Rabu, 29 Mei 2024

SYARAH AQIDAH WASYITHIYAH AYAT 22-23.

 

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ.

“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir...” (QS. Al-Maidah[5]:54).

Allah ta’ala berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ}

“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya.” ( QS. Al-Maidah: 54).

Yakni meninggalkan perkara yang hak dan kembali kepada kebatilan.

Muhammad ibnu Ka'b mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan para pemimpin orang-orang Quraisy.

Menurut Al-Hasan Al-Basri, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang murtad yang baru kelihatan kemurtadannya di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Al-Maidah[5]:54).

Sekelumit kisah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Wafatnya Rasulullah merupakan musibah terbesar bagi kaum muslimin karena wahyu telah terputus, dan tidak ada musibah yang lebih besar bagi kaum muslimin selain musibah dengan kematian Rasulullah, sehingga kaum muslimin berguncang, bahkan  sebagiannya tidak bisa menerima kenyataan ini.

Bahkan sampai-sampai sahabat Umar berkata “ Barang siapa mengatakan Rasulullah meninggal akan saya bunuh.” Demikian saking dahsyatnya guncangan yang dirasakan kamum muslimin.

Hingga akhirnya Abu Bakar datang dan menyadarkan mereka, Abu Bakar radhiyallahu anhu  mulai membuka penutup wajah Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan mencium kening beliau seraya berkata: "Ayah dan ibuku sebagai tebusan, engkau adalah orang suci baik ketika masih hidup maupun setelah wafat." menutup wajah Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri dan naik ke atas mimbar, lalu menyadarkan orang-orang: "Siapa saja di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah bahwasanya Muhammad telah meninggal. Dan, siapa saja di antara kalian yang menyembah Allah, maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha hidup dan tidak akan pernah mati."

Lalu dia membacakan firman Allah Azza wa Jalla:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ .

"Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul, sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa berbalik ke belakang, maka ia tidak akan merugikan Allah sedikit pun. Allah akan memberi balasan kepada orang yang bersyukur." (QS Ali Imran[3]: 144).

Kemudian Abu bakar dibai’at untuk dipilih menjadi khalifah kaum muslimin,  terdengar kabar orang dipinggir jazirah Arab banyak yang murtad.

Maka Abu bakar mulai memerintah dan meneruskan apa yang pernah di perintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu pasukan yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid untuk menyerang Ramawi.

Dari sini orang-orang yang murtad mulai berfikir bahwa kekuatan kaum muslimin masih utuh sehingga mampu untuk mengirim pasukan keluar.

Begitu pula beliau memerangi orang-orang yang tidak lagi mau membayar zakat, sehingga sahabat Umar  mendatangi beliau seraya berkata, “ apakah engkau akan memerangi orang-orang yang mengucapkan la ila ha illallahu..” maka Abu Bakar berkata, “Demi Allah, aku akan memerangi orang-orang yang menahan apa yang dulu diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meskipun seutas tali.

 Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ.

“Aku diperintahkan (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) untuk memerangi manusia, sampai mereka bersyahadat Laa Ilaaha Illallah Muhammadarrasulullah, dan mendirikan shalat, dan membayar zakat. Apabila mereka melakukan perbuatan itu semua, maka terpeliharalah dariku harta dan darah mereka kecuali dengan haknya. Dan hisabnya diserahkan kepada Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari 25, Muslim 21).

Adapun riwayat sahabat yang murtad  Ubaidullah bin jahsy yang hijrah ke Habasyah tidak benar.

Riwayat mengenai murtadnya Ubaidullah bin Jahsy, beliau orang yang turut berhijrah, namun akhirnya murtad dan masuk agama Nasrani ini tidak benar. (Hal ini dinarasikan oleh Ibnu Sa’ad dalam at-Tabaqat al-Kubra 1/208).

DR. Akram dhiyaul Umariy dalam kitabnya Sirah Nabawiyyah ash-Shahihah (1/176) berkata :

Yang masyhur di kalangan pakar sejarah bahwa Ubaidillah bin Jahsy masuk Nasrani sebelum wafatnya (Ibnu Ishaq Kitab as-Siyar wal Maghaaziy (hal. 259) dan al-Waaqidiy, sebagaimana dalam thabaqah Ibnu Sa’ad (1/208).

Adapun riwayat yang benar apa yang diriwayatkan Ibnu Hibban berikut ini:

هَاجَرَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ جَحْشٍ بِأُمِّ حَبِيبَةَ بِنْتِ أَبِي سُفْيَانَ وَهِيَ امْرَأَتُهُ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ، فَلَمَّا قَدِمَ أَرْضَ الْحَبَشَةِ مَرِضَ، فَلَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ: أَوْصَى إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَتَزَوَّجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ حَبِيبَةَ وَبَعَثَ مَعَهَا النَّجَاشِيُّ شُرَحْبِيلَ بْنَ حَسَنَةَ.

Ubaidillah bin Jahsy Radhiyallahu ‘anhu berhijrah bersama Ummu Habibah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anha ke negeri Habasyah, ketika sampai di negeri Habasyah, Ubaidillah Radhiyallahu ‘anhu sakit dan ketika menjelang wafatnya beliau berwasiat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salaam menikahi Ummu Habibah dan an-Najasyi mengutus bersamanya Syurahbiil bin Hasanah (HR. Ibnu Hibban 6027, Abu Dawud 2086, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahih Abu Dawud 1835).

Firman Allah ta’ala:

فَسَوْفَ يَأتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ.

“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya”. ( QS. Al-Maidah [5]: 54).

Dari Abu Musa Al-Asy'ari yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala:

لَمَّا نَزَلَتْ: {فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ} قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هُمْ قَوْمُ هَذَا".

“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. (QS. Al-Maidah [5]: 54), Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah dari kaum orang ini.” (seraya mengisyaratkan kepada Abu Musa Al-Asy'ari, yakni dari penduduk Yaman). (HR. Hakim 3220, dalam Mustadraknya, lihat As-Shahihah Syaikh al-Albani 3368).

 

Firman Allah ta’ala:

{أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ}

“Yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir. (QS. Al-Maidah[5]: 54).
Demikianlah sifat orang mukmin yang sempurna, yaitu selalu bersikap rendah diri terhadap saudara dan teman sejawatnya, dan bersikap keras terhadap musuh dan seterunya.

Dewasa ini kondisi kaum muslimin memprihatinkan, dimana mereka lemah lembut kepada musuhnya dan keras terhadap saudaranya muslim.

 

Faedah ayat diatas:

 

1.   Ancaman keras bagi orang yang beriman apabila mereka kembali murtad, hal itu bisa menjadikan kafir dan menghapus seluruh amal yang telah dilakukan, dan menjadikan kekal di dalam neraka. (QS. Al-Bayyinah [98]:6).

2.   Orang yang murtad sedikitpun tidak memberikan madharat kepada Allah ta’ala.

3.   Orang-orang yang murtad bisa saja Allah binasakan di dunia ini sebelum nanti akhirat, sebagaimana orang-orang kafir mereka dahulu Allah binasakan sebab kekafiran mereka.

4.   Orang-orang yang murtad akan di gantikan Allah dengan suatu kaum yang dicintai Allah dan merekapun mencintai Allah.

5.   Allah memberikan karunianya kepada siapa saja yang Allah kehendaki, dan Allah mampu terhadap hal itu.

6.   Ayat ini menetapkan sifat mahabbah (cinta) bagi Allah ta’ala.

 

 

-----000-----

AYat ke 23.

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ.

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” ( QS. As-Shaf[61]:4).

 firman Allah ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ.

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaff[61]: 4).

Hal ini merupakan pemberitaan dari Allah ta’ala. yang menyatakan kecintaan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Apabila mereka berbaris dengan teratur menghadapi musuh-musuh Allah dalam medan pertempuran, mereka berperang di jalan Allah melawan orang-orang yang kafir terhadap Allah agar kalimah Allah-lah yang tertinggi dan agama­-Nyalah yang menang lagi berada di atas agama-agama lainnya.

 

Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur. (QS. Ash-Shaff[61]: 4) Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sekali-kali berperang melawan musuh melainkan terlebih dahulu mengatur barisan pasukannya membentuk saf, dan ini merupakan strategi yang diajarkan oleh Allah ta’ala. kepada orang-orang mukmin. Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash-Shaff[61]: 4).

Yaitu sebagian darinya menempel dengan sebagian lainnya dalam saf peperangan. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. As-Shaff [61]:4).

Demikian pula para malaikat mereka berombongan dan juga berbaris-baris dengan rapi.

وَالصَّافَّاتِ صَفًّا.

“Demi (rombongan) yang ber shaf-shaf dengan sebenar-benarnya.” (QS. As-Shafat [37]:1).

Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata, berfirman Allah ta’ala, “Demi rombongan yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya,” maksudnya, berbaris dalam mengabdi kepada Rabbnya. Mereka adalah para malaikat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan berbaris yang rapat di dalam shalat.

Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam keluar kepada kami sambil bersabda:

أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ قَالَ: يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ.

"Tidakkah kalian berbaris seperti barisan para malaikat di sisi Rabb mereka? ' Para sahabat bertanya, 'Bagaimanakah cara malaikat berbaris di sisi Rabb mereka? ' Beliau Shallallahu'alaihi wasallam menjawab, 'Mereka menyempurnakan barisan pertama dahulu, kemudian merapatkan barisan tersebut." (HR. Muslim 430, Abu Dawud 661, Ahmad 20964).

Faedah ayat diatas:

1.   Menetapkan sifat mahabbah bagi Allah ta’ala.

2.Berbaris yang rapi di dalam berperang dan teratur akan mendatangkan kecintaan Allah ta’ala.

3. Malaikat juga berbaris dengan rapi dihadapan Allah ta’ala.

4.Shalat juga agar meluruskan barisan dengan memenuhi shaf yang depan terlebih dahulu baru setelahnya.

5.Menampakkan sesuatu yang rapi menjadikan hati tentram sebaliknya sesuatu yang kacau balau dan berantakan dapat mempengaruhi hati menjadi kacau pula. Sebagaimana hal ini diakui oleh para pesikoterapis.

 

 

-----000-----

 

Sragen 30-3-2024

Junaedi Abdullah.

Selasa, 28 Mei 2024

ADAB-ADAB MENYEMBELIH.

 

 

Dewasa ini berbagai tayangan penyembelihan qurban ditampilkan melalui media masa bertebaran di mana-mana, sehingga banyak kaum muslimin yang meniru, hal itu dilakukan karena dipandang lebih cepat, efisien dan praktis, sayang kebanyakan kaum muslimin tidak mau menengok bagaimana adab-adab yang diajarkan di dalam agama kita.

Dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ.

"Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat yang terbaik dalam segala sesuatu, maka apabila kamu membunuh, bunuhlah dengan cara yang terbaik, apabila kamu menyembelih, sembelihlah dengan cara yang terbaik, hendaklah setiap kalian menajamkan pisaunya dan membuat nyaman hewan sembelihannya." (HR. Muslim 1955 Abu Dawud 2815 Tirmidzi 1409).

Dari hadits diatas ada perintah agar kita memperlakukan sembelihan dengan cara yang baik.

Diantara adab-adab menyembelih yaitu:

1.   Dianjurkan berbuat baik kepada hewan qurban.

Tidak boleh menyakiti hewan qurban.

Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ، فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ.

“Apabila kamu menyembelih, sembelihlah dengan cara yang terbaik, hendaklah setiap kalian menajamkan pisaunya dan membuat nyaman hewan sembelihannya." (HR. Muslim 1955 Abu Dawud 2815 Tirmidzi 1409).

 

2.   Menajamkan pisau sembelihan.

Hendaknya pisau ditajamkan terlebih dahulu dan tidak menajamkan di depan hewan qurbannya.

Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata:

مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَجُلٍ وَاضِعٍ رِجْلَهُ عَلَى صَفْحَةِ شَاةٍ، وَهُوَ يَحُدُّ شَفْرَتَهُ، وَهِيَ تَلْحَظُ إِلَيْهِ بِبَصرِها، قَالَ:أَفَلا قَبْلَ هَذَا، أَوَ تُرِيدُ أَنْ تُمِيتَهَا مَوْتَتَينِ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melewati seseorang yang meletakkan kakinya di atas badan samping seekor kambing sambil menajamkan pisaunya, sedang kambing itu melihat ke arah pisau, maka beliau bersabda: Mengapakah engkau tidak menajamkan pisau sebelum melakukan ini, apakah engkau ingin mematikannya dua kali?” (HR. TIrmidzi al-Baihaqi 19141, at-Thabrani Mu’jamul Kabir11916, di sahihkan Syaikh al-Albani di dalam shahih at-Targib wa Tarhib 19090).

وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ, بِإِحْدَادِ السِّكِّينِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaknya membuat hewan sembelihannya nyaman,” “yaitu dengan menajamkan pisaunya.” ( Syarah Muslim, Imam Nawawi juz 13 hal 107).

 

3.   Memisahkan antara tempat penyembelihan dan tempat menempatkan binatang qurban.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

وأن لا يَذْبَحَ وَاحِدَةً بِحَضْرَةِ أُخْرَى وَلَا يَجُرَّهَا إِلَى مَذْبَحِهَا, وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ, عَامٌّ فِي كُلِّ قَتِيلٍ مِنَ الذَّبَائِحِ.

“Tidak boleh pula menyembelih seekor hewan di depan yang lainnya, dan tidak boleh menyeretnya ke tempat pemyembelihannya di depan yang lainnya..” (Syarhu Muslim hadits 1956, juz 13 hal 107).

 

4.   Merebahkan dengan menghadapkan kearah barat.

Karena demikian lebih lembut pada hewan tersebut, hal ini merupakan kesepakatan kaum muslimin. Disunnahkan membaringkan hewan dengan posisi tubuh bagian kirinya di bawah, karena demikian itu akan lebih mudah bagi penyembelih di dalam memegang pisau dengan tangan kanan, dan memegang kepalanya dengan tangan kiri. (fikih Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal, bin as-Sayyid Salim).

Dari bnu Sirin beliau berkata:

كَانَ يُسْتَحَبُّ أَنْ تُوَجَّهَ الذَّبِيحَةُ إِلَى الْقِبْلَةِ.

“Dahulu disukai mengarahkan sembelihan kearah kiblat.” (HR. Abdurrazaq, di dalam Mushanaf Abdurrazzaq As-Shan’ani 8587).

Ditanyakan tentang sikap Imam Malik tentang menghadapkan kiblat ketika menyembelih.

قُلْتُ: أَرَأَيْت مَالِكًا هَلْ كَانَ يَأْمُرُ أَنْ تُوَجَّهَ الذَّبِيحَةُ إلَى الْقِبْلَةِ؟ قَالَ: قَالَ مَالِكٌ: نَعَمْ تُوَجَّهُ الذَّبِيحَةُ إلَى الْقِبْلَةِ، قَالَ مَالِكٌ: وَبَلَغَنِي أَنَّ الْجَزَّارِينَ يَجْتَمِعُونَ عَلَى الْحُفْرَةِ يَدُورُونَ بِهَا فَيَذْبَحُونَ الْغَنَمَ حَوْلَهَا، قَالَ: فَبَعَثْتُ فِي ذَلِكَ لِيُنْهَى عَنْ ذَلِكَ، وَأَمَرْتُ أَنْ يَأْمُرُوهُمْ أَنْ يُوَجِّهُوا بِهَا إلَى الْقِبْلَةِ.

“Bagaimana pendapat imam Malik, apakah memerintahkan untuk menghadapkan sembelihan kearah kiblat, imam Malik berkata, “ “Telah sampai kepadaku bahwasanya para penyembelih mengumpulkan (sembelihannya) pada sebuah lobang, mereka mengelilinginya kemudian menyembelih kambing-kambing itu disekitarnya. Dia berkata, Kemudian memerintahkanku untuk melarang hal itu, dan memerintahkan aku agar menyuruh mereka menghadapkan sembelihannya ke arah kiblat.”  (Al-Mudawwanah juz 1, hal hal 543, Imam Malik bin Annas).

ليست شرطاً في الذبح ولكنه الأفضل، فعن ابن عمر أنه كان يكره أن يأكل ذبيحة ذبحت لغير القبلة. عبد الرزاق(8585)، بإسناد صحيح ، والألباني رحمه الله مناسك الحج والعمرة ص33

Syaikh al-Albani berkata,  “Bukanlah sebagai syarat di dalam penyembelihan akan tetapi hal itu lebih utama.” Bahwa Ibnu Umar tidak suka memakan sembelihan yang ketika disembelih tidak diarahkan kearah kiblat.”(HR. Abdurrazaq 8585, Al-Baihaqi 9/280 di shahihkan Syaikh al-Albani, manasik haji dan umrah hal 8).

 

5.   Meletakkan kaki di atas sisi hewan sembelihan.

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata:

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ فَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ فَذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih hewan kurban dengan dua domba jantan yang berwarna putih campur hitam dan bertanduk. Beliau menyembelihnya dengan tangan beliau, dengan mengucap basmalah dan bertakbir, dan beliau meletakkan satu kaki beliau di sisi-sisi kedua domba tersebut”  (HR.Bukhari 5558, Muslim 1966).

Ibnu Hajar berkata:

وَالْمُرَادُ الْجَانِبُ الْوَاحِدُ مِنْ وَجْهِ الْأُضْحِيَّةِ وَإِنَّمَا ثنى إِشَارَة إِلَى أَنه فعل ذَلِك فِي كُلٍّ مِنْهُمَا.

“Yang dimaksud sisi yang satu dari arah sembelihan, adapun disebutkan mutsanna sebagai isyarat bahwa beliau melakukan hal itu pada keduanya.” (Fathul Bari Syarah shahih Bukhari juz 10 hal 18).

 

6.   Tempat bagian yang Disembelih.

Hendaknya diputus saluran pernafasan (al-hulqum), saluran makanan dan minuman (al-mari) dan dua urat yang berada pada dua sisi leher yang mengelilingi tenggorokan (al-wadajain).

Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata :

الذَّكَاةُ فِي حَلْقِ اللُّبَّةِ

Penyembelihan dilakukan di sekitar kerongkongan dan labah.” (HR.Abdrrazaq 8615 dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Irwa’ 2542).

 

7.   Menyebut basmalah dan bertakbir.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ.

“Dan janganlah kalian memakan hewan-hewan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaithan itu mewahyukan kepada wali-walinya (kawan-kawannya) untuk membantah kalian.” ( QS. Al-An’am[6]:121)

عَنْ أَنَسِ بنِ مَالِكٍ  رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ  صلى الله عليه وسلم  كَانَ يُضَحِّي بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ, أَقْرَنَيْنِ, وَيُسَمِّي, وَيُكَبِّرُ

Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Rasulullah menyembelih hewan qurban dengan dua domba jantan. Beliau mengucap bismillah dan bertakbir.” (HR. Bukhari 5564, Ahmad 13714).

وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ, وَيَقُولُ: بِسْمِ اَللَّهِ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ

Dan dalam riwayat Muslim Beliau mengatakan, “Bismillah wallahu Akbar.”

 

8.   Batas akhir waktu penyembelihan.

Para ulama berbeda pendapat, ada yang menyebutkan tanggal sebelas, dua belas, tiga belas ada juga yang menyebutkan sebelas, dua belas.

Untuk kehati-hatian seorang melaksanakan penyembelihan qurban pada hari Idul Adha sepuluh Dzulhijah sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan dan hal ini lebih selamat dari perselisihan para ulama yang ada. Jika sulit melakukan pada waktu tersebut, maka boleh melakukannya pada sebelas dan dua belasnya, sebagaimana pendapat jumhur ulama.

Demikianlah semoga bermanfaat.

 

 

-----000-----

 

Sragen 28-05-2024

Junaedi Abdullah.

 

Minggu, 26 Mei 2024

HUKUM PANITIA MENERIMA UPAH DAGING QURBAN.

 



Perlu diketahui bahwa pelaksanaan qurban adalah ibadah yang sifatnya tauqifiyah (yaitu mengikuti sesui petunjuk dalil), oleh karena itu siapapun yang terlibat di dalamnya hendaknya memperhatikan berikut:

1.   Hendaknya ikhlas karena Allah.

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ.

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,..” (QS.Al-Bayinah[98]:5)

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan..” (HR. Bukhari 1 Muslim 1907).

 2.   Hendaknya Ittiba’ (mengikuti sesuai Sunnah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam).

Karena hakekatnya mentaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mentaati Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah berfirman:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ..

“Barangsiapa taat kepada Rasul sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS.An-Nisa[4]:80).

 Memberikan upah kepada panitia atau siapapun yang berkecimpung di dalamnya ada ada dua macam:

 1)   Memberi upah daging sebagai imbalan karena dirinya panitia atau bagian menguliti, maka seperti ini hukumnya tidak boleh berdasarkan hadits dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا.

“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri.” (HR. Bukhari 1707, Muslim 1317).

Di dalam menjelaskan hadits ini, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

وأن لاَ يُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا لِأَنَّ عَطِيَّتَهُ عِوَضٌ عَنْ عَمَلِهِ فَيَكُونُ فِي مَعْنَى بَيْعِ جُزْءٍ مِنْهَا وَذَلِكَ لَا يَجُوزُ وَفِيهِ جَوَازُ الِاسْتِئْجَارِ عَلَى النَّحْرِ وَنَحْوِهِ

“Tukang jagal (atau siapapun yang berkecimpung dalam penyembelihan) tidak boleh diberi upah dari hewan qurban, karena upah tersebut merupakan ganti dari pekerjaannya, maka yang demikian sama halnya dengan menjual bagian dari hewan qurban tersebut, demikian itu tidak boleh, dibolehkan memberi upah (berupa uang) kepada penyembelih atau semisalnya (siapapun yang terlibat().” (Sharh Shahih Muslim, jilid 9, hal. 65, Maktabah Islamiyah).

Juga tidak mengupah panitia dengan kulit, karena hal ini juga dilarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا.

“(Ali Radhiallahu ‘anhu berkata…) Dan kami memberikan sedekah dagingnya, dan kulitnya…” (HR. Bukhari 1707, Muslim 1317).

Berkata Ibnu Daqiqil’id berkata:

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْجُلُودَ تَجْرِي مَجْرَى اللَّحْمِ فِي التَّصَدُّقِ؛ لِأَنَّهَا مِنْ جُمْلَةِ مَا يُنْتَفَعُ بِهِ. فَحُكْمُهَا حُكْمُهُ..

“Ini menunjukkan bahwasanya kulit berlaku sebagaimana diperlakukannya daging dalam mensedekahkan, hal ini karena termasuk apa yang dimanfaatkan dengannya, maka hukumnya sama dengan hukum daging tersebut.” ( Ihkam Al-Ihkami, Syahu ‘Umdatu Al-Ahkam Jus 2 hal 82).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ

“Orang yang menjual kulit hewan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR Al-Baihaqi 19233, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahihu al-Jami’ 6118).

Maksudnya, Orang yang berqurban tidak mendapatkan balasan apa yang dijanjikan atas qurbannya, oleh karena itu menjual kulitnya hukumnya haram. ( Ath-Taisir bi Syarhi Al-Jami’I Ash-Shagir Juz 2, Hal 407, Zainudin Muhammad).

Oleh karena itu apabila shahibul qurban memang ingin memberi upah kepada panitia, karena kurangnya personil agar upah jasa tersebut disisihkan dari uang yang lain, bukan dari bagian daging yang diqurbankan.


 2)   Adapun apabila panitia ataupun tukang jagal dan siapapun yang terlibat di dalamnya termasuk orang-orang yang mendapatkan hadiah, atau sedekah hal itu tidak mengapa.

Dalam kondisi ini, panitia kurban diperlakukan sama seperti masyarakat umumnya yang juga berhak memperoleh bagian sedekah dari hewan kurban tersebut.

Demikian pula mengambil sedikit dengan kerelaan shahibul qurban atau yang diamanahi (panitia), untuk dimakan masyarakat, baik panitia maupun bukan hal itu menurut sebagaian ulama dibolehkan. Dan masuk katagori hadiah.

Fatwa lajnah daimah ketika ditanya tentang masyarakat pedalaman yang mereka berqurban tidak dibagi-bagikan tetapi dimasak dan dimakan bersama-sama.

Mereka menjawab, “Diperbolehkan mereka membagi-bagikannya di kalangan mereka sebelum atau sesudah dimasak untuk dishadaqahkan.” (Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta, Fatwa No. 3055 dengan sedikit diringkas).

Secara umum yang paling mudah dipahami perbedaan antara hadiah atau sedekah dengan upah diantaranya:

1)   Hadiah tidak mengikat, baik waktu maupun jumlah, sedangkan upah mengikat.

2)   Hadiah sifatnya kerelaan, upah sifatnya ketentuan yang telah ditentukan.

3)   Hadiah tidak ada tuntutan baik dunia maupun akhirat sedangkan upah bisa dituntut dunia akhirat.

4)   Hadiah bisa disebabkan tugas yang dilakukan atau tidak, sedangkan upah sebagai ganti dari tugas yang dilakukan.

5)   Hadiah bisa berupa apa saja, bisa kaos seragam, jaket, uang dan laiinya, sedangkan upah sesuai persetujuan kesepakatan.

Jika panitia menghendaki imbalan daging dan menolak diberi uang maka ini menunjukkan upah. Demikianlah semoga bisa bermanfaat.

 

-----000-----

 

 

Sragen 27-05-2-24

Junaedi Abdullah

Sabtu, 25 Mei 2024

BIRRUL WALIDAIN, BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA

 


Hendaknya seseorang berbakti kepada kedua orang tuannya, di mana orang tua merupakan lantaran keberadaan dirinya, mengandungnya selama 9 bulan, mengasuhnya diwaktu kecil, membesarkannya dengan keringat dan air mata, membiayai kebutuhannya hingga dewasa.

Apabila seseorang melupakan hal ini tentu merupakan perbuatan yang dzalim dan tidak adil, oleh karena itu Allah selalu menyandingkan haq-Nya dengan haq orang tua.

Berbakti kepada kedua orang tua diantaranya dengan cara:

1)  Berbuat baik kepada keduannya.

Allah ta’ala berfirman:

 وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu (QS. Lukman [31]:14).

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا.

“Dan hendaklah kamu beribadah hanya kepada Allah dan janganlah mempersekutukan dengan sesuatu apapun juga dan hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapak,” (QS. An Nisaa’ [4]: 36).

2)  Tidak berkata kasar kepada keduannya.

Allah ta’ala berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا.

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS. Al Israa’ [17]: 23)

3)  Tidak boleh mentaatinya di dalam kemaksiatan.

Allah ta’ala berfirman:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا.

"Dan jika keduanya memaksamu mempersekutukan sesuatu dengan-Ku yang tidak ada pengetahuanmu tentang Aku maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” (QS. Lukman [31]: 15).

Asbaabun nuzul ayat ini berkaitan dengan Sa’ad bin Abi Waqas dan ibunya Hamnah. Yang meminta Sa’ad untuk kembali kepada agama jahiliyah namun beliau enggan. (Lihat tafsir Ibnu katsir QS. Luqman[31]15)

لاَ طَاعَةَ فَيٍ مَعْصِيَةِ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ

 

“Tiada kewajiban untuk taat (kepada seseorang) yang memerintahkan untuk durhaka kepada Allah Kewajiban taat hanya pada hal yang ma’ruf.” (HR. Bukhari 7257, Muslim 1840, Ahmad 724).

4)  Mendakwahi mereka.

Mendakwahi dengan cara yang baik kepada kedua orang tua apabila masih belum beriman atau di dalam kesesatan, sebagaimana hal itu dilakukan nabi Ibrahim alaihi sallam.

Allah ta’ala berfirman:

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا.

“Ingatlah ketika ia Berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun.” (QS. Maryam [19]: 42).

5)  Menjahui kemurkaannya.

Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda :

رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ.

“Ridha Rabb tergantung ridha orang tua, dan murka Allah tergantung murka orang tua”. (HR. Tirmidzi 1899 dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah 516).

Dari Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَغِمَ اَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ اَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ اَنْفُ قِيْلَ: مَنْ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَنْ اَدْرَكَ اَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِاَحَدُهُمَااَوْكِلَيْهِمَافَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ.

“Celaka, celaka, Dia celaka, Lalu beliau ditanya orang, Siapakah yang celaka, ya Rasulullah? Jawab Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam, Siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut), atau salah satu dari keduanya, tetapi dia tidak memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Muslim 2551).

Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ.

“Ada tiga do’a yang mustajab, tidak ada keraguan tentang hal itu; do’a orang tua (untuk anaknya), do’a musafir, dan do’a orang terdzalimi.” (HR. Abu Daud dan Ahmad, dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam As-Shahihah 596).

6)  Memperhatikan kebutuhan orang tua.

Tempat tinggalnya, layak atau tidak, jika memang kita diberi kemampuan, merawat kesehatannya, keperluannya sehari-hari, adakah yang dimakan atau tidak.

Karena orang tua kita dulu orang yang paling sedih apabila kita sakit dan menderita, mereka rela tidak makan dan tidak tidur untuk kita.

7)  Menemaninya apabila dibutuhkan.

Barangkali ada hal-hal yang dibutuhkan dari tenaga kita, membersihkan pekarangan, memperbaiki genting, belanja atau yang lainnya, mungkin orang tua kita merasakan kesepian dan membutuhkan kedekatan kita, meskipun hanya sekedar bercengkrama, makan bersama, hingga Cuma sekedar ingin dekat dengan kita.

Ini semua masuk dalam firman Allah ta’ala:

وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا.

“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” (QS. Lukman [31]: 15).

8)  Hendaknya ijin dalam perkara-perkara tertentu.  Seperti bepergian jauh, menggunakan barang-barang miliknya dan lain-lain.

Disebutkan di dalam sebuah atsar:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَأْذَنَهُ فِي الجِهَادِ، فَقَالَ: أَحَيٌّ وَالِدَاكَ؟، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَفِيهِمَا فَجَاهِدْ.

“Seseorang datang, kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, meminta ijin untuk ikut berjihad, Maka beliau bersabda, “apakah kedua orang tuamu masih hidup..?, “ orang tersebut menjawab “ benar”, maka Rasulullah berkata, “ kepada keduanya berjihadlah.” (HR. Bukhari 3004, Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra 17827).

9)  Hendaknya tetap berbakti setelah tiada lagi.

Ditanyakan kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam.

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا.

“Wahai Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah masih ada cara berbakti kepada kedua orang tuaku setelah keduanya meninggal?” Beliau sallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya, dengan mendoakannya, memintakan ampun untuknya, melaksanakan janjinya (wasiat), menyambung silaturahmi yang tidak bisa disambung kecuali melalui jalan mereka berdua, dan memuliakan teman-temannya.” (HR Abu Dawud 5142 tetapi hadits ini didho’ifkan syaikh al-Albani).

10)                    Mendoakan kepada orang tua kita.

Hendaknya mendoakan orang karena Allah ta’ala mengajarkan demikian.

وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.                              

Katakanlah, “Ya Tuhanku kasihanilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka mengasihi aku di waktu kecil.” (QS. Al-Israa’[17]:24).

Demikianlah semoga bermanfaat.


-----000-----


Sragen 24-Mei-2024

Junaedi Abdullah.

AMAL-AMAL SETELAH RAMADHAN.

Setelah menjalankan rangkaian ibadah dibulan Ramadhan banyak kaum muslimin kembali kepada kebiasaannya. Malas beribadah shalat wajib berja...