BAB 4
HAK ANAK-ANAK
Anak memiliki haq yang besar
terhadap orang tuannya, apa bila hal itu tidak dipahami dengan baik dapat
menyeret kedua orang tua ke dalam neraka.
Diantara hak seorang anak
yaitu:
1. Mencarikan seorang ibu yang
subur dan shalihah.
Hal ini karena seorang wanita
yang akan diperistri takubahnya seperti media bagi tanaman, apabila media
tersebut kering kerontang, tandus dan tidak subur tentu tanaman diatasnyapun
akan mengalami kegersangan dan tidak subur.
Allah ta’ala berfirman:
وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ
نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لاَ يَخْرُجُ إِلاَّ نَكِداً
كَذَلِكَ نُصَرِّفُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُونَ.
“Dan tanah yang baik tanaman-tanamannya
tumbuh subur dengan sizin Allah dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya
hanya tumbuh merana.” (QS. Al A’raf [7]: 58).
وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ.
“Dan sungguh wanita
budak yang mu’min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun diamenarik hatimu.”
(QS Al-Baqarah[2]:221)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ:
لِمَـالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ
الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ.
“Wanita dinikahi
karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan
agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau akan
beruntung.” (HR. Bukhari
5090, Muslim 1466).
Karena itu, wajib hukumnya bagi seorang pria untuk memilih calon istri
yang shalihah. Karena itu sama dengan tanah yang subur yang sangat kita
butuhkan untuk masa depan, iman dan ketakwaan keturunan kita sendiiri.
2.
Gembira
dengan kelahiran anaknya.
Hendaknya suami istri gembira dengan kelahiran anaknya.
Allah Ta’ala berfirman.
يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَىٰ لَمْ
نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا.
“Wahai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira padamu dengan
kelahiran seorang anak yang bernama Yahya” (QS. Maryam[19] : 7).
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ.
“Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.”
(QS. Ash-Shafaat[37]:101).
Hal ini mencakup anak laki-laki maupun perempuan, dahulu orang-orang
jahiliyah menisbatkan malaikat adalah anak-anak perempuan Allah, namun ketika
mereka diberi anak perempuan mereka marah.
Allah ta’ala berfirman:
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ
مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ. أَوْ
يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ
عَلِيمٌ قَدِيرٌ.
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan
langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan
anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak
lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, Atau
Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang
dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Asy-Syura[42]:49-50).
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ
وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ . يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا
بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ
مَا يَحْكُمُونَ.
“Dan
apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan
dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan
kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah
buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. AN-Nahl[16]:58-59).
Dari
‘Uqbah bin ‘Amir, dia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ ثَلَاثُ
بَنَاتٍ، وَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ، وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ، كُنَّ لَهُ حِجَابًا
مِنَ النَّارِ.
“Barangsiapa memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia
bersabar dalam menghadapinya serta memberikan pakaian kepadanya dari hasil
usahanya, maka anak-anak itu akan menjadi dinding pemisah baginya dari siksa
Neraka.” (HR. Bukhari dalam kitab al-Adaabul Mufrad 76, Tirmidzi 1916, Ahmad
8425 dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 294, 1027).
3.
Memberinya
nama yang baik.
Anak memiliki hak untuk
diberi nama yang baik, karena nama merupakan doa dan harapan orang tua,
sehingga diharapkan anak tersebut seperti orang yang diberi nama tersebut atau
setidak-tidaknya mendekati.
Dari Samurah bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ
وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى .
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya,
disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama.”
(HR. Abu Daud 2838, An Nasai 4220, Ibnu Majah 3165, Ahmad 20256. Dishahihkan
Syaikh al-Albani di dalam shahih Ibnu Majah 3165, Irwa’ 1165).
orang Arab mengatakan:
لِكُلِّ مُسَمَّى مِنْ
اِسْمِهِ نَصِيْبٌ.
“Setiap orang akan
mendapatkan pengaruh dari nama yang diberikan padanya.”
Dari sahabat Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَحَبَّ أَسْمَائِكُمْ إِلَى اللهِ عَبْدُ اللهِ وَعَبْدُ
الرَّحْمَنِ
“Sesungguhnya nama kalian yang paling
dicintai di sisi Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.”(HR. Muslim 2132,
Al-Baihaqi 376, Al-Hakim 7719).
Nabi shalllallahu ‘alaihi wa sallam
melarang penggunaan nama-nama yang buruk serta jelek maknanya.
أَخْنَى
الْأَسْمَاءِ عِنْدَ اللَّهِ رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الْأَمْلَاكِ.
“Nama yang
paling buruk di sisi Allah pada hari Kiamat adalah seseorang bernama dengan
nama ‘Malikal Amlaak’ (rajanya para raja). ” (HR. Bukhari 6205, Muslim
2143).
Dari umul
mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُغَيِّرُ
الِاسْمَ القَبِيحَ.
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam merubah nama yang buruk menjadi nama yang baik.” (HR. Tirmidz 2839,
dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam ash-Shahihah 207).
4.
Memberikan pendidikan yang benar.
Anak ibarat kertas putih yang belum ternodai, oleh
karena itu hendaknya orang tua mendidik anak-anaknya dengan benar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Tidaklah setiap
anak kecuali dia dilahirkan di atas fitrah, maka bapak ibunyalah yang
menjadikan dia Yahudi, atau menjadikan dia Nasrani, atau menjadikan dia
Majusi.” (HR. Bukhari 1358, Muslim 2658).
Hadits ini menunjukkan tentang besarnya peran kedua
orang tua di dalam membentuk dan mewarnai anak-anaknya.
Perkara-perkara yang harus ditanamkan kepada anak
yaitu:
1) Masalah aqidah.
Ini merupakan masalah pokok di mana anak harus
dikenalkan terhadap penciptanya.
Allah ta’ala berfirma:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا
تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ.
Dan (ingatlah) ketika
Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ”Wahai
anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” ( QS. Lukman[31]:13).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wa sallam juga menekankan hal ini, kepada anak paman beliau yaitu Ibnu Abbas.
يَا غُلاَمُ، إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ؛ احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ،
احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا
اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ.
“Nak, aku ajarkan
kepadamu beberapa untaian kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan
menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau
hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau
hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah.” (HR.
Tirmidzi 2516, di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam shahih Tirmidzi 2043).
Dari sahabat Jundub
bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan:
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ
فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ. فَتَعَلَّمْنَا الإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ
القُرْآنَ، ثُمَّ تَعَلَّمْنَا القُرْآنَ؛ فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا.
“Dahulu, kami bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, sedang pada saat itu kami merupakan sosok pemuda-pemuda yang
mendekati usia balig Kami belajar iman sebelum mempelajari Al-Qur`an. Kemudian
kami mempelajari Al-Qur`an, maka dengan begitu bertambahlah keimanan kami.” (HR. Ibnu Majah 61, dishahihkan Syaikh
al-Albani di dalam shahih wa dha’if Sunan Ibnu Majah 61).
2) Diajarkan ibadah.
Allah ta’ala
berfirman:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ
عَلَيْهَا.
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mengerjakan salat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.“ (QS. Thaha [20]: 132)
Dari ‘Abdullah bin
‘Amr Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ،
وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ ، وَفَرِّقُوْا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.
“Suruhlah anak kalian shalat
ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun
(jika mereka meninggalkan shalat), dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara
anak laki-laki dan anak perempuan). (HR. Abu Dawud 495, Ahmad 6756, dihasankan
oleh Syaikh al-Albani di dalam Shahih wa dha’if Sunan Abu Dawud 495).
3) Diajarkan adab-adab.
Setelah mengajarkan
aqidah dan ibadah kepada anak, hendaknya diajarkan adab-adab.
Bagaimana beradab yang
baik, karena adab yang baik nanti akan menjadikan indah ilmu pengetahuan yang
dimilikinya.
Bagaimana seseorang
beradab terhadap Allah, Rasulnya, orang tuanya, gurunya, teman-temannya, dan
lainnya.
Begitu pula bagaimana beradab
ketika makan, minum, di masjid, di kamar mandi dan lain-lain.
Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam menasehati anak kecil ketika makan. Dari sahabat Umar bin Abi Salamah radhiallahu’anhuma
menceritakan:
كُنْتُ
غُلاَمًا فِي حِجْرِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَتْ
يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ، فَقَال لِي رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ، وَكُل بِيَمِينِكَ، وَكُل مِمَّا
يَلِيكَ.
“Sewaktu aku masih kecil, saat berada
dalam asuhan Rasulullah Shallallahu‘alaihi
wasallam, pernah suatu ketika tanganku ke sana ke mari (saat
mengambil makanan) di nampan. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda kepadaku: “wahai bocah, ucaplah bismillah
dan makanlah dengan tangan kananmu, serta ambil makanan yang berada di dekatmu.”
(HR. Bukhari 5376, Muslim 2022 ibnu Majah 3267).
4) Diajarkan akhlak.
Agar
anak memiliki akhlak yang mulia karena akhlak mulia merupakan pemberat
timbangan nanti pada hari kiamat.
Pujian Allah subhanahu wa ta’ala kepada Rasul-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti
yang agung.” (QS. Al Qalam [68]: 4)
Allah memerintahkan agar kita meneladani Rasul-Nya.
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ.
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab
[33]: 21).
Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan dalil pokok yang
paling besar, yang menganjurkan kepada kita agar meniru Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. dalam semua ucapan, perbuatan, dan sepak terjangnya.” (Tafsir
Ibnu Katsir, QS. Al-Ahzab[33]:21).
Rasulullah sallallahu ‘alaaihi wa
sallam bersabda:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ
فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ
الْخُلُقِ. وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ.
“Taqwa kepada Allah dan bagusnya akhlak.” Dan
beliau ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka,
maka beliau bersabda: “mulut dan farji (kemaluan).” (HR Tirmidzi 2004, Abu
Dawud 2596, Ibnu Majah 4246. Dihasankan syaikh al-Albani, Lihat As-Shahihah
977).
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا .
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah
yang paling baik akhlaqnya, dan yang paling baik di antara kamu sekalian adalah
yang paling baik akhlaqnya terhadap isteri-isterinya.” (HR. Ahmad 7402,
Tirmidzi 1162, Abu Dawud 4682 dihasan oleh syaikh al-Albani di dalam
Ash-Shahihah 284).
مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ.
"Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan
(amalan) seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlaq yang mulia." (HR. Tirmidzi 2002, di hasankan oleh Syaikh
al-Albani dalam Ash-Shahihah 876).
Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada
Asyaj Abdul Qais:
إِنَّ
فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ: الْحِلْمُ، وَالْأَنَاةُ.
“Sesungguhnya pada dirimu terdapat dua perkara yang
dicintai Allah, yaitu kesabaran dan tidak tergesa-gesa.” (HR. Muslim 17,
Tirmidzi 2011, Abu Dawud 5225).
Ibnu Qudamah berkata, “Seandainya akhlaq tidak bisa
bisa dirubah, niscaya nasehat-nasehat tidak akan berarti apapun, bagaimana
mungkin seseorang mengingkari bila akhlaq bisa dirubah sementara seseorang
melihat binatang buas bisa dijinakkan, anjing diajari kapan dia harus makan,
kuda dididik bagaimana jalan yang baik dan dikendalikan dengan baik pula, hanya
saja harus diakuai ada takbiat yang mudah dirubah kepada kebaikan dan ada pula
yang sulit.” (Minhajul Qhasidin, oleh Ibnu
Qudamah Al-Maqdisi).
5) Diajarkan pengetahuan umum dan
cara bergaul yang baik.
Bagaimana
menggunakan alat-alat trasportasi, computer, dan alat-alat yang bermanfaat,
begitu pula anak dijauhkan dari perkara-perkara yang membahayakan, seperti
game, judi online, gambar dan film-film yang tidak pantas.
Anak
juga diajarkan bagaimana bergaul dengan baik dan benar, bisa bersikap lembut dan
pembrani, meminjam dan mengembalikan barang, bertegur sapa dengan baik, bermain
dengan teman-temannya dengan tidak mendzalimi mereka, bahkan membalas
kedzaliman dengan kebaikan dan perbuatan yang baik.
Allah Ta’ala berfirman :
ٱدْفَعْ
بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ.
“Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik.” (QS. Fushilat[41] : 34).
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ
النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ.
“Dan orang-orang yang menahan
marahnya dan memberikan maaf kepada manusia, dan Allah mencintai orang-orang
yang berbuat baik.” (QS. Al-Imran[3]:134).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ
نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ.
“Bukanlah orang kuat (yang
sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan
(perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu
mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR Bukhari 5763 Muslim 2609)
مَنْ كَظَمَ غَيْظًا وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ دَعَاهُ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ عَلَى رُءُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ
اللَّهُ مِنَ الْحُورِ مَا شَاءَ.
“Barangsiapa menahan amarahnya
padahal dia mampu untuk melampiaskannya maka Allah Azza wa Jalla akan
memanggilnya (membanggakannya) pada hari Kiamat di hadapan semua manusia sampai
(kemudian) Allâh membiarkannya memilih bidadari.” (HR Abu Daud 4777 Tirmidzi 2493 di hasankan
syaikh al-Albani).
Salah satu contoh bagaimana
ucapan nabi Ibrahim tatkala diperintahkan kepada beliau untuk menyembelih
anaknya, beliau berkata-kata dengan penuh kasih sayang, namun di sisi lain
tetap tegar di dalam menjalankan perintah Allah, sebagaimana firman Allah
ta’ala :
قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى.
(Ibrahim)
berkata: "Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?" (QS.As Shafat[37]: 102).
Ketika nabi Ibrahim mengajarkan aqidah yang benar,
berkata yang baik dan benar, kehidupannya dipenuhi dengan ketaatan dan
ketaqwaan maka hasilnya pun luar biasa, sehingga meskipun perintah Allah itu
berat namun anaknya bisa menerima dengan sepenuhnya.
Sebagaimana firman Allah ta’ala:
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ
مِنَ الصَّابِرِينَ.
Dia
(Isma’il) menjawab: "Wahai ayahku, Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah
kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar." (QS.As Shafat[37]: 102).
Demikianlah hasil dari meneladani orang tuanya
dengan keimanan yang kuat terhadap Allah ta’ala, dan berbaktinya kepada orang
tua.
Oleh karena itu dalam pendidikan
anak perkara yang sangat penting yang harus mendapat perhatian setiap orang tua
yaitu bagaimana orang tua memberikan teladan yang baik bagi anak-anaknya,
karena hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap anak.
Terkadang dengan melihat
perbuatan orang tua anak sudah bisa mengambil pelajaran dan mengikuti, sebaliknya
anak akan mengabaikan nasehat orang tua apa bila nasehat orang tua tidak sesuai
dengan perbuatannya.
5. Menempatkan pendidikan
ditempat yang benar.
Pada
asalnya orang tua memiliki kewajiban menjaga keluarganya dari api neraka, yaitu
dengan cara mendidik mereka.
Allah
ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ .
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS.
At-Tahrim[66]: 6).
Ali bin Abi Talib radhiyallahu ‘anhu berkata sehubungan ayat di atas, “Makna
yang dimaksud ialah didiklah mereka dan ajarilah mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir
QS. At-Tahrim[66]:6).
Namun apabila orang tua tidak mampu dan menyerahkan kepada sekolahan,
pondok ataupun lainnya hendaknya memperhatikan dengan seksama di dalam menempatkan pendidikan anaknya tersebut.
Orang
tua perlu mengetahui guru-gurunya, hal ini karena kita akan menyerahkan anak
kita untuk dididik, kita tidak bisa membayangkan kalau yang mendidik rusak aqidahnya,
akhlaknya dan moralnya.
Seperti
pendidik justru sibuk mengajarkan menari, menyanyi, mengajarkan musik,
menghapal sejarah yang fiktif seperti kisah Mahabarata atau perwayangan,
melarang memakai jilbab dan menutup aurat.
Bahkan
berapa kali banyaknya anak-anak wanita yang dihamili oleh para pendidiknya.
Pendidik yang baik merupakan salah satu pondasi untuk membangun karakter
seorang anak, dari guru yang baik anak kita akan meneladaninya.
Adapun karakter guru yang baik yaitu:
1) Ikhlas semata-mata karena Allah di dalam mendidik muridnya.
2) Jujur, jujur merupakan mahkota seorang guru.
3) Selaras antara ucapan dan perbuatannya.
4) Bersikap adil terhadap sesama muridnya.
5) Berhias dengan ahklaq mulia dan terpuji.
6) Tawadhu’ tidak menyombongkan dirinya.
7) Pembrani, untuk mengatakan kebenaran dan menerima kritikan.
8) Pandai bercanda tanpa berlebihan terhadap anak didiknya.
9) Sabar dan mampu menahan emosi.
10)
Menghindari
perkataan yang keji dan tidak pantas. ( Al-Mu’allim al-Awwal, (Qudwah li kulli
mu’alim wal mu’allimah).
6. Menjauhkan dari teman yang
buruk.
Teman
memiliki peran yang besar di dalam mempengaruhi anak kita, apa yang kita rawat,
kita jaga, kita harapkan bisa rusak dalam waktu singkat apa bila anak salah
dalam bergaul, oleh karena itu hendaknya orang tua memperhatikan siapa yang
menjadi teman anak-anak kita.
Betapa
miris hati kita bila mendengar ratusan siswi hamil di luar nikah, puluhan anak
mati karena minum oplosan, ratusan anak kecanduan narkoba, semua ini tidak lain
karena salah pergaulan dan salah dalam memilih teman.
Peran orang tua benar-benar dibutuhkan dalam memperhatikan anaknya,
jangan merasa aman dari fitnah, hendaknya memilih dan memperhatikan teman-teman
anaknya.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ
الصَّادِقِينَ.
“Wahai
orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar (jujur).” (QS. At-Taubah[9]:119)
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ.
“Seseorang itu mengikuti agama
teman dekatnya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang di antara kalian
memperhatikan siapa yang dia jadikan teman dekat.” (HR. Abu Dawud 4833,
Tirmidzi 2378. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam Shahihu Al-Jami’
3545).
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ
الْكِيرِ.
“Permisalan teman yang baik dan teman
yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi.” (HR.
Bukhari 5534, Muslim 2628).
Ibrahim al-Khawwash rahimahullah
berkata:
دَوَاءُ الْقَلْبِ خَمْسَةُ أَشْيَاءَ: قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
بِالتَّدَبُّرِ، وَخَلَاءُ الْبَطْنِ، وَقِيَامُ اللَّيْلِ، وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ
السَّحَرِ، وَمُجَالَسَةُ الصَّالِحِيْنَ.
“Penawar hati itu ada lima:
membaca al-Qur’an dengan tadabbur (perenungan), kosongnya perut, qiyamul lail
(shalat malam), berdoa di waktu sahar (waktu akhir malam sebelum Shubuh), dan
duduk bersama orang-orang shalih.” (Al-Adzkar karya Al-Imam an-Nawawi, hal. 107,
Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth)
Orang
tua juga memperhatikan anaknya ketika bepergian, kemana dia pergi, dengan
siapa, ada pelanggaran syar’i atau tidak di sana, dan kapan pulangnya.
7. Memberi nafkah yang halal.
Sebagian orang tua tidak
memahami, jika makanan yang diberikan kepada keluarga sangat besar pengaruhnya
terhadap keluarga. Sebagaian yang lain menganggap pendidikan anak ini tidak ada
kaitannya dengan memberi nafkah, baik halal maupun haram, ini merupakan sebuah
kesalahan yang besar.
Padahal ini sangat besar
sekali pengaruhnya terhadap anak tersebut.
Mustahil Allah
perintahkan kita untuk mencari rezki yang halal dan baik apabila tidak
mempengaruhi pada kejiwaan seseorang, baik di dunia terlebih nanti di akhirat.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ
حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ.
“Wahai manusia, makanlah
olehmu dari apa yang ada dibumi ini yang halal dan baik dan janganlah mengikuti
langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu adalah musuhmu yang nyata.”
(QS. Al-Baqarah[2]:168).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ
تَعْبُدُونَ.
“Wahai orang-orang yang
beriman, makanlah yang baik-baik dari apa yang telah kami rezkikan kepadamu dan
bersukurlah kepada Allah jika kamu hanya menyembah kepada-Nya saja.”(QS.
Al-Baqarah[2]:172).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ
الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ.
“Akan datang suatu masa pada umat
manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah
melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram.” (HR. Bukhari 2083).
إِنَّهُ لَا
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ النَّارُ أَوْلَى بِهِ.
“Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang
haram. Neraka lebih pantas untuknya.“ (HR Ahmad 14441 Ibnu Hibban 4514 Al-Hakim
dalam mustadraknya 7163, dishahihkan al-Albani At-Ta’liqu Ragib 3/350,
adz-Dzilal 756).
Imam Bukhari menyebutkan
tarjamah (biografi) ayahnya di dalam kitab beliau At-Taarikh Al-Kabiir, begitu
pula Al-Hafizh Ibnu Hibban di dalam kitabnya Ats Tsiqaat. Ayah Imam Bukhari
dikenal sebagai seorang yang bertaqwa dan bersikap wara’. Ahmad bin Hafsh suatu
kali bercerita bahwa ia pernah berkunjung ke kediaman ayah Imam Bukhari di saat
beliau mengalami sakit yang merenggut nyawanya, lalu beliau (Isma’il) berkata:
لَا أَعْلَمُ مِنْ مَالِيْ دِرْهَماً مِنْ حَرَامٍ وَلَا دِرْهَماً مِنْ
شُبْهَةٍ
“Aku tidak mengetahui sedirham
pun dari hartaku yang haram, dan tidak pula (harta) yang mengandung syubhat.” (Kisah ini dicantumkan oleh imam adz-Dzahabi dalam kitabnya
tentang biografi yang sangat terkenal Siyar a’lam an-Nubala’: 12/447).
Harta halal akan menjadikan kebaikan bagi
keluarganya, mendatangkan keberkahan, kemuliaan, memudahkan terkabulnya doa dan
menjauhkan dari api neraka.
8.
Hendaknya orang tua adil terhadap anak-anaknya.
Adil yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya, lawan dari dzalim.
Adapun adil terhadap anak yaitu mampu membedakan yang beda dan
menyamakan yang sama.
Allah ta’ala berfirman:
وَأَقْسِطُوا
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.
“Dan
berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil.” (QS.
Al-Mumtahanah [60]:8), semakna dengan ini (QS. Al-Hujrat [49]:9).
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ.
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan..” (QS.
An-Nahl[16]:90).
Tidak bisa dipungkiri orang tua terkadang menyayangi sebagian anaknya
lebih dari sebagian yang lain. Dalam hal ini tidak masalah jika hal itu hanya
sebatas perasaan sayang yang ada dalam hati, karena menyamaratakan semua anak
dalam kasih sayang dalam hati adalah sesuatu yang sulit, bahkan di luar kuasa
manusia.
Ketidak adilan orang tua terhadap anak-anaknya akan memicu kesenjangan
diantara mereka dan berujung pada saling bermusuhan dan kedurhakaan anak.
Hendaknya orang tua memperhatikan pemberiannya kepada anak-anaknya, adapun
diantara macam-macam bentuk bemberian, yaitu:
1) Pemberian nafkah.
Orang tua memberikan nafkah kepada anak-anaknya sesuai dengan kebutuhan
mereka masing-masing, dan merupakan amal ibadah yang besar pahalanya di sisi
Allah ta’ala.
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّكَ لَنْ
تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ،
حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ.
“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan
(melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan
ganjaran pahala (yang besar), sampai makanan yang kamu suapkan pada mulut
istrimu.” (HR. Bukhari 56, an-Nasai di dalam as-Sunan al-Kubra 9162).
2) Pemberian hibah (hadiah).
Dalam pemberian hibah ada ulama yang menyebutkan agar disamakan dengan
warisan, ada juga yang berpendapat disamakan.
Pendapat kedua ini lebih kuat sebagaimana disebutkan dalam sebuah atsar,
dari sahabat an-Nu’man bin Basyir,
beliau radhiyallahu anhu berkata:
تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ، فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ
بِنْتُ رَوَاحَةَ: لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ؟ قَالَ: لَا، قَالَ:
اتَّقُوا اللهَ، وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ»، فَرَجَعَ أَبِي، فَرَدَّ تِلْكَ
الصَّدَقَةَ.
“Bapakku bersedekah kepadaku dengan sebagian hartanya, berkata ibuku ‘Amrah binti Rawahah, “ Saya tidak ridha
sampai engkau menjadikan saksi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian ayahku berjalan menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar
disaksikan beliau sedekah yang diberikan kepadaku, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada ayahku,
“ apakah engkau engkau melakukan hal semacam ini kepada semua anakmu, “
ayahku berkata, “ tidak” kemudian Beliau berkata, “ bertakwalah kepada Allah
dan berbuatlah adil kepada anak-anakmu.” Maka ayahku pulang dan membatalkan
sedekahnya.” (HR. Muslim 1623, Ahmad 18363, Nasa’i 3682).
Dalam riwayat lain disebutkan:
اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلادِكُمْ فِي النَّحْلِ ، كَمَا تُحِبُّونَ أَنْ يَعْدِلُوا بَيْنَكُمْ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ.
“Bersikaplah adil di antara anak-anak kalian dalam hibah, sebagaimana
kalian menginginkan mereka berlaku adil kepada kalian dalam berbakti dan
berlemah lembut.” (HR. al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 12003, disebutkan
pula di dalam Shahih Ibnu Hibban 5104, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam
Shahihu Al-Jami’ 1046).
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
أَنَّهُ يَنْبَغِي أَنْ يُسَوِّيَ بَيْنَ أَوْلَادِهِ فِي الْهِبَةِ
وَيَهَبَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ مِثْلَ الْآخَرِ وَلَا يُفَضِّلَ وَيُسَوِّيَ
بَيْنَ الذَّكَرِ وَالْأُنْثَى.
“Hendaknya menyamakan diantara anak-anaknya di dalam pemberian, dan
memberi setiap orang dari mereka seperti yang lain.” (Syarah Muslim, Imam Nawawi
(Bab tidak disukai mengutamakan sebagian anak di dalam pemberian 1623).
3) Pemberian warisan.
Adapun pemberian warisan Allah ta’ala telah mengatur bahwa bagian
seorang laki-laki sama dengan dua orang wanita.
Allah ta’ala berfirman:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ
مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ.
“Allah mensyariatkan
(mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu)
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan...”
(QS. An-Nisa[4]:11).
Tidak boleh menyamaratakan dalam memberi warisan laki-laki dengan
perempuan meskipun sama-sama ridha, karena ridha bukan semata-mata syarat
mutlak untuk membenarkan sebuah perbuatan, hal itu tidak lain karena di
dalamnya terdapak pelanggaran hak yang lain, yaitu hak anak laki-laki tersebut.
Seandainya menghendaki hal itu agar sebagian apa yang diterima anak
laki-laki dihibahkan kepada saudaranya perempuan setelah pembagian warisan,
dengan demikian ini dibolehkan karena terhitung sebagai hibah atau hadiah.
Demikianlah sikap orang tua hendaknya bisa bersikap adil, jika hal ini
diabaikan maka dia akan berdosa dan dapat menjadi sebab kebencian antara anak
dan orang tua bahkan sesama mereka.
9.
Bermusyawarah dan bersikap lemah lembut kepada anak-anak.
Hal ini untuk melihat kepribadian anak-anak dan memberi kesempatan
kepada anak-anak untuk mengutarakan apa yang ada di dalam benaknya.
Allah ta’ala berfirman:
وَشَاوِرْهُمْ
فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ
فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakal kepada
Allah.” (QS. Ali-Imran[3]: 159).
Allah ta’ala juga berfirman:
وَاَمْرُهُمْ شُوْرٰى بَيْنَهُمْ.
“Sedang urusan
mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (QS. Asy-Syura[42]:38).
Bersikap lemah lembut dalam bermusyawarah.
Allah ta’ala berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ…
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu..” (QS. Al-Imran[3]:158).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ.
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Lembut yang
mencintai kelembutan dalam seluruh
perkara.” (HR. Bukhari
6927, Muslim 2165).
إِذَا أَرَادَ بِأَهْلِ بَيْتٍ خَيْرًا دَلَّهُمْ عَلَى بَابِ الرِّفْقِ .
“Jika Allah
menghendaki kebaikan pada sebuah keluarga Allah akan menunjuki mereka
menuju pintu kelembutan.“ (HR Ahmad 24734, dishahihkan Syaikh al-Albani di
dalam Shahih at-Thargib wa Tharhib 2629).
Musyawarah
akan menjauhkan seorang ayah dari sifat otoriter, akan lebih lebih adil,
menjadikan semua terbuka, mengedepankan kebersamaan, dan mempererat hubungan dengan
anak-anak.
Demikian pula
menyikapi dan mengurai setiap masalah dengan pendekatan lemah lembut, sehingga anak tidak tertekan, depresi, dan
stress dalam menghadapai berbagai macam masalah.
10.
Hendaknya orang tua mendoakan kebaikan untuk anaknya.
Orang tua tidak cukup melakukan
sebab-sebab agar anaknya menjadi anak yang shalih dengan memberikan hak-haknya
saja seperti materi, keteladan yang baik, tapi juga berdoa agar anak-anaknya
menjadi orang-orang yang shalih dan shalihah.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan orang-orang
shalih dahulu.
Allah ta’ala berfirman:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ.
“Ya Tuhanku,
anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang- orang yang saleh.” (QS. As-Shafat[37]:100).
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ
ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ وَأَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا
إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ.
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami
berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan (jadikanlah) di antara anak
cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau..” (QS. Al-Baqarah[2]:128).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ : دَعْوَةُ
الْمَظْلُومِ ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِه.
“Ada tiga doa yang
mustajab tanpa diragukan lagi: doa orang yang terzalimi doa orang yang sedang
safar doa orang tua kepada anaknya” (HR. Bukhari, Adabul Mufrad 481, Tirmidzi
1905, Ahmad 7510, dihasankan Syaikh
al-Albani dalam Ash-Shahihah 59).
Keutamaan memiliki
anak shalih.
1.
Anak shalih akan menjadi penyejuk hati.
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.
“Dan orang orang yang berkata: “Ya
Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa.” (Al Furqan[24] : 74).
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: يَعْنُونَ مَنْ يَعْمَلُ بِالطَّاعَةِ، فتقرُّ بِهِ
أَعْيُنُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ.
Berkata Ibnu Abbas, “ Yakni baraang siapa beramal
ketaatan sehingga mereka menjadi penyejuk mata di dunia dan akhirat.” (Tafsir
Ibnu Katsir QS. Al-Furqan[25]:74).
2. Anak shalih menjadikan pahala tetap mengalir bagi
orang tuanya.
Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ:
إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.
"Apabila manusia itu meninggal
dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga: yaitu sedekah jariyah, ilmu
yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan kepadanya." (HR.
Muslim 1631, Tirmidzi 1376).
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ
كَسْبِهِ.
“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan
seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih
payah orang tua.” (HR. Abu Daud 3528, Baihaqi 15743, Ibnu Majah 2290,
dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam shahih Ibnu Majah 2137).
Betapa besarnya pahala seseorang apabila
mampu mendidik anaknya menjadi anak shalih dan shalihah, kemudian anak-anak
tersebut beradakwah dan mengajarkan kebaikan, begitu pula anaknya memiliki
anak-anak lagi dan demikian seterusnya, sehingga pahala orang tua mengalir
sangat banyak, inilah aset yang tak bisa dibandingkan dengan harta.
3.
Anak shalih akan menemani di dunia dan kelak di akhirat.
Di dunia mereka setiap saat jika
dipanggil akan mendatangi, menemani, begitu pula di akhirat akan bersama-sama
dengan orang tuannya.
Allah ta’ala berfirman:
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ
آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ.
“(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk
ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan
anak cucunya.” (QS. Ar-Ra‘du[13]: 23).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Allah menghimpunkan mereka bersama
kekasih-kekasih mereka di dalam surga, yaitu bapak-bapak mereka, keluarga
mereka, dan anak-anak mereka yang layak untuk masuk surga dari kalangan kaum
mukmin, agar hati mereka senang. Sehingga dalam hal ini Allah mengangkat
derajat orang yang berkedudukan rendah ke tingkat kedudukan yang tinggi sebagai
anugerah dari-Nya dan kebajikan-Nya, tanpa mengurangi derajat ketinggian
seseorang dari kedudukannya. Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Allah
ta’ala dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ
ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ
مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شِيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ.
“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti
mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam
surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka.
Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur[52]: 21),
4. Anak shalih akan meninggikan derajat orang tuanya
di surga.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ
لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ: أَنَّى هَذَا؟ فَيُقَالُ:
بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ.
“Sungguh seorang akan ditinggikan
derajatnya di surga, maka dia bertanya, ‘Bagaimana aku bisa mencapai semua ini?
Maka dikatakan padanya: (Ini semua) disebabkan istigfar (permohonan ampun
kepada Allah yang selalu diucapkan oleh) anakmu untukmu.(HR. Ibnu Majah 3660,
dishahihkan Syaikh al-Albani 1598).
5.
Anak shalih akan memberikan manfaat
kepada manusia.
Mereka akan mewarnai kebaikan pada
manusia dan bahkan di dunia ini. Mereka akan menghentikan keburukan dan
kedzoliman yang ada dan menyebarkan kebaikan di tengah-tengah manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
خَيْرُ الناسِ
أَنفَعُهُم لِلنَّاسِ.
“Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. tabrani di dalam al-Mu’jam
al-Awasath 6/52, Dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam shahihul jami’ 3289,
Ash-Shahihah 427).
Demikianlah hak anak yang harus
dipenuhi orang tua dengan demikian semoga anak-anak kita menjadi anak yang
shalih. Aamiin.
-----000-----
Sragen 25-11-2024
Junaedi Abdullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar