HAK 12
HAK SEORANG ALIM YANG MENGAJARKAN
ILMUNYA.
Seorang guru (pendidik) merupakan orang yang sangat berjasa
kepada kita, mereka berjuang untuk menghilangkan kebodohan kita, mencurahkan
waktunya, memeras tenaganya, terkadang rela meninggalkan kedekatan dari anak
dan istri semata-mata karena ingin menyampaikan ilmu kepada murid-muridnya,
karena pada dasarnya ilmu itu harus dipelajari secara langsung dari seorang
guru, sehingga mudah untuk memahami, meskipun juga bisa ditempuh dengan cara
yang lain.
Oleh karena itu seorang guru (pendidik) memiliki hak yang besar, adapun di antara hak tersebut yaitu:
1. Memuliakan mereka.
Sungguh memuliakan kepada seorang guru(pendidik) merupakan
indikasi kesuksesan seseorang di dalam menuntut ilmu dan memuliakan ilmu, dan
merupakan taufik dari Allah ta’ala, karena memuliakan mereka merupakan bentuk rasa
syukur atas ilmu yang diberikan.
Allah ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.
“Allah akan mengangkat derajat
orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang orang yang di beri ilmu dengan
beberapa derajat.” ( QS Al-Mujadilah[58]:11)
Sebagai bentuk syukur kepada Allah dan kepada gurunya, karena
syukur kepada Allah tidak akan terwujud apa bila manusia tidak bersyukur kepada
orang yang berjasa terhadap dirinya.
Allah menyebutkan, betapa sedikitnya orang-orang seperti ini.
وَقَلِيلٌ
مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ .
“Dan sedikit
sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih. (QS. Saba’ [34]: 13].
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersadba:
لَا
يَشْكُرُ اللهَ مَنْ لا يَشْكُرُ النَّاسَ.
“Tidaklah
bersyukur kepada Allah orang yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Bukhari
di dalam Adabul Mufrad 218, Tirmidzi 1954, Ahmad 11703 dishahihkan syaikh
al-Albani di dalam Ash-Shahihah 716).
Orang-orang yang mengajarkan
kebaikan-kebaikan, baik disekolahan, di pondok, dimasjid yang mengajarkan
Al-Qur’an, pengajian-pengajian sampai para ulama besar, mereka
semua itu termasuk orang yang mulia, yang harus dimuliakan, sebagaimana pesan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam:
لَيْسَ
مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا، وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ
لِعَالِمِنَا حَقَّهُ.
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua dan tidak menyayangi yang muda dari kami serta tidak mengenal hak orang alim dari kami.” (HR. Ahmad 22755, Thabrani di dalam Mu’jam 7703, Makarimul akhlak 147, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam at-Targhib 96, Shahihu al-Jami’ 5443).
2. Memuliakan sahabat-sahabatnya, muridnya dan keluarganya.
Karena
apabila gurunya dimuliakan, namun sahabat-sahabat, murid-murid dan keluarganya direndahkan
secara tidak langsung telah merendahkan gurunya. Inilah yang dilakaukan oleh
orang-orang Syi’ah Rafidhah.
Mereka telah
mengkafirkan kepada mayoritas para sahabat, istri-istri beliau, di mana hakekatnya
yang mereka hina dan rendahkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena Allah
telah memuji para sahabat di berbagai tempat di dalam Al-Qur’an.
Allah ta’ala
berfirman:
كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّه.
“Kamu adalah umat yang
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran [3] : 110).
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا
ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ
فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.
“Maka
jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh
mereka telah mendapat petunjuk.” (QS. Al Baqarah [2]: 137).
لَقَدْ
رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ
فَتْحًا قَرِيبًا.
“Sungguh, Allah telah
meridhai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di
bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan
ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS.
Al Fath [48]: 18).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga menyebutkan kemuliaan para sahabat dan melarang mencaci
maki mereka.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا
يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ.
“Tidak akan masuk neraka
orang-orang yang berbaiat di bawah pohon.” (HR. Abu Dawud 4653, Tirmidzi 3860, beliau berkata: hasan shahih.
Syaikh al-Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ 7680).
Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah
mereka, kemudian setelah mereka lagi.” (HR. Bukhari 2652, Muslim 2533. Dengan lafald dari Bukhari).
Abu Sa’id Al Khudri radiyallahu’anhu berkata, Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ
أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا, مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلاَ
نَصِيفَهُ.
“Jangan kalian mencela para sahabatku, seandainya salah seorang
kalian menginfakkan emas sebesar Uhud tidak akan bisa menyamai satu mud-nya
mereka tidak juga setengahnya.” (HR. Bukhari 3673, Muslim
2540).
Demikianlah kalau kita memuliakan guru kita, kita juga harus memuliakan sahabat, murid dan keluarga beliau, kecuali orang-orang yang menyimpang dari mereka.
3. Bersungguh-sungguh dalam mengambil ilmu dari guru kita.
Para ulama yang mengajarkan ilmunya, mereka adalah
orang-orang yang mulia, menyalakan lampu-lampu dan menerangi kegelapan dengan
cahaya, menebar kebaikan dan memadamkan keburukan, meskipun terkadang diri dan
keluarga mereka terancam, mereka adalah orang-orang yang ditinggikan derajatnya
oleh Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.
“Allah akan mengangkat derajat
orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang orang yang di beri ilmu
dengan beberapa derajat.” ( QS Al-Mujadilah[58]:11).
Mereka adalah orang-orang yang takut
kepada Allah ta’ala.
Allah ta’ala berfirman:
اِنَّمَا
يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤا.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-Nya hanyalah para
ulama.” (QS. Fatir[35]:28).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan mereka dengan bersabda:
فَضْلُ العَالِمِ عَلىَ العَابِدِ
كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلىَ سَائِرِ الكَوَاكِبِ.
“Keutamaan orang
yang berilmu (yang mengamalkan ilmunya) atas ahli ibadah adalah seperti bulan
di malam purnama atas semua bintang-bintang lainnya.” (HR. Abu Dawud 3641, Ibnu
Majah 223 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Al-Miskah 212).
Mereka merupakan pewaris para nabi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
إِنَّ
العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا
دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ
أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi
tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka
barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.”
(HR. Tirmidzi 2682, Abu Dawud 3641, Ibnu Majah 223, dishahihkan Syaikh
al-Albani di dalam At-Targib 68).
Mereka merupakan orang-orang pilihan Allah ta’ala, hal itu
dikuatkan dengan firmanNya:
ثُمَّ
أَوْرَثْناَ الْكِتاَبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْناَ مِنْ عِباَدِناَ.
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami
pilih di antara hamba-hamba kami.” (QS. Fathir[35]: 32).
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Allah subhanahu wa ta'ala
berfirman: “Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan)
Al-Kitab (Al-Quran) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang
terdahulu yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka
adalah dari umat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/577)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Ayat ini sebagai
syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi al-Ulama waratsatil anbiya
(ulama adalah pewaris para nabi).” (Fathul Bari, 1/83)
Hendaknya
selagi masih ada kesempatan kita menuntut ilmu dari mereka, mendatangi dan
duduk bersama mereka, karena waktu seperti itu sangat terbatas.
Adapun
dalil-dalil kewajiaban menuntut ilmu dan keutamaannya sangat banyak.
Allah
ta’ala berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ
لِذَنْبِكَ.
“Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan
mohonlah ampunan atas dosa-dosamu.” (QS. Muhammad[47]:19).
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap
muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dishahih oleh Syaikh Albani dalam Shahih wa Dha’if
Sunan Ibnu Majah 224)
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.
“Barangsiapa yang Allah
kehendaki kebaikan pada seseorang maka Allah akan memberikan kefaqihan
(pemahaman) agama baginya.“ (HR. Bukhari 71, 3116, Muslim 1037)
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ
فِيْهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ.
“Barang
siapa meniti suatu jalan untuk mencari ilmu padanya, Allah akan memudahkan
baginya jalan menuju surga.” (HR.
Ahmad 8316, Tirmidzi 2646, Ibnu Majah 223, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam
Shahih Ibnu Majah 225).
Yahya
bin Abi Katsir rahimahullah berkata, aku mendengar ayahku berkata:
لَا
يَأْتِي الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجَسَدِ
“Ilmu tidak akan didapatkan dengan tubuh yang santai (tidak
bersungguh-sungguh).” (Hilyat al-Auliya wa Thabaqatul Asfiya’ 3/66, Abu Nu’aim
Al-Ashbahani).
Dalam perkataan yang lain beliau juga
berkata:
مِيرَاثُ الْعِلْمِ خَيْرٌ مِنْ
مِيرَاثِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ.
“Mewariskan
ilmu lebih baik dari mewariskan emas dan perak.” (Jami’u Bayan al-Ilmi wa fadlihi
553, Abu Umar Yusuf bin ‘Abdullah bin Muhammad Ibnu ‘Abdul Barr al-Qurtubi).
Sungguh mengherankan orang yang memiliki waktu dan kemampuan namun mereka tidak tertarik dengan mempelajari ilmu, adakah sesuatu yang bisa meninggikan derajat di dunia maupun di akhirat selain ilmu..?
4. Tidak mengambil berkah kepada guru dengan cara yang salah.
Banyak
para penuntut ilmu mereka mengambil berkah kepada gurunya dan menyamakan gurunya
dengan para Nabi dan Rasul.
Mereka
menganggap bahwa apa saja yang berkaitan dengan gurunya dianggap mendatangkan
berkah, seperti sisa minumnya, baju bekasnya, sisa air wudhu’nya sisa
makanannya, tempat yang mereka singgahi (petilasan) dan lain-lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Beliau diberkahi ketika masih
hidup dan sesudah wafat Beliau, seperti pakaian, rambut, sisa wudhu’, bejana, tempat
minum, sampai keringat Beliau, hingga apa saja yang dahulu digunakan oleh
Beliau.
Ini juga berlaku bagi Nabi dan Rasul yang lainnya, seperti peninggalan
nabi Musa dan Harun.
Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَ
لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ
سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ
تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ.
“Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut
kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari
peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun tabut itu dibawa malaikat.” (QS.
Al-Baqarah[2]:248).
Disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir.
وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى
وَآلُ هَارُونَ.
“Dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun.”
(QS.Al-Baqarah[2]:248).
Ada yang menafsirkan, tongkat dan kedua sandal Nabi Musa
dan Harun. (Lihat tafsir Ibnu Katsir, QS Al-Baqarah[2]:248).
Umu Salamah juga menyimpan rambut Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam yang ditempatkan di bejana yang terbuat dari perak, apabila ada sahabat
yang sakit maka rambut tersebut direndam dengan air kemudian diminumkan kepada
yang sakit kemudian (dengan izin Allah) sembuh. (Syarah Riyadhus Shalihin bab
Tahrimi Inaaidz dzahabi wa inaail fidhdzati, Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin).
Para
sahabat tidak melakukan hal ini kecuali hanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidak kepada Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, atau sahabat
lainnya yang telah dijamin masuk surga.
Kalau para sahabat yang utama saja tidak diperlakukan sahabat yang lain
untuk di ambil berkahnya (kecuali ilmu yang mereka sampaikan) bagaimana lagi
dengan para guru, ustadz, kyai bahkan ulama sekalipun, di mana mereka tidak
akan bisa menyamai kedudukan Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali apalagi dengan para Nabi dan Rasul.
Yang benar mencari berkah kepada guru kita dan orang shalih lainnya yaitu dengan mengambil ilmunya, mengamalkan petunjuknya yang benar yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
5. Tidak bersikap guluw (berlebihan) dan mengkultuskan gurunya.
Islam melarang
bersikap guluw dan mengkultuskan manusia, sikap guluw (berlebihan) terhadap guru, kyai, ustadz, ulama
telah merajalela pada masyarakat kita, sebagian mereka mengklaim bahwa gurunya
pasti benar dan tidak mungkin salah seakan-akan surga neraka ditentukan oleh
gurunya.
Sebagian yang lain
sama sekali tidak berani berbeda pendapat dengan gurunya. Meskipun telah jelas
jelas bahwa gurunya menyalahi dalil baik dari Al-Qur’an dan Sunnah, Allah
melarang ini semua.
Allah ta’ala
berfirman:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا
فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ.
“Wahai
Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar." (QS.An-Nisa’[4]:171).
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ.
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan
selain-Allah.” (QS.At-Taubah[9]:31).
Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut Addi bin Hatim berkata:
إِنَّهُمْ لَمْ يَعْبُدُوهُمْ.
فَقَالَ: بَلَى، إِنَّهُمْ حَرَّمُوا عَلَيْهِمُ الْحَلَالَ، وَأَحَلُّوا لَهُمُ
الْحَرَامَ، فَاتَّبَعُوهُمْ، فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَّاهُمْ.
"Sesungguhnya
mereka tidak menyembahnya." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Bahkan itu benar, sesungguhnya mereka mengharamkan yang halal
bagi para pengikutnya dan menghalalkan hal yang haram bagi mereka, lalu mereka
mengikutinya, yang demikian itulah ibadah mereka kepada orang-orang alim dan
rahib-rahib mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, QS. At-Taubah [9]:171, HR. Tirmidzi
3095, Tabrani 218, dihasankan oleh syaikh al-Albani di dalam Goyatul maram fi
tahriji ahaditsi al-halali wal haram 6).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:
لَا
طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ.
“Tidak
ada ketaatan di dalam maksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan hanyalah pada
perkara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari 7257, Muslim 1840).
Dari sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma
beliau berkata:
يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ
عَلَيكْم ْحِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ, أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ؟
Ibnu
Abbas berkata: “Hampir saja kalian akan dihujani batu dari langit. Aku katakan:
Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantah dengan mengatakan: Tapi
Abu Bakar dan Umar berkata demikian.” (majmu’ Fatawa Ibnu
Taimiyah, 215/20, Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/145 Ibnu Abdil Bar di dalam,
Jami’u Bayanil ‘ilmi wa fadzlihi 2/239, Syarhu Riyadhus Shalihin Syaikh
Utsaimin 2/284).
Imam Abu Hanifah
berkata:
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“Apabila hadits itu sahih, maka
itulah madzhabku,” (Sifat shalat Nabi, oleh Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani, Ibnu Abidin di dalam Al-Hasyiah 1/63).
Para imam madzhab
lainnya juga memiliki pendapat yang semakna dengan hal ini.
Oleh karena itu tidak boleh seseorang bersikap guluw dan mengkultuskan seorang alim.
6. Tidak memanggil dengan sebutan namanya.
Hendaknya tidak memanggil guru kita dengan menyebut namanya
saja atau menyebut nama dan julukannya, misalnya: "WahaI Guru Fulan!"
Tetapi, katakan, "Wahai guruku!" Atau, "Wahai guru kami!"
Jangan menyebut namanya karena yang demikian itu lebih santun. Jangan berbicara
kepadanya dengan menggunakan kata ganti "kamu" atau memanggilnya dari
jauh kecuali dalam keadaan darurat.
Perhatikan petunjuk yang disebutkan oleh Allah tentang adab
kepada guru yang mengajarkan kebaikan kepada seluruh manusia, yaitu Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala berfirman:
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ
بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا …
"Jangan kaujadikan panggilanmu kepada Rasul seperti
panggilan sebagian kamu kepada sebagian lain..." (QS. An-Nur [24]:64).
(Hilyah Thalibil ilmi, Syaikh Bakar Bin Abdullah Abu Zaid).
إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ
وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ.
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakkan mereka tidak mengerti.”(QS. Al-Hujrat[49]:4).
7. Bertanya dengan baik dan sopan, tidak bermaksud untuk menguji.
Menahan diri untuk
tidak bertanya samapi guru selesai menjelaskan, bisa jadi yang akan ditanyakan
akan dijelaskan, demikian pula hendaknya memilih kata yang baik, singkat dan
padat tidak bertele-tele di dalam bertanya, tidak meniatkan untuk menguji
gurunya.
Namun apabila
dimaksudkan agar sahabat-sahabatnya yang belum mengetahui agar menjadi tahu hal
ini dibolehkan berdasarkan hadits JIbril yang bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam agar para sahabat mengetahui.
Allah ta’ala
berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ.
“Maka tanyakanlah olehmu kepada
orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui.” (QS al-Anbiyaa’ [21]: 7).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلا سَأَلُوا إِذَا لَمْ
يَعْلَمُوا ، فَإِنَّمَا شَفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ.
“Tidakkah mereka bertanya jika tidak mengetahui. Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah dengan bertanya….” (HR. Ahmad 3056, Abu Dawud 337, Ibnu Majah 572, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Shahih Abu Dawud 364).
8. Meluruskan gurunya dengan lemah lembut dan secara rahasia.
Pada dasarnya
manusia siapapun dan betapun tinggi derajatnya tidak akan lepas dari
kesalahan, termasuk dalam hal ini guru kita, karena mereka manusia sebagaimana
yang lain.
Seorang murid
berkewajiban meluruskan gurunya jika didapati menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah,
tidak mendiamkan karena segan ataupun takut.
Allah
ta’ala berfirman:
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ
اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ.
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah
dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu
sendiri” (QS. An-Nisa[4]:79).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ
خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.
“Setiap anak Adam pasti berbuat
salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.” (HR Ibnu
Majah 4251, di hasankan syaikh al-Albani di dalam al-Misykah 2341).
Mengingatkan
guru kita ketika ketika guru kita keliru ini merupakan kebaikan dan perintah
agama, kita mencintai guru kita tetapi kebenaran lebih kita cintai, oleh karena
itu membiarkan kesalahan termasuk pelanggaran.
Allah ta’ala berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ.
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang
yang beruntung.” (QS. Ali Imran[3]:104).
Dari sahabat Abu
Sa’id al-Khudri beliau berkata, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ
يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ.
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat
kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan
lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan
selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim 49).
Hendaknya
meluruskan dengan rahasia, hal ini agar tidak menjatuhkan martabat gurunya, dan
menjadikan manusia lari dan menjahui ilmu.
Sebagaimana
para penguasa juga tidak boleh disebarkan aib-aibnya agar tidak hilang
kepercayaan masyarakat, sehingga terjadi kerusakan yang lebih besar.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ
لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ، فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ
بِيَدِهِ، فَيَخْلُوَ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ
أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ.
“Barangsiapa ingin menasehati penguasa dengan sesuatu hal, maka janganlah tampakkan nasehat tersebut secara terang-terangan. Namun ambillah tangannya dan bicaralah empat mata dengannya. Jika nasehat diterima, itulah yang diharapkan. Jika tidak diterima, engkau telah menunaikan apa yang dituntut darimu” (HR. Ahmad 15333, ash-Sunnah ibnu Abi Ashim 1096, 1097, dishahihkan Syaikh al Albani dalam Takhrij ash-Sunnah li ibni Abi Ashim 1097).
9. Hendaknya bersikap tawadhu’ tidak menyombongkan diri.
Banyak
para penuntut ilmu setelah mereka memiliki ilmu mereka merasa lebih mampu dan
lebih tahu dari gurunya, kemudian bersikap takabur atau sombong, mereka
memandang rendah gurunya, merasa tidak pantas mendengarkan gurunya, bahkan tak
segan-segan di antara mereka menghajr (mendiamkan) gurunya, lupa bahwa dahulu gurunya
pernah mendidik dirinya.
Allah
ta’ala berfirman:
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ
الْمُسْتَكْبِرِينَ.
“Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong.” (QS. An Nahl[16]: 23).
Perlu
diketahui orang-orang yang sombong cepat atau lambat pasti binasa sebagaimana
pendahulunya yaitu iblis.
Allah ta’ala
berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَكَةِ
اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَر وكان من
الكفرين .
“Ingatlah ketika Kami berfirman
kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun bersujud
kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang
kafir.” (QS. Al-Baqarah[2]: 24).
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ الْكِبْرِيَاءُ
رِدَائِي، وَالْعَظَمَةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدَةً مِنْهُمَا،
أَلْقَيْتُهُ فِي جَهَنَّمَ.
Allah Azza Wa Jalla
berfirman: 'Kesombongan adalah selendang-Ku, kebesaran adalah sarung-Ku,
barangsiapa mengambil salah satu dari keduanya dari-Ku, maka ia akan Aku
lemparkan ke dalam neraka."(HR. Ahmad 9508, Ibnu Majah 4174, Abu Daud 4090,
dishahihkan syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 541).
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ
فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ
أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ
يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.
"Tidak akan
masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji
sawi. Ada seseorang yang bertanya, 'Bagaimana dengan seorang yang suka memakai
baju dan sandal yang bagus?' Beliau menjawab, 'Sesungguhnya Allah itu indah dan
menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang
lain." (HR. Muslim 91, Tirmidzi 1999, Ibnu Majah 59).
Imam
Mujahid rahimahullah berkata:
لاَ
يَتَعَلَّمُ العِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِرٌ.
“Orang
yang pemalu dan sombong tidak akan mendapatkan ilmu.”( Shahih Bukhari 1/38).
ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ،
وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ.
“Tiga
perkara yang membinasakan: sifat sukh (rakus dan bakhil) yang ditaati, hawa
nafsu yang diikuti, dan ‘ujub seseorang terhadap dirinya.” (HR. Baihaqi di
dalam Syu’abul Iman 731, Musnad al-Bazar 6491, Tabrani di dalam al-Mu’jam
al-Ausath 5754, dihasankan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah 1802).
Hendaknya
bersikap tawadhu’ kepada gurunya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
وَمَا
تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ.
“Dan tidaklah seseorang itu tawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim 2588).
10. Hendaknya selalu mendoakan gurunya di dalam kebaikan.
Para ulama dahulu mereka selalu
mendoakan kebaikan untuk guru-gurunya.
Al-Imam Nawawi rahimahullah
berkata:
وَقَدْ
كَانَ بَعْضُ الْمُتَقَدِّمِيْنَ إِذَا ذَهَبَ إِلَى مُعَلِّمِهِ تَصَدَّقَ بِشَئْ
ٍوَقَالَ اللَّهُمَّ اسْتُرْعَيْبَ مُعَلِّمِي عَنِّى وَلاَ تَذْهَبْ بَرَكَةَ
عِلْمِهِ مِنِّى.
“Sebagian (Ulama) terdahulu jika
berangkat menuju gurunya ia bershodaqoh dengan sesuatu kemudian berdoa: Ya
Allah, tutuplah aib guruku dariku. Jangan hilangkan keberkahan ilmunya dariku.”
(al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (1/36), At-Tibyaan fii Aadaabi Hamalatil Quran
(1/47))
قَالَ لْحَارِثَ
بْنَ سُرَيْجٍ النَّقَّالَ يَقُولُ: سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ يَقُولُ: أَنَا
أَدْعُو اللَّهَ لِلشَّافِعِيِّ أَخُصُّهُ بِهِ.
Al
Harits bin Suraij berkata, aku mendengar Yahya bis Sa’id berkata, “Aku
senatiasa berdo’a pada Allah untuk Imam Syafi’i, aku khususkan do’a untuknya.”(Ma’rifatu
As-Sunan wal Atsar 372).
Ahmad bin Hambal berkata:
"Sungguh aku mendoakan untuk Syafi'i dalam salatku selama 40 tahun. (Minhaj
al-Muhahadzdzitsin fil Qur’an, ‘Ali ‘Abdul Basith Mazid 1/238).
Demikianlah di antara hak
seorang alim agar kita mengetahui.
Semoga bermanfaat. Aamiin.
-----000-----
Sragen 04-02-2025.
Junaedi Abdullah.