Dari jaman kejaman manusia adalah makhluk sosial, mereka
saling bahu-membahu dan tolong-menolong, tidak terkecuali mereka juga
membutuhkan kepemimpinan di dalam menggerakkan peradaban mereka dan mengatur
urusan-urusan baik internal (di dalam) maupun external(di luar).
Semua itu telah diatur di dalam agama ini, diantara kriteria
pemimpin yang baik yaitu:
1. Pemimpin
wajib dari orang yang beriman.
Allah ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ.
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin selain dari orang-orang mukmin." (QS An Nisa [4]:144).
Tidak boleh
pemimpin dari orang kafir, atau berloyal kepada orang kafir.
Allah ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS.
Al-Maidah[5]:51).
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً.
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari
pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka.” (QS. Ali Imran [3]:28).
2.
Pemimpin wajib laki-laki.
Hendaknya pemimpin dari kalangan laki-laki.
Allah ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى
النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ.
Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).
(QS. An-Nisa’[4]:34).
Abu Bakrah
berkata:
لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ، قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ
كِسْرَى، قَالَ: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً .
“Tatkala ada berita sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisro (gelar raja Persia dahulu)
menjadi raja, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ” Suatu
kaum itu tidak akan bahagia apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka
kepada wanita”. ” (HR. Bukhari 4425)
Dari hadits
ini, para ulama bersepakat bahwa syarat al imam al a’zhom (kepala negara atau
presiden) haruslah laki-laki. (Lihat Adhwa’ul Bayan, 3/34, Asy Syamilah)
Al Baghawiy
mengatakan dalam Syarhus Sunnah (10/77) pada Bab ”Terlarangnya Wanita Sebagai
Pemimpin”:
Para ulama
sepakat bahwa wanita tidak boleh jadi pemimpin dan juga hakim. Alasannya,
karena pemimpin harus memimpin jihad. Begitu juga seorang pemimpin negara
haruslah menyelesaikan urusan kaum muslimin.
3. Seorang calon
pemimpin hendaknya tidak haus kekuasaan.
Orang yang
menghendaki kekuasaan akan menjadikan urusanya berat.
Dari
Abdurrahman bin Samurah dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda kepadaku:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ
الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ
أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta
jabatan! Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab
permintaan, pasti jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa
pertolongan dari Allâh). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan
permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allâh Azza wa Jalla) dalam
melaksanakan jabatan itu.” (HR. Bukhari
6622, 7146, Muslim 1652, Abu Dawud 2929).
Begitu pula
pemimpin tidak memberikan jabatan kepada orang-orang yang memintanya.
Dari Abu Musa Radhiyallahu anhu dia berkata, “Saya masuk
menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dengan dua orang dari
kaumku, lalu salah seorang dari kedua orang itu berkata:
أَمِّرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَهُ،
فَقَالَ: إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ، وَلاَ مَنْ حَرَصَ عَلَيْه.
“Jadikanlah kami sebagai amir (pejabat) wahai Rasulullah!”
Kemudian yang seorang lagi juga meminta hal yang sama. Maka beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kami tidak akan mengangkat sebagai
pejabat orang yang memintanya dan tidak juga orang yang tamak terhadap jabatan
itu” (HR. Bukhari 7149).
Ibnu Hajar berkata, “Siapa
yang mencari kekuasaan dengan begitu tamaknya, maka ia tidak ditolong oleh
Allah.” (Fathul
Bari, 13: 124)
Ibnu At Tiin mengatakan, “Larangan meminta kekuasaan ini berlaku
secara umum. Namun ada kasus tertentu seperti pada kisah Nabi Yusuf yang beliau
meminta kekuasaan sebagaimana disebut dalam ayat:
اجْعَلْنِي
عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir).” (QS.
Yusuf[12]: 55).
Begitu pula terdapat pada Nabi Sulaiman,
وَهَبْ
لِي مُلْكًا
“Dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan.”
(QS. Shad[38]: 35).
Ibnu At Tiin berkata bahwa larangan meminta kekuasaan seperti itu
berlaku untuk selain Nabi.
Dahulu sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
orang-orang meributkan siapa yang akan memimpin setelah Rasulullah, maka Abu
Bakar memilih Umar, namun Umar tidak bersedia dan memilih Abu Bakar sebagai
khalifah, orang-orangpun berjanji setia kepada Abu Bakar Ash-Shidiq.
Begitupula dahulu khalifah Umar bin Abdul Aziz mengundang
walinya di Irak yang bernama Adi bin Arthah yang ketika itu berada di Damaskus.
Beliau berkata "Wahai Adi, pergilah kepada Iyas bin Mu'awiyah Al-Muzanni
dan Qasim bin Rabi'ah Al-Haritsi. Ajaklah keduanya membicarakan perihal
pengadilan di Bashrah, lalu pilihlah salah satu dari keduanya." dia
menjawab: "Saya mendengar dan saya taat wahai Amirul Mukminin.
Adi bin Arthah mempertemukan antara lyas dan Al-Qasim lahu berkata:
"Amirul Mukminin semoga Allah memanjangkan umurnya memintaku untuk
mengangkat salah satu dari kalian sebagai kepal porngadilan Bashrah. Bagaimana
pendapat kalian berdua?”
Masing-masing mengatakan bahwa rekannyalah yang lebih utama (Iyas
menganggap Al-Qasim lebih utama sedangkan Al-Qasim memandang bahwa Iyas lebih
utama darinya) sambil menyebutkan keutamaan, ilmu dan kefakihannya.
Adi berkata: "Kalian tidak boleh keluar dari sini
sebelum kalian memutuskannya."
Iyas berkata: "Wahai Amir, Anda bisa menanyakan tentang
diriku dan Al-Qasim kepada dua fuqaha Irak ternama, yaitu Hasan Al-Basri dan
Muhammad bin Sirin, karena keduanyalah yang paling mampu membedakan antara kami
berdua."
Iyas mengatakan seperti itu karena Al-Qasim adalah murid dari kedua ulama tersebut, sedangkan Iyas sendiri tidak punya hubungan apapun dengan mereka. Al-Qasim menyadari bahwa Iyas akan memojokkannya, sebab kalau pemimpin Irak itu bermusyawarah dengan kedua ulama itu, tentulah mereka akan memilih dia dan bukan Iyas. Maka dia segera menoleh kepada Adi dan berkata: "Wahai Amir, janganlah Anda menanyakan perihalku kepada siapapun. Demi Allah yang tiada ilah selain Dia, Iyas lebih mengerti tentang agama Allah daripada aku dan lebih mampu untuk menjadi hakim. Bila aku bohong dalam sumpahku ini, maka tidak patut Anda memilihku karena itu berarti memberikan jabatan kepada orang yang ada cacatnya. Bila aku jujur, Anda tidak boleh mengutamakan orang yang lebih rendah, sedangkan di sini ada yang lebih utama."
Iyas berpaling kepada amir dan berkata: "Wahai Amir,
Anda me- manggil orang untuk dijadikan hakim. Ibaratnya Anda letakkan ia di
tepi jahannam, lalu orang itu (maksudnya Al-Qasim) hendak menyelamatkan dirinya
dengan sumpah palsu, yang dia bisa meminta ampun Kepada Allah dengan
beristighfar kepada-Nya, dan selamatlah ia dari apa yang ditakutinya."
Maka Adi berkata kepada Iyas: "Orang yang berpandangan
seperti dirimu inilah yang layak untuk menjadi hakim." lalu diangkatlah
Iyas sebagai qadhi di Bashrah. (Mereka Adalah Para Tabi’in, DR. Abdurrahman Ra’fat
Basya).
Demikianlah orang-orang terdahulu mereka menolak untuk
ditunjuk sebagai hakim atau Pejabat. Sungguh menyedihkan kondisi jaman kita
sekarang bagaimana seseorang ingin mendapatkan jabatan mereka rela mengeluarkan
harta untuk membeli dan menyuap agar mendapatkan jabatan tersebut.
4.
Pemimpin
harus adil.
Keadilan
pemimpin akan menjadikan ketenangan, ketentraman dan kedamaian, sebaliknya jika
pemimpin tidak bisa adil akan terjadi banyak keresahan, kekacauan dan ketidak
puasan pada masyarakat, hukum akan tumpang tindih, tajam ke bawah dan tumpul
keatas, tidak ada lagi ketenangan.
Allah
ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ
قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ.
“Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS.
Al-Maidah[5]:8).
Pemimpin
harus menegakkan keadilan yang dimulai dari diri sendiri dan keluarganya.
Seorang
wanita bangsawan Quraisy telah mencuri, kemudia mereka meminta agar Usamah memintakan
keringanan kepada Rasulullah agar tidak memotong tangannya:
فَكَلَّمَهُ أُسَامَةُ، فَقَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ
حُدُودِ اللهِ؟ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ، فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّمَا
أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الشَّرِيفُ
تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمِ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ،
وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا.
Usamah pun berkata (melobi) rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk meringankan atau
membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafa’at (pertolongan) berkaitan dengan
hukum Allah?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri dan
berkhutbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang
sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara
mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang
mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum
atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri,
aku sendiri yang akan memotong tangannya’” (HR. Bukhari 6788, Muslim 1688).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَرِبَا
الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُهُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ
عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ.
”Riba jahiliyyah telah dihapus. Dan riba yang pertama kali aku
hapus adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthallib, Maka riba jahiliyyah dihapus
seluruhnya.” (HR. Abu Dawud 1907, Dinilai
shahih oleh Syaikh Al-Albani).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata,
”Demikianlah hukum. Demikianlah penguasa. Mereka pertama kali menerapkan
aturan pada kerabatnya sendiri. Berbeda dengan penguasa pada hari
ini, ketika kerabat para penguasa tersebut memiliki kekebalan hukum sehingga
dapat berbuat semaunya sendiri. Akan tetapi, pada masa rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam riba yang dihapuskan
pertama kali adalah riba ‘Abbas bin Abdul Muthallib (paman beliau sendiri).
Maka riba ‘Abbas dihapus seluruhnya” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1/1907,
Maktabah Asy-Syamilah).
Dari sini bisa
diambil pelajaran seorang pemimpin harus memberi keteladanan di dalam keadilan.
5.
Pemimpin harus
berilmu dan kuat.
Ilmu yang utama
adalah ilmu agama dan juga dunia, sebagaimana dahulu ada nabi yang di minta
umatnya agar memberinya seorang pemimpin Raja, kemudian Nabi tersebut memberitahu
bahwasanya Allah telah memilih Talut karena ilmu dan badanya yang kuat.
Allah ta’ala
berfirman:
وَقَالَ لَهُمْ
نَبِيُّهُمْ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا قَالُوا أَنَّى
يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ
يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ
بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.
Dan nabi mereka berkata kepada mereka, "Sesungguhnya Allah
telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." Mereka menjawab, "Bagaimana
Thalut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan
itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak?" (Nabi)
menjawab, "Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan
kelebihan ilmu dan fisik." Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang
Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah [2]:247).
Ibnu Katsir berkata: “Talut lebih sempurna ilmunya dan lebih
kuat tubuhnya daripada kalian. Dari ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
seorang raja atau pemimpin hendaknya memiliki ilmu, bentuk, cakap, kuat, serta
perkasa tubuh dan jiwanya.” (Tafsir ibnu Katsir QS. Al-Baqarah[2]:247).
Lihatlah pemimpin yang lahir dari kalangan Nabi dan Rasul,
Nabi Musa alaihi wa sallam,, Yusa bin Nun seorang panglima yang pembrani,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika perang Hunain, Khalid bin Walid
dan lain-lain, Usamah dan lain-lain.
6.
Pemimpin harus
amanah (terpercaya).
Hendaknya pemimpin harus amanah, jika pemimpin tidak bisa
amanah pasti akan khianat dan tidak memikirkan rakyat, membiarkan rakyatnya
menderita, akan sibuk memperkaya diri sendiri, keluarganya serta golongannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ
رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ، إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ.
“Tiada seorang hamba
yang diberi amanah rakyat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik,
melainkan hamba itu tidak akan mencium baunya surga.” ( HR. Bukhari 7150).
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam juga bersabda:
فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ
فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسِّدَ
الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
"Apabila sifat Amanah sudah hilang, maka
tunggulah terjadinya kiamat". Orang itu bertanya, "Bagaimana
hilangnya amanah itu?" Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,
"Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya
kiamat". (HR. Bukhari 59).
Sebuah kisah, Abdullah bin Umar juga bercerita. Suatu malam,
Abdullah selaku anak datang mengetok rumah Umar. Ia ingin berbicara dengan
ayahnya yang merupakan seorang pemimpin kaum muslimin. Mendengar ketokan pintu,
Umar pun bertanya, “Siapa di luar,” tanya.
Abdullah pun menjawab. “Saya Abdullah bin Umar, anak mu,” katanya.
Kemudian Umar melanjutkan, “Ada keperluan apa, wahai Abdullah,”. “Aku
ingin berbicara dengan mu ayah,” jawab Abdullah.
Umar pun mempersilahkan anaknya masuk rumah. “Kamu ingin
berbicara untuk kepentingan pribadi atau masalah negara atau masalah kaum
muslimin,” tanya Umar. “Saya ingin mebicarakan masalah pribadi, ayah,” tutur
Abdullah.
Mendengar itu, Umar meniup mematikan lampu yang ada di rumahnya.
Abdullah heran, akan sikap Umar. “Kenapa kamu matikan wahai amirul mukminin,”
tanya Abdulla heran. Umar pun menjelaskan, “Lampu ini merupakan fasilitas
negara yang diberikan pada ku, bagaimana mungkin aku mempergunakannya untuk
membicarakan kepentingan pribadi keluarga ku, “ tutur Umar. Jadilah keduanya
berbicara dalam gelap malam. (Tarikh Khulafa, Imam Jalaludin as-Suyuti).
7.
Pemimpin harus memiliki jiwa lembut dan tegas.
Pemimpin mestilah
tegas ! Ketegasan adalah sesuatu keputusan yang harus diambil secara
cepat dan jelas dalam situasi yang tidak mengambang dan berlarut-larut. Sebab,
tugas yang paling berarti bagi seorang pemimpin adalah mengambil keputusan yang
baik, tepat dan normative, hal ini akan segera mengembalikan keadaan segera
stabil.
Ketika
orang-orang dipinggir Jazirah Arab mulai murtad setelah Rasulullah meninggal
maka Abu Bakar mengirim pasukan untu memerangi mereka, kemudian Umar berkata: “
Apakah engkau akan memerangi orang-orang yang mengucapkan La ila ha illallah,”
Kemudian Abu Bakar berkata, “ Demi Allah
aku akan memerangi orang yang dulu pernah menyerahkan sesuatu kepada Rasulullah
meskipun seutas tali namun sekarang mereka menahannya.” Kemudian Abu Bakar membawakan
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ
حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ
اللَّهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ
عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الإِسْلاَمِ،
وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ.
"Aku
diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada
tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan
salat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka melakukan hal itu, maka mereka
terjaga dariku darahnya dan hartanya kecuali dengan hak Islam dan perhitungan
mereka kembali pada Allah -Ta'ala.” (HR. Bukhari 25, Muslim 22).
Kemudian
Umar mengakui kebenaran apa yang dilakukan Abu Bakar.
8.
Pemimpin
hendaknya bersikap sederhana.
Seorang
pemimpin hendaknya memiliki sifat sederhana, kesederhanaan ini akan menjaga
perasaan rakyatnya sehingga akan menumbuhkan rasa saling mencintai antara
pemimpin dan rakyatnya.
Pemimpin yang dicintai dan mencintai rakyatnya.
Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خِيارُ
أئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ ويُحِبُّونَكُمْ، ويُصَلُّونَ علَيْكُم
وتُصَلُّونَ عليهم، وشِرارُ أئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ
ويُبْغِضُونَكُمْ، وتَلْعَنُونَهُمْ ويَلْعَنُونَكُمْ.
"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah
orang-orang yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendoakan mereka
dan mereka pun mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah
orang-orang yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknat mereka dan
mereka pun melaknat kalian." (HR. Muslim 1855).
Pemimpin yang royal dan boros akan menjadi
percontohan yang sangat buruk, menjadikan banyak perkara-perkara yang nantinya
akan disia-siakan (mubadir).
Allah ta’ala berfirman:
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا
. إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ
كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا.
“Janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros." "Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu
adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS. Al-Isra’[17]:26-27).
Dalam hal kesederhanaan bisa mengaca bagaimana
sahabat Umar Ibnul Katab.
Anas berkata,
“Antara dua bahu dari baju Umar radiyallahu ‘anhu terdapat empat tambalan, dan
kainnya ditambal dengan kulit. Pernah ia khutbah di atas mimbar mengenakan kain
yang memiliki 12 tambalan. (Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dari jalan-jalan yang
sahih bersumber dari riwayat Anas. (Ath- Thabaqat al- Kubra, 3/328).
Pemimpin yang sederhana akan menjauhkan
tuduhan-tuduhan miring kepada dirinya, akan tampak benar-benar mensejahterakan
rakyatnya bukan menyengsarakan.
Sebagaimana Umar bin Khatab berkeliling dan
membantu orang yang lemah, mengangkat makanan dan memberikannya kepada janda
wanita dan anak-anaknya.
Dari sini dibutuhkan agar seorang pemimpin
memiliki pemikiran untuk berdaulat dari segi sandang, pangan, papan, dan juga
alat-alat untuk kekuatan.
Pemimpin akan
membuat trobosan-trobosan yang dibutuhkan rakyatnya, menutup apa yang dapat
melemahkan ekonomi rakyatnya, bagaimana produk dinegrinya bisa menjalar sampai
keluar negri, bukan sebaliknya mematikan dan memasukkan produk luar negri,
tatkala terjadi peperngan pastia akan ambruk ekonomi negrinya tersebut karena
semua bergantung kepada negri tetangga.
9.
Seorang pemimpin hendaknya mau meminta nasehat atau kritikan.
Seorang pemimpin akan merasa bersyukur dengan
orang yang mengingatkan tentang kekurangannya, karena nasehat merupakan bagian
dalam ajaran agama ini.
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّينُ
النَّصِيحَةُ قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ
وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ.
“Agama itu adalah nasihat”.
Kami pun bertanya, “Nasehat untuk siapa?”. Beliau menjawab, “Nasihat untu Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, pemerintah kaum muslimin dan
rakyatnya (kaum muslimin)”. (HR. Muslim 55, Abu Dawud 4944).
Amirul Mukminin Umar Ibnul Khatab radiallahu ‘anhu pernah
berkata, “ Semoga Allah merahmati seseorang yang menunjukkan kesalahan kami.”
Suatu kali dia pernah bertanya kepada Salman tentang aib yang
pernah dilakukannya. Maka salman menjawab, “ Aku mendengar engkau mengumpulkan
dua sayur di meja makanmu dan engkau mengenakan dua pakaian satu untuk siang
hari dan satu untuk malam hari.”
Umar berkata, “ Apakah ada selain itu.”
Salman menjawab, “Tidak.”
“ Kalau dua hal itu aku sudah tidak melakukannya lagi.” Jawab
Umar ibnul Khatab.
Demikian pula beliau pernah bertanya prihal dirinya kepada
sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman yang dijuluki sahabat yang mengetahui perkara
orang munafiq.
Penjelasan Ibnul Qudamah, “ Orang salaf (terdahulu) sangat
suka jika ada orang yang menunjukkan aib mereka. Sementara kita pada jaman
sekarang justru marah besar jika ada yang menunjukkan aib kita.
Ini menunjukkan lemahnya iman. Akhlak buruk itu seperti
kalajengking, jika ada seseorang yang memperingatkan dalam bajunya ada kalajengking,
maka secepat itu pula kita akan bertindak untuk membunuh kalajengking tersebut.
Sementara akhlak yang hina lebih berbahaya dari kalajengking bagi orang yang
tidak menyadarinya.
(Minhajul Qashidin, “Tanda-Tanda Sakit Hati…” oleh Ibnu
Qudamah)
10.
Pemimpin hendaknya memiliki akhlak yang mulia.
Akhlaq yang mulia akan menjadi percontohan kepada
rakyatnya, dia akan menjadi sorotan setiap perkataannya.
Allah memuji ahklaq Rasul-Nya karena memiliki
akhlaq yang mulia.
Allah ta’ala berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung.” (QS. Al Qalam [68]: 4)
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا.
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21).
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ
مُحْسِنُونَ.
“Sungguh, Allah beserta
orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS.
An-Nahl[16]:128).
Seorang pemimpin yang suka berbohong akan
menjadikan hilangnya kepercayaan rakyatnya.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَفْتَرِي
الْكَذِبَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَاذِبُونَ.
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah
orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah
orang-orang pendusta. (QS. An-Nahl [16]:105).
Pemimpin hendaknya mengusahakan kedaulatan bagi
rakyatnya.
Pemimpin hendaknya
berusaha untuk kedaulatan negrinya, baik sandang, pangan, papan, dan juga
kekuatan.
Allah ta’ala
berfirman:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا
اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ
اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ
يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ
وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ.
“Dan siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda
yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada
jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-ANfal [8]:60).
Pemimpin akan
membuat trobosan-trobosan yang dibutuhkan rakyatnya, menutup apa yang dapat
melemahkan ekonomi rakyatnya, bagaimana produk dinegrinya bisa menjalar sampai
keluar negri, bukan sebaliknya mematikan dan memasukkan produk luar negri.
Demikianlah semoga bermanfaat.
Sragen 20-12-2023
Junaedi
Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar