KEMULIAAN ILMU DAN KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU.
Ilmu dan petunjuk agama memiliki keutamaan yang sangat banyak, adapun
diantara keutamaan ilmu agama yaitu:
1. Ilmu merupakan cahaya yang akan menerangi
dan menjadikan petunjuk.
Allah ta’ala berfirman:
اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ.
“Allah (pemberi) cahaya (pada)
langit dan bumi.” (QS. An-Nur[24]:35).
Ali ibnu Abu Talhah telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.” (QS. An-Nur[24]: 35), Yakni Pemberi petunjuk kepada penduduk
langit dan bumi. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. An-Nur[24]:35).
Ilmu adalah cahaya bagi hati, sebagaimana cahaya bagi mata, dimana mata tak
akan dapat melihat apabila tidak ada cahaya.
Hal
ini sebagaimana yang dipahami oleh al Waki’, Al-Waki’ (guru imam Syafi’i) memberi
nasehat kepada imam syafi’i :
شَكَوْتُ
إِلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي
فَأَرْشَدَنِي إِلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ
وَنُورُ اللَّهِ لَا يُؤْتَاهُ عَاصِي
Aku mengadu kepada Waki‘ tentang buruknya hafalanku,
maka beliau menasihatiku agar meninggalkan maksiat,
dan beliau memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak
diberikan kepada pelaku maksiat. (Diwan Imam Asy-Syafi’i 262-263, Ad-Daa’ wa Ad
Dawaa’ 60).
2. Ilmu petunjuk agama sebagaimana
air hujan.
Allah ta’ala berfirman:
أَنزلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا.
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari
langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya.” (QS. Ar-Ra'd[13]:
17)
Masing-masing lembah dipenuhi
oleh air hujan itu sesuai dengan ukuran luasnya; ada yang luas, maka memuat
banyak air; dan ada yang kecil, maka air yang dimuatnya sesuai dengan ukuran
luas lahannya. Hal ini mengisyaratkan dan menggambarkan tentang hati manusia
dan perbedaan-perbedaannya. Di antaranya ada yang dapat memuat ilmu yang
banyak, di antaranya ada pula yang tidak dapat memuat ilmu yang banyak,
melainkan sedikit, karena hatinya sempit. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Ar-Ra’d
[13]:17).
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
مَثَلُ
مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالعِلْمِ كَمَثَلِ الغَيْثِ الكَثِيرِ
أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ المَاءَ فَأَنْبَتَتِ
الكَلَأَ وَالعُشْبَ الكَثِيرَ وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ المَاءَ
فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ, فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا, وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى
إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ, لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلَأً
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ
بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ
يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ .
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku dengannya,
adalah seperti hujan lebat yang turun ke bumi.
Di antara tanah itu ada yang baik yang dapat menyerap air, lalu menumbuhkan
rumput dan tanaman yang banyak.
Sebagian lagi adalah tanah yang keras, yang
dapat menampung air maka manusia pun bisa memanfaatkannya: mereka minum,
memberi minum (hewan), dan menyiram tanaman. Namun, sebagian tanah lainnya
adalah tanah datar gersang tidak menahan
air dan tidak menumbuhkan tanaman.
Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan
mendapatkan manfaat dari apa yang aku bawa, maka ia belajar dan mengajarkannya.
Dan perumpamaan orang yang tidak memperhatikannya dan tidak menerima petunjuk
Allah yang aku diutus dengannya.” (HR. Bukhari 79, Muslim 2282, Ahmad 19573)
Keutamaan Menuntut Ilmu.
1. Allah meninggikan derajat orang yang berilmu.
Allah ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian
dan orang orang yang di beri ilmu dengan beberapa derajat.” ( QS
Al-Mujadilah[58]:11)
Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
فَضْلُ العَالِمِ عَلىَ العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ
لَيْلَةَ البَدْرِ عَلىَ سَائِرِ الكَوَاكِبِ.
“Keutamaan orang yang berilmu (yang mengamalkan ilmunya) atas orang
yang ahli ibadah adalah seperti utamanya bulan di malam purnama atas semua
bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Dawud 3641, Ibnu Majah 223 di shahihkan
Syaikh al-Albani di dalam Al-Miskah 212)
2. Ilmu merupakan warisan yang paling mulia dari para nabi.
Dari
Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ
يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَإِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ فَمَنْ
أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.
“Sesungguhnya
para ulama adalah pewaris para nabi. Dan para nabi tidak mewariskan dinar dan
dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka siapa yang mengambilnya, sungguh ia
telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Tirmidzi 2682, Abu
Dawud 3641, Ibnu Majah 223, di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahih wa
Dhai’f Sunan Tirmidzi bab 2682, juz 6, hal 182).
3. Ilmu menjadikan istiqamah dan
memberikan kesabaran.
Ilmu akan menguatkan hati seseorang, mengokohkan pendirian, menyabarkan
hati, dan menyingkap sesuatu yang samar.
Allah ta’ala berfirman:
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ
لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ.
“Katakanlah:
Ruhul Qudus (Jibril) menurunkannya (Al-Qur’an) dari Tuhanmu dengan kebenaran
untuk meneguhkan hati
orang-orang yang beriman, serta menjadi petunjuk dan kabar
gembira bagi kaum Muslimin.” (QS. An-Nahl [16]:102).
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ
الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ
الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ.
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata,
“Rabb kami adalah Allah,” kemudian mereka meneguhkan pendirian (istiqamah),
maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah
kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu
dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” (QS.Fushshilat [41]:30).
Disebutkan
di dalam tafsir Ibnu Katsir, firman Allah ta’ala:
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا.
Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan, "Tuhan kami ialah Allah, " kemudian
mereka meneguhkan pendirian mereka. (QS. Fushshilat[41]: 30).
Yakni
mereka ikhlas dalam beramal hanya karena Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu
dengan menaati apa yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
kepada mereka. (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Fusilat [41]:30).
Oleh karena itu memahami kalimat
syahadat dengan benar akan diberi pertolongan dengan istiqamah di dunia dan di
akhirat.
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ.
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman
dengan ucapan yang teguh (dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat.” (QS.
Ibrahim [14]:27).
Qotadah As Sadusi
mengatakan, “Yang dimaksud Allah meneguhkan orang beriman di dunia adalah
dengan meneguhkan mereka dalam kebaikan dan amalan shalih. Sedangkan di
akhirat, mereka akan diteguhkan di kubur.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. Ibrahim [14]:27).
4.
Ilmu akan menjaga pemiliknya.
Ilmu akan menjaga seseorang, dimana dengan ilmu seseorang akan dapat
memahami hakekat sesuatu dengan sebenarnya.
Oleh karena itu pangkal kesesatan dan kerusakan dimuka bumi ini tidak lain
adalah kejahilan.
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ
وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ .
“Katakanlah, “Apakah
sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (QS.
Az-Zumar[39:9).
5. Ilmu akan menjadikan takut kepada
Allah.
Allah ta’ala berfirman:
اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤا.
“Hanya saja yang
takut kepada Allah dari sekian hamba-Nya adalah ulama.” (QS. Fatir[35]:28).
Imam Ahmad berkata:
أصلُ العلمِ الخشيةُ اللّٰهَ
“Asal (hakikat) ilmu adalah rasa takut kepada Allah.”
(Hilyah Thalibil Ilmi, Bakar bin Abdullah Abu Zaid hal 11)
Kewajiban Menuntut
Ilmu.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dishahih
oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah 224)
مَنْ يُرِدِ اللهُ
بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.
“ Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan
memberikan kefaqihan (pemahaman) agama baginya. “ (HR. Bukhari 71, 3116,
Muslim 1037)
Begitu pula sebaliknya, berpalingnya seorang hamba
-semoga Allah melindungi kita dari hal itu- dari ilmu dan kebenciannya terhadap
majelis ilmu serta sempit dadanya dari majelis ilmu maka ini ini bukanlah
merupakan tanda kebaikan dan tanda taufik dari Allah kepada dirinya. Jika
seorang hamba melihat dirinya asing dari majelis ilmu dan berusaha meninggalkannya
serta tidak memiliki keinginan untuk mendapatkannya maka ini bukanlah
tanda-tanda taufik dan bukan pula ciri Allah menghendaki kebaikan bagi hamba
tersebut.
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا
يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ.
“Barang siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan
memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Ahmad 8316, Tirmidzi 2646, Ibnu Majah 223, di shahihkan Syaikh
al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah 225).
Kisah-kisah isfiratif:
Umar radiayallahu
‘anhu bergantian dengan tetangganya untuk menuntut ilmu.
كُنْتُ أَنَا وَجَارٌ لِي مِنَ الأَنْصَارِ فِي بَنِي
أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ وَهِيَ مِنْ عَوَالِي الْمَدِينَةِ وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ
النُّزُولَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْزِلُ
يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَإِذَا نَزَلْتُ جِئْتُهُ بِخَبَرِ ذَلِكَ اليَوْمِ
مِنَ الوَحْيِ وَغَيْرِهِ, وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ.
“Aku bersama
tetanggaku seorang Anshar dari Bani Umayyah bin Zaid yang tinggal di dekat
Madinah, kami saling bergantian hadir di sisi Rasulullah sallallahu alaihi wa
sallam, satu hari dia yang hadir dan satu hari yang lain aku yang hadir.
Apabila aku hadir, maka aku mendatanginya dengan membawa kabar/ilmu dari wahyu
yang disampaikan pada hari itu, dan apabila dia yang hadir, maka dia melakukan
hal yang semisal itu.” (HR. Bukhari 89)
Jabir bin Abdillah
radhiallahu ‘anhu berkata,
بَلَغَنِي حَدِيثٌ عَنْ رَجُلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ
اللهِفَاشْتَرَيْتُ بَعِيرًا ثُمَّ شَدَدْتُ عليه رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ
شَهْرًا حَتَّى قَدِمْتُ عَلَيْهِ الشَّامَ فَإِذَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أُنَيْسٍ فَقُلْتُ
لِلْبَوَّابِ: قُلْ لَهُ جَابِرٌ عَلَى الْبَابِ. فَقَالَ: ابْنُ عَبْدِ اللهِ قُلْتُ:
نَعَمْ. فَخَرَجَ يَطَأُ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَنِي وَاعْتَنَقْتُهُ فَقُلْتُ: حَدِيثًا بَلَغَنِي
عَنْكَ أَنَّكَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ فِي الْقِصَاصِ فَخَشِيتُ أَنْ تَمُوتَ
أَوْ أَمُوتَ قَبْلَ أَنْ أَسْمَعَهُ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ يَقُولُ:
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْقَالَ الْعِبَادُ عُرَاةً غُرْلًا
بُهْمًا. قَالَ: قُلْنَا: وَمَا بُهْمًا قَالَ: لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ ثُمَّ
يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍيَسْمَعُهُ مِنْ قُرْبٍ: أَنَا الْمَلِكُ أَنَا الدَّيَّانُ
وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَنْ يَدْخُلَ النَّارَ وَلَهُ
عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ وَلَا
يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ وَلِأَحَدٍ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ عِنْدَهُ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ حَتَّى اللَّطْمَةُ.
قَالَ: قُلْنَا: كَيْفَ وَإِنَّا إِنَّمَا نَأْتِي اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عُرَاةً
غُرْلًا بُهْمًا قَالَ: بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ.
“Telah sampai kepadaku sebuah hadits dari seseorang yang langsung mendengar
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam .”
Jabir berkata, “Aku pun bersegera membeli seekor unta. Aku persiapkan bekal
perjalananku dan aku tempuh perjalanan satu bulan untuk menemuinya, hingga
sampailah aku ke Syam. Ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Unais.”
Aku berkata kepada penjaga pintu rumahnya, “Sampaikan kepada tuanmu bahwa
Jabir sedang menunggu di pintu.”
Penjaga itu masuk dan menyampaikan pesan itu kepada Abdullah bin Unais.
Abdullah bertanya, “Jabir bin Abdillah?”
Aku menjawab, “Ya, benar!”
(Begitu tahu kedatanganku), Abdullah bin Unais bergegas keluar, lalu dia
merangkulku dan aku pun merangkulnya.”
Aku berkata kepadanya, “Telah sampai kepadaku sebuah hadits, dikabarkan
bahwa engkau mendengarnya langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang qishash (pembalasan atas kezaliman di hari kiamat). Saya
khawatir engkau meninggal terlebih dahulu atau aku yang lebih dahulu meninggal
sementara aku belum sempat mendengarnya.”
Abdullah bin Unais berkata, “Saya telah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seluruh
manusia atau hamba nanti akan dikumpulkan di hari kiamat
dalam keadaan telanjang, tidak berkhitan, dan buhma.’
Kami bertanya, ‘Apa itu buhma?’ Beliau menjawab, ‘Tidak membawa apa pun.
Kemudian Allah ‘azza wa jalla menyeru mereka dengan suara yang
semua mendengar, ‘Aku adalah al-Malik (Maharaja)! Aku adalah ad-Dayyan (Yang
Maha Membalas amalan hamba)! Tidaklah pantas bagi siapa pun dari kalangan
penghuni neraka untuk masuk ke dalam neraka sementara masih ada hak penghuni
surga pada dirinya hingga Aku mengqishashnya (yakni diselesaikan hak penghuni
surga itu darinya). Tidak pantas pula bagi siapa pun dari kalangan penghuni
surga untuk masuk ke dalam surga sementara masih ada hak penghuni neraka pada
dirinya hingga Ku-selesaikan hak penghuni neraka itu darinya, meskipun hanya
sebuah tamparan.”
Kami bertanya, “Bagaimana caranya menunaikan hak mereka sedangkan kita
menemui Allah ta’ala dalam keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan,
dan tidak memiliki apa pun?”
Nabi menjawab, “Diselesaikan dengan kebaikan dan kejelekan yang kita
miliki.” (HR. Ahmad 16042, Bukhari al-Adabbul Mufrad 570)
Atha’ bin Abi Rabah. 97 H.
Beliau membagi waktunya menjadi tiga:
1) Untuk majikannya.
2) Untuk bermunajad kepada Allah
ta’ala.
3) Untuk menuntut ilmu.
Di tengah perjalanan sa'i antara Shafa dan Marwah, kedua pemuda itu
mendengar seruan para penyeru "Wahai kaum muslimin..tiada yang berhak
berfatwa di tempat ini kecuali Atha' bin Abi Rabah..jika tidak bertemu
dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih."
Sulaiman berkata kepada putranya: "Wahai anakku, pria yang kamu lihat
dan engkau melihat yang kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama
Atha' bin Abi Rabah, orang yang berhak berfatwa di masjid Al-Haram. Beliau
mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak." Kemudian
beliau melanjutkan: "Wahai anakku..carilah ilmu..karena dengan ilmu,
rakyat bawahan bisa menjadi terhormat...para budak bisa melampaui derajat para
raja.."
Muhammad bin Suuqah menceritakan kepada jama'ah yang me ngunjungi beliau:
"Maukah aku ceritakan kepada kalian sesuatu yang mudah-mudahan dapat
bermanfaat bagi kalian sebagaimana kami telah mendapatkan manfaat
karenanya?" Mereka berkata: "Mau." Beliau berkata: "Suatu
hari Atha' bin Abi Rabah menasihatiku, "Wahai putra saudaraku,
sesungguhnya orang-orang sebelum kita (yakni para shahabat-pent) tidak menyukai
banyak bicara." Lalu aku katakan: "Apa yang dianggap banyak bicara
menurut mereka?" beliau menjawab: "Mereka menganggap bahwa setiap
ucapan termasuk berlebih-lebihan melainkan dalam rangka membaca Al-Kitab dan
memahaminya, atau membaca hadits Rasulullah yang diriwayatkan dan harus
diketahui, atau memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, atau
berbicara tentang ilmu yang dengannya menjadi sarana taqarrub kepada Allah
Ta'ala, atau engkau membicarakan tentang kebutuhan dan pekerjaan yang memang
harus dibicarakan. "Lalu beliau memperhatikan raut wajahku seraya berkata:
"Apakah kalian mengingkari firman Allah Ta'ala:
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَفِظِينَ . كراما كتبِينَ.
"Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi
(pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat
(pekerjaan-pekerjaanmu itu)." (QS. Al-Infithar [82]: 10-12).
Dan bahwa masing-masing dari kalian disertai oleh dua malaikat:
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَّانِ عَنِ الْيَمِينِ
وَعَنِ الشِّمَالِ فَعِيدٌ . مَّا يَلْفِظُ من قول إلا لديهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ .
"(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang
duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu
ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir." (QS. Qaaf: 17-18).
Kemudian beliau berkata: "Tidakkah salah seorang di antara kita merasa malu manakala dibukakan lembaran catatan amal yang diker- jakan sepanjang siang, lalu dia mendapatkan di dalamnya sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan urusan agama maupun kepentingan dunianya?" (Sumber: Mereka adalah Tabi’in, Syaikh Abdurhman Ra’fat Basa)
Demikian semoga bermanfaat.
------000-----
Sragen 09-10-2025
Abu Ibrahim
Junaedi Abdullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar