Ilmu adalah cahaya bagi hati, sebagaimana cahaya bagi mata,
dimana mata tak akan dapat melihat apabila tidak ada cahaya.
Ilmu akan menguatkan hati seseorang, mengokohkan pendirian,
menyabarkan hati, dan menyingkap sesuatu yang samar.
Ilmu akan menjaga seseorang, dimana dengan ilmu seseorang
akan dapat memahami hakekat sesuatu dengan sebenarnya.
Oleh karena itu pangkal kesesatan dan kerusakan dimuka bumi
ini tidak lain adalah kejahilan.
Allah ta’ala banyak memuji ilmu dan orang-orang berilmu di
dalam Al-Qur’an.
Allah ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا
مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di
antara kalian dan orang orang yang di beri ilmu dengan beberapa derajat.” ( QS
Al-Mujadilah[58]:11)
قُلْ
هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ
اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ.
“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat
yang dapat menerima pelajaran. (QS. Az-Zumar[39:9).
اِنَّمَا
يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤا.
“Hanya saja yang takut kepada Allah dari sekian hamba-Nya adalah
ulama.” (QS. Fatir[35]:28).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu
Majah. Dishahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah 224)
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.
“ Barangsiapa yang Allah kehendaki
kebaikan baginya maka Allah akan memberikan kefaqihan (pemahaman) agama
baginya. “ (HR. Bukhari 71, 3116, Muslim 1037)
Begitu pula sebaliknya, berpalingnya seorang
hamba -semoga Allah melindungi kita dari hal itu- dari ilmu dan
kebenciannya terhadap majelis ilmu serta sempit dadanya dari majelis ilmu maka
ini ini bukanlah merupakan tanda kebaikan dan tanda taufik dari Allah kepada
dirinya. Jika seorang hamba melihat dirinya asing dari majelis ilmu dan berusaha
meninggalkannya serta tidak memiliki keinginan untuk mendapatkannya maka ini
bukanlah tanda-tanda taufik dan bukan pula ciri Allah menghendaki kebaikan bagi
hamba tersebut.
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ
فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ.
“Barang
siapa menelusuri jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan
baginya jalan menuju surga.” (HR.
Ahmad 8316, Tirmidzi 2646, Ibnu Majah 223, di shahihkan Syaikh al-Albani di
dalam Shahih Ibnu Majah 225).
Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
فَضْلُ العَالِمِ عَلىَ العَابِدِ
كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلىَ سَائِرِ الكَوَاكِبِ.
“Keutamaan orang yang berilmu (yang
mengamalkan ilmunya) atas orang yang ahli ibadah adalah seperti utamanya bulan
di malam purnama atas semua bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Dawud 3641, Ibnu
Majah 223 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Al-Miskah 212)
Kisah-kisah isfiratif:
Umar radiayallahu ‘anhu bergantian
dengan tetangganya untuk menuntut ilmu.
كُنْتُ أَنَا وَجَارٌ
لِي مِنَ الأَنْصَارِ فِي بَنِي أُمَيَّةَ بْنِ زَيْدٍ وَهِيَ مِنْ عَوَالِي
الْمَدِينَةِ وَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا، فَإِذَا نَزَلْتُ جِئْتُهُ
بِخَبَرِ ذَلِكَ اليَوْمِ مِنَ الوَحْيِ وَغَيْرِهِ، وَإِذَا نَزَلَ فَعَلَ مِثْلَ
ذَلِكَ.
“Aku bersama tetanggaku seorang Anshar dari Bani Umayyah bin Zaid yang tinggal di dekat Madinah, kami saling bergantian hadir di sisi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, satu hari dia yang hadir dan satu hari yang lain aku yang hadir. Apabila aku hadir, maka aku mendatanginya dengan membawa kabar/ilmu dari wahyu yang disampaikan pada hari itu, dan apabila dia yang hadir, maka dia melakukan hal yang semisal itu.” (HR. Bukhari 89)
Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata,
بَلَغَنِي
حَدِيثٌ عَنْ رَجُلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِفَاشْتَرَيْتُ بَعِيرًا ثُمَّ
شَدَدْتُ عليه رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا حَتَّى قَدِمْتُ عَلَيْهِ
الشَّامَ، فَإِذَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أُنَيْسٍ فَقُلْتُ لِلْبَوَّابِ: قُلْ لَهُ
جَابِرٌ عَلَى الْبَابِ. فَقَالَ: ابْنُ عَبْدِ اللهِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. فَخَرَجَ
يَطَأُ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَنِي وَاعْتَنَقْتُهُ فَقُلْتُ: حَدِيثًا
بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ فِي الْقِصَاصِ فَخَشِيتُ
أَنْ تَمُوتَ أَوْ أَمُوتَ قَبْلَ أَنْ أَسْمَعَهُ. قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ
يَقُولُ: يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْقَالَ الْعِبَادُ عُرَاةً
غُرْلًا بُهْمًا. قَالَ: قُلْنَا: وَمَا بُهْمًا؟ قَالَ: لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ،
ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍيَسْمَعُهُ مِنْ قُرْبٍ: أَنَا الْمَلِكُ أَنَا
الدَّيَّانُ وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَنْ يَدْخُلَ
النَّارَ وَلَهُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ
مِنْهُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ
الْجَنَّةَ وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عِنْدَهُ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ
مِنْهُ حَتَّى اللَّطْمَةُ. قَالَ: قُلْنَا: كَيْفَ وَإِنَّا إِنَّمَا نَأْتِي
اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا؟ قَالَ: بِالْحَسَنَاتِ
وَالسَّيِّئَاتِ.
“Telah sampai kepadaku sebuah
hadits dari seseorang yang langsung mendengar dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam .”
Jabir berkata, “Aku pun bersegera
membeli seekor unta. Aku persiapkan bekal perjalananku dan aku tempuh
perjalanan satu bulan untuk menemuinya, hingga sampailah aku ke Syam. Ternyata
orang tersebut adalah Abdullah bin Unais.”
Aku berkata kepada penjaga pintu
rumahnya, “Sampaikan kepada tuanmu bahwa Jabir sedang menunggu di pintu.”
Penjaga itu masuk dan
menyampaikan pesan itu kepada Abdullah bin Unais. Abdullah bertanya, “Jabir bin
Abdillah?”
Aku menjawab, “Ya, benar!”
(Begitu tahu kedatanganku),
Abdullah bin Unais bergegas keluar, lalu dia merangkulku dan aku pun
merangkulnya.”
Aku berkata kepadanya, “Telah
sampai kepadaku sebuah hadits, dikabarkan bahwa engkau mendengarnya langsung
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang qishash
(pembalasan atas kezaliman di hari kiamat). Saya khawatir engkau meninggal
terlebih dahulu atau aku yang lebih dahulu meninggal sementara aku belum sempat
mendengarnya.”
Abdullah bin Unais berkata, “Saya
telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Seluruh
manusia atau hamba nanti akan dikumpulkan di hari kiamat dalam keadaan
telanjang, tidak berkhitan, dan buhma.’
Kami bertanya, ‘Apa itu buhma?’ Beliau
menjawab, ‘Tidak membawa apa pun.
Kemudian Allah ‘azza wa
jalla menyeru mereka dengan suara yang semua mendengar, ‘Aku adalah
al-Malik (Maharaja)! Aku adalah ad-Dayyan (Yang Maha Membalas amalan hamba)!
Tidaklah pantas bagi siapa pun dari kalangan penghuni neraka untuk masuk ke
dalam neraka sementara masih ada hak penghuni surga pada dirinya hingga Aku
mengqishashnya (yakni diselesaikan hak penghuni surga itu darinya). Tidak
pantas pula bagi siapa pun dari kalangan penghuni surga untuk masuk ke dalam
surga sementara masih ada hak penghuni neraka pada dirinya hingga Ku-selesaikan
hak penghuni neraka itu darinya, meskipun hanya sebuah tamparan.”
Kami bertanya, “Bagaimana caranya
menunaikan hak mereka sedangkan kita menemui Allah ta’ala dalam
keadaan tidak berpakaian, tidak berkhitan, dan tidak memiliki apa pun?”
Nabi menjawab, “Diselesaikan
dengan kebaikan dan kejelekan yang kita miliki.” (HR. Ahmad 16042, Bukhari al-Adabbul
Mufrad 570)
Atha’ bin Abi Rabah. 97 H.
Beliau membagi waktunya menjadi
tiga:
1)
Untuk majikannya.
2)
Untuk bermunajad kepada Allah
ta’ala.
3)
Untuk menuntut ilmu.
Di tengah perjalanan sa'i antara
Shafa dan Marwah, kedua pemuda itu mendengar seruan para penyeru "Wahai
kaum muslimin..tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha' bin Abi
Rabah..jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi
Najih."
Sulaiman berkata kepada putranya:
"Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat yang kami berlaku
hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha' bin Abi Rabah, orang yang
berhak berfatwa di masjid Al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas
dengan bagian yang banyak." Kemudian beliau melanjutkan: "Wahai
anakku..carilah ilmu..karena dengan ilmu, rakyat bawahan bisa menjadi
terhormat...para budak bisa melampaui derajat para raja.."
Muhammad bin Suuqah menceritakan kepada jama'ah yang me
ngunjungi beliau: "Maukah aku ceritakan kepada kalian sesuatu yang
mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kalian sebagaimana kami telah mendapatkan
manfaat karenanya?" Mereka berkata: "Mau." Beliau berkata:
"Suatu hari Atha' bin Abi Rabah menasihatiku, "Wahai putra saudaraku,
sesungguhnya orang-orang sebelum kita (yakni para shahabat-pent) tidak menyukai
banyak bicara." Lalu aku katakan: "Apa yang dianggap banyak bicara
menurut mereka?" beliau menjawab: "Mereka menganggap bahwa setiap
ucapan termasuk berlebih-lebihan melainkan dalam rangka membaca Al-Kitab dan
memahaminya, atau membaca hadits Rasulullah yang diriwayatkan dan harus
diketahui, atau memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar, atau
berbicara tentang ilmu yang dengannya menjadi sarana taqarrub kepada Allah
Ta'ala, atau engkau membicarakan tentang kebutuhan dan pekerjaan yang memang
harus dibicarakan. "Lalu beliau memperhatikan raut wajahku seraya berkata:
"Apakah kalian mengingkari firman Allah Ta'ala:
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَفِظِينَ . كراما كتبِينَ.
"Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat)
yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat
(pekerjaan-pekerjaanmu itu)." (QS. Al-Infithar [82]: 10-12).
Dan bahwa masing-masing dari kalian disertai oleh dua
malaikat:
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَّانِ عَنِ الْيَمِينِ
وَعَنِ الشِّمَالِ فَعِيدٌ . مَّا يَلْفِظُ من قول إلا لديهِ
رَقِيبٌ عَتِيدٌ .
"(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal
perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah
kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaaf: 17-18).
Kemudian beliau berkata: "Tidakkah salah seorang di
antara kita merasa malu manakala dibukakan lembaran catatan amal yang diker-
jakan sepanjang siang, lalu dia mendapatkan di dalamnya sesuatu yang tidak ada
kaitannya dengan urusan agama maupun kepentingan dunianya?"
Sumber:
Mereka adalah Tabi’in, Syaikh Abdurhman Ra’fat Basa
Peran ilmu.
Begitu besar.
Tiga orang
yang diseret keneraka akibat tidak ikhlas.
Abu Thalib
masuk neraka karena Jahil.
Pendeta yang
berfatwa keliru tentang pembunuh 99 orang.
Demikian semoga
bermanfaat.
Sragen 12-01-2023.
Junaedi
Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar