Rasulullah dan tinggalkanlah ucapanku.” (Sifat shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Khatib di dalam Al Ikhtijaju bi Syafii 8/2).

Beliau rahimahullah juga mengatakan:

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ.

“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.” (I'lamul muwaqi'in 2:282).

Imam Ahmad rahimahullah berkata: 

مَنْ رَدَّ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ.

“Barang siapa menolak hadist rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maka dia berada di tepi kebinasaan.” (Sifat shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani).

Demikianlah ucapan para imam, mereka mengajak kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mengajak kepada pendapatnya atau madzhabnya.

Bandingkan dengan para tokoh-tokoh organisasi yang menyimpang sekarang, mereka berdakwah untuk memperkaya dirinya yaitu mendapatkan setoran dari mad’unya (orang yang didakwahi), cari kursi jabatan, menanamkan fanatiK kepada kelompoknya saja, memaknai  Al-Qur’an dan hadist sesuai dengan kelompok dan hawa nafsunya, bahkan tak segan-segan mengkafirkan orang yang di luar kelompoknya, dan menganggap selain kelompoknya keislamanya tidak syah, menakut-nakuti mereka agar mau berbai’at dan bergabung dengan jama’ahnya jika tidak, mereka akan mati dan dianggap matinya seperti bangkai jahiliyah dan tetap di atas kekafiran, semua ini tidaklah benar, ini adalah sikapnya orang-orang khuarij, (takfiri) suka mengkafirkan orang lain selain kelompoknya wal iyaadzubillah.

Semua bentuk penyimpangan ini laku keras pada umat ini, hal ini tidak lain karena jauhnya umat islam dari tuntunan agama yang benar, sehingga mereka mudah untuk dibodohi, diadu domba baik dari dalam maupun dari luar, dari dalam yaitu orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya, adapun dari luar yaitu kalangan orang-orang kafir, munafik, orang-orang musyrik.

Demikianlah semopga Allah melindungi kita dari ta’asub (fanatik buta) dalam beragama. Aamiin.

 

 


Sragen 29-11-2025

Abu Ibrahim Junaedi Abdullah.

 

 

 

 

 


BAB 4 MACAM-MACAM SYIRIK BESAR. SOAL: 13 HUKUM SIHIR.

  BAB 4 MACAM-MACAM SYIRIK BESAR. SOAL: 13 HUKUM SIHIR.   س ١٣ - ما حُكْمُ السِّحْرِ؟ Soal 13: Apakah hukum sihir itu? ج ١٢ ...