Sahabat layaknya cahaya yang menerangi orang-orang setelahnya, mereka memberikan teladan yang baik dalam berbagai sisi yang sangat banyak, sehingga Allah ta'ala memuji mereka di berbagai tempat, diantaranya di dalam surat Ali Imran, Allah ta'ala berfirman:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّه.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran [3] : 110).
1. Pengertian sahabat.
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Sesungguhnya yang dimaksud sahabat Nabi adalah orang yang bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman dengan beliau dan wafat dalam keadaan islam.” (Al-Ishabah fii Tamyiz As-Shahaabah, 1/10)/
2. Kesabaran para sahabat.
Sebagian mereka orang-orang yang lemah menerima seruan islam sehingga mereka menghadapi berbagai cobaan dan siksaan dari orang-orang kafir, ada yang dicambuk, diseret di padang pasir, di rendam di dalam air, ditindih batu dan bahkan ditombak dan meninggal dunia. Kekejaman orang kafir terhadap para sahabat sampai-sampai membekas luka ditubuh mereka.
Beratnya tekanan orang-orang kafir tersebut membawa mereka rela meninggalkan kampung halaman yang mereka cintai dan berjalan menyusuri lembah, menyebrang lautan hingga menempuh ribuan kilo meter dengan kendaraan yang sederhana menuju negri Habasyah (Ethiopia) yang belum tahu bagaimana seluk beluknnya. Semua dilakukan karena untuk menyelamatkan aqidahnya. Hijrah pertama tahun ke-5 dari kenabian menuju ke Habasyah. Rombongan ini terdiri dari 12 orang laki-laki dan 4 orang wanita. Kemudian hijrah kedua terdiri dari 83 muhajirin dan 19 muhajirah (kaum wanita). (Terjemahan Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, terbitan Darul Haq).
1 Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah
mengutus pasukan perang untuk mengintai kafilah dagang Quraisy dan untuk
mendatangi suku Juhainah. Pasukan perang yang berjumlah tiga ratus orang itu
dipimpin oleh Abu Ubaidah Ibnul Jarrah Radhiyallahu anhu. Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam hanya memberi bekal satu kantong kurma kepada
mereka, karena memang tidak ada bekal lain.
Abu Ubaidah sebagai pimpinan pasukan membagikan sebagian
kurma itu kepada para prajuritnya. Ketika bekal kurma tinggal sedikit, Abu
Ubaidah mengumpulkan sisa kurma dari prajuritnya dan beliau membagikan kembali
sehingga masing-masing orang hanya mendapat satu biji kurma untuk satu hari.
Kurma itu tidak langsung dimakan tapi hanya dihisap seperti bayi menyusu agar
tidak cepat habis. Mereka melakukan yang demikian untuk mengurangi rasa lapar
yang melilit mereka.
Sampai bekal kurma habis, akhirnya mereka memetik dedaunan
yang dijumpai di perjalanan. Mereka menumbuk daun-daun tersebut dan
mencampurkannya dengan air, setelah itu mereka memakan dedaunan tersebut.
Pasukan perang itu terus berjalan, hingga sampai ke suatu pantai di laut Merah dari arah Yanbu berjarak sekitar 180 km dari Madinah. Di sana mereka melihat sesuatu yang menyerupai sebuah bukit. Maka mereka pun berjalan mendekatinya. Ternyata, gundukan itu adalah bangkai seekor ikan yang sangat besar.
Abu Ubaidah pada awal mulanya melarang pasukan untuk memakan
ikan tersebut karena dikiranya sebagai bangkai yang diharamkan karena bukan
ikan hasil tangkapan. Lalu beliau berijtihad bahwa ikan tersebut boleh dimakan
dikarenakan kondisi darurat dan ikan tersebut merupakan pertolongan Allah
kepada hamba-hamba Nya yang sedang berjuang di jalan Nya. Akhirnya, pasukan
perang ini bertahan dan tinggal di tempat itu selama delapan belas hari.
Selama di tempat ini, makanan mereka adalah ikan besar itu. Hingga mereka menjadi gemuk, dan mereka tidak lagi kekurangan makanan. Ikan itu besar sekali. Cukup untuk dimakan pasukan perang yang berjumlah 300 orang selama sebulan.
3.
Keberanian para sahabat.
Pada perang Badar.
Sebelum perang badar terjadi terjadi perang tanding antara
kaum muslimin dengan orang kafir, orang yang pertama menyulut tejadinya perang
adalah al-Aswad bin Asad al-Makzumi, laki-laki yang sadis dan berperangai
buruk, dia berkata, “ AKu berjanji kepada Allah, sungguh aku akan meminum dari
telaga mereka atau aku hancurkan telaga tersebut atau aku akan mati karenanya.
Kemudian Hamzah bin Abdul Muthalib keluar, tatkala mereka
berhadapan Hamzah berhasil memukul dan menebas kakinya pada pertengahan betis,
diapun merangkak hingga akhirnya tercebur disitu, rupanya dia ingin memenuhi
sumpahnya, namun hal itu gagal karena Hamzah melayangkan tebasan yang kedua
tatkala berada ditelaga tersebut.
Kemudian 3 orang penunggang kuda Quraisy berasal dari satu
keluarga, mereka adalah ‘Utbah dan dua saudaranya yaitu Syaibah dan al-Walid
bin ‘Utbah mereka menantang perang tanding , kemudian keluar dari kaum Anshar yaitu
Auf dan Mu’wad dari putara al-Harits, yang ketiga Abdullah bin Rawahah, namun
orang Quraisy menolak, meminta yang sepadan dan terhormat, lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Bangun wahai Ubaidah bin al-Harits,
bangun wahai Hamzah, Bangun wahai Ali.”
Akhirnya Ubaidah menghadapi Utbah bin Rabi’ah, sementara
Hamzah menghadapi Syaibah, sementara Ali menghadapi al-Walid bin Rabi'ah.
Hamzah dan Ali tidak memberikan kesempatan kepada Syaibah dan al-Walid, sementara Ubaidah dan Utbah sama-sama terluka, akhirnya Hamzah dan Ali menolong Ubaidah dan membunuh Utbah kemudian menggendongnya. (Terjemahan Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, terbitan Darul Haq)
Perang Uhud.
Selain perang badar, Dalam perang Uhud, juga menyisakan
menggoreskan sifat kesatria para sahabat, Zubair bin Awam dia melakukan perang
tanding melawan Thalhah bin Abi Thalhah al-Abdari, Yang pertama kali menyulut
bara pertempuran itu adalah pembawa bendera dari kalangan musyrikin, yang
bernama Thalhah bin Abu Thalhah al-Abdari. Dia adalah penunggang kuda suku
Quraisy yang paling berani. Orang-orang Muslim menyebutnya kabsyul katifah
(panglima berkuda terhebat). Dia keluar dengan menunggang unta, lalu menantang
untuk perang tanding. Namun tak seorang pun yang segera menyambut tantangannya,
karena takut terhadap keberaniannya itu. Akhirnya, az-Zubair maju
menghampirinya; dia tidak maju dengan perlahan-lahan melainkan langsung
melompat seperti seekor singa. Az-Zubair pun berada di atas unta Thalhah ;
kemudian mereka jatuh. Az-Zubair membanting Thalhah, lalu membunuhnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan perang tanding
yang sangat mengagumkan ini ; seketika beliau bertakbir yang kemudian diikuti
oleh semua orang Muslim. Beliau memuji Zubeir Radhiyallahu anhu dan bersabda:
“Sesungguhnya setiap nabi itu memiliki hawari (pengikut setia), adapun pengikut
setiaku adalah az-Zubeir Radhiyallahu anhu.(Terjemahan Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyyur-Rahman
Al-Mubarakfury, terbitan Darul Haq)
4. Kecintaan para sahabat kepada Rasul-Nya.
Banyak sekali kisah-kisah sahabat yang menunjukkan betapa cintanya
para sahabat terhadap Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya
seperti kisah Abu Bakar Shidiq, Umar bin
khatab, Utsman bin Afwan, Ali bin Abi Thalib, Mus’ab bin Umair, Khubaib bin
Adi, begitu pula kedua pemuda belia ketika terjadi perang Badar, mereka adalah
Muadz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Afra’ Radhiyallahu ‘anhuma.
Abdurrahman bin 'Auf
mengisahkan:
"Aku berada di
dalam barisan pasukan saat perang Badar berkecamuk. Tiba-tiba di sebelah kanan
dan kiriku ada dua anak muda yang masih belia. Seakan aku tidak percaya atas
keberadaan mereka di situ. Lalu salah seorang di antara keduanya berkata secara
rahasia kepadaku agar tidak diketahui oleh temannya, 'Wahai paman! Tunjukkan
padaku, mana Abu Jahal!."
Lalu aku berkata,
'Wahai anak saudaraku! Apa yang akan kamu lakukan?' Dia menjawab, “Aku
diberitahu bahwa dia mencaci-maki Rasulullah, Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, jika aku melihatnya, maka dia tidak akan luput dari incaranku
hingga ada yang mati terlebih dahulu di antara kami.”
Mendengar hal itu, aku
jadi terkesima. Dan setelah itu, yang seorang lagi mengedipkan matanya kepadaku
dan berkata sebagaimana yang dikatakan oleh temannya itu. Maka tak berapa lama,
aku melihat Abu Jahal berkeliling di tengah orang-orang. Lalu aku berkata,
"Tidakkah kalian berdua melihat? dialah orang yang kalian berdua tanyakan
tadi.” Lalu keduannya membunuh Abu Jahal tersebut. (Terjemahan
dari Ar-Rahiqul Makhtum, Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, terbitan Darul
Haq).
5. Kedermawanan para sahabat.
Seperti kisah Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan saat kaum muslimin
membutuhkan sumur, yang di waktu itu dimiliki oleh orang Yahudi, sehingga
sahabat Utsman bin Affan membeli sumur Raumah milik Yahudi, banyak sekali
pengorbanan para sahabat, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali, terutama di saat perang badar,
perang khandak, menjelang perang tabuk dan masih banyak sekali kisah-kisah yang
mengharukan.
6.
Kemuliaan akhlak para sahabat
Setelah mereka mendapat pengajaran
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menjadi manusia-manusia terbaik,
mereka adalah satu kaum yang berhati mulia, memiliki sifat itsar (mementingkan
saudaranya) kepada saudaranya.
Diantaranya yaitu:
Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kedatangan
tamu dalam keadaan lapar, kemudian Beliau menanyakan kepada istri-istri beliau
namun mereka tidak ada yang memiliki makanan kecuali air, kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan kepada sahabat, Maka Abu Thalhah
membawa tamu tersebut, sesampainya di rumah beliau bertanya kepada istrinya, “
adakah makanan di rumah?” istrinya menjawab tidak ada kecuali jatah anak-anak.”
“Kalau begitu berilah mereka minum dan tidurkanlah, ketika engakau hidangkan
berpura-puralah memperbaiki lamu dan padamkanlah, aku akan pura-pura makan.” Maka istrinya pun melakukan hal itu, sehingga
malam itu keluarga Abu Thalhah dalam keadaan kelaparan.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَقَدْ
عَجِبَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ - أَوْ ضَحِكَ - مِنْ فُلاَنٍ وَفُلاَنَةَ,
فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ .
Sesungguhnya
Allah merasa kagum atau ridha dengan apa yang telah dilakukan oleh si Fulan dan
si Fulanah, kemudian Allah menurunkan firman-Nya: “Dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri.
Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu).” ( QS.Al-Hasyr [59]:9).( HR. Bukhari 4889).
Setelah
di pagi hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai zaid,
Allah sangatlah bangga dan ridla dengan apa yang telah kamu lakukan semalam.” Maka
beliau pulang mengabarkan kepada istrinya.
2) Kisah sahabat Nabi yang diberi hadiah.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Salah seorang dari sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
diberi hadiah kepala kambing, dia lalu berkata, “Sesungguhnya fulan dan
keluarganya lebih membutuhkan ini daripada kita.” Ibnu Umar mengatakan, “Maka
ia kirimkan hadiah tersebut kepada yang lain, dan secara terus menerus hadiah
itu dikirimkan dari satu orang kepada yang lain hingga berputar sampai tujuh
rumah, dan akhirnya kembali kepada orang yang pertama kali memberikan.” (HR.
Baihaqi dalam asy Syu’ab 3/259).
3) Kisah sahabat
nabi yang meminta minum.
Pada perang Yarmuk Ikrimah
meminta air minum, kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya, maka Ikrimah
berkata, “Berikan air itu kepadanya.” Dan ketika itu Suhail juga
melihat al-Harits sedang melihatnya, maka iapun berkata, “Berikan air itu kepadanya (al Harits)”. Namun belum sampai
air itu kepada al Harits, ternyata ketiganya telah meninggal tanpa sempat
merasakan air tersebut (sedikitpun). (HR Ibnu Sa’ad dalam ath Thabaqat dan Ibnu
Abdil Barr dalam at Tamhid, namun Ibnu Sa’ad menyebutkan Iyas bin Abi Rabi’ah
sebagai ganti Suhail bin Amr).
4) Kisah Umar memberikan uang dinar kepada sahabat.
Pada
suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab mengeluarkan uang sebanyak 400
dinar. Kemudian ia mengutus seorang pemuda untuk mengantar uang itu kepada Abu
Ubaidah. Umar berkata kepada pemuda itu, “Pergilah kepada Abu Ubaidah dan
berikan uang ini kepadanya. Kemudian tunggulah beberapa saat sampai engkau
melihat apa yang ia perbuat di rumahnya.”
Maka
berangkatlah pemuda itu ke rumah Abu Ubaidah.
Sesampainya
di rumah Abu Ubaidah, pemuda utusan Umar itu berkata, “Aku diutus oleh Amirul
Mukminin untuk memberikan uang ini kepadamu.” Maka Abu Ubaidah berkata,
“Shalawat dan rahmat Allah untuknya.” Lalu Abu Ubaidah memanggil budak
perempuannya dan berkata, “Pergi dan berikanlah uang tujuh dinar kepada si
Fulan dan lima dinar kepada si Anu!”
Lantas
Abu Ubaidah membagi-bagikan uang itu sampai habis. Lalu pemuda itu kembali
kepada Umar dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Kemudian Umar mengeluarkan
lagi uang seperti tadi dan mengutus pemuda itu kepada Mu’adz bin Jabal.
Maka
Mu’adz berkata, “Shalawat Allah untuknya.” Kemudian Mu’adz memanggil budak
perempuannya dan berkata, “Pergilah ke rumah si Fulan dan berikanlah uang ini,
kemudian berikanlah uang ini kepada si Anu!”
Tiba-tiba
istri Mu’adz bin Jabal datang dan berkata,”Demi Allah! Kami ini orang miskin
maka berilah kami.” Maka Mu’adz tidak menyisakan uangnya di dalam sobekan kain
pembungkus uang itu kecuali dua dinar. Kemudian uang itu ia berikan kepada
istrinya.
Pemuda
utusan itu kemudian kembali kepada Umar. Ia menceritakan apa yang telah
terjadi. Maka Umar bergembira dengan apa yang terjadi, lantas ia berkata, “Sesungguhnya mereka saling bersaudara satu sama lain.”
(Diambil dari, Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf, hlm. 31).
5) Kisah kedermawanan Umul
Mukminin.
Ummul mukminin
Aisyah radhiyallahu ‘anha yang terkenal kepandaiannya sekaligus juga
kedermawanannya pernah mendapat uang 40.000 dirham dari baitul mal. Oleh Aisyah
harta itu segera di bagi-bagikan kepada fakir miskin sampai-sampai lupa
menyisihkan sedikit saja untuk dirinya. Sampai ditegur Ummu Burdah yang
membantunya, “Ya Ummul mukminin kenapa tak kau sisihkan sedikit saja untuk
membeli makanan berbuka, bukankah engkau sedang berpuasa,” “Ya Ummu Burdah,
kenapa tadi tak kau ingatkan”, jawab Aisyah tenang.
Oleh karena itu pujian Allah subhanahu wa ta’ala sangat banyak kita
jumpai di dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala firman:
كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّه.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS.
Ali Imran [3] : 110).
فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا
ۖ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ
فِي شِقَاقٍ ۖ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ.
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu
telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika
mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu).
Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 137).
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini
dalam kitab tafsirnya , “Maka jika mereka beriman”, yaitu
orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan selain mereka, “seperti
apa yang kalian telah beriman kepadanya”, wahai kaum mukminin,
dengan keimanan kepada seluruh kitab Allah dan Rasul-Nya tanpa membedakan
seorang pun dari mereka, “sungguh mereka telah mendapat petunjuk”,
yakni mereka telah berada tepat di atas kebenaran dan mendapatkan petunjuk
kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir QS. Al Baqarah [2]: 137).
لَقَدْ رَضِيَ
اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا
فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا
قَرِيبًا.
“Sungguh, Allah telah meridhai orang-orang mukmin ketika mereka
berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada
dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi
balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al Fath [48]: 18)
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا
يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ.
“Tidak akan masuk neraka
orang-orang yang berbaiat di bawah pohon.” (HR. Abu Dawud 4653, Tirmidzi 3860,
beliau berkata: hasan shahih. Syaikh al-Albani menshahihkan dalam
Shahihul Jami’ 7680).
Dari
sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
خَيْرُ
النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ.
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi
setelah mereka, kemudian setelah mereka lagi.” (HR. Bukhari 2652, Muslim 2533.
Dengan lafald dari Bukhari).
7.
Larangan mencela para sahabat, dan
perintah mendoakan.
Abu Sa’id Al Khudri radiyallahu’anhu berkata, Nabi sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ
أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا, مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلاَ
نَصِيفَهُ.
“Jangan kalian mencela para sahabatku, seandainya salah seorang kalian
menginfakkan emas sebesar Uhud tidak akan bisa menyamai satu mud-nya mereka
tidak juga setengahnya.” (HR. Bukhari 3673,
Muslim 2540).
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ
يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا
بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا
إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ.
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Para sahabat adalah orang-orang yang adil sebagaimana
Allah ta’ala sebutkan:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ
عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا.
“Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kalian (para sahabat) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
kalian.” (QS. Al-Baqarah[2]: 143).
Tidak diragukan lagi pujian di dalam ayat dan hadits di atas
tidak lain adalah untuk para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang merupakan khitab (yang diajak bicara) dalam ayat tersebut, karena orang
yang beriman di waktu itu belum ada yang lain selain para sahabat.
8.
Kewajiban mengikuti pemahaman para sahabat.
Setelah kita mengetahui keutamaan para sahabat,
keselamatan para sahabat, pujian Allah kepada mereka, maka kewajiban kita
adalah mengikuti pemahaman para sahabat tersebut di dalam memahami agama ini,
karena mengikuti mereka merupakan perintahkan Allah dan juga Rasul-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ
الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم
بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ.
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara
orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka (dalam
melaksanakan) kebaikan, Allah ridha kepada mereka; dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir.
Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS.
At-Taubah [9]: 100).
Ayat ini membagi
generasi yang baik hanya menjadi dua generasi:
1)Generasi pertama yaitu dari generasi para sahabat,
muhajirin dan anshar, yang mana hal ini tidak mungkin bisa kita capai.
2)Generasi kedua adalah orang-orang setelahnya, yang
mengikuti mereka para sahabat dengan sebaik-baiknya, itulah yang kita memohon
kepada Allah agar menjadikan kita termasuk pengikut mereka dengan
sebaik-baiknya. Aamiin.
Adapun dalil dari hadits yang mewajibkan mengikuti para
sahabat sebagai berikut:
Dari Abu Najih
Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظًةً وَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوْبُ وَذَرَفَتْ
مِنْهَا العُيُوْنُ فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةً
مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا قَالَ أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ فَإِنَّهُ مَنْ
يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي
وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ. رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ : حَدِيْثٌ
حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat
yang membuat hati menjadi bergetar dan mata kami menangis, maka kami berkata,
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan berpisah,
maka berikanlah wasiat kepada kami.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Aku berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar
dan taat meskipun kalian dipimpin seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di
antara kalian sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh
karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh pada sunnahku dan Sunnah
Khulafaur rosyidin al-mahdiyyin (yang lurus dan mendapatkan petunjuk). Gigitlah
sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, jauhilah setiap perkara yang
diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud 4607, Tirmidzi
2676. Disahihkan syaikh al-Albani dalam sahihul jami’ 2549).
9.
Jalan
kebenaran hanya satu.
Dari ibnu Mas’ud
radiallahu ‘anhu beliau berkata:
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ
خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ و عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا
شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ
فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ‘Ini adalah
jalan Allah’, kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis
tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap
jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu,’ kemudian beliau
membaca:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ.
“Dan bahwa (yang Kami
perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya” (QS. Al-An’am[6]:153) (HR. Ahmad
4142, Abu Dawud 241, dihasankan syaikh al-Albani di dalam Adh-Dhilal 16-17).
Dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
افْتَرَقَتِ
الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ،
وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ، وَوَاحِدَةٌ فِي
الْجَنَّةِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى
ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ، وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ
فِي النَّارِ ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ؟ قَالَ: الْجَمَاعَةُ.
“Orang-orang Yahudi
terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, satu (golongan) masuk Surga dan
tujuh puluh di Neraka. Dan Nasrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan,
yang tujuh puluh satu golongan di Neraka dan yang satu di Surga. Dan demi Yang
jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, ummatku benar-benar akan terpecah menjadi
tujuh puluh tiga golongan, yang satu di Surga, dan yang tujuh puluh dua
golongan di Neraka,’ Ditanyakan kepada beliau, ‘Siapakah mereka (satu golongan
yang masuk Surga itu) wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Al-Jama’ah’.” (HR.
Ibnu Majah 3992, Abu Dawud 4596, Tirmidzi 2831, di shahihkan Syaikh al-Albani
di Shahih Ibnu Majah 3992).
Dalam riwayat yang
lain Beliau ditanya:
قَالُوا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.
“Siapakah yang selamat itu ya Rasulullah..?” Beliau menjawab, “Apa yang
aku dan para sahabatku
berjalan di atasnya.” (HR.Tirmidzi 2641, dihasankan syaikh al-Albani di dalam
Sunan Tirmidzi 2641).
Pada ayat dan hadits
di atas merupakan dalil tentang wajibnya umat ini mengikuti Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga para sahabatnya, begitu pula jalan
kebenaran hanyalah satu.
10.
Ancaman bagi orang-orang yang meninggalkan pemahaman
para sahabat.
Allah ta’ala
berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا.
“Dan barang siapa
menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam kesesatan yang
telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisaa [4]: 115).
Para sahabat Secara
individu (person) bukanlah manusia yang maksum (bebas dari salah), akan tetapi
apa yang telah ditaqrir (didiamkan dan disetujui) Rasulullah shallallahu
a’laihi wa sallam terhadap sahabat merupakan dalil kebenaran yang harus
diikuti, begitu pula apa yang telah menjadi kesepakatan para sahabat (ijma’
mereka) adalah merupakan kebenaran.
Dari sahabat Annas
radillahu‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ هَذِهِ الْأُمَّةَ
عَلَى ضَلَالَةٍ أَبَدًا.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umat ini di atas kesesatan selamanya.”(HR. Ibnu Majah 3940, Hakim 201-202, Tirmidzi 2269 dan diShahihkan syaikh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ 1848, Al-Misykah 173).
Demikianlah semoga bermanfaat. Aamiin.
-----000-----
Sragen 27-01-2-24.
Junaedi Abdullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar