1.
Pengertian akhlak:
Di dalam bahasa Arab kata “akhlaq” (أخلاق) adalah bentuk jamak dari kata “khuluq” (خلق), yang berakar dari kata kerja “khalaqa” (خلق), yang berarti “menciptakan”. Kata “khuluq” diartikan dengan
sikap, tindakan, dan perbuatan.
Di dalam KBBI ahlaq diartikan secara sederhana,
yaitu “budi pekerti, kelakuan, watak.”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Akhlaq
sebuah bentukan jiwa yang tertanam kuat, yang darinya lahir perbuatan-perbuatan
dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pertibangan dan pemikiran. (Minhajul
Qhasidin, oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi).
2.
Kemuliaan akhlaq Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Beliau memiliki akhlaq yang mulia, oleh karena itu Allah
subhanahu wa ta’ala memuji di dalam berfirman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung.” (QS. Al Qalam [68]: 4)
Allah memerintahkan agar kita meneladani Rasul-Nya.
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا.
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21).
Ibnu Katsir
berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan dalil pokok yang paling besar, yang
menganjurkan kepada kita agar meniru Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
dalam semua ucapan, perbuatan, dan sepak terjangnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, (QS.
Al-Ahzab[33]:21).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكاَرِمَ
اْلأَخْلاَقِ.
“Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan
akhlak.” (HR. Bukhari di dalam Adabul Mufrad 273, dishahihkan syaikh al-Albani
dalam Silsilah As-Shahihah 45).
3.
Kesaksian orang yang dekat maupun
yang memusuhi Beliau.
Diantara kesaksian tersebut:
Saat merenovasi kakbah.
Mereka berselisih tentang siapa yang berhak meletakkan hajar
aswad, ketika Rasulullah datang, orang-orang berseru, telah datang orang yang
amanah (terpercaya).” (Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Syafiyyurrahman
al-Mubarakfury).
Kesaksian dari Abu Sufyan dihadapan raja Rum, yang di waktu
itu masih menjadi orang kafir.
“Apa yang diperintahkannya kepada kalian?” Abu Sufyan
menjawab, “Ia memerintahkan kami agar menyembah Allah saja dan tidak
menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Melarang menyembah Tuhan-Tuhan nenek
moyang kami. Memerintahkan shalat, sedekah, menjaga kehormatan diri, memenuhi
janji, dan menunaikan amanah.” (Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Syafiyyurrahman
al-Mubarakfury).
Kesaksian orang-orang Quraiys ketika
Rasulullah diperintahkan untuk berdakwah terang-terangan.
Ketika belaiu naik kebukit Shafa, mereka
percaya terhadap apa yang di sampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesaksian umul mukminin ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, dari
Al-Hasan ia berkata: Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka dia menjawab:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ.
“Akhlaknya adalah Al-Qur’an.” (HR. Ahmad 25813, Shahih
menurut Syaikh Syu’aib Al-Arnauth, dishahihkan syaikh al-Albani di dalam
Shahihu Al Jami’ 4811).
4.
Keutamaan memiliki akhlaq yang baik. diantaranya:
1)
Menjadikan kecintaan Allah
ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ.
“Sungguh,
Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS.
An-Nahl[16]:128).
ارْحَمُوا مَنْ فِي
الْأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ.
“Sayangilah
orang-orang yang ada di bumi, maka orang-orang yang ada di langit akan
menyayangimu.” (HR. Tirmidzi 1924, Baihaqi 17905, Dishahihkan Syaikh al-Albani
di dalam Ash Shahihah 925).
2) Akan menjadi pemberat
timbangan pada hari kiamat.
Rasulullah
sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ.
"Tidak
ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan (amalan) seorang mukmin pada
hari kiamat daripada akhlaq yang mulia."
(HR. Tirmidzi 2002, di hasankan oleh
Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahihah 876).
Bagaimana seseorang berkata yang baik,
tersenyum, bersabar dan lainnya yang semua ini tanpa dirasa merupakan
tumpukan-tumpukan pahala yang sangat besar.
3) Paling banyak memasukkan manusia
kedalam surga.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke surga
sebagaimana disebutkan dalam sebuah atsar:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ. وَسُئِلَ
عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ.
“Taqwa kepada Allah dan bagusnya akhlak.” Dan beliau ditanya
tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka, maka beliau
bersabda: “mulut dan farji (kemaluan).” (HR Tirmidzi 2004, Abu Dawud 2596, Ibnu
Majah 4246. Dihasankan syaikh al-Albani, Lihat As-Shahihah 977).
4) Menunjukkan
kesempurnaan dan kemuliaan iman seseorang.
Baiknya akhlaq seseorang menunjukkan
kesempurnaan imannya, sedangkan orang yang sempurna imannya memiliki keutamaan
yang besar, di sisi Allah ta’ala, Rasulullah sallallahu ‘alaaihi wa sallam
bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا .
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang
paling baik akhlaqnya, dan yang paling baik di antara kamu sekalian adalah yang
paling baik akhlaqnya terhadap isteri-isterinya.” (HR. Ahmad 7402,
Tirmidzi 1162, Abu Dawud 4682 dihasan oleh syaikh al-Albani di dalam
Ash-Shahihah 284).
Ilmu yang tinggi hafalan yang banyak hendaknya diiringi
dengan akhlaq yang mulia sehingga dapat menyempurnakan imannya dan mudah
diterima masyarakat.
Masih banyak lagi keutamaan
akhlaq yang baik lainnya.
5. PIlar-pilar akhlaq yang baik.
Ibnu Rajab al-Hambali menukil
dari dari Muhammad bin Zaid, dimana akhlaq memiliki Rukun (pilar-pilar) yang
berjumlah 4, yaitu:
1.
Menjaga lisan.
Dimana lisan akan meninggikan derajat
seseorang di surga atau akan menjerumuskannya kedalam neraka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت.
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau
hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari 6018, Muslim 47).
Maksudnya
adalah menjaga dan menahan lisan dari suatu pembicaraan, kecuali jika di
dalamnya mengandung faedah. Sabda Nabi : “… maka hendaklah ia berkata baik atau
hendaklah ia diam.” Di dalamnya mengandung ajakan agar seorang Muslim berpikir
terlebih dahulu sebelum mengucapkan sesuatu.
Barangsiapa
yang tidak mampu menjaga lisannya, berarti dia bukan termasuk orang yang memiliki
akhlaq yang baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ،
يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ.
“Sesungguhnya seorang hamba berkata
dengan satu kalimat dengan kalimat itu menjerumuskan dirinya kedalam neraka
sejauh antara timur dan barat.” (HR. Bukhari 6477, Muslim 2988).
2.
Meninggalkan apa yang tidak bermanfaat.
Rasulullah shallallahu
’alaihi wasallam bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ
تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di
antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.”
(HR. Tirmidzi 2317 Ibnu Majah 3976. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih).
Orang
yang penuh dengan kecurigaan adalah orang yang tidak memiliki adab dan
akhlak yang baik. Karena kecurigaan akan mendorong perbuatan yang tidak
bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain, sikap seperti ini telah
mengeluarkan seseorang untuk memiliki keistimewaan adab dan akhlaq yang baik.
3.
Tenang dan mampu menahan diri, terutama disaat marah.
Untuk
memiliki akhlaq yang baik seseorang harus mampu mengendalikan dirinya, oleh
karena itu Rasulullah memberi nasehat demikian itu.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
أَوْصِنِيْ
، قَالَ : لَا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : لَا تَغْضَبْ.
“Berilah aku wasiat” Beliau
menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya
berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau
jangan marah!”
لَيْسَ
الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ
الغَضَبِ.
“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, sungguh orang yang kuat
adalah yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (Bukhari 6114, Muslim
2609).
4.
Selamatnya hati.
Hendaknya
seseorang yang memiliki akhlaq baik mendasari kecintaan kepada sesama,
hendaknya menjauhkan diri dari sifat hasad, iri, dengki, dendam dan juga
kebencian tanpa alasan yang dibenarkan syari’at.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه.
“Tidaklah
seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya
sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR. Bukhari 13, Muslim 45).
Hadits
ini dijadikan sandaran oleh para ulama dalam bab akhlak, yaitu hendaknya hati
seseorang itu selamat dari sifat-sifat yang tidak terpuji, baik berupa dengki,
hasad dan berbagai macam penyakit hati yang lain. Oleh karena itu, selamatnya
hati adalah sandaran utama dari tegaknya akhlak yang baik. Adapun bagi
seseorang yang di dalam hatinya ada penyakit-penyakit yang jelek serta isi
batin yang rusak, maka tidak akan mungkin akan bisa menjadi orang yang
berakhlak baik, karena rusak dan melencengnya hati akan tampak pada sisi
lahirnya. (Kitab Ahaditsul Akhlaq karya Syaikh Abdurrozzaq bin Abdil
Muhsin Al Badr hafidzahullahu ta’ala dengan berbagai tambahan).
Adapun
berakhlak mulia kepada sesama hamba ialah dengan menempuh cara sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnul Mubarak tercakup dalam tiga ungkapan berikut ini:
1.
Kafful
adza (menahan diri dari mengganggu):
yaitu dengan tidak mengganggu sesama baik melalui ucapan maupun perbuatannya.
2.
Badzlu
nada (memberikan kebaikan yang
dipunyai): yaitu rela memberikan apa yang dimilikinya berupa harta atau ilmu
atau kedudukan dan kebaikan lainnya.
Thalaqatul
wajhi (bermuka berseri-seri, ramah):
dengan cara memasang wajah berseri apabila berjumpa dengan sesama. (Jami’ul
‘Ulum wal Hikam 1/457).
Demikianlah semoga bermanfaat, Aamiin.
Junaedi
Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar