Senin, 03 Februari 2025

HAK 12, ORANG ALIM YANG MENGAJARKAN ILMUNYA.



HAK 12

HAK SEORANG ALIM YANG MENGAJARKAN ILMUNYA.

 

Seorang guru (pendidik) merupakan orang yang sangat berjasa kepada kita, mereka berjuang untuk menghilangkan kebodohan kita, mencurahkan waktunya, memeras tenaganya, terkadang rela meninggalkan kedekatan dari anak dan istri semata-mata karena ingin menyampaikan ilmu kepada murid-muridnya, karena pada dasarnya ilmu itu harus dipelajari secara langsung dari seorang guru, sehingga mudah untuk memahami, meskipun juga bisa ditempuh dengan cara yang lain.

Oleh karena itu seorang guru (pendidik) memiliki hak yang besar, adapun di antara hak tersebut yaitu:

1.   Memuliakan mereka.

Sungguh memuliakan kepada seorang guru(pendidik) merupakan indikasi kesuksesan seseorang di dalam menuntut ilmu dan memuliakan ilmu, dan merupakan taufik dari Allah ta’ala, karena memuliakan mereka merupakan bentuk rasa syukur atas ilmu yang diberikan.

Allah ta’ala berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.

“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang orang yang di beri ilmu dengan beberapa derajat.” ( QS Al-Mujadilah[58]:11)

Sebagai bentuk syukur kepada Allah dan kepada gurunya, karena syukur kepada Allah tidak akan terwujud apa bila manusia tidak bersyukur kepada orang yang berjasa terhadap dirinya.

Allah menyebutkan, betapa sedikitnya orang-orang seperti ini.

وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ  .

“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih. (QS. Saba’ [34]: 13].

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersadba:

لَا يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لا يَشْكُرُ النَّاسَ.

“Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Bukhari di dalam Adabul Mufrad 218, Tirmidzi 1954, Ahmad 11703 dishahihkan syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 716).

Orang-orang yang mengajarkan kebaikan-kebaikan, baik disekolahan, di pondok, dimasjid yang mengajarkan Al-Qur’an, pengajian-pengajian sampai para ulama besar, mereka semua itu termasuk orang yang mulia, yang harus dimuliakan, sebagaimana  pesan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ.

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang muda dari kami serta tidak mengenal hak orang alim dari kami.” (HR. Ahmad 22755, Thabrani di dalam Mu’jam 7703,  Makarimul akhlak 147,   dihasankan Syaikh al-Albani di dalam at-Targhib 96, Shahihu al-Jami’ 5443).

2.   Memuliakan sahabat-sahabatnya, muridnya dan keluarganya.

Karena apabila gurunya dimuliakan, namun sahabat-sahabat, murid-murid dan keluarganya direndahkan secara tidak langsung telah merendahkan gurunya. Inilah yang dilakaukan oleh orang-orang Syi’ah Rafidhah.

Mereka telah mengkafirkan kepada mayoritas para sahabat, istri-istri beliau, di mana hakekatnya yang mereka hina dan rendahkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Karena Allah telah memuji para sahabat di berbagai tempat di dalam Al-Qur’an.

Allah ta’ala berfirman:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّه.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran [3] : 110).

فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah [2]: 137).

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا.

“Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath [48]: 18).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan kemuliaan para sahabat dan melarang mencaci maki mereka.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ.

Tidak akan masuk neraka orang-orang yang berbaiat di bawah pohon.” (HR. Abu Dawud 4653, Tirmidzi 3860, beliau berkata: hasan shahih. Syaikh al-Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ 7680).

Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, kemudian setelah mereka lagi.” (HR. Bukhari 2652, Muslim 2533. Dengan lafald dari Bukhari).

Abu Sa’id Al Khudri radiyallahu’anhu berkata, Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا, مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلاَ نَصِيفَهُ.

Jangan kalian mencela para sahabatku, seandainya salah seorang kalian menginfakkan emas sebesar Uhud tidak akan bisa menyamai satu mud-nya mereka tidak juga setengahnya.” (HR. Bukhari  3673, Muslim 2540).

Demikianlah kalau kita memuliakan guru kita, kita juga harus memuliakan sahabat, murid dan keluarga beliau, kecuali orang-orang yang menyimpang dari mereka.

3.   Bersungguh-sungguh dalam mengambil ilmu dari guru kita.

Para ulama yang mengajarkan ilmunya, mereka adalah orang-orang yang mulia, menyalakan lampu-lampu dan menerangi kegelapan dengan cahaya, menebar kebaikan dan memadamkan keburukan, meskipun terkadang diri dan keluarga mereka terancam, mereka adalah orang-orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.

“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang orang yang di beri ilmu dengan beberapa derajat.” ( QS Al-Mujadilah[58]:11).

Mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah ta’ala.

Allah ta’ala berfirman:

اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤا.

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS. Fatir[35]:28).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan mereka dengan bersabda:


فَضْلُ العَالِمِ عَلىَ العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلىَ سَائِرِ الكَوَاكِبِ.

“Keutamaan orang yang berilmu (yang mengamalkan ilmunya) atas ahli ibadah adalah seperti bulan di malam purnama atas semua bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Dawud 3641, Ibnu Majah 223 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Al-Miskah 212).

Mereka merupakan pewaris para nabi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.

“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Tirmidzi 2682, Abu Dawud 3641, Ibnu Majah 223, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam At-Targib 68).

Mereka merupakan orang-orang pilihan Allah ta’ala, hal itu dikuatkan dengan firmanNya:

 ثُمَّ أَوْرَثْناَ الْكِتاَبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْناَ مِنْ عِباَدِناَ.

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (QS. Fathir[35]: 32).

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: “Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-Kitab (Al-Quran) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka adalah dari umat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/577)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi al-Ulama waratsatil anbiya (ulama adalah pewaris para nabi).” (Fathul Bari, 1/83)

Hendaknya selagi masih ada kesempatan kita menuntut ilmu dari mereka, mendatangi dan duduk bersama mereka, karena waktu seperti itu sangat terbatas.

Adapun dalil-dalil kewajiaban menuntut ilmu dan keutamaannya sangat banyak.

Allah ta’ala berfirman:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ.

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosa-dosamu.” (QS. Muhammad[47]:19).

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dishahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah  224)

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada seseorang maka Allah akan memberikan kefaqihan (pemahaman) agama baginya.“ (HR. Bukhari 71, 3116, Muslim 1037)

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ.

“Barang siapa meniti suatu jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Ahmad 8316, Tirmidzi 2646, Ibnu Majah 223, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam Shahih Ibnu Majah 225). 

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah berkata, aku mendengar ayahku berkata:

لَا يَأْتِي الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجَسَدِ

“Ilmu tidak akan didapatkan dengan tubuh yang santai (tidak bersungguh-sungguh).” (Hilyat al-Auliya wa Thabaqatul Asfiya’ 3/66, Abu Nu’aim Al-Ashbahani).

Dalam perkataan yang lain beliau juga berkata:

مِيرَاثُ الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ مِيرَاثِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ.

“Mewariskan ilmu lebih baik dari mewariskan emas dan perak.” (Jami’u Bayan al-Ilmi wa fadlihi 553, Abu Umar Yusuf bin ‘Abdullah bin Muhammad Ibnu ‘Abdul Barr al-Qurtubi).

 

Sungguh mengherankan orang yang memiliki waktu dan kemampuan namun mereka tidak tertarik dengan mempelajari ilmu, adakah sesuatu yang bisa meninggikan derajat di dunia maupun di akhirat selain ilmu..?

4. Tidak mengambil berkah kepada guru dengan cara yang salah.

Banyak para penuntut ilmu mereka mengambil berkah kepada gurunya dan menyamakan gurunya dengan para Nabi dan Rasul.

Mereka menganggap bahwa apa saja yang berkaitan dengan gurunya dianggap mendatangkan berkah, seperti sisa minumnya, baju bekasnya, sisa air wudhu’nya sisa makanannya, tempat yang mereka singgahi (petilasan) dan lain-lain.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Beliau diberkahi ketika masih hidup dan sesudah wafat Beliau, seperti pakaian, rambut, sisa wudhu’, bejana, tempat minum, sampai keringat Beliau, hingga apa saja yang dahulu digunakan oleh Beliau.

Ini juga berlaku bagi Nabi dan Rasul yang lainnya, seperti peninggalan nabi Musa dan Harun.

Allah ta’ala berfirman:

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ.

“Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun tabut itu dibawa malaikat.” (QS. Al-Baqarah[2]:248).

Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir.

 وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ.

“Dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun.” (QS.Al-Baqarah[2]:248).

Ada yang menafsirkan, tongkat dan kedua sandal Nabi Musa dan Harun. (Lihat tafsir Ibnu Katsir, QS Al-Baqarah[2]:248).

Umu Salamah juga menyimpan rambut Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam yang ditempatkan di bejana yang terbuat dari perak, apabila ada sahabat yang sakit maka rambut tersebut direndam dengan air kemudian diminumkan kepada yang sakit kemudian (dengan izin Allah) sembuh. (Syarah Riyadhus Shalihin bab Tahrimi Inaaidz dzahabi wa inaail fidhdzati, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin).

Para sahabat tidak melakukan hal ini kecuali hanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak kepada Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, atau sahabat lainnya yang telah dijamin masuk surga.

Kalau para sahabat yang utama saja tidak diperlakukan sahabat yang lain untuk di ambil berkahnya (kecuali ilmu yang mereka sampaikan) bagaimana lagi dengan para guru, ustadz, kyai bahkan ulama sekalipun, di mana mereka tidak akan bisa menyamai kedudukan Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali  apalagi dengan para Nabi dan Rasul.

Yang benar mencari berkah kepada guru kita dan orang shalih lainnya yaitu dengan mengambil ilmunya, mengamalkan petunjuknya yang benar yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

5. Tidak bersikap guluw (berlebihan) dan mengkultuskan gurunya.

Islam melarang bersikap guluw dan mengkultuskan manusia, sikap guluw (berlebihan) terhadap guru, kyai, ustadz, ulama telah merajalela pada masyarakat kita, sebagian mereka mengklaim bahwa gurunya pasti benar dan tidak mungkin salah seakan-akan surga neraka ditentukan oleh gurunya. 

Sebagian yang lain sama sekali tidak berani berbeda pendapat dengan gurunya. Meskipun telah jelas jelas bahwa gurunya menyalahi dalil baik dari Al-Qur’an dan Sunnah, Allah melarang ini semua.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ.

“Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar." (QS.An-Nisa’[4]:171).

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ.

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain-Allah.” (QS.At-Taubah[9]:31).

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut Addi bin Hatim berkata:

إِنَّهُمْ لَمْ يَعْبُدُوهُمْ. فَقَالَ: بَلَى، إِنَّهُمْ حَرَّمُوا عَلَيْهِمُ الْحَلَالَ، وَأَحَلُّوا لَهُمُ الْحَرَامَ، فَاتَّبَعُوهُمْ، فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَّاهُمْ.

"Sesungguhnya mereka tidak menyembahnya." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bahkan itu benar, sesungguhnya mereka mengharamkan yang halal bagi para pengikutnya dan menghalalkan hal yang haram bagi mereka, lalu mereka mengikutinya, yang demikian itulah ibadah mereka kepada orang-orang alim dan rahib-rahib mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. At-Taubah [9]:171, HR. Tirmidzi 3095, Tabrani 218, dihasankan oleh syaikh al-Albani di dalam Goyatul maram fi tahriji ahaditsi al-halali wal haram 6).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ.

 “Tidak ada ketaatan di dalam maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan hanyalah pada perkara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari 7257, Muslim 1840).

Dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata:

يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيكْم ْحِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ, أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ؟

Ibnu Abbas berkata: “Hampir saja kalian akan dihujani batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantah dengan mengatakan: Tapi Abu Bakar dan Umar berkata demikian.” (majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 215/20, Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/145 Ibnu Abdil Bar di dalam, Jami’u Bayanil ‘ilmi wa fadzlihi 2/239, Syarhu Riyadhus Shalihin Syaikh Utsaimin 2/284).

Imam Abu Hanifah berkata:

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي

“Apabila hadits itu sahih, maka itulah madzhabku,” (Sifat shalat Nabi, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiah 1/63).

Para imam madzhab lainnya juga memiliki pendapat yang semakna dengan hal ini.

Oleh karena itu tidak boleh seseorang bersikap guluw dan mengkultuskan seorang alim.

6.   Tidak memanggil dengan sebutan namanya.

Hendaknya tidak memanggil guru kita dengan menyebut namanya saja atau menyebut nama dan julukannya, misalnya: "WahaI Guru Fulan!" Tetapi, katakan, "Wahai guruku!" Atau, "Wahai guru kami!" Jangan menyebut namanya karena yang demikian itu lebih santun. Jangan berbicara kepadanya dengan menggunakan kata ganti "kamu" atau memanggilnya dari jauh kecuali dalam keadaan darurat.

Perhatikan petunjuk yang disebutkan oleh Allah tentang adab kepada guru yang mengajarkan kebaikan kepada seluruh manusia, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah ta’ala berfirman:

لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا

"Jangan kaujadikan panggilanmu kepada Rasul seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian lain..." (QS. An-Nur [24]:64). (Hilyah Thalibil ilmi, Syaikh Bakar Bin Abdullah Abu Zaid).


إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ.

“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakkan mereka tidak mengerti.”(QS. Al-Hujrat[49]:4).

7. Bertanya dengan baik dan sopan, tidak bermaksud untuk menguji.

Menahan diri untuk tidak bertanya samapi guru selesai menjelaskan, bisa jadi yang akan ditanyakan akan dijelaskan, demikian pula hendaknya memilih kata yang baik, singkat dan padat tidak bertele-tele di dalam bertanya, tidak meniatkan untuk menguji gurunya.

Namun apabila dimaksudkan agar sahabat-sahabatnya yang belum mengetahui agar menjadi tahu hal ini dibolehkan berdasarkan hadits JIbril yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar para sahabat mengetahui.

Allah ta’ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ.

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui.” (QS al-Anbiyaa’ [21]: 7).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلا سَأَلُوا إِذَا لَمْ يَعْلَمُوا ، فَإِنَّمَا شَفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ.

“Tidakkah mereka bertanya jika tidak mengetahui. Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah dengan bertanya….” (HR. Ahmad 3056, Abu Dawud 337, Ibnu Majah 572, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahih Abu Dawud 364).

8. Meluruskan gurunya dengan lemah lembut dan secara rahasia.

Pada dasarnya manusia siapapun dan betapun tinggi derajatnya tidak akan lepas dari kesalahan, termasuk dalam hal ini guru kita, karena mereka manusia sebagaimana yang lain.

Seorang murid berkewajiban meluruskan gurunya jika didapati menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah, tidak mendiamkan karena segan ataupun takut.

Allah ta’ala berfirman:

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ.

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri” (QS. An-Nisa[4]:79).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.

“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.” (HR Ibnu Majah 4251, di hasankan syaikh al-Albani di dalam al-Misykah 2341).

Mengingatkan guru kita ketika ketika guru kita keliru ini merupakan kebaikan dan perintah agama, kita mencintai guru kita tetapi kebenaran lebih kita cintai, oleh karena itu membiarkan kesalahan termasuk pelanggaran.

Allah ta’ala berfirman:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran[3]:104).

Dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri beliau berkata, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ.

“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim 49).

Hendaknya meluruskan dengan rahasia, hal ini agar tidak menjatuhkan martabat gurunya, dan menjadikan manusia lari dan menjahui ilmu.

Sebagaimana para penguasa juga tidak boleh disebarkan aib-aibnya agar tidak hilang kepercayaan masyarakat, sehingga terjadi kerusakan yang lebih besar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ.

Barangsiapa ingin menasehati penguasa dengan sesuatu hal, maka janganlah tampakkan nasehat tersebut secara terang-terangan. Namun ambillah tangannya dan bicaralah empat mata dengannya. Jika nasehat diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, engkau telah menunaikan apa yang dituntut darimu” (HR. Ahmad 15333, ash-Sunnah ibnu Abi Ashim 1096, 1097, dishahihkan Syaikh al Albani dalam Takhrij ash-Sunnah li ibni Abi Ashim 1097).

9.   Hendaknya bersikap tawadhu’ tidak menyombongkan diri.

Banyak para penuntut ilmu setelah mereka memiliki ilmu mereka merasa lebih mampu dan lebih tahu dari gurunya, kemudian bersikap takabur atau sombong, mereka memandang rendah gurunya, merasa tidak pantas mendengarkan gurunya, bahkan tak segan-segan di antara mereka menghajr (mendiamkan) gurunya, lupa bahwa dahulu gurunya pernah mendidik dirinya.

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْتَكْبِرِينَ.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (QS. An Nahl[16]: 23).

Perlu diketahui orang-orang yang sombong cepat atau lambat pasti binasa sebagaimana pendahulunya yaitu iblis.

Allah ta’ala berfirman:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَر وكان من الكفرين  .

“Ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun bersujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.” (QS. Al-Baqarah[2]: 24).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدَةً مِنْهُمَا، أَلْقَيْتُهُ فِي جَهَنَّمَ.

Allah Azza Wa Jalla berfirman: 'Kesombongan adalah selendang-Ku, kebesaran adalah sarung-Ku, barangsiapa mengambil salah satu dari keduanya dari-Ku, maka ia akan Aku lemparkan ke dalam neraka."(HR. Ahmad 9508, Ibnu Majah 4174, Abu Daud 4090, dishahihkan syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 541).

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.

"Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi. Ada seseorang yang bertanya, 'Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?' Beliau menjawab, 'Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." (HR. Muslim 91, Tirmidzi 1999, Ibnu Majah 59).

Imam Mujahid rahimahullah berkata:

لاَ يَتَعَلَّمُ العِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِرٌ.

“Orang yang pemalu dan sombong tidak akan mendapatkan ilmu.”( Shahih Bukhari 1/38).

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ.

“Tiga perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya.” (HR. Baihaqi di dalam Syu’abul Iman 731, Musnad al-Bazar 6491, Tabrani di dalam al-Mu’jam al-Ausath 5754, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 1802).

Hendaknya bersikap tawadhu’ kepada gurunya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ.

Dan tidaklah seseorang itu tawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim 2588).

10.   Hendaknya selalu mendoakan gurunya di dalam kebaikan.

Para ulama dahulu mereka selalu mendoakan kebaikan untuk guru-gurunya.

Al-Imam Nawawi rahimahullah berkata:

وَقَدْ كَانَ بَعْضُ الْمُتَقَدِّمِيْنَ إِذَا ذَهَبَ إِلَى مُعَلِّمِهِ تَصَدَّقَ بِشَئْ ٍوَقَالَ اللَّهُمَّ اسْتُرْعَيْبَ مُعَلِّمِي عَنِّى وَلاَ تَذْهَبْ بَرَكَةَ عِلْمِهِ مِنِّى.

“Sebagian (Ulama) terdahulu jika berangkat menuju gurunya ia bershodaqoh dengan sesuatu kemudian berdoa: Ya Allah, tutuplah aib guruku dariku. Jangan hilangkan keberkahan ilmunya dariku.” (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (1/36), At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran (1/47))

قَالَ لْحَارِثَ بْنَ سُرَيْجٍ النَّقَّالَ يَقُولُ: سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ يَقُولُ: أَنَا أَدْعُو اللَّهَ لِلشَّافِعِيِّ أَخُصُّهُ بِهِ.

Al Harits bin Suraij berkata, aku mendengar Yahya bis Sa’id berkata, “Aku senatiasa berdo’a pada Allah untuk Imam Syafi’i, aku khususkan do’a untuknya.”(Ma’rifatu As-Sunan wal Atsar 372).

Ahmad bin Hambal berkata: "Sungguh aku mendoakan untuk Syafi'i dalam salatku selama 40 tahun. (Minhaj al-Muhahadzdzitsin fil Qur’an, ‘Ali ‘Abdul Basith Mazid 1/238).

Demikianlah di antara hak seorang alim agar kita mengetahui.

Semoga bermanfaat. Aamiin.

 

-----000-----

Sragen 04-02-2025.

Junaedi Abdullah.

 

HAK 12, ORANG ALIM YANG MENGAJARKAN ILMUNYA.

HAK 12 HAK SEORANG ALIM YANG MENGAJARKAN ILMUNYA.   Seorang guru (pendidik) merupakan orang yang sangat berjasa kepada kita, mereka be...