Berhari raya dan syariat di dalamnya merupakan kegiatan yang
terus berjalan bagi kaum muslimin, hanya saja sangat disayangkan, karena
kurangnya mereka di dalam mengambil literasi (memahami, melibatkan, menggunakan, menganalisis, dan
mentransformasi teks) atau kesalahan mereka di dalam memahaminya menjadikan
kaum muslimin terpecah belah dalam berhari raya mereka, tentu ini sangat
menyedihkan sekali, bukan hanya itu bahkan di sebagian tempat tensi suhu
muamalah (hubungan antara masyarakat) memanas dan merenggangkan persaudaraan
sesama kaum muslimin.
Oleh karena itu berikut ini sedikit tulisan ini semoga memudahkan mereka
di dalam memahami syariat ini dan menjadikan manfaat bagi masyarakat yang belum
memahami.
1. Wajib bagi
kaum muslimin mentaati pemerintah dalam perkara yang bukan maksiat.
Banyak pemahaman di dalam masyarakat, ketika mereka memandang
pemerintah tak lagi sejalan dengan idiologi mereka, merugikan mereka, bahkan
terkesan dzhalim, mereka tidak lagi mau taat, padahal hal Allah dan Rasul-Nya
memerintahkan agar kita taat meskipun pemerintah dhazlim.
Allah ta’ala berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa [4]: 59)
Ibnu Katsir
rahmahullah berkata:
فَهَذِهِ أَوَامِرٌ بِطَاعَةِ الْعُلَمَاءِ وَالْأُمَرَاءِ.
“Ayat ini memerintahkan agar mentaati ulama’
dan umaro’ (pemimpin atau pemerintah) (lihat tafsir Ibnu Katsir QS. Al
Baqarah[2]: 59)
Imam Nawawi rahimahullah berkata,
“Yang dimaksud dengan ulil amri adalah orang-orang yang Allah wajibkan untuk
ditaati, dari kalangan para penguasa dan pemimpin umat. Inilah pendapat
mayoritas ulama terdahulu dan sekarang dari kalangan ahli tafsir, fikih, dan
yang lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 12/222)
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ
وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا
عَظِيمًا.
”Dan
barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar.” ( QS.
Al-Ahzab[33]:71)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ
اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِي فَقَدْ
أَطَاعَنِي، وَمَنْ عَصَى أَمِيْرِي فَقَدْ عَصَانِي.
“Barang siapa menaatiku berarti
telah menaati Allah. Barang siapa menentangku berarti telah menentang Allah.
Barang siapa menaati pemimpin (umat)ku berarti telah menaatiku, dan barang
siapa menentang pemimpin (umat)ku berarti telah menentangku.” (HR. Bukhari 7137 Muslim 1835, Ahmad 7656)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْمَعُوا
وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ.
“Dengar dan taatilah (ulil amri), meskipun
yang diangkat adalah seorang budak habasyi seakan-akan kepalanya adalah biji
anggur.” (HR. Bukhari 693)
Sekalipun pemimpin dzalim kita
diperintahkan untuk taat.
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا
يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ
رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ ، قَالَ: قُلْتُ:
كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ
وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ
وَأَطِعْ.
“Akan ada sepeninggalku para pemimpin yang
tidak mengambil petunjukku dan tidak mengambil sunnahku. Dan akan muncul di
tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud
manusia.” Aku bertanya, “Apa yang harus aku perbuat apabila aku mendapati
itu?”Rasulullah menjawab, “Tetaplah engkau mendengar dan mentaati pimpinan
meskipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan
taat.” (Muslim 1847)
Al-Hafizh Ibnu Hajar ’Asqalani rahimahullah berkata,
“Di dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kewajiban menaati para
penguasa dalam perkara-perkara yang bukan kemaksiatan. Adapun hikmahnya adalah
untuk menjaga persatuan dan kebersamaan (umat), karena di dalam perpecahan
terdapat kerusakan.” (Fathul Bari 13/120).
Imam al-Barbahari rahimahullah berkata:
“Ketahuilah penguasa yang dzalim tidaklah menghapuskan kewajiban yang telah
Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan melalui lisan
Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam (untuk mentaatinya selama
tidak maksiat). Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan
kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya akan mendapat pahala yang
sempurna insya Allah. Kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jumat, dan jihad
bersama mereka. Berpartisipasilah bersamanya dalam semua jenis ketaatan (yang
dipimpinnya).” (Thabaqat al-Hanabilah karya Ibnu Abi Ya’la, 2/36,
dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hlm. 14)
2.
Menentukan masuknya bulan.
Tidak lenggang dari pembahasan
kitab-kitab para ulama, semenjak dahulu, hingga sekarang, bagaimana kita
memulai di dalam menentukan masuknya bulan, Allah mudahkan syariat ini dengan
menjadikan penampaan bulan sebagai salah satu bagian dari syariat agama ini.
Di antaranya syariat tersebut
seperti, masuknya bulan Ramadhan, berhari raya, haji dan hukum seputar wanita.
Allah ta’ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang
hilal(bulan sabit) katakanlah, itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan waktu
untuk berhaji.” (QS. Al Baqarah[2]189)
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ..
“ Karena itu barang siapa
diantara kalian menyaksikan (ditempat tinggalnya) bulan, maka hendaknya
berpuasa di bulan tersebut.” (QS.
Al-Baqarah[2]:185)
Dari masa-kemasa hingga hari ini
demikian itu berlangsung demikian itu, hingga sebagian kaum muslimin mulai
terpengaruh dan meninggalkan hal itu kemudian beralih kepada ilmu hisab.
3.
Islam tidak melarang terhadap kemajuan jaman.
Allah menjadikan apa yang di bumi
ini sebagai alat mempermudah bagi manusia untuk menjalankan syariat-Nya,
seperti bulan, matahari, di mana menentukan masuknya waktu shalat bisa dengan
melihat matahari, seperti dzhuhur dengan ditandai matahari telah tergelincir,
asar bayangan matahari lebih panjang dari bendanya, magrib matahari telah
terbenam, isa’ mega merah di barat telah hilang, subuh matahari menampakkan cahaya
fajar.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا.
“Sesungguhnya
shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.” (QS. An Nisa’ [4]:103)
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata:
وَقْتُ اَلظُّهْرِ : إِذَا زَالَتِ
اَلشَّمْسُ, وَكَانَ ظِلُّ اَلرَّجُلِ كَطُولِهِ, مَا لَمْ تَحْضُرِ اَلْعَصْرُ,
وَوَقْتُ اَلْعَصْرِ: مَا لَمْ تَصْفَرَّ اَلشَّمْسُ, وَوَقْتُ صَلَاةِ
اَلْمَغْرِبِ: مَا لَمْ يَغِبِ اَلشَّفَقُ, وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلْعِشَاءِ: إِلَى
نِصْفِ اَللَّيْلِ, وَوَقْتُ صَلاَةِ
الصُّبْحِ: مِنْ طُلُوْعِ الفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ.
“Waktu shalat Zhuhur jika matahari sudah
tergelincir ke barat ketika itu panjang bayangan sama dengan tinggi seseorang,
selama belum masuk shalat ‘Ashar. Waktu shalat ‘Ashar adalah selama matahari
belum menguning. Waktu shalat Maghrib adalah selama belum hilang cahaya merah
pada ufuk barat. Waktu shalat Isya adalah sampai pertengahan malam. Waktu
shalat Shubuh adalah dari terbit fajar selama belum terbit matahari.” (HR.
Muslim 612, Ahmad 6996)
Ini
adalah waktu yang baku yang hendaknya jadi pegangan setiap kaum muslimin.
Adapun islam sama sekali tidak
melarang kemajuan zaman jika hal itu memberi manfaat, seperti penggunaan jam, jadwal
shalat, teropong dan lain-lain.
Namun apa bila di dalam
penggunaan jadwal ternyata berbeda dengan dari Nash (Dalil) di saat-saat
tertentu, seperti seandainya jadwal telah menyebutkan waktu telah masuk,
seperti shalat dzuhur, namun kenyataannya matahari belum tergelincir, hendaknya
dalam keadaaan demikian yang kita gunakan dan kita pegang adalah dalil syariat
ini (hadits yang menyebutkan waktu-waktu shalat), sehingga menanti sesaat agar
matahari tergelincir terlebih dahulu, Begitu pula syariat yang lain, seperti
menentukan awal Ramadhan dan Dzulhijah, hendaknya dengan melihat hilal.
Lalu bagaimana dengan jadwal,
hisab, dan lainnya, apakah tidak kita pakai..? padahal itu merupakan kemajuan
jaman yang di bolehkan.
Jawabnya, Kita tetap memakai,
tetapi ini sebagai alat bantu bukan penentu, karena yang benar adalah yang
sesuai dengan syariat yaitu matahari (ketika shalat) melihat bulan terlihat
(ketika menentukan datangnya bulan)
4.
Adanya bukti harus diiringi dengan ketentuan syar’i.
Banyak orang yang berdalil, bahwa
bukti itu telah ada, namun lupa syariat ini selain mendatangkan bukti juga
ketentuan syar’i.
Sebagaimana untuk menentukan
hukuman seorang yang melakukan zina harus adanya 4 orang saksi, ketika ada 2
orang telah melihat perzinaan sekalipun dengan mata kepala (nyata melihat) tapi
syariat ini tidak cukup dengan hal itu masih harus dibuktikan dengan 4 orang
saksi ini baru bisa di terima persaksian mereka.
Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ
ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ.
“Dan orang-orang yang menuduh
perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima
kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur[24]:4)
Begitupula orang-orang yang
melakukan hisab terhadap bulan, meskipun sudah ada ujudnya tapi belum muncul di
ufuk sehingga tidak terlihat oleh mata, maka hal itu belum sesuai dengan
tuntunan syariat ini, karena Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ.
“Berpuasalah kalian karena
melihatnya, berbukalah kalian karena melihatnya dan sembelihlah kurban karena
melihatnya pula, apabila tidak nampak oleh kalian, sempurnakanlah menjadi tiga
puluh hari.” ( HR. Bukhari 1909, Muslim 1081)
5.
Apakah hisab tidak ada pada zaman dahulu.
Semenjak dahulu ayat tentang
hisab sudah ada, yang mampu menulis dan berhitung juga ada, hanya saja
mayoritas mereka tidak bisa, oleh karena itu Rasulullah sallallahu’’alaihi
wa sallam dan para sahabatnya tidak menggunakan hal itu akan tetapi mereka
memudahkan memulai penentuan bulan dengan melihat hilal, sebagaimana banyak di
jelaskan oleh para ulama.
Allah ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ
ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ
وَالْحِسَابَ.
“Dia-lah yang
menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat kedudukan bulan), supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu).” (QS.
10:5).
Sejauh ini tidak kita dapati ada
tafsir baik dari sahabat maupun tabiin yang memerintahkan pada ayat ini untuk
dijadikan perhitungan dalam penentuan datangnya bulan. Oleh karena itu mereka
kebanyakan para ulama mengingkari hal itu.
Hal ini sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnu Daqiqil Ied, beliau
berkata: Menurut pendapat saya, hisab tidak boleh dijadikan sandaraan dalam
puasa.
Ketika mengomentari hadits “إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ
وَلَا نَحْسُبُ
”: Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata : ‘Pada mereka (bangsa Arab) ada
orang yang dapat menulis dan mengetahui hisab, (dinamakan umiyun) karena yang
menulis sangat sedikit sekali. Yang dimaksud hisab dalam hadits ini adalah
hisab nujum dan perjalanannya (falak) dan mereka hanya sedikit yang mengerti
hal ini, sehingga hukum berpuasa dan lainnya tergantung kepada rukyah agar
tidak menyulitkan mereka karena sulitnya hisab. Lalu hukum ini berlaku terus
pada puasa walaupun setelahnya banyak orang yang telah mengetahui hisab. Bahkan
dzahir hadits dipahami tidak adanya hukum puasa dengan hisab. Hal ini
dijelaskan dalam hadits-hadits lainnya yang berbunyi: فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا
الْعِدَّة ثَلاَثِيْنَ (apa
bila terhalangi sempurnakanlah tiga puluh hari) dan tidak mengatakan: “Tanyalah
kepada Ahli Hisab.”(Ahkaam
Al Ahkam Syarhu Umdat Al Ahkaam hal 2/8)
Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab beliau, mengatakan:
وقال
ابن الصباغ أما بالحساب فلا يلزمه بلا خلاف بين أصحابنا قلت ونقل بن المنذر قبله
الإجماع على ذلك فقال في الأشراف صوم يوم الثلاثين من شعبان إذا لم ير الهلال مع
الصحو لا يجب بإجماع الأمة
“Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada
ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan‘.
Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa
di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat
ketika cuaca cerah, menurut ijma para ulama.”(Fathul
Baari (4/123),
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah
berkata:
فتبين أن ديننا لا يحتاج
إلى حساب ولا كتاب، كما يفعله أهل الكتاب من ضبط عباداتهم بمسير الشمس وحسباناتها،
وأن ديننا في ميقات الصيام معلق بما يرى بالبصر وهو رؤية الهلال، فإن غم أكملنا
عدة الشهر ولم نحتج إلى حساب.
“Maka jelaslah agama kita
tidak membutuhkan perhitungan dan penulisan (di dalam menjalankan ibadah) sebagaimana
yang dilakukan ahlul kitab di dalam menentukan ibadah mereka, dengan melihat
berjalannya matahari dan perhitungannya, dan bahwasanya agama kita menentukan
batas waktu (masuknya) puasa bergantung dengan apa yang di lihat oleh mata
yaitu dengan melihat bulan, apa bila mendung kita sempurnakan satu bulan, dan kita tidak membutuhkan hisab. (Fatul Bari, Ibnu Rajab al-Hanbali 3/67)
Sangat disayangkan orang-orang
yang mengedepankan hisab seakan-akan hal itu nas (dalil) yang wajib diikuti, mereka
meninggalkan syariat yang telah diamalkan dari dulu sampai sekarang oleh para
ulama, mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan itu membingungkan umat,
menjadikan bercerai-berai dan bermusuhan.
6.
Wajibnya berpuasa bersama pemerintah kaum muslimin.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ
وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ.
“Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas
kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul
fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.” (HR. Tirmidzi 697 di shahihkan Syaikh al-Albani di dalam Ash-Shahihah
224)
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ،
وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ.
“An Nahr (hari raya kurban) adalah hari ketika orang-orang
menyembelih dan Idul Fitri adalah hari ketika orang-orang berlebaran”
( HR. Baihaqi 8209, dishahihkan Syaikh al-Albani di dalam As-Shahihah 224)
7.
Fatwa ulama agar berhari raya bersama Pemerintah.
Fatawa no. 388
Soal: Bagaimana menurut Islam
mengenai perbedaan kaum muslimin dalam berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha?
Mengingat jika salah dalam menentukan hal ini, kita akan berpuasa pada hari
yang terlarang (yaitu hari ‘ied) atau akan berhari raya pada hari yang sebenarnya
wajib untuk berpuasa. Kami mengharapkan jawaban yang memuaskan mengenai masalah
yang krusial ini sehingga bisa jadi hujah (argumen) bagi kami di hadapan Allah.
Apabila dalam penentuan hari raya atau puasa ini terdapat perselisihan, ini
bisa terjadi ada perbedaan dua sampai tiga hari. Jika agama Islam ini ingin
menyelesaikan perselisihan ini, apa jalan keluar yang tepat untuk menyatukan
hari raya kaum muslimin?
Jawab: Para ulama telah sepakat
bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu bisa berbeda-beda dan hal ini dapat
diketahui dengan pasti secara inderawi dan logika. Akan tetapi, para ulama
berselisih pendapat mengenai teranggapnya atau tidak hilal di tempat lain dalam
menentukan awal dan akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat
pertama adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di tempat lain dalam
penentuan awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya
hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di
tempat lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As
Sunnah dan Qiyas. Dan terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu adalah
dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa di
antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al
Baqarah [2]: 185)
Begitu juga firman Allah:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ
هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang
hilal (bulan sabit). Katakanlah: “Hilal (bulan sabit) itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.”
(QS. Al Baqarah [2]: 189)
Mereka juga sama-sama berdalil
dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِه
“Berpuasalah karena melihat
hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari)
Perbedaan pendapat menjadi dua
kubu semacam ini sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan dalam memahami
dalil. Kesimpulannya bahwa dalam masalah ini masih ada kelapangan untuk
berijtihad. Oleh karena itu, para pakar fikih terus berselisih pendapat dalam
masalah ini dari dahulu hingga saat ini.
Tidak mengapa jika penduduk suatu
negeri yang tidak melihat hilal pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah
negeri yang berbeda matholi’ (beda wilayah terbitnya hilal). Namun, jika di
negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada
keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih
suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri
tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut
bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri
tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin dalam
berpuasa Ramadhan dan melaksanakan shalat ‘ied.
Semoga Allah memberi kita taufik.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts
Al ‘Ilmiyah wal Ifta’
Anggota: Abdullah bin Mani’
Wakil Ketua: Abdullah bin Ghodyan
Ketua: Abdur Rozaq ‘Afif.
Syaikh al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah pernah
ditanya.
“Jika awal masuknya bulan
Ramadhan telah diumumkan di salah satu negeri Islam, semisal Kerajaan Saudi
Arabia, tetapi di negeri kami belum diumumkan; bagaimanakah hukumnya?
Apakah kami berpuasa bersama
Kerajaan Saudi Arabia ataukah berpuasa dan berbuka bersama penduduk negeri
kami, setelah ada pengumuman?
Demikian pula halnya dengan Idul
Fitri, apa yang harus kami lakukan apabila terjadi perbedaan antara negeri kami
dan negeri yang lain? Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas
Anda dengan kebaikan.”
Beliau menjawab,
“Setiap muslim hendaknya berpuasa
dan berbuka bersama (pemerintah) negerinya masing-masing. Hal itu berdasarkan
sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ
يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ
تُضَحُّونَ.
“Waktu puasa itu pada hari kalian
(umat Islam) berpuasa, (waktu) berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan
(waktu) berkurban/Idul Adha adalah pada hari kalian berkurban.” (Lihat Fatawa Ramadhan hlm. 112)
Syaikh al-Albani (rahimahullah) berkata:
“Selama belum (terwujud)
persatuan negeri-negeri Islam di atas satu mathla’ aku
berpendapat bahwa setiap warga negara hendaknya melaksanakan puasa Ramadhan
bersama negaranya (pemerintahnya) masing-masing.
Mereka tidak boleh
bercerai-berai, yakni sebagian berpuasa bersama pemerintah dan yang lain
berpuasa bersama negara lain, baik mendahului pemerintahnya maupun tertunda.
Sebab, hal itu dapat mempertajam perselisihan di tengah masyarakat muslim
sendiri, sebagaimana yang terjadi di beberapa negara Arab sejak beberapa tahun
yang lalu. Wallahul musta’an.” (Tamamul Minnah hlm.
398)
Di dalam menentukan hari raya kaum muslimin, hendaknya kita
sadar, apabila setiap organisasi, firqoh, thoriqat mereka di beri kewenangan
memutuskan sendiri hari raya mereka tentulah terjadi persilangan pendapat dan
perselisihan yang terus menerus. Oleh karena itu kita harus sadar dan tidak
boleh menyombongkan diri bahwa untuk mengangkat dan menghilangkan perselisihan
ini adalah apa yang diputuskan pemimpin atau pemerintah kita, sehingga tidak
menjadikan masyarakat bercerai-berai.
Semoga dengan sedikit tulisan ini Allah bukakan hati kaum
muslimin, dan menyatukan mereka di atas manhaj yang lurus dan menjauhkan dari
berbagai macam perpecahan. Aamiin.
Sragen
07-07-2022.
Disusun oleh
: Junaedi Abdullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar