DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ISLAM.
Dari jaman kejaman manusia adalah
makhluk sosial, mereka saling bahu-membahu dan tolong-menolong, tidak
terkecuali mereka juga membutuhkan kepemimpinan di dalam menggerakkan peradaban
mereka dan mengatur urusan-urusan mereka.
1. Asal-muasal
demokrasi.
Demokrasi muncul pada tahun 507-508
sebelum Masehi, yang dipimpin oleh Cleisthenes di negara Athena.(Wikipedia).
Istilah demokrasi
berasal dari bahasa Yunani yaitu 'Demos' dan 'Kratos' yang memiliki
arti kekuasaan rakyat. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang
seluruh rakyatnya menentukan pilihannya, baik secara langsung maupun tidak
langsung yaitu dengan perantara wakilnya yang terpilih.
Demokrasi
mengusung dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, sehingga hukum dan kedaulatan
berada di tangan rakyat.
2.
Demokrasi dalam pandangan islam.
Demokrasi apabila diukur dengan kaca mata syari’at islam akan
tampak kelemahannya:
1)
Demokrasi akan menyamaratakan jenis manusia, seorang
alim akan sama dengan orang jahil, orang ta’at akan disamakan dengan orang
fasik. Orang beriman kan didamakan dengan orang kafir, bahkan tidak sedikt
orang yang gila pun diambil suaranya.
2)
Maka jelas orang-orang yang fasiq, kafir dan musyrik
tentu lebih banyak dibanding yang alim ta’at dan beriman.
Belum lagi mereka dengan segala cara
membeli suara-suara masyarakat dengan menyuap mereka, dan berusaha merebut kekuasaan
dengan segala cara, ini akan memakmurkan suap menyuap pada sebuah masyarakat.
Dari Abdullah bin 'Amr, dia menceritakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعْنَةُ اللَّهِ
عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي.
"Laknat Allah subhanahu wa ta’ala kepada pemberi suap
dan penerima suap." (HR Ahmad).
Setelah yang buruk
mendominasi (memenangkan) karena jumlahnya lebih banyak, suara orang-orang yang
baik akan kalah dan tenggelam.
3)
Kemudian yang buruk ini akan menentukan arah hukum
karena yang diambil adalah suara terbanyak.
Maka dengan demikian landasan hukumnya
tidak merujuk kepada Allah ta’ala, tapi kepada rakyat dan para wakilnya.
Patokannya membuat hukum tidak mengharuskan kesepakatan semua mereka, tapi
suara terbanyak.
Kesepakatan mayoritas akan menjadi UU
yang wajib dipegang masyarakat walaupun bertentangan dengan etika, fitrah, akal
dan agama.
Dengan system demokrasi inilah banyak
sumber berbagai hukum yang tidak benar dibangun.
Membolehkan riba (bunga bank), mengijinkan
lokalisasi pelacuran, bahkan mereka menghalalkan perkawinan sesama jenis, produk
miras, hukum-hukum syari’at yang bertentangan dengan konstitusi harus di
tinggalkan, dengan kata lain wajib menjunjung tinggi hukum yang di buat manusia
tersebut dan memerangi siapapun yang bertentangan dengannya meskipun seseorang
yang ta’at beragama.
Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam
KitabNya, bahwa penetap hukum hanyalah Dia semata, Dialah sebaik-baik yang
menetapkan hukum. Dilarang menyekutukannya dalam menetapkan hukum dan Dia
mengabarkan bahwa tidak ada seorang pun yang lebih baik hukumnya dariNya.
Allah Ta’ala berfirman,
فَالْحُكْمُ
لِلَّهِ الْعَلِيِّ الْكَبِير.
“Maka putusan (sekarang ini) adalah
pada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Ghofir[40]: 12).
Allah ta’ala berfirman,
إِنِ
الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ
الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ.
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan
Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS.Yusuf
[12]: 40.
Allah Ta’ala berfirman,
“Bukankah Allah hakim yang
seadil-adilnya?.” SQ. At-Tin : 8.
وَلا
يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَداً.
“Dan Dia tidak mengambil seorangpun
menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan". (QS. Al-Kahfi [18]: 26).
أَفَحُكْمَ
الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْماً لِقَوْمٍ
يُوقِنُونَ.
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin ?.” (QS. Al-Maidah[5]: 50).
Akan tetapi
perlu diketahui bahwa berhukum dengan selain hukum Allah ada dua :
1.
Menghalalkan hukum selain hukum Allah dan meyakini
bahwa syariat Islam tidak layak diterapkan selamanya.
2.
Meyakini bahwa syariat Islam layak diterapkan dan
sudah sempurna. Akan tetapi keputusan terakhir bukan di tangannya dan bukan
pula di bawah kuasa seseorang, perumpamaannya seperti seorang muslim yang
melakukan maksiat tanpa menghalalkannya. Seperti orang yang minum khamar, ia
meyakini bahwa perbuatan itu adalah maksiat, akan tetapi ia telah dikuasai
syahwat. Keadaannya tentu berbeda dengan orang yang meyakini khamar halal tidak
terlarang sekalipun ia tidak meminumnya, atau tidak meyakini wajibnya shalat
lima waktu, orang seperti ini dihukumi kafir.
Kami tegaskan bahwa masalah pengkafiran orang yang tidak
berhukum dengan hukum Allah ada perinciannya. Tidak boleh menjatuhkan hukum
kafir atas penguasa atau hakim yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara
mutlak sehingga mengetahui keadaan dan kondisinya dalam masalah ini.
Persoalan
kedua : Kendati ayat menyatakan :
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir” (QS. Al-Maidah[5] : 44).
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ.
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang DZOLIM” (QS. Al-Maidah[5]
: 44).
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ.
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq” (QS. Al-Maidah[5]
: 44).
{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ
بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ } قَالَ: هِيَ بِهِ كُفرٌ -قَالَ ابْنُ طَاوُسٍ:
وَلَيْسَ كَمَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ.
IbnuTawus
mengatakan, yang dimaksud dengan kafir dalam ayat ini bukan seperti orang yang
kafir kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.
وَقَالَ
الثَّوْرِيُّ، عَنِ ابْنِ جُرَيْج عَنْ
عَطَاءٍ أَنَّهُ قَالَ: كُفْرٌ دُونَ كُفْرٍ، وَظُلْمٌ دُونَ ظُلْمٍ، وَفِسْقٌ
دُونَ فِسْقٍ. رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ.
As-Sauri
telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari Ata yang telah mengatakan bahwa makna
yang dimaksud dengan kafir ialah masih di bawah kekafiran (bukan kafir
sungguhan), dan zalim ialah masih di bawah kezaliman, serta fasik ialah masih
di bawah kefasikan. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
وَقَالَ وَكِيع
عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ سَعِيدٍ الْمَكِّيِّ، عَنْ طَاوُسٍ: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ
بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ} قَالَ: لَيْسَ بِكُفْرٍ
يَنْقُلُ عَنِ الْمِلَّةِ.
Waki' telah
meriwayatkan dari Sa'id Al-Makki, dari Tawus sehubungan dengan makna
firman-Nya: Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44); Yang dimaksud dengan "kafir" dalam
ayat ini bukan kafir yang mengeluarkan orang yang bersangkutan dari Islam.
وَقَالَ ابْنُ
أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عبد الله بن يزيد المقري، حدثنا
سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حُجَير، عَنْ طَاوُسٍ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ: {وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْكَافِرُونَ} قَالَ: لَيْسَ بِالْكُفْرِ الَّذِي يَذْهَبُونَ إِلَيْهِ.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan
kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Hisyam ibnu Hujair, dari Tawus, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang tidak
memutuskan menurutapa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang kafir. (Al-Maidah: 44); Makna yang dimaksud ialah bukan
kufur seperti apa yang biasa kalian pahami (melainkan kufur kepada nikmat
Allah). (Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Maidah [5]:44).
Namun apabila
seseorang meyakini hukum tersebut lebih baik, sama dibandingkan hukum Allah
maka orang tersebut bisa kafir.
-----000-----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar