Seiring
datangnya bulan Ramadhan kembali kaum muslimin di sana sini terjadi kericuhan dan
perselisihan di sebabkan perbedaan permulaan di dalam menentukan awal bulan
Ramadhan, semua tidak lain karena akan terjadi kemungkinan perbedaan dalam
menentukan ‘idul fitri yang terjadi diantara mereka. Tentunya kita bertanya
pada diri kita bagaimana sikap seorang muslim yang benar dalam masalah ini??
Saya
menghimbau agar kita mensikapi permasalahan ini dengan arif dan bijaksana.
Sebagai seorang muslim hendaknya memahami berikut ini:
1.
Ikhlas menjalankan agama sesuai perintah Allah dan
Rasul-Nya.
Allah ta’ala
berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ حُنَفَاءَ.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus.”
(QS. Al-Bayyinah[98]:5)
Hendaknya sebagai
seorang muslim ikhlas dalam beragama.
2. Jika
berselisih dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Allah ta’ala
berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي
قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا: كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّتِي.
“Aku telah tinggalkan pada kalian dua
perkara, kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR. Al-Hakim di dalam mustadraknya 319, Disahihkan oleh Syaikh
al-Albani di dalam Sahihul Jami’ 2937).
Di dalam
berpegang dengan Al Qur’an dan Sunnah sebagai bentuk realisasi dari keimanan
mereka yang dapat menyelamatkan dari berbagai kesesatan.
3. Menjahui taklid (fanatik) buta.
Berorganisasi pada asalnya adalah mubah (boleh) akan tetapi
apa bila fanatik dan menolak kebenaran inilah yang terlarang karena dapat menjadikan
seseorang tersesat.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ
إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.
"Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min,
bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum
(mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’
Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An-Nur [24]: 51).
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Katakanlah, "Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian,"
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Imran [3]: 31)
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ
أُمَّتِي
يَدْخُلُونَ
الْجَنَّةَ
إِلَّا
مَنْ
أَبَى. قَالُوا: يَا
رَسُولَ
اللهِ،
وَمَنْ
يَأْبَى؟
قَالَ: مَنْ
أَطَاعَنِي
دَخَلَ
الْجَنَّةَ
وَمَنْ
عَصَانِي
فَقَدْ
أَبَى.
“Setiap umatku
akan masuk ke dalam surga kecuali yang enggan. Mereka para sahabat bertanya,
“Siapa yang enggan?” Beliau berkata, “Barangsiapa mentaatiku dia masuk ke dalam surga, dan barangsiapa bermaksiat padaku maka dia
telah enggan.” (HR. Bukhari 7280,
Ahmad 8714).
Seorang muslim tidak boleh meninggalkan Sunnah nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam dan lebih memilih mengikuti madzhabnya, organisasinya,
partainya ataupun yayasanya.
Ulama juga mewasiatkan hal itu, mereka memerintahkan agar kita
mengikuti Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam.
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata:
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللهِ لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ.
“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa
saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena
mengikuti pendapat siapa pun.” (I'lamul muwaqi'in 2:282).
مَنْ
رَدَّ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ عَلَى
شَفَا هَلَكَةٍ.
“Barang siapa menolak hadits Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam maka dia berada di tepi kebinasaan.” (“Sifat shalat Nabi” Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani).
4. Al-Qur’an dan Sunnah telah menetapkan permulaan
puasa.
Allah ta’ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ..
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir
(di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada
bulan itu.” (QS.
Al-Baqarah[2]:185).
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, ”Ini merupakan suatu keharusan bagi orang yang menyaksikan hilal masuk
bulan Ramadan, yakni dia dalam keadaan mukim di negerinya ketika bulan Ramadan
datang, sedangkan tubuhnya dalam keadaan sehat, maka dia harus mengerjakan
puasa.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. [2]:185)
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ
شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ.
“Berpuasalah kalian karena melihatnya,
berbukalah kalian karena melihatnya, apabila tidak nampak oleh kalian, sempurnakanlah bulan Syaban menjadi tiga puluh
hari.” (HR. Bukhari 1909, Muslim 1081)
الصَّوْمُ يَوْمَ
تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.
“Puasa itu ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul
fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha
ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi 697 di shahihkan Syaikh al-Albani
di dalam Ash-Shahihah 224)
Demikianlah Al Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan secara
gamblang.
5.
Para ulama telah menjelaskan hal ini.
Seandainya kita buka kitab-kitab fikih para ulama, tentu kita tahu mereka telah
menjelaskan bagaimana dalam menetapkan masuknya bulan Ramadan.
Seperi di
dalam kitab Mulakhas Fikhiyah oleh Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Fikih
Sunnah oleh Abu Malik Kamal Ibnu As-Syayid Salim, beliau berkata “ Mengetahui bulan
dengan ru’yah (melihat) bukan dengan hisab.”, begitu pula kitab Al-Wajiz yang
di tulis oleh Syaikh ‘Abdul Azhim bin Badawi Al Khalafi, beliau juga berkata, “
Wajibnya puasa Ramadhan dengan melihat hilal.” Dan kalau kita mau buka tulisan
para ulama, kita akan dapati semakna dengan ini.
Begitu pula
dibahas di dalam kitab-itab aqidah, agar kita mengikuti pemerintah kita.
Seperti di
dalam kitab “ Mujmal Usul Ahli Sunnah Wal Jama’ah fil Aqidah, oleh Syaikh DR.
Nashir ibnu ‘Abdul Karim Al-Aql.
Beliau rahimahullah
berkata:
الصلاة والحج والجهاد واجبة مع أئمة وإن جاروا.
“ Shalat ( jama’ah, Jum’at, Id), haji, dan
Jihad wajib bersama dengan pemimpin kaum muslimin meskipun mereka menyimpang
(banyak salahnya).”
Imam Ibnu Rajab
Al-Hanbali rahmahullah berkata:
وَقَالَ
الْحَسَنُ فِي الْأُمَرَاءِ هُمْ يَلُونَ مِنْ أُمُورِنَا خَمْسًا: الجُمُعَةَ وَالْجَمَاعَةَ
وَالْعِيدَ وَالنُّغُورَ وَالْحُدُودَ، وَاللَّهِ مَا يَسْتَقِيمُ الدِّينُ إِلَّا
كِيمْ، وَإِنْ جَارُوا وَظَلَمُوا.
"(Imam)
Al-Hasan Al-Bashri berkata tentang umara' (para pemimpin kaum muslimin): Mereka
mengurusi lima urusan kita: shalat jum'at, shalat jama'ah, shalat 'ied, menjaga
perbatasan, dan melaksanakan hudud. Demi Allah, agama tidak akan tegak kecuali
dengan mereka, walaupun mereka menyimpang dan zhalim." (Jami'ul Ulum wal Hikam, 2/117).
6.
Wajib mentaati pemerintah jika sesuai dengan kebenaran.
Perintah Agar
mentaati pemerintah disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Allah ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ.
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. (QS.
An-Nisaa [4]: 59)
Ibnu Katsir rahmahullah berkata:
فَهَذِهِ أَوَامِرٌ
بِطَاعَةِ الْعُلَمَاءِ وَالْأُمَرَاءِ.
“Ayat ini memerintahkan agar mentaati ulama’ dan umara’ (pemimpin atau pemerintah) (lihat tafsir Ibnu Katsir QS. An-Nisa [4]: 59)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan ulil amri adalah orang-orang yang Allah wajibkan untuk ditaati, dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan yang lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 12/222)
Organisasi itu banyak adapun pemerintah itu satu, apabila setiap
organisasi menentukan hari raya sendiri-sendiri tentu akan semakin banyak
perselisihan, sebaliknya bila semua organisasi mengikuti pemerintah yang satu tentu
akan bersatu, karena islam memiliki prinsip Jalbu al-mashalih wa daf’u al-mafasid
(mengambil manfaaat dan menolak mafsadat) terlebih semua ini sesuai dengan
Sunnah yang dapat memadamkan perselisihan, hal ini sesuai dengan firman Allah ta’ala:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ
إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ
إِخْوَانًا.
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (QS.
Al-Imran [3]: 103)
Sangat disayangkan orang-orang yang mengedepankan hisab seakan-akan hal itu adalah nas (dalil) yang wajib diikuti, mereka meninggalkan syariat yang telah diamalkan dari dulu sampai sekarang oleh para ulama, mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan itu banyak membingungkan umat, menjadikan bercerai-berai dan bermusuhan, bahkan kita dapatkan sesama ahli hisabpun mereka berselisih.
7.
Ancaman keras bagi orang yang meninggalkan
Sunnah.
Allah ta’ala berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ
عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
“Hendaknya
takutlah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya bahwa mereka akan
ditimpa fitnah atau azab yang pedih.” (QS. An-Nur [24]: 63)
Dari
sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata:
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيكْم ْحِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ,
أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ؟
“Hampir saja kalian akan dihujani batu dari langit. Aku
katakan: Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantah dengan
mengatakan: Tapi Abu Bakar dan Umar berkata demikian.” (HR. Ahmad 1/337 dan Al-Khatib dalam Al-Faqih
wal Mutafaqqih 1/145 Ibnu Abdil Bar di dalam, Jami’u Bayanil ‘ilmi
wa fadzlihi 2/239).
Bagi saudara-saudaraku yang masih taklid dan mendahulukan terhadap pemimpin, yayasan, organisasi, dan meninggalkan Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah hendak menyadari yang dilakukan itu dapat menjadikan dosa jariah, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً
كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ.
“Dan
barang siapa melakukan sunnah yang buruk dalam islam maka baginya dosa dari
perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya)
setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim 1016)
Hendaknya seseorang
berharap agar kaum muslimin bersatu, tidak menyusahkan mereka sehingga mendapatkan
azab dari Allah ta’ala, terlebih setelah mengetahui kebenaran dan
menolaknya.
Demikianlah sedikit tulisan ini semoga bermanfaat.
Sragen 28-02-2023
Junaedi Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar