Selasa, 11 Februari 2025

HUKUM SEPUTAR RAMADHAN 2025.



Mukadimah

إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا. مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.

أَمَّا بَعْدُ

Tidak diragukan lagi, puasa merupakan rukun islam yang ke lima, di mana dengan kelembutan Allah ta’ala, Allah selalu memperbaiki keadaan hamba-hambanya, baik jasmani maupun rahani, baik hubungannya kepada Allah ta’ala maupun dengan sesama manusia, inilah rahasia diantara hikmah pusa yang tidak banyak diketahui oleh manusia.

Semoga amal sedikit ini bermanfaat bagi penulis di kemudian hari yang tidak lagi berguna harta dan anak-anak kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat. Aamiin.

 

Sragen 11-02-2025

Junaedi Abdullah.

BAB 1

Bersiap menyambut datangnya bulan Ramadhan.

 

Bulan Ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu oleh semua orang-orang yang beriman, oleh karena itu selayaknya kita juga mencurahkan perhatian kita untuk dapat serta beribadah dengan maksimal di bulan itu.

Hal-hal yang perlu untuk kita lakukan yaitu:

1.  Bergembira

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan Kabar gembira mengenai datangnya Ramadhan sebagaimana dalam hadits berikut:

ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻛُﻢْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ، ﺷَﻬْﺮٌ ﻣُﺒَﺎﺭَﻙٌ، ﺍﻓْﺘَﺮَﺽَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ، ﺗُﻔْﺘَﺢُ ﻓِﻴﻪِ ﺃَﺑْﻮَﺍﺏُ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ، ﻭَﺗُﻐْﻠَﻖُ ﻓِﻴﻪِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ ، ﻭَﺗُﻐَﻞُّ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ، ﻓِﻴﻪِ ﻟَﻴْﻠَﺔٌ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﺷَﻬْﺮٍ، ﻣَﻦْ ﺣُﺮِﻡَ ﺧَﻴْﺮَﻫَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺣُﺮِﻡَ.

Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan atas kalian berpuasa padanya. Pintu-pintu surga dibuka padanya. Pintu-pintu Jahim (neraka) ditutup. Setan-setan dibelenggu. Di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik dibandingkan 1000 bulan. Siapa yang dihalangi dari kebaikannya, maka sungguh ia terhalangi.” (HR. Ahmad 8991, Dinilai shahih oleh Syaikh al-Arna’uth dalam Takhrijul Musnad 8991).

Dahulu para sahabat dan tabi’in berdoa.

اَللَّهُمَّ سَلِّمْنـِي إِلَى رَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِـي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِي مُتَقَبَّلاً.

“Ya Allah, antarkanlah aku hingga sampai Ramadan, dan antarkanlah Ramadan kepadaku, dan terimalah amal-amalku di bulan Ramadhan.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 264).

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajid berkata, tidak ada riwayat yang shahih yang sampai kepada nabi, akan tetapi banyak diriwayatkan dari orang-orang shalih terdahulu yang berdoa demikian.

Begitu pula doa di bawah ini yang telah masyhur di masyarakat, tetapi haditsnya lemah.

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَارِكْ لَنَا فِى رَمَضَانَ.

“Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta berkahilah kami di bulan Ramadan, (HR. Ahmad 2346, Syaikh Al-Arnauth menyatakan dha’if disebutkan di dalam Musnad Al-Maudu’ Al-Jami’i lilkitab Al-‘Asyara, Suhaib ‘abdul Jabar).

2.  Mengganti puasa yang belum digenapkan.

Baik hal itu dikarenakan sakit, safar atau lainnya.

Allah ta’ala berfirman:

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ.

“(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah[2]:184).

3.  Mempelajari hukum-hukum seputar ibadah Ramadhan.

Wajib seseorang mengetahui hukum terhadap apa yang di wajibkan Allah pada dirinya, baik masalah ibadah maupun muamalah.

 Allah ta’ala berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ.

“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu.”(QS. Muhammad[2]:19).

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ.

“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. Az-Zumar[39:9).

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah 224. Dishahih oleh Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 3913).

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan memberikan kefaqihan (pemahaman) agama baginya. “(HR. Bukhari 71, 3116, Muslim 1037).

Seperti bolehnya berhubungan di malam hari dengan pasangannya, sebagaimana, Allah ta’ala berfirman:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ.

“Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian; mereka itu adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian.” (QS. Al-Baqarah[2]:187).

Dari (umul mukminin) Aisyah dan Ummu Salamah radhiallahu ‘anhuma, mereka menceritakan:

يُدْرِكُهُ الفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ، وَيَصُومُ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki waktu subuh, sementara beliau sedang junub karena berhubungan dengan istrinya. Kemudian beliau mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari 1926 dan Turmudzi 779).

Begitu pula ketika berjima’ di siang hari atau lupa saat berpuasa, semua itu hendaknya mengetahui hukum-hukumnya.

4.  Memperhatikan orang-orang yang menjadi tanggungannya.

Memperhatikan siapa saja yang menjadi tanggungannya, apakah ada kendala atau tidak bagi mereka ketika berpuasa.

Banyak para pemilik usaha tidak menaruh perhatian dalam masalah ini, hendaknya memerintahkan mereka agar mereka (para pekerja) untuk tetap berpuasa dan memberi motivasi, seperti ucapan, “ Bekerjalah semampunya, yang penting tetap wajib berpuasa.”

Meluruskan kesalahan mereka ketika mereka tidak berpuasa dengan beralasan karena bekerja berat, ini tidak benar.

Demikian pula kepada anak istri, orang tua dan yang tinggal bersama dirumahnya, jangan sampai mereka meninggalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ.

“Cukuplah seseorang itu dikatakan berdosa karena ia telah menyia-nyiakan orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.” (HR. Ahmad 6828, Abu Dawud 1692 An-Nasa’i 1072 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam shahih Abu Dawud 1485).

5.  Membiasakan dengan amalan sunnah.

Dahulu para sahabat membiasakan shalat malam, Umar ibnul Khatab juga memerintahkan keluarganya untuk shalat di malam hari.

Allah ta’ala berfirman:

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا.

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha[20]:132).

6.  Bangun lebih awal.

Selain ini untuk mempersiapkan menyambut Ramadhan, ini juga merupakan kebiasaan yang baik untuk menguatkan hapalan dan  menyiapkan aktivitas yang akan dilakukan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا.

Ya Allah, berilah keberkahan bagi umatku di pagi harinya.“ (HR. Ahmad 1329, Ibnu Majah 2236, Abu Dawud 2606 dan dishahihkan syaikh al-Albani di dalam shahih Abu Dawud 4754)

7.  Membiasakan hal-hal yang positif.

Seorang muslim hendaknya membiasakan ucapan yang baik, terlebih di bulan Ramadhan.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت.

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR.Bukhari  6018  Muslim 47).

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ.

“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi 2317, Ibnu Majah 3976, dishahihkan Syaikh al-Albani dalam al-Misykah 4839).

8.  Menjaga kebugaran badan.

Hendaknya seorang muslim senantiasa menjaga kebugaran fisiknya, bukan hanya menjelang puasa, tetapi juga hari-hari yang lain sebagaimana Allah perintahkan hal itu:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ.

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan…” (QS. Al-Anfal[8]:60).

Hal ini salah satu bentuk mensyukuri nikmat badanya, menjadikan sehat dan kuat untuk beribadah, jangan sampai diabaikan sehingga di saat bulan Ramadhan yang lain berlomba meraih pahala sebanyak-banyaknya tiba justru dirinya berbaring di rumah sakit.

9.  Menyisihkan rezqi untuk kebutuhan bulan Ramadhan.

Banyak orang meninggalkan kewajiban puasa, dengan alasan kebutuhan, padahal Allah ta’ala telah memberikan 11 bulan untuk menyisihkan rezqinya, sehingga dirinya tidak pontang-panting mengejar kebutuhan lupa kewajiban dan keutamaan.

Oleh kerena itu kita dapatkan kisah-kisah dari sebagian orang shalih dahu,  mereka bekerja di luar Ramadhan untuk menyiapkan saat bulan Ramadhan tiba.

10.                   Meninggalkan safar yang tidak bermanfaat.

Seperti mengunjungi negri-negri orang kafir yang tidak memiliki keutamaan, hingga dirinya tertinggal dari keutamaan bulan Ramadhan.

Bahkan ulama melarang safar tersebut jika untuk menghindari kewajiban berpuasa tersebut.

 

 

-----000-----

 

 

 

 

BAB 2

Menandai masuknya bulan ramadhan.

 

Bulan Ramadhan merupakan bulan yang dipilih Allah ta’ala, memiliki banyak keutamaan yang besar, menjadikan kegembiraan bagi kaum muslimin, namun sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin dijaman kita ini, tibanya bulan Ramadhan justru menjadi ajang perpecahan dan perselisihan sehingga menjauhkan dari kegembiraan.

Padahal hukum masalah ini telah diamalkan semenjak dahulu hingga sekarang, telah jelas dan terang benderang sebagaimana terangnya siang hari.

Hal ini sebagaimana kita ketahui, diantaranya:

1.  Al-Qur’an dan Sunnah telah menetapkan permulaan puasa.

Inilah pedoman utama seorang muslim.

Allah ta’ala berfirman:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ..

“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah[2]:185).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ”Ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan Ramadan datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan puasa.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. [2]:185).

Di dalam tafsir ini kita mengetahui bagaimana mereka tidak meninggalkan ru’yatul hilal (melihat bulan).

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ.

“Berpuasalah kalian karena melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena melihatnya pula, apabila tidak nampak oleh kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081).

Hadits ini menjelaskan bahwa untuk mengetahui masuknya bulan Ramadhan dengan dua cara yaitu:

Pertama melihat hilal.

Kedua menggenapkan bulan sya’ban menjadi tiga puluh hari bila bulan terhalangi.

Dengan demikian puasa dapat dilakukan bersama-sama, sebagaimana disabdakan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam :

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.

“Puasa itu ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi 697 dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 224).

Dalil yang memperkuat hal ini adalah hadits Ibnu Umar. la berkata:

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ، فَرَأَيْتُهُ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَامَ، وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ.

"orang-orang mengamati hilal, ternyata aku melihatnya, Maka aku sampaikan hal itu kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, mendengar berita tersebut, beliau mulai berpuasa (keeseokan harinya) dan memerintahkan semua orang untuk mengikutinya berpuasa." ( HR. Ibnu Hibban 3447,  Abu Dawud 2342, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Al-Irwa’ 908).

Demikianlah Al Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan secara gamblang.

2.  Para ulama telah menjelaskan hal ini.

Seandainya kita buka kitab-kitab  para ulama, baik kitab fikih, tafsir, para ulama telah menjelaskan bagaimana seharusnya kita di dalam menetapkan masuknya bulan Ramadhan.

Seperti di dalam kitab Bulugul Maram, yang tulis oleh al-Hafidh Ibnu Hajar al-‘Asqalani beserta syarah-syarahnya diantaranya kitab Subulus Salam oleh Imam Ash-Shan’ani. Mulakhas Fikhiyah oleh Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Shahhih Fikih Sunnah oleh Abu Malik Kamal Ibnu As-Syayid Salim, bahkan beliau berkata, “Mengetahui bulan(masuknya Ramadhan) dengan ru’yah (melihat) bukan dengan hisab.”

Begitu pula kitab Al-Wajiz yang di tulis oleh Syaikh ‘Abdul Azhim bin Badawi Al Khalafi, beliau juga berkata, “Wajibnya puasa Ramadhan dengan melihat hilal.”

Mayoritas para ulama ahli fikih telah menjelaskan hal ini.

3.  Wajib mematuhi pemerintah dalam masalah ini.

Perintah Allah agar kita mentaati pemerintah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisaa [4]: 59)

 

Ibnu Katsir rahmahullah berkata:

فَهَذِهِ أَوَامِرٌ بِطَاعَةِ الْعُلَمَاءِ وَالْأُمَرَاءِ.

“Ayat ini memerintahkan agar mentaati ulama’ dan umara’ (pemimpin atau pemerintah). (Lihat tafsir Ibnu Katsir QS. Al Baqarah[2]: 59).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan ulil amri adalah orang-orang yang Allah wajibkan untuk ditaati, dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan yang lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 12/222).

Oleh karena itu ulama juga telah memasukkan di dalam kitab-kitab aqidah mereka, agar kita mengikuti pemerintah kita dalam hal ini.

Seperti di dalam kitab, Aqidatu As-Salaf Ash-Habul Hadits, oleh Imam Ash-Shabuni, beliau berkata, “Shalat jum’at, dua shalat id, dan yang lainnya dari shalat shalat yang ada, hendaknya dilakukan di belakang setiap imam (pemimpin) kaum muslim yang baik maupun yang buruk.” (Aqidatu As-Salaf Ash-Habul Hadits)

Syaikh DR. Nashir ibnu ‘Abdul Karim Al-Aql di dalam kiabnya, Mujmal Usul Ahli Sunnah Wal Jama’ah fil Aqidah. Beliau rahimahullah berkata:

الصلاة والحج والجهاد واجبة مع أئمة المسلمين وإن جاروا.

“Shalat (jama’ah, Jum’at, Id), haji, dan Jihad wajib bersama dengan pemimpin kaum muslimin meskipun mereka sewenang-wenang (dzalim).”( Mujmal Usul Ahli Sunnah Wal Jama’ah fil Aqidah).

 Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahmahullah  berkata:

وَقَالَ الْحَسَنُ فِي الْأُمَرَاءِ هُمْ يَلُونَ مِنْ أُمُورِنَا خَمْسًا: الجُمُعَةَ وَالْجَمَاعَةَ وَالْعِيدَ وَالنُّغُورَ وَالْحُدُودَ، وَاللَّهِ مَا يَسْتَقِيمُ الدِّينُ إِلَّا كِيمْ، وَإِنْ جَارُوا وَظَلَمُوا.

"(Imam) Al-Hasan Al-Bashri berkata tentang umara' (para pemimpin kaum muslimin): Mereka mengurusi lima urusan kita: shalat jum'at, shalat jama'ah, shalat 'ied, menjaga perbatasan, dan melaksanakan hudud. Demi Allah, agama tidak akan tegak kecuali dengan mereka, walaupun mereka menyimpang dan zhalim." (Jami'ul Ulum wal Hikam, 2/117).

Organisasi itu banyak adapun pemerintah itu satu, apabila setiap organisasi menentukan hari raya sendiri-sendiri tentu akan semakin banyak perselisihan, sebaliknya bila semua organisasi mengikuti pemerintah yang satu tentu akan bersatu, karena islam memiliki prinsip Jalbu al-mashalih wa daf’u al-mafasid (mengambil manfaaat dan menolak mafsadat) terlebih semua ini sesuai dengan Sunnah yang dapat memadamkan perselisihan, hal ini sesuai dengan firman Allah ta’ala:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang  yang bersaudara.” (QS. Al-Imran [3]: 103).

Orang yang memerintahkan rukyah berdalil dengan firmanAllah ta’ala:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَآءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَاخَلَقَ اللهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ.

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” QS.Yunus[10]: 5).

Orang-orang yang mengedepankan hisab mereka lupa jika Allah itu maha mengetahui apa yang akan terjadi meskipun belum terjadi, hendaknya mereka ingat bahwa ayat yang dipakai untuk hisab itu telah ada semenjak dahulu, namun Allah dan Rasul-Nya tetap memerintahkan dengan rukyah, oleh karena itu sangat disayangkan orang-orang yang mengedepankan hisab seakan-akan hal itu adalah nas (dalil) yang wajib diikuti, mereka meninggalkan syariat yang telah diamalkan dari semenjak Rasulullahdan para sahabatnya sampai sekarang oleh para ulama.

Orang-orang yeng menentukan awal Ramadhan dengan hisab mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan itu banyak membingungkan umat, menjadikan bercerai-berai, mengantikan kebahagiaan menjadi kesedihan, menghilangkan persatuan dan kesatuan dan menumbuhkan bermusuhan di anatara umat, bahkan kita dapatkan sesama ahli hisabpun mereka berselisih.

Islam tidak mengingkari kemajuan jaman, namun hal itu sebagai alat bantu semata bukan kemudian dikedepankan, sebagaimana jadwal-jadwal shalat yang beredar.

4.  Ancaman keras bagi orang yang meninggalkan Sunnah.

Allah ta’ala berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.

“Hendaknya takutlah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya bahwa mereka akan ditimpa fitnah atau azab yang pedih.” (QS. An-Nur [24]: 63).

Dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata:

يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيكْم ْحِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ, أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ؟

“Hampir saja kalian akan dihujani batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantah dengan mengatakan: Tapi Abu Bakar dan Umar berkata demikian.” (HR. Ahmad 1/337 dan Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/145 Ibnu Abdil Bar di dalam, Jami’u Bayanil ‘ilmi wa fadzlihi 2/239).

Bagi saudara-saudaraku yang masih taklid dan mendahulukan terhadap pemimpin, yayasan, organisasi, dan meninggalkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulul-Nya hendak menyadari yang dilakukan itu dapat menjadikan dosa jariah, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ.

“Dan barang siapa melakukan sunnah yang buruk dalam islam maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”.  (HR. Muslim 1016).

Wajib bagi kita mensikapi permasalahan ini  dengan ilmu bukan hawa nafsu.

5.  Jika berselisih hendaknya dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Sebagai orang muslim jika kita berselisih sudah seharusnya kita kembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ  فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ  ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.  

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِي.

“Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara, kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Al-Hakim di dalam mustadraknya 319, Disahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Sahihul Jami’ 2937).

Di dalam berpegang dengan Al Qur’an dan Sunnah sebagai bentuk realisasi dari keimanan mereka yang dapat menyelamatkan dari berbagai kesesatan.

6.  Hendaknya ikhlas di dalam menjalankan agama.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ.

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah[98]:5).

7.  Menjahui taklid (fanatik) buta.

Berorganisasi pada asalnya adalah mubah (boleh) akan tetapi apa bila fanatik dan menolak kebenaran karena berbeda dengan organisasinya inilah yang terlarang karena dapat menjadikan seseorang fanatic buta dan tersesat.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur [24]: 51).

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.

Katakanlah, "Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian," Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Imran [3]: 31).

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى.

“Setiap umatku akan masuk ke dalam surga kecuali yang enggan. Mereka para sahabat bertanya, “Siapa yang enggan?” Beliau berkata, “Barangsiapa mentaatiku dia masuk ke dalam surga, dan barangsiapa bermaksiat padaku maka dia telah enggan.” (HR. Bukhari 7280, Ahmad 8714).

Seorang muslim tidak boleh meninggalkan Sunnah nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam dan lebih memilih mengikuti madzhabnya, organisasinya, partainya ataupun yayasanya.

Ulama juga mewasiatkan hal itu, mereka memerintahkan agar kita mengikuti Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam.

Imam Syafi’i Rahimahullah berkata:

أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ.

“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.”(I'lamul muwaqi'in 2:282).

مَنْ رَدَّ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ.

“Barang siapa menolak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam maka dia berada di tepi kebinasaan.” (lihat Sifat shalat Nabi, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani).

Semoga saudara-saudaraku bisa memahami hal ini dan kembali ruju’ serta turut serta andil dalam menyatukan umat ini. Aamiin.

 

-----000-----

 

 

BAB 3

Kewajiban puasa.

Puasa diwajibkan oleh Allah ta’ala, RasulNya dan ijma’ kaum muslimin.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah[2]:183).

Perhatikanlah ayat ini secara seksama, dimana di dalamnya terdapat sebuah rahasia yang tersembunyi yaitu Allah menyeru hanya kepada orang-orang yang beriman, sehingga nyatalah orang-orang yang mengaku islam di KTP, iman di lisan saja, mereka tidak dapat menyembunyikan hati mereka, sehingga terkuaklah benar tidaknya iman seseorang dengan syariat puasa ini.

Dari Abu ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.

Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah; menunaikan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji ke Baitullah; dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari 8, Muslim 5).

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari 38, Muslim 760).

Imam Ad-Dzahabi berkata, “Para ulama sepakat menghukumi pelaku orang yang tidak puasa lebih buruk dari pezina dan peminum khamer, karena mereka menyerupai orang-orang zindiq atau munafiq.” (Imam Adzahabi di dalam al-Kabaair).

 

-----000-----

BAB 4

Keutamaan orang yang berpuasa.

 

Puasa memiliki keutamaan yang besar, diantaranya:

1.  Salah satu satu pendidikan besar untuk meraih ketakwaan.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah[2]:183).

2.  Dilipat gandakan pahala orang yang berpuasa.

Rasulullah sallallahu ‘alai wa sallam bersabda:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي, لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ.

“Setiap amal anak adam akan dilipatkan baginya sepuluh kebaikan sampai tuju ratus kali lipat “Telah berkata Allah ‘Aza wajalla,  kecuali puasa, karena itu untukku, dan aku yang akan membalasnya,Dia meninggalkan syahwat, makannya karena Aku, orang berpuasa memiliki dua kesenangan, senang di saat berbuka dan senang di saat berjumpa Rabnya. ”  (HR. Muslim 1151, Ibnu Majah 3823, Ibnu Khuzdaimah 1897).

Syaikh Sahalih Al-Fauzan berkata, “Ketaatan yang dilakukan pada waktu atau tempat yang memiliki keutamaan menyebabkan amalan tersebut berlipat-lipat.” (Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan dari kitab Al Muntaqa Min Fatawa Asy Syaikh al Fauzan).

3.  Disediakan pintu surga.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ فِي الجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ: أَيْنَ الصَّائِمُونَ؟ فَيَقُومُونَ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ.

“Sesungguhnya di surga itu ada pintu yang disebut ar-Rayyan, orang-orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu tersebut pada hari kiamat. Selain orang yang berpuasa tidak akan memasukinya. Nanti orang yang berpuasa akan diseru, “Mana orang yang berpuasa?” kemudian mereka pun berdiri, selain mereka tidak akan memasukinya. Jika orang yang berpuasa tersebut telah memasukinya, maka akan tertutup dan setelah itu tidak ada lagi yang memasukinya.“ (HR. Bukhari 1896, Muslim 1152).

4.  Diampuni dosa-dosanya.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan dengan didasari iman dan mengharapkan pahala dari Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari 38, Muslim 760).

5.  Dijauhkan wajahnya dari api neraka.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا.

"Barang siapa yang berpuasa sehari dengan niat fisabilillah -yakni semata-mata menuju kepada ketaatan kepada Allah-, melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya -yakni dirinya- karena puasanya tadi, sejauh perjalanan tujuh puluh tahun dari neraka." (HR. Bukhari 2840, Muslim 1153).

Dan masih banyak keutamaan yang lain.

 

-----000-----

 

BAB 5

Hikmah disyari’atkannya puasa.

 

Puasa memiliki hikmah yang sangat besar, apa bila seseorang melakukan sesuai dengan syari’at dan adab-adabnya akan menjadikan seseorang bertaqwa sebagaimana tujuan puasa itu sendiri.

Diantara hikmahnya:

1.  Memisahkan antara keimanan dan kemunafikan.

Menanamkan kesungguhan di dalam sebuah keyakinan, sehingga orang yang ragu terhadap islam baik itu kalangan munafiq ataupun pelaku dosa besar akan tersisihkan dalam masalah puasa, oleh karena itu ayat puasa menyeru hanya bagi orang yang beriman, sebagaimana telah kita singgung di atas.

2.  Mendidik rasa kemanusiaan.

Yang namanya kabar selamanya tidak sama dengan kenyataannya, orang mengatakan “Di sana orang miskin sangat kekurangan dan menahan lapar karena tidak ada yang dimakan, mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala saja”,  namun setelah orang-orang kaya merasakan lapar dan dahaga, tahulah mereka “Begini rasanya orang kekurangan dan kelaparan.” Sehingga dengan itu mereka saling mengasihani dan menyayangi satu sama lain, inilah diantara yang dikehendaki syari’at.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ارْحَمُوا أَهْلَ الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِى السَّمَاءِ.

“Sayangilah penduduk bumi niscaya Yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud 4941, dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani di dalam shahihu al-Jami’ 3522).

3.  Mendidik kesabaran.

Mendidik sifat sabar di dalam menahan emosi dan mengendalikan hawa nafsu.

Allah ta’ala berfirman:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ. الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ.

“Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu amat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah[2]:45-46).

Pengertian sabar menurut suatu pendapat yang dimaksud adalah puasa, sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid. Al-Qurtubi dan lain-lainnya mengatakan, “Karena itulah maka bulan Ramadan dinamakan "bulan sabar."  (tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Baqarah[2]:45-46).

Rasulullah sallallhu a’lai wa sallam bersabda:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْإِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ.

“Puasa adalah tameng janganlah berkata kotor dan jangan berbuat bodoh, jika seseorang mengajak berkelahi atau mencelamu maka katakanlah aku sedang puasa dua kali.” (HR. Bukhari 1894).

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ.

“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, sungguh orang yang kuat adalah yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (Bukhari 6114, Muslim 2609).

4.  Melatih kejujuran.

Puasa melatih kjujuran, Rasulullah sallallahu ‘alaihhi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari 1903). 

5.  Meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak bermanfaat.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ.

“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu (tidak bermanfaat) dan rofats.(perkataan yang tidak senonoh).” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh al Albani berkata shahih di dalam Shahih at-Targib wa at-Tarhib  1082).

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ.

“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah, Nasa’i 3236, di shahihkan Syaikh al Albani dalam Shahih at-Targib wa-at Tarhib 1083).

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت.

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata baik atau diam.”(HR. Bukhari  6018, Muslim 47).

6.  Memanamkan sifat dermawan.

Puasa akan menumbuhkan kedermawanan, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam sangat dermawan, Beliau semakin dermawan bila di bulan Ramadhan.

Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhuma berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدَ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan, dan beliau bertambah kedermawanannya di bulan Ramadlan ketika bertemu dengan malaikat Jibril, dan Jibril menemui beliau di setiap malam bulan Ramadlan untuk mudarosah (mempelajari) Al Qur’an” (HR. Ahmad 2616, Al Bukhari 3220).

7.  Mendidik ketenangan dalam jiwa.

Orang yang berpuasa jiwanya akan lebih tenang, setiap langkah dan ucapanya selalu ditimbang dengan ilmu, hal ini dikarenakan tidak ingin puasanya rusak, sehingga tidak gegabah dan tidak terburu-buru , dimana hal ini memang sifat asal manusia.

خُلِقَ الْإِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ.

“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa..”(QS. Al-Anbiya’[21]: 37).

وَكَانَ الْإِنْسَانُ عَجُولًا.

“Dan manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al-Isra’[17]: 11).


Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

التَّأَنِّي مِن الله والعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطانِ .

“Sikap Hati-hati itu dari Allah, sedangkan sikap tergesa-gesa itu dari syaithan.” (HR. Thabrani 2358, Baihaqi 4058, di Shahihkan syaikh al-Albani di dalam Shahihu Al-Jami’ 3011).

8.  Menyehatkan badan.

Lambung dan usus manusia akan bekerja terus menerus, dengan adanya puasa akan mengistirahatkannya dan juga membersihkan (detoksifikasi) bagi tubuh dari perbagai kolestrol jahat, hal ini diakui oleh para kalangan ahli kedokteran.

Allah ta’ala berfirman:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ.

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan tafsir ayat ini:

قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ: جَمَعَ اللَّهُ الطِّبَّ كُلَّهُ فِي نِصْفِ آيَةٍ: وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا.

“Sebagian salaf berkata bahwa Allah telah mengumpulkan semua ilmu kedokteran pada setengah ayat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-A’raf [7]:31).

Dari Al-Miqdam bin Ma'dikarib raḍiyallahu 'anhu secara marfu' dia berkata, aku mendengan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ. بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ.

"Tidaklah manusia memenuhi wadah yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika memang harus melebihi itu, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya." (HR Tirmidzi 2380 Ibnu Majah 3349, dishahihkan Syaikh al Abani di dalam Ash Shahihah 2265).

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan bahaya kekenyangan karena penuhnya perut dengan makanan, beliau berkata:

مَا شَبِعْتُ مُنْذُ سِتَّ عَشْرَةَ سَنَةً إِلَّا شَبْعَةٌ أَطْرَحُهَا. قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ: يَعْنِي فَطَرَحْتُهَا لِأَنَّ الشِّبَعَ يُثْقِلُ الْبَدَنَ وَيُقَسِّي الْقَلْبَ وَيُزِيلُ الْفِطْنَةَ وَيَجْلِبُ النَّوْمَ، وَيُضْعِفُ صَاحِبَهُ عَنِ الْعِبَادَةَ.

“ Aku tidak pernah kekenyangan semenjak 16 tahun kecuali sekali, aku segera mengosongkannya, Beliau juga berkata: Kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, mengurangi kecerdasan, mudah mengantuk dan lemah untuk beribadah.” (Hilyah Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, Oleh Abu Nu’aim bin ‘Abdillah).

9.  Membersihkan dosa-dosa.

Allah ta’ala berfirman:

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا.

“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa[4]:31).

Para ulama menyebutkan bahwa diampuninya dosa-dosa yang kecil setelah diiringi dengan bertaubat dari dosa-dosa yang besar, demikian pula puasa-puasa yang menyebutkan keutamaan dihapusnya dosa setahun maupun dua tahun, tetap diiringi dengan bertaubat dari dosa besar tersebut, diantaranya apa yang disebutkan oleh syaikhul islam Ibnu Taimiyah. (Fatawa Misriyah, 1/254).

Oleh karena itu Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِر.

“Antara shalat lima waktu, antara shalat jumat satu ke shalat jumat berikutnya, dan antara puasa ramadhan ke puasa ramadhan berikutnya adalah penghapus untuk dosa di antara keduanya, apabila dia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim 857).

10.                   Mensucikan jiwa dan raganya.

Inilah yang menjadi tujuan syari’at puasa, agar menjadi orang yang suci lahir dan batin, karena orang yang benar-benar menjaga puasanya akan menjadi orang yang bertakwa, suci lahir dan batinnya.

Allah ta’ala berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy Syams[91]: 9-10).

Semua ini merupakan bekal kelah di akhirat nanti.

 

-----000-----

 

 

BAB 7

Rahasia perintah puasa.

Puasa memiliki kandungan rahasia yang sangat mendalam, hal ini hanya akan diketahui bagi orang-orang yang merenunginya, diantara rahasia yang terkandung di dalamnya yaitu:

1.  Pembentukan akhlaq yang baik pada seseorang.

Membiasakan hal-hal yang baik ketika berpuasa lama-lama akan menjadikan takbiat ataupun budi pekerti yang baik bagi seseorang, hal ini akan mendatangkan kecintaan bagi Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ.

“Sungguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl[16]:128).

2.  Upaya menyempurnakan iman.

Salah satu barometer kesempurnaan iman seseorang dapat dilihat dari akhlaknya.

Rasulullah sallallahu ‘alaaihi wa sallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا.

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya, dan yang paling baik di antara kamu sekalian adalah yang paling baik akhlaqnya terhadap isteri-isterinya.” (HR. Ahmad 7402, Tirmidzi 1162, Abu Dawud 4682 dihasan oleh syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 284).

3.  Memperberat timbangan kelak pada hari kiamat.

Keberhasikan seseorang dalam mendidik dirinya memiliki akhlak yang baik pada saat puasa akan menjadikan pemberat timbangan nanti pada hari kiamat.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ. 

"Tidak ada sesuatupun yang lebih berat dalam timbangan (amalan) seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlaq yang mulia." (HR. Tirmidzi 2002, di hasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Ash-Shahihah 876).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke surga, maka beliau bersabda:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ  تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ. وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ  الْفَمُ وَالْفَرْجُ.

“Taqwa kepada Allah dan bagusnya akhlak.” Dan beliau ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka, maka beliau bersabda: “mulut dan farji (kemaluan).” (HR Tirmidzi 2004, Abu Dawud 2596, Ibnu Majah 4246. Dihasankan syaikh al-Albani, Lihat As-Shahihah 977).

4.  Memperbaiki hubungan dengan sesama makhluk.

Allah ta’ala berfirman:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا.

“Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia,” (QS. Al-Baqarah[2]: 83).

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.

“Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan iringilah sesuatu perbuatan dosa (kesalahan)  dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Al-Misykah 5083).

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa akhlaq yang baik terhadap mahluk berputar pada tiga perkara, yaitu:

كَفُّ اْلأَذَى ، وَبَذْلُ النَّدَى، وَطَلاَقَةُ الْوَجْهِ.

Menahan dari gangguan (Kafful Adzzaa), Suka membantu, berbuat baik (Badzlun Nada), Wajah yang berseri-seri (Thalaqatul Wajh). Syarah Riyadhush Shalihin Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, II/387).

5.  Memperbaiki hubungan antara hamba dengan khalik (Allah).

bila seseorang mendapatkan predikat taqwa akan menjadikan All cinta kepadanya.

Allah ta’ala berfirman:

بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ.

“Bahkan barang siapa memenuhi janjinya dan bertakwa sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertakwa.” (QS. – Al- Imran[3]:76).

 

-----000-----

 

BAB 8

Orang-orang yang wajib puasa.

 

Orang-orang yang wajib berpuasa yaitu:

1) Muslim.

2) Baligh.

3) Berakal.

4) Sehat.

5) Mukim.

6) Bagi wanita hendaknya bersih dari haid dan nifas.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ.

“Cacatan amal diangkat  dari tiga golongan: dari orang gila sampai ia sadar, dari orang tidur hingga ia bangun, dan dari anak kecil hingga ia baligh.” (HR. Abu Dawud 4401, Ibnu Hibban 143, dan di shahihkan syaikh al-Albani di dalam al-Irwaa’ 5/2).

Adapun orang kafir amalan mereka tidak diterima.

Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا.

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila di datanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.” (QS. An-Nur [24]: 39)

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا.

“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al Furqan [25]: 23).

Meskipun anak kecil belum diwajibkan puasa namun apa bila ikut berpuasa mendapatkan pahala begitupula orang tuanya juga mendapatkan pahala.

Dari Ibnu Abbas radhiallahuma, dia berkata:

رَفَعَتْ امْرَأَةٌ صَبِيًّا لَهَا فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ , أَلِهَذَا حَجٌّ ؟ قَالَ :  نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ.

"Seorang wanita mengangkat seorang bocah, lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah anak ini dapat berhaji?' Beliau berkata, "Ya, dan bagimu pahala." ( HR. Muslim 1336).

Kewajiban berniat di malam hari

Puasa yang diwajibkan hendaknya berniat di malam hari.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ .

“Barangsiapa yang belum berniat puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Tirmidzi 730, Abu Dawud 2454 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahih Abu Dawud 2118).

Tempat niat di dalam hati.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

  إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.

“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya.” (HR Bukhari 1, 6689, Muslim 1907).

Imam An-Nawawi rahmahullah mengatakan:

وَمَحَلُّ النِّيَّةِ الْقَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ نُطْقُ اللِّسَانِ بِلَا خِلَافٍ.

“Tempat niat di dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dengan lisan tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab 6/289).

Beliau juga mengatakan:

لَا يَصِحُّ الصَّوْمُ إِلَّا بِالنِّيَّةِ، وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ. وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلَا خِلَافٍ.

“Tidak sah puasa kecuali dengan niat, dan tempatnya adalah hati. Dan tidak disyaratkan harus diucapkan, tanpa ada perselisihan ulama…” (Raudhatu at-Thalibin wa ‘Amdatul muftiin, 2/350).

Hal ini bisa kita tanyakan dalam hati kita, apabila seseorang lupa kemudian makan dan minum hal itu tidak membatalkan puasanya, sebaliknya meskipun lisannya mengatakan lupa namun hatinya menyengaja tetap juga membatalkan puasa, demikianlah tempat niat itu di dalam hati bukan dilisan.

Hukum puasa bagi orang sakit

Allah ta’ala berfirman:

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا.

“Beberapa hari yang telah ditentukan, barang siapa diantara kalian yang sakit...” (QS. Al-Baqarah[2]:184).

Beberapa keadaaan orang yang yang sakit:

1) Orang yang sakit ringan.

Seperti batuk, pilek, sakit gigi, sakit kepala ringan, hendaknya tetap berpuasa.

2) Sakit yang akan bertambah parah jika berpuasa.

Bila seseorang sakit dan semakin parah atau akan lambat kesembuhannya jika berpuasa, atau penyakit tersebut membuat penderitanya berat berpuasa. Hanya saja, tidak sampai pada tingkat membahayakan. Dalam kondisi seperti ini boleh berbuka, namun jika berpuasa, puasanya tetap sah.

3) Sakit yang membahayakan.

Jika seseeorang berpuasa hal itu sangat membahayakan keselamatannya, hingga dapat mengantarkan kepada kematian. Apa lagi dikuatkan dari larangan dokter, dalam kondisi seperti ini, tidak boleh berpuasa bahkan bisa haram.

berdasarkan firman Allah ta'ala :

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا.

"Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri sesungguhnya Allah maha penyayang terhadap kalian." (QS. An-Nisa[4]: 29).

Hal ini karena bisa membahayakan nyawa seseorang. (Lihat Fikih li Nisa’ Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Syayid Salim).

“Orang yang seperti ini hendaknya membayar fidyah. Seandainya ada kesembuhan maka tidak ada kewajiban lagi mengganti. Hal ini yang difatwakan oleh para ulama.” (Syaikh Muhammad al-’Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ 6/333-334, 347-349), al-Wadi’i, al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil 4/22), dan Al-Lajnah ad-Da’imah dalam Fatawa al-Lajnah 10/160-161).

Orang yang bepergian

Apa bila seseorang berpuasa sedang dalam perjalanan, hendaknya memperhatikan puasanya.

Allah ta’ala berfirman:

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر.

(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah[2]:184).

Namun jika ia tetap berpuasa selama dalam perjalanan, maka puasanya sah. Inilah pendapat mayoritas ulama dari generasi shahabat, tabi'in, empat imam madzhab dan selain mereka.

Manakah yang lebih utama dalam perjalanan, berpuasa atau berbuka?

Orang yang safar (bepergian) ada beberapa keadaan:

1) Jika safarnya berat badanya lemah, tertinggal dari berbagai macam kebaikan hendaknya lebih baik berbuka.

2) Jika safarnya ringan tidak memberatkan lebih baik tetap berpuasa.

Dari Abu Sa’id Al Khudri radiyallahu ‘anhu dia berkata:

كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ، فَمِنَّا الصَّائِمُ وَمِنَّا الْمُفْطِرُ، فَلَا يَجِدُ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ، وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ، يَرَوْنَ أَنَّ مَنْ وَجَدَ قُوَّةً فَصَامَ، فَإِنَّ ذَلِكَ حَسَنٌ وَيَرَوْنَ أَنَّ مَنْ وَجَدَ ضَعْفًا، فَأَفْطَرَ فَإِنَّ ذَلِكَ حَسَنٌ.

“Kami pernah bepergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada bulan Ramadhan, ada diantara kami yang puasa dan ada pula yang berbuka, yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak tidak mencela yang berpuasa.” (HR Muslim 1116, Shahih Ibnu Hibban 3558).

3) Jika safarnya berat dan membahayakan jiwanya, hendaknya diutamakan berbuka.

Sebagaimana tercantum dalam hadits Jabir yang menyatakan bahwa ketika sedang menempuh perjalanan untuk menaklukkan kota Makkah, Rasulullah terus berjalan hingga sampai daerah Kara' al-Ghumaim. Begitu pula rombongannya. Kemudian beliau meminta dibawakan sewadah air minum, lalu mengangkatnya hingga terlihat oleh semua orang dan mulai meminumnya Setelah itu, ada yang melaporkan kepada beliau bahwa beberapa orang tetap berpuasa. Beliau berkata, "Mereka adalah orang yang durhaka (menyalahiku). Mereka adalah orang yang durhaka." (HR. Bukhari 1948, Muslim 1114).

Dalam riwayat yang lain Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَرِ.

“Bukanlah sebuah kebaikan berpuasa ketika bersafar.” (HR. Muslim 1115, Abu Dawud 2407).

 

Keringanan bagi orang tua, orang hamil dan menyusui.

 

Orang tua laki-laki maupun perempuan yang tidak kuat berpuasa dibolehkan meninggalkan puasa selama bulan Ramadhan dan tidak perlu mengqadhanya. Namun, ia harus memberi makan satu orang miskin setiap hari (puasa) yang ditinggalkannya. Allah ta’ala berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ.

“Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah[2]:184).

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma berkaitan dengan ayat di atas:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍقَالَ كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا. وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَة طَعَامُ مِسْكِيْن

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (Al-Baqarah[2]: 184).

Beliau berkata, “Ayat ini memberikan keringanan kepada orang tua renta, baik laki maupun  perempuan, apabila merasa berat berpuasa dia boleh berbuka dan memberi makan satu orang miskin untuk sehari yang ditinggalkan. Wanita mengandung dan menyusui kalau keduanya khawatir juga boleh berbuka dan (sebagai gantinya) memberi makan (orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan).” (HR. Abu Dawud 2318, Al-Muntaqa Ibnul Jarud 381, Baihaqi 1351, lihat Irwa’ syaikh al-Albani, 4/18).

 

Begitu pula bagi orang yang hamil dan menyusui.

 

Adapun orang yang hamil dan menyusui tidak wajib berpuasa dan cukub membayar fidyah, sebagaimana diterangkan dalil di atas.

Kesimpulannya, sebab-sebab yang membolehkan tidak puasa ada empat, safar, sakit, haid dan nifas, kuatir celaka, seperti orang hamil dan menyusui. (Fikih Muyassar).

 

-----000-----

 

 

BAB 9

Pembatal puasa.

 

1.  Makan.

2.  Minum.

Kecuali keduanya dilakukan dalam keadaan lupa.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ.

“Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan puasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum.” (HR. Bukhari 1933, Muslim 1155).

 

1) Muntah dengan sengaja, seandainya hal itu tidak sengaja tidak membatalkannya.

مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ.

“Barangsiapa tidak sengaja muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qadha’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qadha’.” (HR. Abu Daud 2380 Ibnu Majah1676; Tirmidzi 720. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

2) Haid.

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ.

“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Bukhari 304 dan Muslim79).

3) Nifas.

4) Merokok

5) Menghirup kokain, narkoba maupun heroin.

6) Infuse pengganti makanan

7) Keluar mani dengan sengaja.

8) Jima’, dengan membayar kafarah.

9) Masuknya sesuatu yang menetap di lambung dengan sengaja.

10)      Hilang ingatan, baik pingsan, disebabkan bius (seharian), atau tiba-tiba gila.

11)      Cuci darah.

12)      Murtad.

13)      Sebagian ulama menyebutkan, niat berbuka. (Fikih Muyassar).

Hal-hal yang dibolehkan orang berpuasa

1.   Hubungan badan dimalam hari.

2.  Junub di pagi hari.

3.  Bercumbu dengan pasangannya selain bersenggama.

4.  Mandi atau sekedar menyiram kepala agar dingin.

5.  Berkumur.

6.  Tetes mata, suntik, gosok gigi.

7.  Donor darah atau hijamah, selagi tidak menjadikan lemah.

8.  Mencicipi masakan.

9.  Makan dan minum tanpa sengaja.

10.  Muntah tidak sengaja.

Demikianlah uraian ringkas ini, bagi yang menghendaki lebih luas bisa membuka kitab-kitab fikih, semoga Allah memudahkan kita semua Aamiin.

                          

-----000-----

 

Sragen 28-02-2024

Junaedi Abdullah.

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUKUM SEPUTAR RAMADHAN 2025.

Mukadimah إنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَات...