MANHAJ YANG BENAR
(Metode Memahami Agama Islam Yang Benar)
Islam adalah
agama yang benar, senantiasa mencocoki sepanjang masa, selama memahami agama
ini dengan pemahaman yang benar.
Adapun manhaj
(metode di dalam memahami agama) Islam yang benar yaitu:
1. Meyakini
Agama Islam Telah Sempurna.
Agama islam
adalah agama yang telah sempurna, di mana di dalamnya telah diajarkan bagaimana
tata cara beribadah kepada Allah ta’ala, bermuamalah sesama manusia, menjahui
apa yang terlarang dan membahayakan manusia baik di dunia dan akhirat, begitu
pula mengajarkan berbagai macam hal dari apa yang menjadi hajad hidup manusia,
Allah ta’ala telah menjelaskan kesempurnaan agama islam ini di dalam
firman-Nya:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا.
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan
untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku
ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (QS. Al-Maidah [5]: 3).
Dari Thariq
bin Syihab, ia berkata, “Ada seorang Yahudi yang datang kepada ‘Umar bin
Khaththab radhiyallahu 'anhu, lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin,
sesungguhnya kalian membaca sebuah ayat dalam kitab kalian. Jika ayat tersebut
diturunkan kepada kami (orang-orang Yahudi), niscaya kami akan menjadikan hari
itu (hari turunnya ayat itu) sebagai hari raya.” ‘Umar radhiyallahu 'anhu bertanya, “Ayat yang mana?”. Orang Yahudi itu berkata,
“Yaitu firman-Nya”:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا.
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan
untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku
ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (QS. Al-Maidah[5]: 3).
Maka ‘Umar
Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya aku telah mengetahui hari dan tempat
ketika ayat itu turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ayat itu
diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di ‘Arafah pada
hari Jum’at.” (Tafsir Ibnu Katsir (QS. Al Maidah[5]: 3).
Ini
menunjukkan bahwasanya orang Yahudi mereka memahami hal ini, sungguh
mengherankan banyak kaum muslimin yang tidak memahami hal ini (tentang kesempurnaan
Islam).
Allah ta’ala
berfirman:
وَتَمَّتْ
كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu
sebagai kalimat yang benar dan adil.” (Al-An'am [6]: 115).
Firman Allah:
“wa tammat kalimatu Rabbika shidqaw wa ‘adlan.” “Telah sempurna kalimat dari
Rabbmu, sebagai kalimat yang benar dan adil.” Qatadah berkata: “Yaitu benar
dalam firman-Nya, dan adil dalam putusan Nya.”
Laa mubaddila
likalimaatihi “Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya.”)
“Maksudnya, tidak ada seorang pun yang dapat menolak putusan Allah Ta’ala, di
dunia maupun di akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir (QS. Al-An’am [6]: 115).
Adapun dari
hadits, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
قَدْ
تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا
بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ.
“Aku tinggalkan kalian dalam keadaan
terang-benderang, siangnya seperti malamnya. Tidak ada yang berpaling dari
keadaan tersebut kecuali ia pasti celaka.” (HR. Ahmad no. 17142 Ibnu Majah no.
43, ath-Thabrani no. 619 dan disahihkan Syaikh al-Albani di Shahihul Jami’ no. 4369).
Dari Abu Dzar
radiyallahu’anhu berkata:
تَرَكْنَا
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ
جَنَاحَيْهِ فِي الْهَوَاءِ إِلَّا وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا قَالَ:
فَقَالَ: صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ
الْجَنَّةِ ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.
“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam telah wafat meninggalkan kami dan tidaklah ada burung yang
mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau telah menyebutkan
kepada kami ilmunya.” Dia berkata, Rasulullah sallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak tersisa suatu (amalan) pun yang dapat mendekatkan kepada surga dan
menjauhkan dari neraka, kecuali sudah dijelaskan semuanya kepada kalian.” (HR.
Ahmad no. 21439, ath-Thabrani dalam al Mu’jamul Kabir no. 1647, disahihkan
Syaikh al-AlBani di dalam ash-Shahihah no. 1803).
Dari Salman
Radhiyallahu anhu, beliau berkata:
قِيلَ
لَهُ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ
حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ: فَقَالَ: أَجَلْ.
“Orang-orang musyrik telah bertanya
kepada kami, ‘Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai
(diajarkan pula adab) buang air besar!’ Maka, Salman radhiyallahu anhu
menjawab, ‘Ya’. ” (HR. Muslim no. 262, at-Tirmidzi no. 16).
Dari ayat dan
hadis tersebut telah kita maklumi, Islam adalah agama yang sempurna,
mengajarkan segala sesuatu yang akan membawa kebaikan dunia dan akhirat
sehingga tidak memerlukan tambahan dalam perkara-perkara agama ini, sebagaimana
tangan seseorang sempurna dengan lima jari, seandainya ada enam jari tidaklah
hal itu menjadikannya baik melainkan cacat. Oleh karena itu Allah ta’ala telah
mewahyukan kepada Rasul-Nya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menyampaikan kepada kita, adapun kewajiban kita hanyalah menerima, mengimani
dan mengamalkannya, tanpa menambahi dan menguranginnya.
2. Wajibnya
Berpegang Teguh Dengan Al Qur’an Dan Sunnah.
Allah ta’ala
berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisaa [4]: 59).
Menurut
Mujahid rahimahullah dan juga lainnya, beliau mengatakan: “Segala sesuatu yang
diperselisihkan di antara manusia menyangkut masalah pokok-pokok agama dan
cabang-cabangnya, hendaknya perselisihan mengenai hal itu dikembalikan kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. An-Nisa[4]:59).
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ.
“Dan Kami tidak mengutus seorang
rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah..” (QS.An-Nisa[4]:64).
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak
beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS.An-Nisa[4]:65).
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
"Sesungguhnya jawaban
orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul
menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami
patuh.’ Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur [24]: 51).
مَنْ
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ.
“Barang siapa mentaati Rasul
(Muhammad) sesungguhnya dia telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisa[4]:80).
وَمَن
يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
”Dan barangsiapa mentaati Allah dan
Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS.
Al-Ahzab[33]:71).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي
قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّتِي وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ.
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua
perkara, kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya sampai kalian bertemu denganku di telaga.” (HR. al-Hakim
di dalam mustadraknya no. 319, Disahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Sahihu
al-Jami’ no. 2937).
Sesungguhnya
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, tidak mau taat kepada Allah dan
rasul-Nya, akan menemui kehinaan di dunia dan kelak di akhirat.
وَمَنْ
يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّحُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا
فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ.
“Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya dan melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya
ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang
menghinakan.” (QS. An-Nisa [4]:14)
إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
أُولَئِكَ فِي الْأَذَلِّينَ.
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang
Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina.” (QS. Al-Mujadilah
[58]:
20)
إِنَّ
الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ.
“Sesungguhnya orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan, sebagaimana orang-orang
yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan.”(QS. Al-Mujadilah[58]: ayat 5).
3. Keutamaan
Para Sahabat.
Sesungguhnya
Allah ta’ala menjadikan para sahabat adalah manusia-manusia yang terbaik yang
menemani Rasul-Nya, dan sebagai manusia yang akan diikuti generasi setelahnya.
Kita bisa
membaca bagaimana sejarah mencatat manusia-manusia yang sangat mulia ini.
Di antara
penggalan kisah tersebut:
1) Ketabahan
Para Sahabat Di Dalam Mempertahankan Aqidah.
Ketika
Rasulullah mendakwahkan Islam secara terang-terangan sebagian mereka
orang-orang yang lemah menerima seruan Islam sehingga mereka menghadapi
berbagai cobaan dan siksaan dari orang-orang kafir, ada yang dicambuk, diseret
di padang pasir, direndam di dalam air, ditindih batu dan bahkan ditombak hingga
meninggal dunia. (Shahabiah, beliau adalah wanita pertama yang syahid
Sumayyah binti Khayyaṭ). Para sahabat tak berdaya menghadapai kekejaman orang-orang
kafir sehingga siksaan mereka membekas di tubuh-tubuh mereka.
2) Berhijrah
Menyelamatkan Agamanya.
Beratnya
tekanan orang-orang kafir tersebut membawa mereka rela meninggalkan kampung
halaman yang mereka cintai dan berjalan menyusuri lembah, menyebrang lautan
hingga menempuh ribuan kilo meter dengan kendaraan yang sederhana menuju negri
Habasyah (Ethiopia).Semua dilakukan karena untuk menyelamatkan aqidahnya.
Hijrah pertama
tahun ke-5 dari kenabian menuju ke Habasyah. Rombongan ini terdiri dari 12
orang laki-laki dan 4 orang wanita. Kemudian hijrah kedua terdiri dari 83
muhajirin dan 19 muhajirah (kaum wanita).(ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, terbitan Darul
Haq). Begitu
pula Suhaib ar-Rumy, rela memberikan hartanya ketika orang-orang musyrik
menghadang saat hijrahnya.
Allah ta’ala
berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ.
“Di antara manusia ada
orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari rida Allah. Allah Maha Penyantun
kepada hamba-hamba(-Nya).” (QS. Al-Baqarah[2]:207).
Para sahabat rela meninggalkan harta dan kampung halamannya
untuk menyelamatkan agama yang diyakini kebenarannya tersebut.
3) Kecintaan
Para Sahabat Kepada Rasulullah.
Para sahabat sangat
mencintai Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya seperti kisah Abu Bakar Shidiq saat hijrah dan singgah
di Gua Tsur.
Allah ta’ala
menyebutkan hal itu:
إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا
ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ
إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا.
"Jika kamu tidak menolongnya
(Muhammad), maka sungguh Allah telah menolongnya ketika orang-orang kafir
mengusirnya (dari Makkah) sedang dia salah satu dari dua orang ketika keduanya
berada dalam gua, ketika dia berkata kepada sahabatnya: 'Janganlah engkau
bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita'." (QS. At-Taubah[9]: 40).
Kecintaan Umar bin Khatab kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Dari ‘Abdullah bin
Hisyam berkata, Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
memegang tangan Umar bin Khaṭṭab, lalu ‘Umar berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ
نَفْسِي, فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ
مِنْ نَفْسِكَ, فَقَالَ لَهُ عُمَرُ:
فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي, فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْآنَ يَا عُمَرُ.
“Wahai Rasulullah, engkau lebih
aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku sendiri.” Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak begitu (wahai Umar), demi Allah yang jiwaku
berada di tangan-Nya, tidaklah sempurna imanmu sampai aku lebih engkau cintai
daripada dirimu sendiri.” Umar berkata: “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku
cintai daripada diriku sendiri.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Sekarang (sempurnalah imanmu), wahai ‘Umar.” (HR. al-Bukhari No.
6632, Ahmad No. 22503, ath-Tabrani No. 317)
Begitu
pula Utsman bin Afwan, beliau menikahi dua putri Rasululah yaitu Ruqayyah dan Ummu Kultsum.
Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu juga demikian, beliau mencintai dan dicintai Allah dan
Rasul-Nya.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لَأُعْطِيَنَّ هَذِهِ الرَّايَةَ رَجُلًا يُحِبُّ
اللهَ وَرَسُولَهُ يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ, قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: مَا أَحْبَبْتُ
الْإِمَارَةَ إِلَّا يَوْمَئِذٍ, قَالَ فَتَسَاوَرْتُ لَهَا رَجَاءَ أَنْ أُدْعَى
لَهَا, قَالَ فَدَعَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَأَعْطَاهُ إِيَّاهَا.
"Sungguh,
aku akan memberikan panji ini kepada seorang lelaki yang mencintai Allah dan
Rasul-Nya. Allah akan memberi kemenangan melalui tangannya." Umar
bin Khaṭṭab raḍiyallahu 'anhu berkata, "Tidak pernah
aku menginginkan sebuah kepemimpinan kecuali pada hari itu. Sehingga aku pun
menampakkan wajahku dengan harapan agar aku dipanggil untuk menerima panji
itu." Ternyata Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
memanggil Ali bin Abi Talib. (HR. al-Bukhari 4210, Muslim 2405).
Mus’ab
bin Umair, Khubaib bin Adi dan semua para sahabat.
4) Keberanian
Para Sahabat.
Keberanian
para sahabat dapat dilihat kisahnya pada perang Badar yang diawali dengan
perang tanding.
Seorang
laki-laki sombong dari Bani Makhzum bernama al-Aswad bin ‘Abdul Asad. Ia
dikenal keras kepala, bengis, dan pembenci Islam. Saat itu, dengan penuh
kesombongan ia bersumpah:
“Aku bersumpah
kepada Allah, aku akan meminum air telaga (sumur) kaum Muslimin itu, atau aku
akan merusaknya, atau aku akan mati di sekitarnya!”
Sebelum ia
sampai, Hamzah menebasnya dan akhirnya terbunuh di dekat telaga.
Kemudian tiga oang tokoh-tokoh Quraisy maju ke tengah gelanggang Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bangkitlah wahai Hamzah!, Bangkitlah wahai ‘Ali!, Bangkitlah, wahai ‘Ubaidah
bin al-Ḥarith!”
Hamzah bin ‘Abdul Muththalib paman
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ‘Ali bin Abi Ṭalib sepupu dan
menantu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Ubaidah bin al-Ḥarith.
Pertarungan sengitpun terjadi, Hamzah melawan Syaibah, tidak lama Hamzah
menebas Syaibah hingga tewas. Ali melawan al-Walid, Ali berhasil membunuh
al-Walid dengan mudah, Ubaidah melawan ‘Utbah keduanya bertarung sengit, saling
melukai. Kemudian Hamzah dan Ali menyongsong Utbah dan membunuhnya dan
menggendong Ubaidah.
Juga
kisah dua pemuda belia ketika terjadi perang Badar, mereka adalah Muadz bin Amr
bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhuma.
Abdurrahman
bin 'Auf mengisahkan:
"Aku
berada di dalam barisan pasukan saat perang Badar berkecamuk. Tiba-tiba di
sebelah kanan dan kiriku ada dua anak muda yang masih belia. Seakan aku tidak
percaya atas keberadaan mereka di situ. Lalu salah seorang di antara keduanya
berkata secara rahasia kepadaku agar tidak diketahui oleh temannya, 'Wahai
paman! Tunjukkan padaku, mana Abu Jahal!."
Lalu aku
berkata, 'Wahai anak saudaraku! Apa yang akan kamu lakukan?' Dia menjawab, “Aku
diberitahu bahwa dia mencaci-maki Rasulullah, Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, jika aku melihatnya, maka dia tidak akan luput dari incaranku
hingga ada yang mati terlebih dahulu di antara kami.”
keduannya
membunuh Abu Jahal tersebut. (Diringkas dari Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh
Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, terbitan Darul Haq).
5) Kedermawanan
Para Sahabat.
Seperti kisah
Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan saat kaum muslimin membutuhkan sumur, yang di
waktu itu dimiliki oleh orang Yahudi, sehingga sahabat Utsman bin Affan membeli
sumur Raumah milik Yahudi, Abu Bakar, Umar, Ustman, dan dan sahabat
lainnya terutama menjelang perang tabuk dan masih banyak sekali kisah-kisah
yang mengharukan tentang kedermawanan mereka.
6) Kemuliaan
Akhlak Para Sahabat
Allah subhanahu
wa ta’ala menyebutkan hal ini dengan firman-Nya:
كَمَآ
اَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِّنْكُمْ يَتْلُوْا عَلَيْكُمْ اٰيٰتِنَا
وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَّا
لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَۗ
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu
seorang Rasul (Nabi Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan kepadamu
ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan
hikmah (sunnah), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui.” (QS.
Al-Baqarah[2]:151).
Setelah mereka
mendapat pengajaran dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka memiliki akhlak yang sangat mulia.
Mereka dipersaudarakan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang Muhajirin dengan orang-orang
Anshar, diantaranya Allah sebutkan kisah mereka orang anshar di dalam (Surat Al
Hasyr [59]: 9).
وَيُؤْثِرُوْنَ
عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ
نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ .
“Mereka mengutamakan(saudaranya Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai
keperluan yang mendesak. Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran itulah
orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Hasyr [59]: 9).
Demikian pula
kisah pada perang Yarmuk, al-Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal dan
Suhail bin Amr, saat menjelang akhir kehidupan mereka, mereka lebih
mementingkan saudaranya dari pada diri mereka sendiri, padahal mereka sangat
membutuhkan.
7) Sahabat
Adalah Orang-Orang Yang Adil.
Keadilan para
sahabat ini Allah sebutkan di dalam firman-Nya:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا.
“Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kalian (para sahabat) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
kalian.” (QS. Al-Baqarah[2]: 143).
Umat ini kelak akan menjadi saksi bagi
umat yang lain sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari sahabat Abu Sa’id
al-Khudri radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
يُدْعَى نُوحٌ يَوْمَ القِيَامَةِ
فَيَقُولُ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ يَا رَبِّ فَيَقُولُ: هَلْ بَلَّغْتَ ,فَيَقُولُ: نَعَمْ, فَيُقَالُ لِأُمَّتِهِ: هَلْ بَلَّغَكُمْ ,فَيَقُولُونَ: مَا أَتَانَا مِنْ نَذِيرٍ, فَيَقُولُ: مَنْ يَشْهَدُ لَكَ, فَيَقُولُ: مُحَمَّدٌ وَأُمَّتُهُ, فَتَشْهَدُونَ أَنَّهُ قَدْ بَلَّغَ: وَيَكُونَ الرَّسُولُ
عَلَيْكُمْ شَهِيدًا, فَذَلِكَ
قَوْلُهُ جَلَّ ذِكْرُهُ: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا
شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا, وَالوَسَطُ: العَدْلُ.
Pada hari kiamat
nanti, Nabi Nuh dipanggil oleh Allah. Lalu Nabi Nuh menjawab: “Aku datang memenuhi
panggilan-Mu, ya Allah.” Allah bertanya: “Apakah engkau sudah
menyampaikan risalah kepada kaummu?”
Nabi Nuh menjawab: “Sudah.” Kemudian
Allah bertanya kepada kaumnya: “Apakah Nuh sudah menyampaikan risalah kepada kalian?” Mereka
menjawab: “Tidak,
tidak ada yang memberi peringatan kepada kami.” Allah berkata
kepada Nuh: “Siapa
yang bisa menjadi saksi untukmu?” Nuh menjawab: “Muhammad dan
umatnya.” Maka umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
akan bersaksi bahwa Nabi Nuh benar-benar sudah menyampaikan risalah. Inilah
maksud firman Allah dalam Al-Qur’an:
"Agar
kalian (umat Islam) menjadi saksi atas manusia, dan Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas kalian." (QS. Al-Baqarah[2]: 143). Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan: “Yang dimaksud umat
pertengahan (wasath) itu adalah umat yang adil.” (HR. al-Bukhari no. 4487(.
Para
sahabat dikenal manusia yang sangat adil, jujur, dan penyayang.
8) Larangan
Mencela Para Sahabat.
Larangan keras
mencela para sahabat. Abu Sa’id Al Khudri radiyallahu’anhu berkata, Nabi
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ
تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا
بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ.
“Jangan kalian mencela para
sahabatku, seandainya salah seorang kalian menginfakkan emas sebesar Uhud tidak
akan dapat menyamai satu mud-nya mereka tidak juga setengahnya.” (HR.
al-Bukhari no. 3673, Muslim no. 2540).
9) Pujian
Allah kepada para sahabat.
Banyak sekali ayat
yang memuji para sahabat di dalam Al Qur’an.
Allah ta’ala
firman:
كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّه.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran [3] : 110).
فَإِنْ
آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا
فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ.
“Maka jika mereka beriman kepada apa
yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika
mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).
Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 137).
Berkata Ibnu
Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini dalam kitab tafsirnya , “Maka jika
mereka beriman”, yaitu orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan selain mereka,
“seperti apa yang kalian telah beriman kepadanya”, wahai kaum mukminin, dengan
keimanan kepada seluruh kitab Allah dan Rasul-Nya tanpa membedakan seorang pun
dari mereka, “sungguh mereka telah mendapat petunjuk”, yakni mereka telah
berada tepat di atas kebenaran dan mendapatkan petunjuk kepadanya.” (Tafsir
Ibnu Katsir QS. Al Baqarah [2]: 137).
لَقَدْ
رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ
فَتْحًا قَرِيبًا.
“Sungguh, Allah telah meridhai
orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah
pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan
ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS.
Al Fath [48]: 18)
Dari Jabir bin
Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لَا
يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ.
“Tidak akan masuk neraka orang-orang
yang berbaiat di bawah pohon.” (HR. Abu Dawud no. 4653, at-Tirmidzi no. 3860,
beliau berkata: hasan shahih. Syaikh al-Albani menshahihkan dalam Shahihul
Jami’ no. 7680).
Dari sahabat
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.
“Sebaik-baik generasi adalah
generasiku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian setelah mereka lagi.” (HR.
al-Bukhari no. 2652, Muslim no. 2533. Dengan lafald dari al-Bukhari).
10)
Perintah Mendoakan Para Sahabat.
Allah ta’ala
mengajarkan kepada kita bagaimana kita bersikap dengan para sahabat.
Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَآءُوا
مِنۢ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ
سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ
ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٞ
“Dan
orang-orang yang datang setelah mereka (para sahabat), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami,
ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu beriman, dan
janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang
beriman. Ya Rabb
kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’”
(QS. Al-Ḥasyr [59]:
10).
Tidak
diragukan lagi pujian di dalam ayat dan hadits di atas tidak lain adalah untuk
para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang merupakan khitab
(yang diajak bicara) dalam ayat tersebut, karena orang yang beriman di waktu
itu belum ada yang lain selain para sahabat.
4. Kewajiban
Mengikuti Para Sahabat.
Setelah kita
mengetahui keutamaan para sahabat, pujian Allah kepada mereka, maka kewajiban
kita beragama sebagaimana cara beragamanya para sahabat tersebut, (inilah yang
dikenal dengan manhaj), karena ini merupakan perintahkan Allah dan juga
Rasul-Nya.
Allah ta’ala
berfirman:
وَالسَّابِقُونَ
الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم
بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ.
“Orang-orang yang terdahulu lagi
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta
orang-orang yang mengikuti mereka (dalam melaksanakan) kebaikan, Allah ridha
kepada mereka; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang di dalamnya
terdapat sungai-sungai yang mengalir. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah [9]: 100).
Ayat ini
membagi generasi yang baik hanya menjadi dua generasi:
Generasi
pertama yaitu dari generasi para sahabat, Muhajirin dan Anshar, yang mana hal
ini tidak mungkin bisa kita capai.
Generasi kedua
adalah orang-orang setelahnya yang mengikuti mereka para sahabat dengan
sebaik-baiknya, kita memohon kepada Allah agar memasukkan kita termasuk
pengikut Rasulullah dan para sahabat dengan sebaik-baiknya sebagaimana ayat di atas.
Adapun dalil
dari hadits yang mewajibkan mengikuti para sahabat sebagai berikut:
Dari Abu Najih
Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
وَعَظَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظًةً وَجِلَتْ
مِنْهَا القُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُوْنُ فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ
كَأَنَّهَا مَوْعِظَةً مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ
عَزَّ وَ جَلَّ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati menjadi
bergetar dan mata kami menangis, maka kami berkata, “Wahai Rasulullah,
sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah
wasiat kepada kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku
berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun
kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian
sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib
atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin
al-mahdiyyin (yang lurus dan mendapatkan petunjuk). Gigitlah sunnah tersebut
dengan gigi geraham kalian, jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena
setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676.
Disahihkan syaikh al-Albani dalam sahihul jami’ no. 2549).
5. Jalan
Kebenaran Hanya Satu.
Dari ibnu
Mas’ud radiallahu ‘anhu beliau berkata:
خَطَّ
لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ
هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ
ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ و عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو
إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ, وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ
وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan
Allah’, kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis
tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap
jalan ada setan yang mengajak kepada jalan itu,’ kemudian beliau membaca:
وَأَنَّ
هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ.
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan)
ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari
jalan-Nya” (QS. Al-An’am[6]:153) (HR. Ahmad no. 4142, Abu Dawud no. 241, dihasankan
syaikh al-Albani di dalam Adh-Dhilal no. 16-17).
Dari ‘Auf bin
Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
افْتَرَقَتِ
الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ
وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي
النَّارِ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ
هُمْ قَالَ: الْجَمَاعَةُ.
“Orang-orang Yahudi terpecah menjadi tujuh
puluh satu golongan, satu (golongan) masuk Surga dan tujuh puluh di Neraka. Dan
Nasrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, yang tujuh puluh satu
golongan di Neraka dan yang satu di Surga. Dan demi Yang jiwa Muhammad berada
di Tangan-Nya, ummatku benar-benar akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan, yang satu di Surga, dan yang tujuh puluh dua golongan di Neraka,’
Ditanyakan kepada beliau, ‘Siapakah mereka (satu golongan yang masuk Surga itu)
wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Al-Jama’ah’.” (HR. Ibnu majah No.
3992, Abu Dawud No. 4956, ath-Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 129, di hasankan
Syaikh al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah No. 3992, di shahihkan di dalam as-Shahihah
No. 1492).
Dalam riwayat yang lain Beliau
ditanya:
قَالُوا:
وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.
“Siapakah yang selamat itu ya
Rasulullah..?” Beliau menjawab, “Apa yang aku dan para sahabatku berjalan di
atasnya” (HR. at-Tirmidzi No. 2641, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam
ash-Shahihah No. 1348, al-Misykah No. 171).
Pada ayat dan
hadits di atas merupakan dalil tentang wajibnya umat ini mengikuti Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabatnya, begitu pula jalan
kebenaran hanyalah satu.
6. Ancaman
Bagi Orang-Orang Yang Menyelisishi Para Sahabat.
Allah akan
mengadzab orang-orang yang meninggalkan cara beragamanya para sahabat dengan
Neraka.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.
“Dan barang siapa menentang Rasul
(Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah
dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa [4]: 115).
Para sahabat
Secara individu (person) bukanlah manusia yang maksum (bebas dari salah), akan
tetapi apa yang telah ditaqrir (didiamkan dan disetujui) Rasulullah shallallahu
a’laihi wa sallam terhadap sahabat merupakan dalil kebenaran yang harus
diikuti, begitu pula apa yang telah menjadi kesepakatan para sahabat (ijma’
mereka) adalah merupakan kebenaran.
Dari sahabat
Annas radhiyallahu‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ
اللَّهَ لَا يَجْمَعُ هَذِهِ الْأُمَّةَ عَلَى ضَلَالَةٍ أَبَدًا.
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengumpulkan umat ini di atas kesesatan selamanya.” (HR. Ibnu Majah no. 3940, al-Hakim
no. 201-202, at- Tirmidzi no. 2269 dan diShahihkan syaikh al-Albani di dalam
Shahihul Jami’ no. 1848, al-Misykah no. 173).
Oleh karena
itu ijtihad para sahabat, ada yang dibenarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan ada yang dilarang. Sehingga pandangan orang-orang tentang bolehnya
seseorang membuat revisi, kreasi, inovasi, ataupun tatacara baru di dalam agama
Islam dengan dalih para sahabat juga melakukannya, kemudian dibenarkan
Rasulullah sallallahu ‘alaih wa sallam, pandangan seperti ini hendaknya di
luruskan dan ditempatkan secara proporsional
agar kita bisa bersikap adil dalam menilai suatu perkara.
Anggapan ini
didasari oleh beberapa kisah dari apa yang dilakukan para sahabat di antaranya:
Bilal yang menjalankan shalat setelah wudhu,
(HR. al-Bukhari no. 1149).
Sahabat
yang shalat dengan bacaan “wal hamdulillahi hamdan katsiran tayyiban mubarakan
fiih” (HR. Muslim no. 600, Abu Dawud no. 774, Ibnu Hibban no. 845).
Sahabat yang
shalat tidak pernah meninggalkan surat Al-Ikhlas. Ada yang mengatakan bernama
Qatadah bin Nu’man. (HR. al-Bukhari no. 774, at-Tirmidzi no. 2901).
Sahabat yang
meruqyah dengan membaca Al Fatihah. (HR. al-Bukhari no. 5736, Muslim no. 2201).
Sebagaimana
Rasulullah mentaqrir (mendiamkan dan menyetujui) para sahabat, namun beliau juga meluruskan dan bahkan melarang mereka
yang keliru.
Oleh karena
itu hendaknya seseorang berbuat adil, tidak mengikuti hawa nafsunya dengan
hanya menukil dari apa yang didiamkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa allam
saja, tapi hendaknya juga menukil apa yang diluruskan dan bahkan dilarang oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kisah para
sahabat yang diluruskan bahkan dilarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah sebagai berikut:
Tiga sahabat yang mendatangi umul mukminin Aisyah
radhiyallahu ‘anh dan bertanya tentang ibadah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam.(HR. al-Bukhari no. 5063, Muslim no. 1401).
Larangan menyembelih Kurban sebelum shalat id.
(HR. al-Bukhari no. 7400, Muslim no. 985).
Larangan Rasulullah sallallahu ’alaihi wa
sallam menyerupai suatu kaum. (HR. Abu Dawud no. 4031 di shahihkan Syaikh
al-Albani di dalam Irwa’ul Gholil no. 2384).
Nadzar yang terlarang seperti kesyirikan,
menyakiti badan atau hal-hal yang sia-sia. (HR al-Bukhari no. 6700).
Larangan
mengkhususkan puasa pada hari jum’at saja.
Dari abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, ia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا
يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ.
“Janganlah salah seorang di antara
kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali jika ia berpuasa pula pada hari
sebelum atau sesudahnya.” (HR. al-Bukhari no. 1849, Muslim no. 1929).
Meminta
dibuatkan sesembahan seperti Dzatu anwath, hal ini sebagaimana bani Israil
meminta dibuatkan anak sapi, (QS. Al A’raf [7]: 138).
Ketika fatkhul
Makkah banyak sahabat yang baru masuk islam, tidak selang beberapa lama
kemudian orang-orang berangkat perang menuju Hunain, kemudian mereka melewati
pohon milik orang kafir sehingga mereka meminta untuk dibuatkan Dzatu Anwath
seperti mereka.
يَا
رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ.
فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم سُبْحَانَ
اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى .
“Ya Rasulullah, Buatkanlah untuk kami
Dzatu Anwath (tempat menggantungkan senjata) sebagaimana mereka (orang musyrik)
memiliki Dzatu Anwath.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Subhanallah! ini sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Musa.” (Pohon yang
dipakai menggantungkan pedang orang-orang musyrik).
Para sahabat
adalah manusia pilihan yang hidup dinaungi oleh wahyu, dimana wahyu turun
kepada mereka siang maupun malam yang akan membenarkan atau meluruskan mereka
apabila keliru melalui Rasul-Nya.
Dari ayat dan
hadits di atas jelas menunjukkan bahwa tidak ada yang dapat menjamin
keselamatan agama seseorang menuju kepada Allah ta’ala kecuali mengikuti
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya radhiyallahu
‘ahum ajma’iin.
-----000-----
LARANGAN
TA’ASHUB
(Fanatisme kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dahulu, umat ini fanatik terhadap
madzhab, mereka tidak mau menikahkan anaknya kecuali semadzhab dengan mereka,
tidak mau shalat di belakang orang yang tidak semadzhab dengan mereka. Ternyata
sisa-sisa keadaan seperti ini masih kita saksikan. Sebagian kaum muslimin tidak
mau shalat di masjid selain kelompoknya, tidak mau memberi salam kepada selain
kelompoknya. Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda:
مِنْ أَشْرَاطِ
السَّاعَةِ أَنْ يَمُرَّ الرَّجُلُ بِالْمَسْجِدِ لَا يُصَلِّي فِيهِ رَكْعَتَيْنِ, وَأَنْ لَا يُسَلِّمَ إِلَّا عَلَى مَنْ
يَعْرِفُهُ .
“Di antara tanda-tanda (dekatnya) hari kiamat adalah
seseorang melewati masjid yang tidak pernah dia shalat di sana dua rekaat, lalu
dia hanya mengucapkan salam kepada orang yang dia kenali saja.” (HR. ath-Tabrani
no. 9489, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 5896, lihat
juga Fathul Bari 11: 25).
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
“Mengucapkan salam kepada orang yang tidak dikenal merupakan tanda ikhlas dalam
beramal kepada Allah ta’ala, tanda tawadhu’ (rendahnya
hati seseorang), dan menyebarkan salam
merupakan syi’ar dari umat ini.” (Lihat Fathul Bari 11: 25)
Fenomena fanatik kelompok ini salah
satu kebiasaan jahiliyah, yang mana Allah ta’ala telah melarang hal ini. Allah
ta’ala menyebutkan di dalam Al-Qur’an :
وَلَا تَكُونُوا
مِنَ الْمُشْرِكِينَ. مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ
حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ.
“Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi
beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada
golongan mereka.” (QS. Ar-Rum [30]: 31)
Keadaan yang sangat memprihatinkan
bagaimana kaum muslimin tercabik-cabik oleh musuh mereka baik dari dalam maupun
dari luar, mereka dibuat saling bermusuhan satu sama lain. Satu golongan
berpakaian warna ini dan segolongan lain berpakaian warna itu, seakan musuh
yang harus diperangi, tidak lagi mendasari perbuatan yang dilakukan tersebut
dari agama, padahal sikap fanatisme golongan ini muncul dari musuh-musuh islam,
mereka sengaja menciptakan cara-cara yang selalu bertentangan dengan islam, mereka
menghendaki kaum muslimin selalu bertengkar satu sama lain, mereka tidak sadar
kalau mereka sedang diadu domba oleh musuh-musuh mereka, inilah kenyataan yang
menimpa kaum Muslimin saat ini.
Padahal Allah ta’ala memerintahkan
agar kaum muslimin bersatu di atas syari’at Islam.
Allah ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ
إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ
إِخْوَانًا.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang
bersaudara.” (QS. Al-Imran [3]: 103)
Untuk menghilangkan atau memperkecil
perselisihan hendaknya kita kembali kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulullah
sallallahu’alaihi wa sallam dengan pemahaman para sahabat, menjauhkan fanatisme
kepada selain Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, siapapun dia, betapapun
memiliki pengikut yang banyak dan kedudukan yang tinggi, baik berupa
organisasi, yayasan, golongan, atau terhadap individu, seperti kepada kyai,
ustadz, habib, maupun kepada seorang guru, tanpa mengurangi sedikitpun rasa
hormat kita kepada mereka, karena mereka turut andil di dalam menegakkan agama
Allah, namun bagaimanapun juga kebenaran lebih kita cintai, dan kesalahan harus
kita tinggalkan, tak seorangpun dari kita yang bisa lepas dari kesalahan.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ
خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ.
“Setiap anak Adam adalah bersalah dan sebaik-baiknya orang
yang melakukan kesalahan adalah mereka yang mau bertaubat.” (HR. at-Tirmidzi no.
2499, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu Al-Jami’ no. 4515)
Hendaknya kita
tidak membeda-bedakan suku, warna kulit maupun daerah, sebaliknya kita harus
menerima dan mengikuti kebenaran dari mana saja datangnya, karena kebenaran itu
lebih mahal dari emas, lebih mulia dari permata, selagi mencocoki Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya hendaknya kita terima, kita harus mendahulukan Rasulullah
dibandingkan selain Beliau, karena Rasulullah terjaga dari kesalahan sedangkan
yang lain tidak.
Allah ta’ala
berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى . إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan
tidaklah dia (Nabi Muhammad) berbicara menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu
tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS.
An-Najm[53]: 3-4)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
berkata:
يُوْشِكُ أَنْ
تَنْزِلَ عَلَيكْم حِجَارَةٌ
مِنَ السَّمَاءِ, أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ
بَكْرٍ وَعُمَرُ.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Hampir saja kalian akan
dihujani batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah bersabda demikian lantas
kalian membantah dengan mengatakan: Tapi Abu Bakar dan Umar berkata demikian.” (Zadul ma’ad
2/195, Syarah Sunan Ibnu Majah 2/3, Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman ar-Rajihi).
Imam Ahmad rahimahullah berkata:
عَجِبْتُ لِقَوْمٍ
عَرَفُوا الإِسْنَادَ وَصِحَّتَهُ وَيَذْهَبُوْنَ إِلَى رَأْيِ سُفْيَانَ, وَاَللَّهُ تَعَالَى يَقُوْلُ: فَلْيَحْذَرِ
الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ
يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ . أَتَدْرِي مَا الفِتْنَةُ الفِتْنَةُ الشِّرْكُ, لَعَلَّهُ إِذَا رَدَّ بَعْضَ قَوْلِهِ أَنْ
يَقَعَ فِي قَلْبِهِ شَيْءٌ مِنَ الزَّيْغِ فَيَهْلَكَ.
“Sungguh aku heran pada satu kaum,
mereka mengetahui sanat dan keshahihannya, akan tetapi mereka mengambil
pendapat Sufyan! sedang Allah ta’ala berfirman: “Maka, hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab
yang pedih.” (QS. An-Nur[24]:63), “Apakah kau tahu apa itu fitnah..? fitnah itu
kesyirikan, bisa jadi seseorang menolak sebagian dari perkataan-Nya, terbetik
didalam hatinya sesuatu berupa penyimpangan kemudian membinasakannya.” (Di
keluarkan oleh Ibnu Batthah di dalam al-Ibanatul Kubra 97, Fatawa Syaikh
Ibnu Jibrin 63/253).
Para imam madzhab mereka juga
melarang ta’ashub (fanatik) dengan dirinya, dan memerintahkan agar mengikuti
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, di antara ucapan mereka sebagai
berikut:
Imam Abu Hanifah rahimahullah beliau
berkata:
إِذَا صَحَّ
الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي. إِذَا
قُلْتُ قَوْلاً يُخَالِفُ كِتَابَ الله تعالى وَخَبَرَ الرَّسولِ صلى الله عليه
وسلم فَاتْرُكُوا
قَولِي.
“Apabila hadits itu sahih, maka itulah madzhabku,” Beliau
juga berkata, “Apabila aku berkata menyelisihi kitab Allah, dan Sunnah
Rasulullah, maka tinggalkanlah ucapanku.” (Sifat shalat Nabi, oleh Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiah 1/63).
Imam Malik bin Anas rahimahullah
berkata:
إِنَّمَا أَنَا
بَشَرٌ أُخْطِىءُ وأُصِيبُ فانْظُرُوا في رَأْيِي فَكُلّ مَا وَافَقَ الكتابَ
والسُّنَّةَ فخُذُوا بِهِ وكلّ مَا لَمْ يُوَافِقِ الكتابَ والسُّنَّةَ
فَاتْرُكُوهُ.
“Sesungguhnya aku tidak lain adalah manusia, terkadang salah
dan terkadang benar maka perhatikanlah pendapatku setiap apa yang mencocoki
Al-Kitab dan Sunnah ambillah dan setiap apa yang tidak sesuai Al-kitab dan
Sunnah maka tinggalkanlah.” (Sifat shalat Nabi, oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani).
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
إِذَا وَجَدْتُّمْ
فِي كِتَابِي خِلَافَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقُولُوا بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوا مَا
قُلْتُ.
“Apabila kalian menjumpai di dalam kitabku menyelisihi Sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ucapkanlah Sunnah Rasulullah dan
tinggalkanlah ucapanku.” (Sifat shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani, al-Khatib di dalam Al Ikhtijaju bi Syafii 8/2).
Beliau rahimahullah juga mengatakan:
أَجْمَعَ
الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ
أَحَدٍ.
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas
baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa
pun.” (I'lamul muwaqi'in 2:282).
Imam Ahmad rahimahullah berkata:
مَنْ رَدَّ حَدِيثَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ.
“Barang siapa menolak hadist rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam maka dia berada di tepi kebinasaan.” (Sifat shalat Nabi, Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani).
Demikianlah ucapan para imam, mereka
mengajak kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak mengajak
kepada pendapatnya atau madzhabnya.
Bandingkan dengan para tokoh-tokoh organisasi
yang menyimpang sekarang, mereka berdakwah untuk memperkaya dirinya yaitu mendapatkan
setoran dari mad’unya (orang yang didakwahi), cari kursi jabatan, menanamkan
fanatiK kepada kelompoknya saja, memaknai
Al-Qur’an dan hadist sesuai dengan kelompok dan hawa nafsunya, bahkan
tak segan-segan mengkafirkan orang yang di luar kelompoknya, dan menganggap
selain kelompoknya keislamanya tidak syah, menakut-nakuti mereka agar mau
berbai’at dan bergabung dengan jama’ahnya jika tidak, mereka akan mati dan
dianggap matinya seperti bangkai jahiliyah dan tetap di atas kekafiran, semua
ini tidaklah benar, ini adalah sikapnya orang-orang khuarij, (takfiri) suka
mengkafirkan orang lain selain kelompoknya wal iyaadzubillah.
Semua bentuk penyimpangan ini laku
keras pada umat ini, hal ini tidak lain karena jauhnya umat islam dari tuntunan
agama yang benar, sehingga mereka mudah untuk dibodohi, diadu domba baik dari dalam
maupun dari luar, dari dalam yaitu orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya, adapun
dari luar yaitu kalangan orang-orang kafir, munafik, orang-orang musyrik.
Demikianlah semopga Allah melindungi
kita dari ta’asub (fanatik buta) dalam beragama. Aamiin.
Sragen 29-11-2025
Abu Ibrahim Junaedi Abdullah.