Bersiap-siap menyongsong bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan adalah bulan
yang ditunggu-tunggu oleh semua orang-orang yang beriman dengan benar, oleh
karena itu selayaknya kita juga mencurahkan perhatian kita untuk dapat serta
beribadah dengan maksimal di bulan itu.
Hal-hal yang perlu untuk kita
lakukan yaitu:
1. Bergembira
Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wa sallam memberikan Kabar gembira mengenai
datangnya Ramadhan sebagaimana dalam hadits berikut:
ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ
ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ أَبْوَابُ
الْجَحِيمِ ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ
ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ.
“Telah datang kepada kalian
Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya.
Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup.
Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik
dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia
terhalangi.” [1]
Dahulu para sahabat dan
tabi’in berdoa.
اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ
وَتَسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً.
“Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadan, dan antarkanlah
Ramadan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.” [2]
Syaikh Muhammad Shalih al-Munajid berkata, tidak ada riwayat yang
shahih yang sampai kepada nabi, akan tetapi banyak di riwayatkan dari
orang-orang shalih terdahulu yang berdoa demikian.[3]
Begitu
pula doa di bawah ini yang telah masyhur di masyarakat, tetapi haditsnya lemah.
اللَّهُمَّ
بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِى رَمَضَانَ.
“Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta
berkahilah kami di bulan Ramadan, (HR. Ahmad 2346, Syaikh Al-Arnauth
menyatakan dha’if disebutkan di dalam Musnad Al-Maudu’ Al-Jami’i lilkitab
Al-‘Asyara, Suhaib ‘abdul Jabar).
2. Mengganti
puasa yang belum digenapkan.
Baik hal itu dikarenakan
sakit, safar atau lainnya.
Allah ta’ala berfirman:
أَيَّامًا
مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ.
“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara
kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti)
sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (QS.
Al-Baqarah[2]:184).
3. Mempelajari
hukum-hukum seputar ibadah Ramadhan.
Wajib seseorang mengetahui
hukum terhadap apa yang di wajibkan Allah pada dirinya, baik masalah ibadah
maupun muamalah.
Allah ta’ala
berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ.
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut
disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu.” (QS. Muhammad[2]:19).
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ
وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ.
“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar[39:9).
Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib
atas setiap muslim.” [4]
مَنْ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan
memberikan kefaqihan (pemahaman) agama baginya. “ [5]
4. Memperhatikan orang-orang yang menjadi
tanggungannya.
Memperhatikan anak istri, orang tua dan siapa saja yang menjadi
tanggungannya, apakah ada kendala atau tidak bagi mereka ketika berpuasa.
Banyak pemilik usaha tidak menaruh perhatian dalam masalah
ini, hendaknya memerintahkan mereka (para pekerja) untuk berpuasa dan memberi
pesan-pesan yang baik, seperti ucapan, “ Bekerjalah semampunya, yang penting
tetap wajib berpuasa.”
Meluruskan kesalahan mereka ketika mereka tidak puasa dan
beralasan karena bekerja berat. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ
إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ.
“Cukuplah
seseorang itu dikatakan berdosa karena ia telah menyia-nyiakan orang yang
berada di bawah tanggung jawabnya.” [6]
5. Membiasakan
ibadah sunnah, baik malam maupun siang hari.
Dahulu
para sahabat membiasakan shalat malam, Umar ibnul Khatab juga memerintahkan
keluarganya untuk shalat di malam hari.
Allah
ta’ala berfirman:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ
وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا.
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar
dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha[20]:132).
6. Membiasakan bangun
lebih awal.
Selain
hal ini untuk mempersiapkan menyambut Ramadhan, ini juga merupakan kebiasaan
yang baik untuk menguatkan hapalan dan
menyiapkan aktivitas yang akan dilakukan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اللَّهُمَّ
بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا.
“Ya Allah, berilah keberkahan bagi umatku di pagi harinya.“[7]
7. Membiasakan
hal-hal yang positif.
Seorang
muslim hendaknya membiasakan ucapan yang baik, baik di bulan Ramadhan maupun di
luar Ramadhan.
Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت.
“Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik
atau diam.” (HR.Bukhari 6018 Muslim 47).
8. Menjaga
kebugaran badan.
Hendaknya
seorang muslim senantiasa menjaga kebugaran fisiknya, bukan hanya menjelang
puasa, tetapi juga hari-hari yang lain sebagaimana Allah perintahkan hal itu:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ
مِنْ قُوَّةٍ.
“Dan persiapkanlah dengan segala
kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan…” (QS. Al-Anfal[8]:60).
9. Menyisihkan
rezqi untuk kebutuhan bulan Ramadhan.
Banyak
orang meninggalkan kewajiban puasa, dengan alasan kebutuhan, padahal Allah ta’ala
telah memberikan 11 bulan untuk menyisihkan rezqinya, sehingga dirinya tidak
pontang-panting mengejar kebutuhan lupa kewajiban dan keutamaan.
Oleh
kerena itu kita dapatkan kisah-kisah dari sebagian orang shalih, mereka bekerja di luar Ramadhan untuk
menyiapkan saat bulan Ramadhan tiba.
10.
Meninggalkan safar yang tidak bermanfaat.
Seperti
mengunjungi negri-negri orang kafir yang tidak memiliki keutamaan, hingga
dirinya tertinggal dari keutamaan bulan Ramadhan.
Bahkan
ulama melarang safar tersebut jika untuk menghindari kewajiban berpuasa
tersebut.
-----000-----
Menandai masuknya bulan ramadhan.
1)Al-Qur’an dan Sunnah telah menetapkan permulaan
puasa.
Inilah pedoman utama seorang muslim.
Allah ta’ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ..
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah[2]:185).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”Ini merupakan suatu
keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia
dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan
tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan puasa.” (Tafsir Ibnu
Katsir QS. [2]:185).
Di dalam tafsir ini kita mengetahui bagaimana mereka tidak
meninggalkan ru’yatul hilal (melihat bulan).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ،
فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ.
“Berpuasalah kalian karena melihatnya,
berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya
pula, apabila tidak nampak oleh kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh
hari.” [8]
Hadits ini menjelaskan bahwa untuk
mengetahui masuknya bulan Ramadhan dengan dua cara yaitu:
Pertama melihat hilal.
Kedua bila hal itu terhalangi yaitu
dengan cara menggenapkan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari.
Dengan demikian agar puasa dilakukan
bersama-sama, sebagaimana disabdakan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam :
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ
تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.
“Puasa itu ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa,
idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” [9]
Dalil yang memperkuat hal ini
adalah hadits Ibnu Umar. la berkata:
تَرَاءَى النَّاسُ
الْهِلَالَ، فَرَأَيْتُهُ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَصَامَ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ.
"orang-orang mengamati
hilal, ternyata aku melihatnya, Maka aku sampaikan hal itu kepada Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam, mendengar berita tersebut, beliau mulai berpuasa
(keeseokan harinya) dan memerintahkan semua orang untuk mengikutinya
berpuasa." [10]
Demikianlah Al Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan secara
gamblang.
2)Para ulama telah menjelaskan hal ini.
Seandainya
kita buka kitab-kitab para ulama, baik
kitab fikih maupun tafsir, para ulama telah menjelaskan bagaimana seharusnya
kita di dalam menetapkan masuknya bulan Ramadhan.
Seperti di dalam kitab Bulugul Maram,
yang tulis oleh al-Hafidh Ibnu Hajar al-‘Asqalani beserta syarah-syarahnya
diantaranya kitab Subulus Salam oleh Imam Ash-Shan’ani. Mulakhas Fikhiyah oleh
Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Shahhih Fikih Sunnah oleh Abu Malik
Kamal Ibnu As-Syayid Salim, bahkan beliau berkata, “Mengetahui bulan(masuknya
Ramadhan) dengan ru’yah (melihat) bukan dengan hisab.”
Begitu pula kitab Al-Wajiz yang di
tulis oleh Syaikh ‘Abdul Azhim bin Badawi Al Khalafi, beliau juga berkata, “Wajibnya
puasa Ramadhan dengan melihat hilal.”
Mayoritas para ulama ahli fikih telah
menjelaskan hal ini.
3)Wajib mentaati pemerintah jika
sesuai dengan kebenaran.
Perintah
Allah agar kita mentaati pemerintah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Allah
ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisaa [4]: 59)
Ibnu Katsir rahmahullah berkata:
فَهَذِهِ
أَوَامِرٌ بِطَاعَةِ الْعُلَمَاءِ وَالْأُمَرَاءِ.
“Ayat ini memerintahkan agar mentaati ulama’ dan umara’
(pemimpin atau pemerintah).[11]
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Yang dimaksud dengan ulil amri adalah orang-orang yang Allah wajibkan untuk
ditaati, dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat
mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan
yang lainnya.” [12]
Oleh karena itu ulama juga telah
memasukkan di dalam kitab-kitab aqidah mereka, agar kita mengikuti pemerintah
kita dalam hal ini.
Seperti di dalam kitab, Aqidatu
As-Salaf Ash-Habul Hadits, oleh Imam Ash-Shabuni, beliau berkata, “Shalat
jum’at, dua shalat id, dan yang lainnya dari shalat shalat yang ada dilakukan
di belakang setiap imam (pemimpin) kaum muslim yang baik maupun yang buruk.”[13]
Syaikh DR. Nashir ibnu ‘Abdul Karim
Al-Aql di dalam kiabnya, Mujmal Usul Ahli Sunnah Wal Jama’ah fil Aqidah. Beliau
rahimahullah berkata:
الصلاة
والحج والجهاد واجبة مع أئمة المسلمين وإن جاروا.
“Shalat (jama’ah, Jum’at, Id), haji,
dan Jihad wajib bersama dengan pemimpin kaum muslimin meskipun mereka
sewenang-wenang (dzalim).” [14]
Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahmahullah berkata:
وَقَالَ الْحَسَنُ فِي الْأُمَرَاءِ
هُمْ يَلُونَ مِنْ أُمُورِنَا خَمْسًا: الجُمُعَةَ وَالْجَمَاعَةَ وَالْعِيدَ
وَالنُّغُورَ وَالْحُدُودَ، وَاللَّهِ مَا يَسْتَقِيمُ الدِّينُ إِلَّا كِيمْ،
وَإِنْ جَارُوا وَظَلَمُوا.
"(Imam) Al-Hasan Al-Bashri berkata tentang umara' (para
pemimpin kaum muslimin): Mereka mengurusi lima urusan kita: shalat jum'at,
shalat jama'ah, shalat 'ied, menjaga perbatasan, dan melaksanakan hudud. Demi
Allah, agama tidak akan tegak kecuali dengan mereka, walaupun mereka menyimpang
dan zhalim." [15]
Organisasi
itu banyak adapun pemerintah itu satu, apabila setiap organisasi menentukan
hari raya sendiri-sendiri tentu akan semakin banyak perselisihan, sebaliknya
bila semua organisasi mengikuti pemerintah yang satu tentu akan bersatu, karena
islam memiliki prinsip Jalbu al-mashalih wa daf’u al-mafasid (mengambil
manfaaat dan menolak mafsadat) terlebih semua ini sesuai dengan Sunnah yang
dapat memadamkan perselisihan, hal ini sesuai dengan firman Allah ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ
إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ
إِخْوَانًا.
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (QS. Al-Imran [3]:
103).
Sangat disayangkan orang-orang yang mengedepankan hisab
seakan-akan hal itu adalah nas (dalil) yang wajib diikuti, mereka meninggalkan
syariat yang telah diamalkan dari dulu sampai sekarang oleh para ulama, mereka
tidak menyadari apa yang mereka lakukan itu banyak membingungkan umat,
menjadikan bercerai-berai mengantikan kebahagiaan menjadi kesedihan,
menghilangkan persatuan menjadi bermusuhan, bahkan kita dapatkan sesama ahli
hisabpun mereka berselisih.
4)Ancaman keras bagi orang yang meninggalkan Sunnah.
Allah
ta’ala berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
“Hendaknya takutlah orang-orang yang menyalahi
perintah Rasul-Nya bahwa mereka akan ditimpa fitnah atau azab yang pedih.” (QS.
An-Nur [24]: 63)
Dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata:
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيكْم ْحِجَارَةٌ مِنَ
السَّمَاءِ, أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ
وَعُمَرُ؟
“Hampir saja kalian akan dihujani batu dari
langit. Aku katakan: Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantah
dengan mengatakan: Tapi Abu Bakar dan Umar berkata demikian.” [16]
Bagi saudara-saudaraku yang masih taklid dan mendahulukan
terhadap pemimpin, yayasan, organisasi, dan meninggalkan Kitab Allah dan Sunnah
Rasulul-Nya hendak menyadari yang dilakukan itu dapat menjadikan dosa jariah,
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ.
“Dan barang siapa
melakukan sunnah yang buruk dalam islam maka baginya dosa dari perbuatannya
tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa
berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. [17]
Wajib
bagi kita mensikapi permasalahan ini dengan ilmu bukan hawa nafsu.
5)Jika
berselisih hendaknya dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS.
An-Nisa’ [4]: 59)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي قَدْ
تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّتِي.
“Aku
telah tinggalkan pada kalian dua perkara, kamu tidak akan sesat selama
berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”[18]
Di
dalam berpegang dengan Al Qur’an dan Sunnah sebagai bentuk realisasi dari
keimanan mereka yang dapat menyelamatkan dari berbagai kesesatan.
6)Hendaknya ikhlas di dalam menjalankan
agama.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah[98]:5)
7)Menjahui taklid (fanatik) buta.
Berorganisasi
pada asalnya adalah mubah (boleh) akan tetapi apa bila fanatik dan menolak
kebenaran karena berbeda dengan organisasinya inilah yang terlarang karena
dapat menjadikan seseorang fanatic buta dan tersesat.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
"Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min,
bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum
(mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’
Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur [24]: 51).
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ
اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Katakanlah, "Jika kalian
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosa kalian," Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Imran [3]: 31).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ،
وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي
دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى.
“Setiap
umatku akan masuk ke dalam surga kecuali yang enggan.
Mereka para sahabat bertanya, “Siapa yang enggan?” Beliau berkata, “Barangsiapa
mentaatiku dia
masuk ke dalam surga, dan barangsiapa bermaksiat padaku maka dia telah enggan.”
[19]
Seorang muslim tidak boleh meninggalkan
Sunnah nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam dan lebih memilih mengikuti
madzhabnya, organisasinya, partainya ataupun yayasanya.
Ulama juga mewasiatkan hal itu, mereka
memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam.
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata:
أَجْمَعَ
الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ
يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ.
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas
baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak
halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa
pun.” [20]
مَنْ رَدَّ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ.
“Barang
siapa menolak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maka dia berada di
tepi kebinasaan.”[21]
Semoga saudara-saudaraku
turut serta andil dalam menyatukan umat ini.
Kewajiban puasa.
Puasa diwajibkan oleh Allah ta’ala,
RasulNya dan ijma’para ulama.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون.
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah[2]:183).
Dari Abu ‘Abdurrahman ‘Abdullah
bin ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma, ia
mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ
الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi
bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan Allah; menunaikan shalat; menunaikan zakat;
menunaikan haji ke Baitullah; dan berpuasa Ramadhan.” [22]
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا
وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan
atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu
akan diampuni.”[23]
Imam Ad-Dzahabi berkata, “Para ulama sepakat menghukumi
pelaku orang yang tidak puasa lebih buruk dari pezina dan peminum khamer,
karena mereka menyerupai orang-orang zindiq atau munafiq.”[24]
Keutamaan orang yang berpuasa.
Puasa memiliki keutamaan yang besar, diantaranya:
1)Salah satu jalan untuk meraih ketakwaan.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون.
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah[2]:183).
2)Dilipat gandakan pahala orang yang berpuasa.
Rasulullah sallallahu
‘alai wa sallam bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، الْحَسَنَةُ
عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلَّا
الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ
مِنْ أَجْلِي, لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ
فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ.
“Setiap amal anak adam akan dilipatkan baginya
sepuluh kebaikan sampai tuju ratus kali lipat “Telah berkata Allah ‘Aza
wajalla, kecuali puasa, karena itu
untukku, dan aku yang akan membalasnya,Dia meninggalkan syahwat, makannya
karena Aku, orang berpuasa memiliki dua kesenangan, senang di saat berbuka dan
senang di saat berjumpa Rabnya. ” [25]
Syaikh
Sahalih Al-Fauzan berkata, “Ketaatan yang dilakukan pada waktu atau tempat
yang memiliki keutamaan menyebabkan amalan tersebut berlipat-lipat.”[26]
3)Disediakan pintu surga.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ فِي الجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ
الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ
مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ: أَيْنَ الصَّائِمُونَ؟ فَيَقُومُونَ لاَ
يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ
مِنْهُ أَحَدٌ.
“Sesungguhnya
di surga itu ada pintu yang disebut ar-Rayyan, orang-orang yang berpuasa akan
masuk melalui pintu tersebut pada hari kiamat. Selain orang yang berpuasa tidak
akan memasukinya. Nanti orang yang berpuasa akan diseru, “Mana orang yang
berpuasa?” kemudian mereka pun berdiri, selain mereka tidak akan memasukinya.
Jika orang yang berpuasa tersebut telah memasukinya, maka akan tertutup dan
setelah itu tidak ada lagi yang memasukinya.“ [27]
4)Diampuni dosa-dosanya.
Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ.
“Barang
siapa berpuasa pada bulan Ramadhan dengan didasari iman dan mengharapkan pahala
dari Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [28]
5)Dijauhkan wajahnya dari api neraka.
Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ،
بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا.
"Barang siapa yang berpuasa sehari dengan niat
fisabilillah -yakni semata-mata menuju kepada ketaatan kepada Allah-, melainkan
Allah akan menjauhkan wajahnya -yakni dirinya- karena puasanya tadi, sejauh
perjalanan tujuh puluh tahun dari neraka." [29]
Dan masih banyak keutamaan yang lain.
Hikmah disyari’atkannya puasa.
Puasa memiliki hikmah yang sangat besar, apa bila seseorang
melakukan sesuai dengan syari’at dan adab-adabnya akan menjadikan seseorang
bertaqwa sebagaimana tujuan puasa itu sendiri.
Diantara hikmahnya:
1)Memisahkan antara keimanan dan
kemunafikan.
Menanamkan kesungguhan di dalam sebuah
keyakinan, sehingga orang yang ragu terhadap islam baik itu kalangan munafiq
ataupun pelaku dosa besar akan tersisihkan dalam masalah puasa, oleh karena itu
ayat puasa menyeru hanya bagi orang yang beriman.
2)Mendidik rasa
kemanusiaan.
Selamanya yang namanya kabar tidak sama
dengan kenyataannya, orang mengatakan “di sana orang miskin sangat kekurangan
dan menahan lapar karena tidak ada yang dimakan”, setelah orang-orang kaya
merasakan, tahulah mereka “begini rasanya orang kekurangan.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى
السَّمَاءِ
“Sayangilah penduduk bumi niscaya Yang di atas langit pun akan
menyayangi kalian.” [30]
3)Mendidik kesabaran.
Mendidik
sifat sabar di dalam menahan emosi dan mengendalikan hawa nafsu.
Allah ta’ala berfirman:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ
وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ. الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ
إِلَيْهِ رَاجِعُونَ.
“Jadikanlah
sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini
bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS.
Al-Baqarah[2]:45-46).
Pengertian sabar menurut suatu pendapat yang dimaksud adalah
puasa, sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid. Al-Qurtubi dan lain-lainnya
mengatakan, karena itulah maka bulan Ramadan dinamakan "bulan sabar" [31]
Rasulullah
sallallhu a’lai wa sallam bersabda:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ.
“Puasa adalah tameng janganlah berkata kotor
dan jangan berbuat bodoh, jika seseorang mengajak berkelahi atau mencelamu maka
katakanlah aku sedang puasa dua kali.” [32]
4)Melatih
kejujuran.
Puasa
melatih kjujuran, Rasulullah sallallahu ‘alaihhi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَ
“Barangsiapa yang tidak
meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak
butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.”[33]
5)Meninggalkan
perkataan yang tidak bermanfaat.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ
وَالشُّرْبِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ.
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan
tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats.”[34]
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ
إِلَّا الْجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ.
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak
mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” [35]
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت.
“Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik
atau diam.” [36]
6)Memanamkan sifat dermawan.
Puasa akan menumbuhkan kedermawanan, Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam sangat dermawan, Beliau semakin dermawan bila di bulan
Ramadhan.
Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ
النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ
وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ
فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling
dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadlan ketika bertemu
dengan malaikat Jibril, dan Jibril menemui beliau di setiap malam bulan
Ramadlan untuk mudarosah (mempelajari) Al Qur’an” [37]
7)Mendidik ketengan dalam jiwa.
Orang yang berpuasa jiwanya akan lebih tenang dikarenakan
setiap langkah dan ucapanya selalu ditimbang dengan ilmu, tidak gegabah tidak
terburu-buru, dimana hal ini memang sifat asal manusia.
خُلِقَ الْإِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ.
“Manusia telah dijadikan
(bertabiat) tergesa-gesa..”(QS. Al-Anbiya’[21]: 37).
وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا.
“Dan manusia bersifat
tergesa-gesa.” (QS. Al-Isra’[17]: 11).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
التَّأَنِّي مِن
الله والعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطانِ .
“Sikap Hati-hati itu dari
Allah, sedangkan sikap tergesa-gesa itu dari syaithan.” [38]
8)Menyehatkan badan.
Lambung
dan usus manusia akan bekerja terus menerus, dengan adanya puasa akan
mengistirahatkannya dan juga membersihkan (detoksifikasi) bagi tubuh dari
perbagai kolestrol jahat.
Allah ta’ala berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ
الْمُسْرِفِينَ.
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS.
Al-A’raf [7]: 31).
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini,
قَالَ
بَعْضُ السَّلَفِ: جَمَعَ اللَّهُ الطِّبَّ كُلَّهُ فِي نِصْفِ آيَةٍ: وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا.
“Sebagian salaf berkata bahwa Allah telah mengumpulkan semua
ilmu kedokteran pada setengah ayat ini.”[39]
Dari Al-Miqdam bin
Ma'dikarib raḍiyallahu 'anhu secara marfu' dia berkata, aku mendengan
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ.
بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ
فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ.
"Tidaklah manusia memenuhi wadah
yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap yang
dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika memang harus melebihi itu, maka
sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk
nafasnya." [40]
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan bahaya kekenyangan
karena penuhnya perut dengan makanan, beliau berkata:
مَا شَبِعْتُ مُنْذُ سِتَّ عَشْرَةَ
سَنَةً إِلَّا شَبْعَةٌ أَطْرَحُهَا. قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ: يَعْنِي
فَطَرَحْتُهَا لِأَنَّ الشِّبَعَ يُثْقِلُ الْبَدَنَ وَيُقَسِّي الْقَلْبَ
وَيُزِيلُ الْفِطْنَةَ وَيَجْلِبُ النَّوْمَ، وَيُضْعِفُ صَاحِبَهُ عَنِ
الْعِبَادَةَ
“
Aku tidak pernah kekenyangan semenjak 16 tahun kecuali sekali, aku segera
mengosongkannya, Beliau juga berkata: Kekenyangan membuat badan menjadi berat,
hati menjadi keras, mengurangi kecerdasan, mudah mengantuk dan lemah untuk
beribadah.” [41]
9)Membersihkan dosa-dosa.
Allah
ta’ala berfirman:
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا
تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا
كَرِيمًا.
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang
dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami
masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa[4]:31).
Membersihkan
dosa-dosa, akan tetapi ulama menyebutkan bahwa diampuninya dosa-dosa yang kecil
setelah diiringi dengan bertaubat dari dosa-dosa yang besar, demikian pula
puasa-puasa yang menyebutkan keutamaan dihapusnya dosa setahun maupun dua
tahun, tetap diiringi dengan bertaubat dari dosa besar tersebut, diantaranya
apa yang disebutkan oleh syaikhul islam Ibnu Taimiyah. [42]
Oleh
karena itu Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِر.
“Antara
shalat lima waktu, antara shalat jumat satu ke shalat jumat berikutnya, dan
antara puasa ramadhan ke puasa ramadhan berikutnya adalah penghapus untuk dosa
di antara keduanya, apabila dia menjauhi dosa-dosa besar.” [43]
10)
Mensucikan jiwa dan raganya.
Inilah
yang menjadi tujuan syari’at puasa, agar menjadi orang yang suci lahir dan
batin.
Allah
ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams[91]: 9-10).
Semua ini merupakan bekal diakhirat nanti.
Rahasia perintah puasa.
Puasa memiliki kandungan rahasia yang sangat mendalam, hal
ini hanya akan diketahui bagi orang-orang yang merenunginya, diantara rahasia
yang terkandung di dalamnya yaitu:
1)Pembentukan akhlaq yang baik pada seseorang.
Membiasakan hal-hal yang baik ketika berpuasa lama-lama akan
menjadikan takbiat ataupun budi pekerti yang baik bagi seseorang, hal ini akan
mendatangkan kecintaan bagi Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا
وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ.
“Sungguh, Allah beserta orang-orang
yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl[16]:128).
2)Menyempunakan iman.
Rasulullah sallallahu ‘alaaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا.
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang
paling baik akhlaqnya, dan yang paling baik di antara kamu sekalian adalah yang
paling baik akhlaqnya terhadap isteri-isterinya.” [44]
3)Pemberat timbangan kelak pada hari kiamat.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ.
"Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan
(amalan) seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlaq yang mulia." [45]
4)Paling banyak memasukkan manusia kedalam surga.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan
manusia ke surga, maka beliau bersabda:
سُئِلَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ. وَسُئِلَ
عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ.
“Taqwa kepada Allah dan
bagusnya akhlak.” Dan beliau ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan
manusia ke neraka, maka beliau bersabda: “mulut dan farji (kemaluan).” [46]
5)Perintah berbekal taqwa dan akhlaq yang baik kepada manusia.
Allah ta’ala berfirman:
لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا
اللَّـهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ
وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا.
“Janganlah kamu menyembah selain
Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim,
dan orang-orang miskin. Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia,” (QS.
Al-Baqarah[2]: 83).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ
السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.
“Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan iringilah
sesuatu perbuatan dosa (kesalahan) dengan kebaikan, pasti akan
menghapuskannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik.” [47]
Al-Hasan
Al-Bashri mengatakan bahwa akhlaq yang baik terhadap mahluk berputar pada tiga
perkara, yaitu:
كَفُّ اْلأَذَى ، وَبَذْلُ
النَّدَى، وَطَلاَقَةُ الْوَجْهِ.
1. Menahan
dari gangguan (Kafful Adzzaa).
2. Suka
membantu, berbuat baik (Badzlun Nada).
3. Wajah
yang berseri-seri (Thalaqatul Wajh).[48]
Orang-orang yang wajib puasa.
Orang-orang yang wajib
berpuasa yaitu:
1)Muslim.
2)Baligh.
3)Berakal.
4)Sehat.
5)Mukim.
6)Bagi wanita
hendaknya bersih dari haid dan nifas.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ
عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.
“Cacatan amal diangkat dari tiga golongan: dari orang gila sampai ia
sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia
baligh.” [49]
Adapun orang kafir amalan
mereka tidak diterima.
Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ
كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ
يَجِدْهُ شَيْئًا.
“Dan orang-orang kafir
amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka
air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila di datanginya air itu dia tidak
mendapatinya sesuatu apapun.” (QS. An-Nur [24]: 39)
وَقَدِمْنَا
إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا.
“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami
akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al Furqan [25]:
23)
Meskipun anak kecil belum
diwajibkan puasa namun apa bila ikut berpuasa mendapatkan pahala begitupula
orang tuanya juga mendapatkan pahala.
Dari Ibnu Abbas radhiallahuma,
dia berkata:
رَفَعَتْ امْرَأَةٌ
صَبِيًّا لَهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَلِهَذَا حَجٌّ ؟ قَالَ :
نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ.
"Seorang
wanita mengangkat seorang bocah, lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah anak
ini dapat berhaji?' Beliau berkata, "Ya, dan bagimu pahala." ( HR.
Muslim 1336).
Kewajiban berniat di malam
hari
Puasa yang diwajibkan
hendaknya berniat di malam hari.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ
الصِّيَامَ قَبْلَ الفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ .
“Barangsiapa yang belum berniat puasa sebelum fajar, maka tidak ada
puasa baginya.” [50]
Tempat niat di dalam hati.
Imam An-Nawawi rahmahullah mengatakan:
وَمَحَلُّ النِّيَّةِ الْقَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ
نُطْقُ اللِّسَانِ بِلَا خِلَافٍ.
“Tempat niat di
dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dengan lisan tanpa ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama.” [51]
Beliau juga mengatakan:
لَا يَصِحُّ الصَّوْمُ إِلَّا
بِالنِّيَّةِ، وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ. وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلَا خِلَافٍ.
“Tidak sah puasa kecuali dengan niat, dan tempatnya adalah hati. Dan
tidak disyaratkan harus diucapkan, tanpa ada perselisihan ulama…” [52]
Hal ini bisa kita tanyakan dalam hati kita, apabila seseorang lupa
kemudian makan dan minum hal itu tidak membatalkan puasanya, sebaliknya
meskipun lisannya mengatakan lupa namun hatinya menyengaja tetap juga
membatalkan puasa, demikianlah tempat niat itu di dalam hati bukan dilisan.
Hukum
puasa bagi orang sakit
Allah
ta’ala berfirman:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ
مَرِيضًا.
“Beberapa
hari yang telah ditentukan, barang siapa diantara kalian yang sakit...” (QS.
Al-Baqarah[2]:184).
Beberapa
keadaaan orang yang yang sakit:
1)Orang yang sakit ringan.
Seperti
batuk, pilek, sakit gigi, sakit kepala ringan, hendaknya tetap berpuasa.
2)Sakit yang akan bertambah parah jika
berpuasa.
Bila
seseorang sakit dan semakin parah atau akan lambat kesembuhannya jika berpuasa,
atau penyakit tersebut membuat penderitanya berat berpuasa. Hanya saja, tidak
sampai pada tingkat membahayakan. Dalam kondisi seperti ini boleh berbuka,
namun jika berpuasa, puasanya tetap sah.
3)Sakit yang
membahayakan.
Jika seseeorang berpuasa hal
itu sangat membahayakan keselamatannya, hingga dapat mengantarkan kepada kematian.
Apa lagi dikuatkan dari larangan dokter, dalam kondisi seperti ini, tidak boleh
berpuasa bahkan bisa haram.
berdasarkan firman Allah ta'ala
:
وَلَا تَقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا.
"Dan janganlah kamu
membunuh dirimu sendiri sesungguhnya Allah maha penyayang terhadap
kalian." (QS. An-Nisa[4]: 29).
Hal ini karena bisa
membahayakan nyawa seseorang.[53]
Orang yang seperti ini
hendaknya membayar fidyah. Seandainya ada kesembuhan maka tidak ada kewajiban
lagi mengganti. Hal ini yang difatwakan oleh para ulama’. [54]
Orang
yang bepergian
Apa
bila seseorang berpuasa sedang dalam perjalanan, hendaknya memperhatikan
puasanya.
Allah
ta’ala berfirman:
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر.
(Yaitu) beberapa hari tertentu.
Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak
berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu)
pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah[2]:184).
Namun jika ia tetap berpuasa
selama dalam perjalanan, maka puasanya sah. Inilah pendapat mayoritas ulama
dari generasi shahabat, tabi'in, empat imam madzhab dan selain mereka.
Manakah
yang lebih utama dalam perjalanan, berpuasa atau berbuka?
Orang
yang safar (bepergian) ada beberapa keadaan:
1)Jika safarnya
berat badanya lemah, tertinggal dari berbagai macam kebaikan hendaknya lebih
baik berbuka.
2)Jika safarnya
ringan tidak memberatkan lebih baik tetap berpuasa.
Dari
Abu Sa’id Al Khudri radiyallahu ‘anhu dia berkata:
كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ، فَمِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا
الْمُفْطِرُ، فَلَا يَجِدُ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ، وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى
الصَّائِمِ، يَرَوْنَ أَنَّ مَنْ وَجَدَ قُوَّةً فَصَامَ، فَإِنَّ ذَلِكَ حَسَنٌ
وَيَرَوْنَ أَنَّ مَنْ وَجَدَ ضَعْفًا، فَأَفْطَرَ فَإِنَّ ذَلِكَ حَسَنٌ.
“Kami pernah bepergian bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, pada bulan Ramadhan, ada diantara kami yang puasa dan ada
pula yang berbuka, yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka
tidak tidak mencela yang berpuasa.” [55]
3)Jika safarnya
berat dan membahayakan jiwanya, hendaknya diutamakan berbuka.
Sebagaimana tercantum dalam hadits Jabir yang
menyatakan bahwa ketika sedang menempuh perjalanan untuk menaklukkan kota
Makkah, Rasulullah terus berjalan hingga sampai daerah Kara' al-Ghumaim. Begitu
pula rombongannya. Kemudian beliau meminta dibawakan sewadah air minum, lalu
mengangkatnya hingga terlihat oleh semua orang dan mulai meminumnya Setelah
itu, ada yang melaporkan kepada beliau bahwa beberapa orang tetap berpuasa.
Beliau berkata, "Mereka adalah orang yang durhaka (menyalahiku). Mereka
adalah orang yang durhaka." [56]
Dalam riwayat yang lain Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَرِ.
“Bukanlah sebuah kebaikan berpuasa ketika bersafar.” [57]
Keringanan bagi orang tua, orang hamil dan menyusui.
Orang tua laki-laki maupun perempuan yang tidak kuat berpuasa dibolehkan meninggalkan puasa
selama bulan Ramadhan dan tidak perlu mengqadhanya. Namun, ia harus memberi
makan satu orang miskin setiap hari (puasa) yang ditinggalkannya. Allah ta’ala berfirman:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ.
“Dan bagi
orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan
seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah[2]:184).
Dari Ibnu
Abbas radhiallahu’anhuma berkaitan dengan ayat di atas:
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ…قَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ
وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا
وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا
خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا. وَعَلَى
الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَة طَعَامُ مِسْكِيْن
“Dan wajib
bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (Al-Baqarah[2]: 184).
Beliau
berkata, “Ayat ini memberikan keringanan kepada orang tua renta, baik laki
maupun perempuan, apabila merasa berat berpuasa dia boleh berbuka dan
memberi makan satu orang miskin untuk sehari yang ditinggalkan. Wanita
mengandung dan menyusui kalau keduanya khawatir juga boleh berbuka dan (sebagai
gantinya) memberi makan (orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan).” [58]
Begitu pula bagi orang yang hamil dan menyusui.
Adapun orang yang hamil dan menyusui tidak wajib berpuasa
dan cukub membayar fidyah, sebagaimana diterangkan dalil di atas.
Kesimpulannya, sebab-sebab yang membolehkan tidak puasa ada
empat, safar, sakit, haid dan nifas, kuatir celaka, seperti orang hamil dan
menyusui.[59]
Pembatal puasa.
1)Makan.
2)Minum, kecuali keduanya dilakukan dalam
keadaan lupa.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا
أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ.
“Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan puasa lalu ia
makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah
yang memberi ia makan dan minum.” [60]
3)Muntah dengan sengaja, seandainya hal
itu tidak sengaja tidak membatalkannya.
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ
قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ.
“Barangsiapa tidak sengaja muntah sedangkan dia dalam
keadaan puasa, maka tidak ada qadha’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan
sengaja), maka wajib baginya membayar qadha’.” [61]
4)Haid.
أَلَيْسَ
إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ.
“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak shalat dan tidak
puasa?” [62]
5)Nifas.
6)Merokok
7)Menghirup kokain, narkoba maupun
heroin.
8)Infuse pengganti makanan
9)Keluar mani dengan sengaja.
10) Jima’, dengan membayar kafarah.
11) Masuknya sesuatu yang menetap di lambung
dengan sengaja.
12) Hilang ingatan, baik pingsan,
disebabkan bius (seharian), atau tiba-tiba gila.
13) Cuci darah.
14) Murtad.
15) Sebagian ulama menyebutkan, niat
berbuka.[63]
Hal-hal yang dibolehkan orang berpuasa
1. Hubungan badan dimalam hari.
2. Junub di pagi
hari.
3. Bercumbu dengan
pasangannya selain bersenggama.
4. Mandi atau
sekedar menyiram kepala agar dingin.
5. Berkumur.
6. Tetes mata,
suntik, gosok gigi.
7. Donor darah atau
hijamah, selagi tidak menjadikan lemah.
8. Mencicipi
masakan.
9. Makan dan minum
tanpa sengaja.
10. Muntah tidak
sengaja.
Demikianlah uraian ringkas
ini, bagi yang menghendaki lebih luas bisa membuka kitab-kitab fikih, semoga
Allah memudahkan kita semua Aamiin.
-----000-----
Sragen 28-02-2024
Junaedi Abdullah.
[1] (HR. Ahmad 8991, Dinilai
shahih oleh Syaikh al-Arna’uth dalam Takhrijul Musnad (8991).
[2] (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 264).
[3] (Tanya jawab tentang islam).
[4] (HR. Ibnu Majah 224. Dishahih oleh Syaikh al-Albani di
dalam Shahihu al-Jami’ 3913).
[5] (HR. Bukhari 71, 3116, Muslim
1037).
[6] (HR.
Ahmad 6828, Abu Dawud 1692 An-Nasa’i 1072 di shahihkan Syaikh al-Albani di
dalam shahih Abu Dawud 1485).
[7] (HR. Ahmad 1329, Ibnu Majah 2236, Abu Dawud 2606 dan dishahihkan
syaikh al-Albani di dalam shahih Abu Dawud 4754)
[8] (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081).
[9] (HR. Tirmidzi 697
dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 224).
[10] ( HR. Ibnu Hibban 3447, Abu Dawud 2342, dishahihkan Syaikh al-Albani
di dalam Al-Irwa’ 908).
[11] (Lihat tafsir Ibnu
Katsir QS. Al Baqarah[2]: 59).
[12] (Syarh Shahih Muslim, 12/222).
[13] (Aqidatu As-Salaf Ash-Habul Hadits)
[14]( Mujmal Usul Ahli Sunnah Wal Jama’ah fil Aqidah).
[15] (Jami'ul Ulum wal Hikam, 2/117).
[16] (HR. Ahmad 1/337 dan Al-Khatib
dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/145 Ibnu Abdil Bar di dalam, Jami’u Bayanil
‘ilmi wa fadzlihi 2/239).
[17] (HR. Muslim 1016).
[18] (HR. Al-Hakim di dalam mustadraknya 319, Disahihkan oleh Syaikh
al-Albani di dalam Sahihul Jami’ 2937).
[19] (HR. Bukhari 7280, Ahmad 8714).
[20] (I'lamul muwaqi'in
2:282).
[21] (lihat Sifat shalat Nabi, Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani).
[22] (HR. Bukhari 8, Muslim 5).
[23] (HR. Bukhari 38, Muslim 760).
[24] (Al-Kabaair, Imam Ad
Dzahabi).
[25] (HR. Muslim 1151, Ibnu Majah 3823, Ibnu Khuzdaimah 1897).
[26] (Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan dari kitab Al Muntaqa
Min Fatawa Asy Syaikh al Fauzan).
[27] (HR. Bukhari 1896,
Muslim 1152).
[28] (HR. Bukhari 38, Muslim 760).
[29] (HR. Bukhari 2840, Muslim 1153).
[30] (HR. Abu Dawud 4941, dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani di
dalam shahihu al-Jami’ 3522).
[31] (tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Baqarah[2]:45-46).
[32] (HR Bukhari 1894).
[33] (HR. Bukhari
1903).
[34] (HR. Ibnu Majah dan
Hakim. Syaikh al Albani berkata shahih di dalam Shohih at-Targib wa at-Tarhib 1082).
[35]
(HR.
Ibnu Majah, Nasa’i 3236, di shahihkan Syaikh al Albani dalam Shahih at-Targib
wa-at Tarhib 1083).
[36] (HR.
Bukhari 6018, Muslim 47).
[37] (HR. Ahmad 2616, Al Bukhari 3220).
[38] (HR. Thabrani
2358, Baihaqi 4058, di Shahihkan syaikh al-Albani di dalam Shahihu Al-Jami’
3011).
[39] (Tafsir Ibnu Katsir,
QS. Al-A’raf [7]:31).
[40] (HR Tirmidzi 2380
Ibnu Majah 3349, dishahihkan Syaikh al Abani di dalam Ash Shahihah 2265).
[41] (Hilyah Auliya’ wa
Thabaqatul Ashfiya’, Oleh Abu Nu’aim bin ‘Abdillah).
[42] (Fatawa Misriyah,
1/254).
[43] (HR. Muslim 857).
[44] (HR. Ahmad 7402,
Tirmidzi 1162, Abu Dawud 4682 dihasan oleh syaikh al-Albani di dalam
Ash-Shahihah 284).
[45] (HR. Tirmidzi 2002,
di hasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahihah 876).
[46] (HR Tirmidzi 2004, Abu Dawud 2596,
Ibnu Majah 4246. Dihasankan syaikh al-Albani, Lihat As-Shahihah 977).
[47] (HR. Ahmad 21354,
Tirmidzi 1987, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Al-Misykah 5083).
[48] Syarah Riyadhush Shalihin Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, II/387).
[49] (HR. Abu Dawud 4401, Ibnu Hibban
143, dan di shahihkan syaikh al-Albani di dalam al-Irwaa’ 5/2).
[50] (HR. Tirmidzi 730, Abu Dawud 2454 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam
Shahih Abu Dawud 2118).
[51] (Al-Majmu’ Syarhul
Muhadzab 6/289).
[52] (Raudhatu at-Thalibin wa ‘Amdatul
muftiin, 2/350).
[53] (Lihat Fikih li Nisa’ Syaikh Abu
Malik Kamal bin As-Syayid Salim).
[54] yaikh Muhammad al-’Utsaimin dalam
asy-Syarhul Mumti’ 6/333-334, 347-349), al-Wadi’i, al-Albani dalam Irwa’
al-Ghalil 4/22), dan Al-Lajnah ad-Da’imah dalam Fatawa al-Lajnah 10/160-161).
[55] (HR Muslim 1116,
Shahih Ibnu Hibban 3558).
[56] (HR. Bukhari 1948, Muslim 1114).
[57] (HR. Muslim 1115, Abu Dawud 2407).
[58] (HR. Abu Dawud 2318, Al-Muntaqa Ibnul Jarud 381, Baihaqi
1351, lihat Irwa’ syaikh al-Albani, 4/18).
[59] (Fikih Muyassar).
[60] (HR. Bukhari 1933, Muslim 1155).
[61] (HR. Abu Daud 2380
Ibnu Majah1676; Tirmidzi 720. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
[62] (HR. Bukhari 304 dan
Muslim79).
[63] (Fikih Muyassar).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar