November 8, 2012
0
Berkata Al Muhtadi Billah Muhammad bin Al Watsiq (anak dari sang
khalifah Al Watsiq):
“Dahulu ayahku (khalifah Al Watsiq) bila hendak membunuh seseorang,
ia mengajak kami menyaksikannya. Suatu saat dihadapkan kepadanya seorang tua
yang disemir rambutnya dalam keadaan terikat”. (Orang tua ini adalah Abu
Abdillah Ahmad bin Hambal atau Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah).
Ayahku itu berkata: “Ijinkan Abu Abdillah (yaitu Ibnu Abi Duwwad,
seorang ulama dan tokoh Mu’tazilah yang menyakini bahwa Al Qur’an adalah
makhluk, kuniyahnya/julukannya sama dengan imam Ahmad) beserta para sahabatnya
untuk masuk”.
Maka masuklah orang tua itu (Imam Ahmad).
Orang tua itu berucap: “Assalamu’alaika Yaa Amiral Mukminin”.
(semoga keselamatan atas dirimu).
Beliau (Al Watsiq) menjawab: “Laa Sallamallahu ‘Alaika.” (semoga
Allah tidak memberikan keselamatan atas kamu).
Lelaki itu kontan menanggapi: “Sungguh jelek cara kamu memberikn
salam. Padahal Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Apabila kamu dihormati
dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih
baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An Nisaa’ : 86).
Dan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam juga memerintahkan kita
membalas salam!”
Ayahku pun membalas salamnya:”Wa Alaikas salam!” balasnya, kemudian
berkata kepada Ibnu Abi Duwwad: ”Tanyalah kepadanya!”
Syaikh itu berkata: ”Wahai Amirul Mukminin, saya dalam keadaan
terikat seperti ini, saya mengerjakan shalat dalam sel penjara dengan
bertayamum, saya tidak diberi air. Lepaskanlah dahulu ikatan saya ini dan
berilah saya air agar saya dapat bersuci dan mengerjakan shalat setelah itu
tanyalah apa yang ingin ditanyakan padaku.”
Lalu ayahku memerintahkan para pengawal agar melepas ikatannya dan
memberinya air. Syaikh itupun berwudhu lalu mengerjakan shalat. Kemudian ayahku
berkata kepada Ibnu Abi Duwad: “Tanyalah kepadanya!”
Ibnu Abi Duwwad berkomentar: “ Lelaki itu (Imam Ahmad) pandai
bersilat lidah.”
Maka ayahku berkata: “Ajaklah ia bicara.”
Ibnu Abi Duwwad bertanya: “ Apa pendapatmu tentang Al Qur’an?”
Lelaki tua itu menjawab: “Dia tidak bersikap adil terhadapku. Aku
yang seharusnya bertanya.”
Ayahku (Al Watsiq) berkata: “Tanyalah ke Ibnu Abi Duwwad.”
Lelaki itu bertanya: “Apa pendapatmu tentang Al Qur’an?”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: “ Al Qur’an itu makhluk (bukan kalam
Illahi)!”
Syaikh (lelaki tua) itu bertanya lagi: “Apakah ucapan itu adalah
sesuatu yang sudah diketahui oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wasallam, Abu
Bakar, Umar dan Al Khulafa’ Ar Rasyidun yang lain atau belum?”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: ”Belum.”
Lelaki itu berkata: “Maha Suci Allah, sesuatu (masalah agama) yang
tidak diketahui Nabi, namun kamu mengetahuinya?!”
Ibnu Abi Duwwad menjadi malu. Lalu ia berkata: “Beri aku kesempatan
lagi!”
Lelaki tua itu berkata lagi: “Pertanyaannya tetap sama.”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Ya, mereka telah mengetahuinya.”
Lelaki tua itu bertanya lagi: “Mereka mengetahuinya, namun tidak
mendakwahkannya kepada manusia?”
Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Iya”.
Lelaki tua itu bertanya lagi: “Apakah yang cukup mereka lakukan
tidak cukup bagimu?”
Syaikh itu berkata lagi : “Suatu perkara yang tidak didakwahkan
oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam ,tidak pula Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali radhiallahu anhum, lalu Anda mendakwahkannya kepada umat manusia??
Tidak bisa tidak Anda harus berkata: ”Mereka (Para shahabat) mengetahuinya atau
mereka tidak mengetahuinya”. Jika Anda katakan :”Mereka mengetahuinya! Namun
mereka tidak menyuarakannya, maka cukuplah bagi kita semua apa yang telah cukup
bagi mereka, yaitu tidak menyuarakannya!!
Jika Anda katakan: ”Mereka tidak mengetahuinya! Tetapi sayalah yang
mengetahuinya! Maka sungguh celaka Anda ini!! Rasulullah Shalallahu alaihi wa
sallam dan para khulafaur Rasyidin radhiallahu anhum tidak mengetahuinya
sementara Anda dan rekan-rekan Anda mengetahuinya!!”
Al Muhtadi berkata: ”Saya lihat ayahku langsung berdiri dan masuk
ke dalam taman, ia tertawa sambil menutup wajahnya dengan bajunya dan berkata:
”Benar juga, tidak bisa tidak, kita harus mengatakan: ”Mereka mengetahuinya
atau mereka tidak mengetahuinya”. Jika kita katakan: ”Mereka mengetahuinya!
Namun mereka tidak menyuarakannya, maka cukuplah bagi kita semua apa yang telah
cukup bagi mereka, yaitu tidak menyuarakannya! Jika kita katakan: “Mereka TIDAK
mengetahuinya! Andalah yang mengetahuinya, maka sungguh celaka kita ini!!
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan para Khulafaur Rasyidin radhiallahu
anhum tidak mengetahuinya sementara Anda dan rekan Anda mengetahuinya?!”
Kemudian ayahku berkata: ”Hai Ahmad!”
“Laabaika!
Jawabnya.
“Bukan
kamu yang saya maksud,tapi Ahmad bin Abi Duwad! sahut ayahku.
Maka Ibnu Abi Duwad pun segera mendatanginya, ayahku berkata:
”Berilah Syaikh ini nafkah dan keluarkanlah dari negeri kita!”
[Dalam
riwayat as Siyaar: ”Beliau lalu menyuruh orang membuka ikatan lelaki tua itu
dan memberikan kepadanya 400 dinar,lalu mengijinkannya pulang. Semenjak itu
Ibnu Abi Duwad dipandang sebelah mata (jatuh pamor) oleh Khalifah Al Watsiq,
dan setelah itu ayahku tidak pernah menguji orang dengan keyakinan sesat
tersebut.]
Dalam riwayat lain: Al Muhtadi berkata: sayapun insyaf dari
keyakinan sesat tersebut dan saya kira semenjak saat itu ayah sayapun insyaf
darinya”
(Imam
Adz Dzahabi meriwayatkan kisah ini dari Al Muhtadi Billah Muhammad bin Al
Watsiq, anak sang khalifah Al Watsiq di kitabnya Siyaru A’laamin Nubalaa’ juz
XI :312)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar