BAB
5
SYIRIK
BESAR.
SOAL:
3
FENOMENA
KESYIRIKAN PADA MASYARAKAT.
م - هَلِ
الشِّرْكُ مَوْجُودٌ فِي هٰذِهِ الأُمَّةِ.
Soal: Apakah pada
umat ini terdapat syirik besar?
ج- نَعَمْ, مَوْجُودٌ.
Jawab: Benar, ada.
وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ:
Bukti dalilnya, adalah firman Allah ta’ala:
{ وَمَا
يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِالله إِلَّا وَهُمْ مشركون{ ( سورة يوسف : ١٠٦(
"Dan sebahagian besar dari mereka tidak
beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sembahan-sembahan lain)." (Surat Yusuf ayat 106).
وَقَالَ ﷺ:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
) لا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَق قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي
بالمشركين , حتى تعبد الأوثان .(حَدِيثٌ
صحيح رواه الترمذى
"Tidak akan tegak hari Kiamat
hingga sebagian kabilah dari umatku bergabung dengan kaum musyrikin, sampai
mereka menyembah berhala." (Hadits
shahih, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi)
-----000-----
Penjelasan:
1. Kemusyrikan
terjadi dengan berbagai bentuk pada umat ini.
Allah ta’ala
berfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِاللَّهِ إِلَّا
وَهُم مُّشْرِكُونَ .
"Dan sebahagian besar dari mereka tidak
beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sembahan-sembahan lain)." (QS. Yusuf [12]:106).
وَمِنَ
النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ
اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ.
"Dan di antara manusia ada
orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka
mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman
sangat besar cintanya kepada Allah." (QS. Al-Baqarah[2]:165).
اتَّخَذُوا
أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ
مَرْيَمَ ۖ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَـٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَـٰهَ
إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ.
"Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb (tuhan-tuhan) selain
Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada ilah (yang berhak disembah)
melainkan Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (QS.
At-Taubah[9]:31).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لا تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى
تَلْحَق قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بالمشركين , حتى تعبد الأوثان .
"Tidak akan tegak hari Kiamat
hingga sebagian kabilah dari umatku bergabung dengan kaum musyrikin, sampai
mereka menyembah berhala." (HR. Tirmidzi 2219, Abu Dawud 1084, dishahihkan
Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 1683, Al-Misykah 5406).
2. Bentuk-bentuk
kemusyrikan yang terjadi pada umat dahulu.
Kesyirikan pertama kali terjadi pada masa Nabi
Nuh ‘alaihis salam. Terhadap orang-orang shalih di antara mereka, yaitu Wadd,
Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Setelah orang-orang shalih tersebut wafat,
kaum Nabi Nuh membuat patung-patung mereka sebagai bentuk penghormatan.
Awalnya, patung-patung itu didirikan hanya untuk mengenang dan memberi semangat
dalam beribadah.
Allah
subhanahu wa ta'ala berfirman:
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ
آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ
وَنَسْرًا.
"Dan mereka berkata: 'Jangan sekali-kali
kamu meninggalkan sembahan-sembahan kamu dan jangan pula meninggalkan Wadd,
Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr'." (QS. Nuh [71]: 23).
Dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:
أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ
قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنِ
انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمُ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا
وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ
أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ العِلْمُ عُبِدَتْ.
"Berhala-berhala itu merupakan
nama-nama dari orang-orang shalih dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka
(orang-orang shalih itu) telah wafat, setan membisikkan kepada kaum mereka agar
mendirikan patung-patung di tempat-tempat pertemuan yang biasa mereka gunakan,
dan menamakannya dengan nama-nama mereka. Maka kaum itu pun melakukannya,
tetapi patung-patung tersebut pada masa itu belum disembah. Hingga ketika
generasi itu binasa dan ilmu telah dilupakan oleh generasi berikutnya, barulah
patung-patung itu disembah." (HR. Bukhari 4920).
3.
Persamaan kesyirikan yang
terjadi dahulu dan sekarang.
Kesyirikan yang terjadi pada masa lalu dan sekarang tidak jauh berbeda.
1) Bersikap gulu’ (berlebihan) kepada orang shalih.
Kemusyrikan yang
terjadi pada masa nabi Nuh di awali dengan bersikap gulu’ (berlebih-lebihan) terhadap
orang shalih yaitu Wadd, Suwa’,
Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.
Orang-orang islam
sekarang juga bersikap gulu’ (berlebih-lebihan) terhadap orang shalih, seperti mengunjungi
kuburan yang dianggap para wali, atau orang shalih, atau orang sakti kemudian mereka
mengeluh dan meminta kepada penghuni kubur tersebut, bahkan petilasan-petilasan
yang belum jelas sekalipun disatanginya dan dianggab memberikan berkah, bahkan
banyak yang dijadikan tempat-tempat wisata.
Sikap berlebihan
seperti ini dilarang oleh Allah ta’ala, Allah ta’ala berfirman:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى
اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ.
"Wahai
Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar (QS. An-Nisa’: 171)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ
مَسَاجِدَ.
"Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani; mereka telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)." (HR. Bukhari 1330, Muslim 530).
2) Menyembah dan mengagungkan pohon.
Orang-orang dahulu menyembah dan mengagungkan pohon.
Allah ta’ala berfirman:
أَفَرَأَيْتُمُ
اللَّاتَ وَالْعُزَّىٰ . وَمَنَاةَ
الثَّالِثَةَ الْأُخْرَىٰ . أَلَكُمُ الذَّكَرُ
وَلَهُ الْأُنْثَىٰ . تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ
ضِيزَىٰ .إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا
أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا
الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ ۖ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَىٰ.
“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al
Lata dan al Uzza, dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak
perempuan Allah)? Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah
(anak) perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah
nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu mengada-adakannya; Allah tidak
menurunkan suatu keterangan apa pun untuk (menyembah)nya. Mereka hanya
mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya. Padahal sungguh,
telah datang petunjuk dari Tuhan mereka.”
(QS. An-Najm [53]: 19-23).
Latta adalah batu yang diukir, dahulu dia
adalah seorang penumbuk gandum yang diberikan kepada orang berhaji.
‘Uzza adalah pohon yang dinaungi tirai, dan
ta’bir yang berada di Thaif.
Adapun Manat terletak di musyalal daerah Qadid
antara Makkah dan Madinah. (tafsir Ibnu Katsir QS-An-Najm[53]:10-23).
“Dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu’anhu, dia menceritakan: “Kami keluar
bersama Rasulullah sallallhu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain, sedang kami baru
saja meningalkan kekafiran, kami melewati sebuah pohon dimana orang-orang
musyirik menggantungkan pedang-pedang mereka, pohon tersebut dinamakan, “Dzatu Anwath”,
mereka menggelantungkan senjata-senjata mereka pada pohon tersebut. Lalu, kami
berkata:
اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا
لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ فَقَالَ: " اللَّهُ أَكْبَرُ قُلْتُمْ كَمَا قَالَ
أَهْلُ الْكِتَابِ لِمُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ {اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا
لَهُمْ آلِهَةٌ} )الأعراف:
138(
" ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّكُمْ
سَتَرْكَبُونَ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ.
“wahai Rasulullah jadikanlah untuk kami Dzatu
Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.” Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, “Allahu akbar, kalian telah mengatakan seperti
perkataan ahli kitab kepada Musa ‘jadikanlah untuk kami ilah(sembahan) seperti
halnya mereka mempunyai ilah(QS. Al-A’raf[7]:138), sesungguhnya kalian akan
mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian.” (HR. Abu Dawud 1443, Tirmidzi
2180 di sahihkan Syaikh al-Albani di dalam al-Miyskah 5369).
Orang-orang sekarang mereka banyak yang mengagungkan pohon dan meminta
berkah dari pohon tersebut.
Seperti alas purwa (pepohon yang dianggap keramat) di Banyu Wangi, kandang bubrah di Wonogiri, ringin kembar di Jogja, mereka meminta pesugihan, berkah, penglaris. Belum lagi pohon-pohon yang bertebaran di desa-desa dimana saat-saat tertentu mereka mendatanginya dengan membawa sesaji, tumpeng, sego golong (nasi yang dibulatkan) dan ingkung (ayam yang dipanggang). Mereka menganggap pohon-pohon tersebut keramat, terkadang diantara mereka memetik dahan-dahan pohon tersebut untuk ditancapkan di sawah-sawah mereka agar terhindar dari hama atau lainnya.
3) Punden (batu yang ditata) atau tempat yang diagungkan.
Orang-orang
dahulu mengagungkan batu seperti al-Lata, yang berujud batu yang diukir.
Orang-orang
sekarang juga mengagungkan batu-batu (punden) yang masih tersebar banyak di Masyarakat.
Bahkan kesyirikan orang-orang sekarang lebih banyak lagi.
4) Memberi atau melemparkan sesaji ke kawah-kawah gunung.
Seperti memberi sesaji pada gunung Kawi, gunung Kemukus, gunung Lawu, gunung Merapi dan lain-lain, atau melemparkan sesajen di kawah-kawah tersebut atau disekelilingnya, mereka meyakini hal itu akan mendatangkan keberkahan, dan keselamatan dari kemurkaan (yang dianggap) penguasa gunung tersebut.
5) Melarung sesaji di Pantai-pantai.
Hampir sepanjang pesisir pantai-pantai yang ada di Indonesia, masyarakat biasa melarung sesajen, hal itu dilakukan bentuk syukur kepada pantai atau yang dianggap menjadi penguasa pantai tersebut, yang telah dianggap memberikan barakah yang banyak, berupa ikan atau rezeki lain, padahal tidak ada yang mendatangkan rezeki tersebut kecuali Allah subhanahu wa ta’ala, seandainya mereka bersyukur terhadap Allah tentu mereka mentaatinya menjauhkan dari yang dilarang yaitu kesyrikan.
6) Memberi sesaji di gua-gua.
Banyak gua-gua di masyarakat Indonesia, dimana gua-gua tersebut dianggap mendatangkan keberkahan, atau penguasa, sehingga gua tersebut diberi sesajen, ada juga yang mengadakan kurban berupa kambing maupun sapi, dengan anggapan bahwa gua atau yang dianggap penguasanya tersebut telah memberikan keberkahan berupa mengabulkan nadzar-nadzar mereka dan hajad-hajad mereka. Wal iyadzu billah.
7) Memberikan sesaji di sumur-sumur.
Banyak sumur-sumur
yang dikeramatkan di Masyarakat dan diangungkan kemudian mereka memberikan
sesaji-sesaji.
Atau diambil airnya yang dianggap memberikan berkah.
8) Menyembah patung.
Patung atau Arca ini sangat banyak sekali yang bertebaran di sekitar masyarakat kaum muslimin, baik yang berujud manusia, hewan atau wujud lainnya, banyak manusia mengambil barakah dari patung situ, seperti diantaranya patung Rara Junggrang yang berada di jogja, patung di pringgondani, maupun berbagai tempat lainya.
9) Mencari berakah di Sungai-sungi.
Mereka berjalan di malam hari pada tanggal satu Sura, kemudian pergi ke tempuran sungai (dua aliran sungai yang bertemu) kemudian berendam disitu untuk mencari berakah.
10) Mencari berakah pada waktu tertentu untuk melakukan sesuatu.
Seperti kebiasaan orang-orang untuk melakukan ritual di bulan Sura, dengan mencuci gaman, kirab kerbau, naik kepuncak gunung, maupun di pantai-pantai, ditempat-tempat seperti ini pada waktu sura dianggab bisa mendatangkan keberkahan.
11) Mengambil berakah dari binatang.
Sebagian memiliki anggapan bahwa ada hewan-hewan tertentu tersebut yang dapat mendatangkan keberkahan, seperti kotoran kerbau bule yang konon disebut kyai slamet bisa mendatangkan keberkahan, memelihara ikan lohan dengan corak tertentu, burung perkutut, kucing dengan anggapan bahwa hal itu dapat memberikan keberkahan.
12) Mengambil berakah dari benda atau zimat-zimat.
Seperti: keris, akik,
tombak, sabuk, kulit hewan, tulang, taring, batu dan lain-lain, dimana
benda-benda ini pada malam jum’at, atau saat tertentu diberi saji berupa minyak
wangi ataupun bunga, kemudian diyakini hal itu dapat mendatangkan barakah,
mereka merendam di air dan diberikan pada orang yang sakit, atau mengabulkan
permintaan mereka berupa wibawa, penglaris, kekuatan, atau pengasian. Mereka
juga meyakini zimat-zimat tersebut dapat menolak madharat.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ.
"Sesungguhnya ruqyah (yang tidak syar'i), tamimah (jimat), dan tiwalah (pelet) adalah syirik." (HR. Abu Dawud 3883, Ahmad 3165, Syaikh al-Albani berkata, Shahih ligairihi, di dalam Ash-Shahihah 331, 2972).
13) Menanam, maupun menggantungkan sesaji .
Menggantungkan atau mengubur sesaji baik ketika membuat rumah, menikahkan anak, ataupun bersih desa.
14) Memberikan sesajen di meja di waktu lebaran.
Mereka meyakini bahwa ruh-ruh leluhur dianggap pulang pada waktu lebaran.
15) Merendam bunga setaman.
Hal ini dilakukan setiap malam jum’at di depan pintu atau tempat yang lain kemudian di buang di halaman atau di jalan di waktu pagi.
16) Tingkepan (bahasa jawa mitoni).
Hal ini diyakini bisa menolak balak, dan dianggap mendatangkan keberkahan, padahal ini merupakan kebiasaan orang-orang hindu. (Tradisi–tradisi Adi Luhung Para Leluhur Jawa. Yogyakarta: DIPTA).
17) Menanam ari-ari dan memberinya lampu.
Mereka
memiliki anggapan:
Kakang Kawah
(Kakak Air Ketuban):
Air ketuban yang keluar pertama kali sebelum bayi lahir dianggap
sebagai "kakak" dari si bayi, sedangkan ari-ari (plasenta) yang keluar setelah bayi lahir
dianggap sebagai "adik" dari si bayi.
Dalam anggapan masyarakat ketika bayi lahir, diyakini dia
"ditemani" oleh dua makhluk ghaib yaitu kakang kawah dan adi ari-ari, yang menjaga dan menjadi
temannya, oleh karena itu sebagian masyarakat mewajibkan ditanam di pagari,
diberi bunga dan lampu di malam hari.
Keyakian-keyakinan seperti ini tidak bersumber dari islam, oleh karena itu hendaknya ditinggalkan.
18) Memberikan gelang atau kalung. Gelang dan kalung yang dimaksud diyakini dapat menolak balak, lelembut (setan jahat) atau bahaya lainnya.
Allah ta’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا
كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ.
“Dan jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia.” (QS. Al-An’am[6]: 17).
19) Meletakkan senjata tajam di dekat anak.
Anak yang baru lahir dianggap rawan diganggu setan, agar tidak di ganggu maka diletakkanlah pisau, gunting atau selainnya di dekat bayi agar para pengganggu (setan maupun lainnya) takut.
20) Meletakkan benda-benda atau rajah-rajah yang tak diketahui maknanya di atas pintu rumah atau ditanam di dalam halalaman.
Hal ini diyakini mampu menolak dapat menolak
bahaya kepada penghuni rumah, dan dapat mendatangkan keberkahan.
Tathayyur
Banyaknya masyarakat kita yang
masih meyakini tathayyur (anggapan sial) padahal ini adalah larangan keras di
dalam agama, dari sini hendaknya kita memperhatikan pentingnya kita mengetahui
permasalahan ini, diantaranya:
Pengertian tathayyur.
Tathayyur atau
thiyarah, secara bahasa diambil dari kata الطَّيْر
(tha’ir) yang artinya ‘burung’. Karena orang-orang arab dimasa dahulu, ketika
mereka hendak bepergian (atau ada keperluan penting), mereka biasa mengambil
seekor burung dan kemudian diterbangkan. Jika burung tersebut terbang ke arah
kanan, itulah yang dikehendaki, namun jika burung tersebut terbang kearah kiri
mereka mengurungkan niatnya.
Pengertian tathayyur secara
istilah yaitu menganggap sial atas apa yang dilihat, didengar, atau yang
diketahui, tanpa adanya dalil dan bukti ilmiah. (lihat Al Qaulul mufid, Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin).
Sedangkan menurut, Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan :
التطـيُّر:
هُوَ التَّشَاؤُمُ مِنَ الشَّيْءِ المَرْئِيِّ أَوْ المَسْمُوْع
At-tathayyur yaitu, “Merasa sial karena
sesuatu yang dilihat maupun yang didengar” (Miftah
Daris Sa’adah, 3/311).
Hukum
tathayyur ada dua:
1)
Apabila
menganggap yang mendatangkan manfaat dan madharat adalah makhluk atau sesuatu
selain Allah tersebut maka hukumnya adalah Syirik akbar.
2)
Namun
apa bila meyakini yang mendatangkan manfaat dan madharat adalah Allah,
sedangkan sesuatu tersebut hanyalah sebab saja, maka hukumnya syirik kecil.
Larangan
tathayyur.
Tathayyur dilarang di dalam agama, karena orang yang melakukan atau
meyakini tathayyur menisbatkan kebaikan dan keburukan, keselamatan
dan kesialan, kepada selain Allah. Padahal itu semua terjadi atas ketetapan
Allah. Allah ta’ala berfirman :
فَإِذَا
جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ
يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ
وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ.
“Jika
datang kebaikan pada mereka, mereka berkata: ini karena kami. Dan jika mereka
ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan
orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu
adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
(QS. Al-A’raf[7]:131).
قَالُوا
إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ
وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ. قَالُوا طَائِرُكُمْ
مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ.
Mereka berkata,
“Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. Sungguh, jika kamu tidak
berhenti (menyeru kami), niscaya kami rajam kamu dan kamu pasti akan merasakan
siksaan yang pedih dari kami.” Mereka (utusan-utusan) itu berkata, “Kemalangan
kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan?
Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Yasiin[36]:18-19).
Dari Abu
Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ
صَفَرَ.
"Tidak
dibenarkan menganggap penyakit menular dengan sendirinya (tanpa ketentuan
Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial, tidak dibenarkan pula beranggapan
nasib malang karena burung, juga tidak dibenarkan beranggapan sial di bulan
Shafar.” (HR. Bukhari 5757, Muslim 2220).
زَادَ مُسلِمُ: وَلاَ نَوْءَ وَلاَ غُوْلَ.
Imam Muslim menambahkan “Tidak ada
bintang dan tidak ada ghul (hantu).”
اَلطِّيَرَةُ
شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ
اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.
“Thiyarah
itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti
terbetik dalam hatinya. Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal
kepadaNya.” (HR.
Bukhari di dalam Adabul Mufrad 909, Tirmidzi 1614).
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطَيِّرَ لَهُ.
“Bukan
bagian dari kami orang yang melakukan tathayyur atau orang yang meminta
dilakukan tathayyur untuknya” (HR. al-Bazzar 3578, dihasankan
al-Albani dalam At-Tharhib wa Thagib 3041).
Dari Anas
radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا
عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ: الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ
الْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ .
“Tidak ada keyakinan bahwa penyakit itu datang sendiri dan
tidak boleh bersikap thiyarah. Sesungguhnya aku kagum dengan sikap yang
optimis, yaitu perkataan yang baik.” (HR.
Bukhari 5756, Muslim 2224, Ahmad 12323).
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
anhuma, ia berkata: “Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ, قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ, قَالَ: أَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمْ
:اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ
إِلَهَ غَيْرُكَ.
“Barangsiapa
mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Para
Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan
kecuali kebaikan dari Engkau, tidak ada keburukan melainkan darimu dan tidak
ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.” (HR. Ahmad 7045, di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam
Ash-Shahihah 1065).
Contoh-contoh
tathayyur.
Beranggapan sial dari waktu, seperti:
1)
Bulan Muharram atau Sura, orang tidak
berani bangun rumah, pindah rumah, mengadakan walimahan sampai-sampai menebang
pohon tidak berani.
2)
Bersamaan tanggal lahir (wethon) atau
kematian orang tua, tidak berani mengadakan hajatan pada
persamaan waktu tersebut.
3)
Dari hewan, seperti burung
gagak, burung hantu, burung kedasih, cicak, ular, kucing, tokek.
4)
Dari arah, seperti barat ke
utara (dianggap bujur mayit, naga hari diangap hari na’as bila pergi ketempat
tertentu, tinggal ditotokan jalan (tusuk
sate), tinggal di belakang rumah orang tua, tinggal berhadapan dengan orang tua,
kakak beradik dapat istri atau suami satu desa dianggap kalah salah satu.
5)
Saat istri hamil, tidak boleh
mengalungkan handuk kuatir anaknya berkalung ari-ari, tidak boleh membunuh
binatang sekalipun lele, tidak boleh nyembelih karena diyakini anaknya bisa
cacat.
6)
Jika anak lahir sama harinya dengan
orang tua. Anak harus dibuang terlebih dahulu, kemudian
di beli atau ditebus oleh orang tuannya.
7)
Berkaitan dengan angka, seperti anak
nomer satu tidak boleh menikah dengan nomer tiga, bahkan ternyata bukan hanya
di pelosok desa saja tapi orang-orang yang sudah memahami sains sekalipun masih
meyakini hal ini, mereka membuat nomer kursi pesawat atau nomer kamar hotel
dengan melompatkan nomer 13.
8)
Menganggap sial jika kegunung atau
kepantai dengan memakai pakaian warna pupus pisang (warna hijau muda). Seandainya hal
itu karena menyulitkan orang yang mencari disebabkan pakaian tersebut memiliki
warna sama dengan air maupun dedaunan hal ini tidak masalah, tapi seandainya
sebabnya warna tersebut adalah warna kesukaan atau yang dibenci oleh yang
dianggap penguasa setempat inilah yang terlarang.
Semua ini tidak benar dan tidak dibenarkan
syari’at, justru menjadikan kehidupan manusia semakin sulit, sempit dan runyam.
Allah ta’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلاَ
كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ لِفَضْلِهِ.
“Jika
Allah menimpakan kepadamu kemudaratan maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia dan bila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka
tidak ada yang dapat menolak keutamaan-Nya.” (QS. Yunus [10]:
107).
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ
اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ
الظَّالِمِينَ.
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat
dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu
berbuat (yang demikian), itu, Maka Sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk
orang-orang yang zalim." (QS. Yunus [10]: 106).
Orang-orang yang melakukan tathayyur telah terjerumus di dalam
kesyirikan bisa jadi syirik kecil maupun syirik besar, bila semata-mata hal
itulah diyakaini yang mendatangkan madharat hal ini bisa membawa kepada syirik
besar, namun jika itu hanya sebab saja, sedang dia meyakinin Allahlah yang
mendatangkan manfa’at dan madharat, tidak menjadikan syirik besar. Namun mereka bisa jadi tidak mendapatkan
keutamaan masuk surga tanpa hisab tanpa adzab.
Bagaimana kita mengurai keyakinan
tathayyur tersebut.
1) Hendaknya kita meyakini islam adalah agama yang telah sempurna.
2) Hendaknya seseorang masuk islam secara keseluruhan.
3) Hendaknya mengambil sumber aqidah kita dari Al-Qur’an dan Sunnah
yang shahih serta ijma’ para pendahulu kita yang shalih.
4) Meninggalkan keyakinan yang tidak benar, baik yang diambil dari
dongeng-dongeng nenek moyang kita, dari mimpi ataupun kisah maha barata atau
Ramayana.
5) Meyakini semua telah ditetapkan Allah di dalam taqdirnya, tidak
ada yang dapat mendatangkan manfaat dan menolak madharat kecuali Allah
subhanahu wa ta’ala.
6) Bertawakal kepada Allah ta’ala, niscaya Allah akan memberikan
perlindungan kepada hambanya yang bertaqwa.
Demikianlah kemusyrikan yang
terjadi pada zaman dahulu dan apa yang terjadi pada zaman kita sekarang ini,
semoga kita menyadari bahayanya dan meninggalkan serta menjahui sejauh-jauhnya.
Aamiin.
-----000-----
Sragen 24-06-2025
Junaedi Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar