Sebentar lagi Ramadhan akan datang, banyak diantara
saudara-saudara kita yang kebingungan, Ramadhan harus ikut ikut siapa, apa yang
mendasari hal itu dikatakan benar.
Pertanyaan seperti ini sering muncul dan masih banyak masyarakat
kita yang bingung padahal Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan dan memerintahkan
kita bagaimana sikap kita jika berselisih.
Sudah menjadi kewajiban seorang muslim, apa bila terjadi sesuatu
yang membingungkan atau diperselisihkan hendaknya dikembalikan kepada Al-Qur’an
dan Sunnah, hal ini merupakan tanda bentuk ketundukan seseorang kepada Allah
dan Rasul-Nya.
Hal itu tidak lain karena rahmat Allah kepada hamba-Nya, juga
sebagai jaminan keselamatan seseorang di dunia dan akhirat.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا.
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian.” (QS. An-Nisa[4]:59).
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
“Maka demi Tuhanmu,
mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (QS.An-Nisa[4]:65).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي
قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّتِي، وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ.
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat
selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya
sampai kalian bertemu denganku di telaga.” (HR. Al-Hakim di dalam mustadraknya 319,
Disahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Sahihul Jami’ 2937).
Dengan berdasarkan ayat dan hadits di atas, kita akan lebih mudah untuk
mengikuti dan memahami dalil-dalil berikutnya, oleh karena itu semoga sedikit
ulasan berikut ini dapat menghilangkan kebingungan yang ada pada masyarakat
kita, dan sebagai usaha untuk dapat menyatukan kaum muslimin.
Diantara poin-poin tersebut yaitu:
1.
Al-Qur’an dan Sunnah telah diketahui bagaimana menetapkan
permulaan puasa.
Inilah pedoman utama seorang muslim.
Allah ta’ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ..
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS.
Al-Baqarah[2]:185).
Syahida memiliki beberapa arti diantaranya, menyaksikan, hadir,
mukim (tinggal). Ayat diatas memiliki arti menyaksikan (melihat) sebagaimana
yang disebutkan Ibnu Katsir.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”Ini
merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk bulan
Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan Ramadan
datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan
puasa.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. [2]:185).
Di dalam tafsir ini kita mengetahui bagaimana
mereka tidak pernah meninggalkan ru’yatul hilal (melihat bulan).
Hal ini dikuatkan lagi dengan Hadits-hadits
Rasulullah yang lain, diantaranya:
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ.
“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena
melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula, apabila tidak nampak
oleh kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari 1909,
Muslim 1081).
Rasulullah telah menjelaskan kepada kita bahwa untuk mengetahui
masuknya Ramadhan dengan dua cara yaitu:
Pertama melihat hilal.
Kedua bila hal itu terhalangi yaitu dengan cara menggenapkan bulan
sya’ban menjadi tiga puluh hari.
Dengan demikian puasa akan bersama, sebagaimana disabdakan
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam :
الصَّوْمُ يَوْمَ
تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.
“Puasa itu tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adhalah tatkala
ditetapkan mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi 697 dishahihkan
Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 224)
Dala sebuah Atsar disebutkan Ibnu Umar berkata:
تَرَاءَى النَّاسُ
الْهِلَالَ، فَرَأَيْتُهُ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَصَامَ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ.
"orang-orang mengamati hilal, ternyata aku melihatnya, Maka
aku sampaikan hal itu kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, mendengar
berita tersebut, beliau mulai berpuasa (keeseokan harinya) dan memerintahkan
semua orang untuk mengikutinya berpuasa." ( HR. Ibnu Hibban
3447, Abu Dawud 2342, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Al-Irwa’
908).
Dalil-dalil di atas mencocoki dengan firman Allah ta’ala:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ
الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ.
Mereka bertanya kepadamu
tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu
bagi manusia dan (bagi ibadat) haji
Demikianlah Al-Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan secara
gamblang.
2.
Firman Allah ta’ala tidak akan saling bertentangan,
begitu pula dengan hadits.
Orang-orang yang mengedepankan hisab mereka berdalil dengan firman
Allah ta’ala:
هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ الشَّمْسَ
ضِيَاۤءً وَّالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَهٗ مَنَازِلَ
لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ مَا
خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَقِّۗ يُفَصِّلُ
الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ
"Dialah yang
menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan
tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan
(waktu)." QS Yunus[10]:5).
Orang-orang yang melakukan hisab
kemudian menyandarkan permulaan puasa
dan mengakhirinya dengan bersandar pada ayat di atas telah melakukan kesalahan
yang fatal.
1)
Karena
hal ini akan bertabrakan dengan firman Allah ta'ala pada (QS Al-Baqarah
[2]:185) di atas. Dan mustahil ayat dengan ayat bertabrakan.
2)
Akan
bertabrakan dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu juga mustahil
sebagaimana kaedah dalam memahami Al-Qur’an, selamanya Al-Qur’an tidak akan
bertentangan dengan hadits, karena Rasulullah adalah utusan Allah, tidak
mungkin akan menyelisihi yang mengutus.
3)
Oleh
karena itu tak seorangpun dari para ulama ahli tafsir menafsirkan seperti itu,
begitu pula takkan kita jumpai di dalam kitab-kitab fikih yang muktabar.
3.
Orang yang mengagungkan hisab lupa jika Allah
disifati dengan Al-Aliim( Maha mengetahui).
Orang-orang yang mendahulukan hisab lupa jika Allah maha
mengetahui apa yang sedang terjadi, apa yang akan terjadi dan apa yang belum
terjadi seandainya hal itu terjadi, semua ini telah diketahui oleh Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ
غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ
تَكْتُمُونَ.
“Bukankah telah Aku katakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui
rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang
kamu sembunyikan?” (QS. Al-Baqarah[2]:33).
لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى
كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا.
“Agar
kalian mengetahui sesungguhnya Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu, dan
bahwasanya ilmu Allah meliputi segala sesuatu.” (QS. At-Thalaq [65]: 12)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallm bersabda:
كَتَبَ اللَّهُ
مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ
بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ.
“Allah telah menetapkan takdir untuk setiap makhluk sejak lima
puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.” (HR. Muslim2653).
Ketika Allah berfirman hal itu sebagai padoman selamanya bagi
hamba, demikian pula Rasul-Nya semua itu Allah ketahui dan dibenarkan tidak
berubah ketetapannya.
Allah ta’ala berfirman:
وَتَمَّتْ
كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu sebagai kalimat yang benar dan
adil.” (Al-An'am [6]: 115).
Firman Allah: “wa tammat kalimatu rabbika shidqaw wa ‘adlan.” (“Telah
sempurna kalimat dari Rabbmu, sebagai kalimat yang benar dan adil.”) Qatadah
berkata: “Yaitu benar dalam firman-Nya, dan adil dalam putusan Nya.”
Laa mubaddila likalimaatihi (“Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya.”)
“Maksudnya, tidak ada seorang pun yang dapat menolak putusan Allah Ta’ala, di
dunia maupun di akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir (QS. Al-An’am [6]: 115).
Ayat ini menjelaskan hukum yang telah ditetapkan Allah itu terus berlaku,
tidak berubah dengan kemajuan jaman.
Apakah kita menolak kemajuan jaman..?
Tidak, islam tidak menolak kemajuan jaman, kemajuan jaman untuk
mengiringi mengiringi syari’at ini bukan dijadikan ukuran syari’at.
4.
Para ulama dari kalangan sahabat hingga sekarang
telah menjelaskan tentang bagaimana memulai permulaan Ramdhan.
Seandainya kita buka kitab-kitab para ulama, baik kitab
fikih, aqidah maupun tafsir, para ulama telah menjelaskan bagaimana seharusnya
kita di dalam menetapkan masuknya bulan Ramadan.
Seperti di dalam kitab Bulugul Maram, yang tulis oleh al-Hafidh
Ibnu Hajar al-‘Asqalani dan syarahnya Subulus Salam oleh Imam Ash-Shan’ani.
Mulakhas Fikhiyah oleh Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Fikih Sunnah
oleh Abu Malik Kamal Ibnu As-Syayid Salim, bahkan beliau berkata, “Mengetahui
bulan(masuknya Ramadhan) dengan ru’yah (melihat) bukan dengan hisab.”
Begitu pula kitab Al-Wajiz yang di tulis oleh Syaikh ‘Abdul Azhim
bin Badawi Al Khalafi, beliau juga berkata, “Wajibnya puasa Ramadhan
dengan melihat hilal.”
Para ulama telah
menjelaskan hal ini.
5.
Wajib mentaati pemerintah jika dalam perkara
yang tidak maksiat.
Perintah
Allah agar kita mentaati pemerintah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisaa [4]: 59)
Ibnu Katsir rahmahullah berkata:
فَهَذِهِ أَوَامِرٌ بِطَاعَةِ الْعُلَمَاءِ وَالْأُمَرَاءِ.
“Ayat ini memerintahkan agar mentaati ulama’ dan umara’ (pemimpin
atau pemerintah) (lihat tafsir Ibnu Katsir QS. Al Baqarah[2]: 59)
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Yang dimaksud dengan ulil amri adalah orang-orang yang Allah wajibkan untuk
ditaati, dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat
mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan
yang lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 12/222)
Oleh karena itu ulama juga telah memasukkan di dalam kitab-kitab
aqidah mereka, agar kita mengikuti pemerintah kita dalam hal ini.
Seperti di dalam kitab, “ Mujmal Usul Ahli Sunnah Wal Jama’ah fil
Aqidah,” oleh Syaikh DR. Nashir ibnu ‘Abdul Karim Al-Aql.
Beliau rahimahullah berkata:
الصلاة
والحج والجهاد واجبة مع أئمة المسلمين وإن جاروا.
“Shalat (jama’ah, Jum’at, Id), haji, dan Jihad wajib bersama
dengan pemimpin kaum muslimin meskipun mereka sewenang-wenang (dzalim).”
Imam Ibnu
Rajab Al-Hanbali rahmahullah berkata:
وَقَالَ الْحَسَنُ فِي الْأُمَرَاءِ هُمْ يَلُونَ مِنْ أُمُورِنَا
خَمْسًا: الجُمُعَةَ وَالْجَمَاعَةَ وَالْعِيدَ وَالنُّغُورَ وَالْحُدُودَ،
وَاللَّهِ مَا يَسْتَقِيمُ الدِّينُ إِلَّا كِيمْ، وَإِنْ جَارُوا وَظَلَمُوا.
Al-Hasan Al-Bashri berkata
tentang umara' (para pemimpin kaum muslimin): Mereka mengurusi lima urusan
kita: shalat jum'at, shalat jama'ah, shalat 'ied, menjaga perbatasan, dan
melaksanakan hudud. Demi Allah, agama tidak akan tegak kecuali dengan mereka,
walaupun mereka menyimpang dan zhalim." (Jami'ul Ulum wal Hikam,
2/117).
6.
Hendaknya kaum muslimin berusaha untuk bersama
dan bersatu.
Hedaknya kaum muslimin
memiliki usaha untuk menyatukan barisan bukan justru mencari panggung dan
membuat barisan sendiri-sendiri.
Organisasi dinegara kita banyak adapun pemerintah itu satu,
apabila setiap organisasi menentukan hari raya sendiri-sendiri tentu akan
semakin banyak perselisihan.
Sebaliknya bila semua organisasi mengikuti pemerintah yang satu
tentu akan bersatu, karena islam memiliki prinsip Jalbu al-mashalih wa daf’u
al-mafasid (mengambil manfaaat dan menolak mafsadat) terlebih semua ini sesuai
dengan Sunnah yang dapat memadamkan perselisihan, hal ini sesuai dengan firman Allah
ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ
كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ
إِخْوَانًا.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (QS.
Al-Imran [3]: 103)
Namun sangat disayangkan
orang-orang yang mengedepankan hisab seakan-akan hal itu adalah nas (dalil)
yang wajib diikuti, mereka meninggalkan syariat yang telah diamalkan dari dulu
sampai sekarang oleh para ulama, mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan
itu banyak membingungkan umat, menjadikan bercerai-berai mengantikan
kebahagiaan menjadi kesedihan, menghilangkan persatuan menjadi bermusuhan,
bahkan kita dapatkan sesama keluarga berbeda dalam berhari raya.
Dan sering sesama ahli hisabpun mereka
berselisih.
7.
Ancaman keras bagi orang yang meninggalkan
Sunnah.
Allah ta’ala berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ
يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ.
“Hendaknya takutlah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya
bahwa mereka akan ditimpa fitnah atau azab yang pedih.” (QS. An-Nur [24]:
63)
Dari sahabat Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata:
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيكْم ْحِجَارَةٌ مِنَ
السَّمَاءِ, أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ
وَعُمَرُ؟
“Hampir saja kalian akan dihujani batu dari
langit. Aku katakan: Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantah
dengan mengatakan: Tapi Abu Bakar dan Umar berkata demikian.” (HR.
Ahmad 1/337 dan Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/145 Ibnu Abdil Bar di
dalam, Jami’u Bayanil ‘ilmi wa fadzlihi 2/239).
Bagi saudara-saudaraku yang
masih taklid dan mendahulukan terhadap pemimpin, yayasan, organisasi, dan
meninggalkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulul-Nya hendak menyadari yang dilakukan
itu dapat menjadikan dosa jariah, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ
وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ
مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ.
“Dan barang siapa melakukan sunnah yang buruk
dalam islam maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang
yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa
mereka sedikitpun.” (HR. Muslim 1016).
Wajib bagi kita mensikapi permasalahan ini dengan ilmu bukan
hawa nafsu.
8.
Hendaknya ikhlas di dalam menjalankan agama.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ.
“Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah[98]:5).
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ.
“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama
kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar [39]:2).
Allah dan Rasulnya telah memberitakan dan
memerintahkan agar mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
قُلْ هَلْ
نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا.
“Katakanlah:
“Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi [18]: 103-104).
Ali bin Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya
makna ayat ini bersifat umum mencakup semua orang yang menyembah Allah bukan
melalui jalan yang diridhai. Orang yang bersangkutan menduga bahwa jalan yang
ditempuhnya itu benar dan amalnya diterima, padahal kenyataannya dia keliru dan
amalnya ditolak.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. AL-Kahfi [18]:104).
Oleh karena itu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ .
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang
tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.” (HR. Muslim 1718).
9.
Menjahui taklid dan fanatic buta.
Belajar islam kepada salah satu madzhab itu dibolehkan
para ulama, atau seseorang ingin mendirikan
organisasi pada asalnya mubah (boleh) akan tetapi apa bila al-wala’ wal bara’
(mencintai dan membenci) hanya didasari karena madzhab atau organisasinya bukan
karena Allah, bahkan berani menolak ayat dan hadits nabi karena dipandang tak
sejalan dengan madzhab ataupun organisasinya inilah yang dilarang keras dalam
agama, karena hal ini dapat menyesatkan seseorang.
Seharusnya seorang mukmin tidak fanatik buta,
karena ini dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, seorang muslim hendaknya
mengikuti kemanapun dan dimanapun kebenaran itu berputar dan berada.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ
الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ
أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
"Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min,
bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum
(mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’
Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur [24]: 51).
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ
تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Katakanlah, "Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian,"
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Imran [3]: 31)
Ulama juga mewasiatkan hal itu, mereka
memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata:
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ
عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ
أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ.
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya
sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal
baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.” (I'lamul
muwaqi'in 2:282).
مَنْ رَدَّ حَدِيثَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ.
“Barang siapa menolak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam maka dia berada di tepi kebinasaan.” (“Sifat shalat Nabi” Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani).
10.
Penyesalan orang yang mengikuti pemimpin yang tidak
benar.
Orang-orang yang mengikuti pemimpin mereka padahal telah jelas
kesalahannya, kelak mereka akan menyesal.
Allah ta’ala berfirman:
وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ
اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا
مِنَ النَّارِ . قَالَ الَّذِينَ
اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ
“Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah
dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang
menyombongkan diri: “Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka
dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebahagian azab api neraka?” Orang-orang
yang menyombongkan diri menjawab: “Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam
neraka, karena sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara
hamba-hamba-(Nya)”. (Ghafir[40]:47-48).
قَالُوا رَبَّنَا مَنْ قَدَّمَ لَنَا هَٰذَا فَزِدْهُ عَذَابًا ضِعْفًا
فِي النَّارِ
Mereka (para pengikut) berkata (lagi): “Ya Rabb
kami orang yang telah menjerumuskan kami ke dalam adzab ini, maka tambahkanlah
adzab kepadanya dengan berlipat ganda di dalam neraka”. (QS. Shaad[38]: 61).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ،
وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي
فَقَدْ أَبَى.
“Setiap umatku akan masuk ke dalam surga kecuali yang enggan.
Mereka para sahabat bertanya, “Siapa yang enggan?” Beliau berkata, “Barangsiapa
mentaatiku dia masuk ke dalam surga, dan barangsiapa bermaksiat padaku
maka dia telah enggan.” (HR. Bukhari 7280, Ahmad 8714).
Demikianlah semoga Allah mengumpulkan kita dalam kebaikan aamiin.
-----000-----
Sragen 07-03-2024
Junaedi
Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar